yang memudahkan pergerakan diantara kantong-kantong sumberdaya Taylor et al 1993. Ada 2 komponen utama yang potensial mempengaruhi koneksitas
spesies, komunitas atau proses ekologi, yakni: komponen struktural dan komponen perilaku Bennett 1990. Komponen struktural sebagian besar
berhubungan dengan susunan spasial habitat dalam bentang alam, sementara komponen perilaku didasarkan pada respon spesies terhadap kondisi fisik bentang
alam. Konsep koneksitas, sama saja artinya dengan koridor habitat, koridor pergerakan, koridor satwaliar, koridor dispersal atau koridor keanekaragaman
hayati; prinsip dasarnya adalah untuk melestarikan dan restorasi ekosistem Bennett 2003.
2.8. Ekosistem Ulu Masen
Kawasan hutan di wilayah Aceh yang masih tersisa dan sangat potensial sebagai cadangan keanekaragaman hayati adalah Ekosistem Ulu Masen.
Meskipun belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, namun ekosistem ini sangat penting sebagai kawasan keterwakilan ekosistem di Aceh. Kawasan ini
terletak di antara 4 empat kabupaten di Provinsi NAD Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie. Kawasan seluas 750.000 ha yang sebagian
besarnya masih berhutan terdiri atas beberapa tipe habitat, dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan, dari hutan rawa hingga hutan kars FFI-AP,
2007. Kawasan hutan ini menyediakan jasa lingkungan penting bagi masyarakat
di bagian utara Aceh, termasuk penataan air. Daerah tangkapan air Krueng Sungai Aceh dan Sungai Teunom serta sejumlah daerah tangkapan air yang
lebih kecil menyediakan pasokan air bagi sebagian besar daerah permukiman di
Universitas Sumatera Utara
bagian utara provinsi Aceh. Hutan yang memiliki tebing-tebing curam dan terjal yang terdapat di hampir semua tempat di bagian utara Aceh berfungsi untuk
menjaga wilayah tersebut dari bencana tanah longsor serta membantu mengatur iklim dan menjaga ketersediaan hujan yang diperlukan untuk pertanian di wilayah
tersebut FFI-AP, 2007. Selain itu Ekosistem Ulu Masen dipandang sangat penting untuk mempertahankan keterwakilan ekosistem yang ada di wilayah
Aceh, oleh karena itu, Ekosistem Ulu Masen ditunjuk sebagai kandidat Key
Biodiversity Area KBA Gaveu et al, 2007. 2.9. Indeks Kesesuaian Habitat
Indeks dapat didefinisikan sebagai sebuah indikator ekologis yang secara kuantitatif mendeskripsikan kondisi dari suatu lingkungan atau ekosistem Lin et
al. 2009. Selanjutnya dikatakan, kompleksitas ekosistem yang disederhanakan di dalam sebuah indeks menuntut formulasi indeks tidak cukup hanya melibatkan
sebuah peubah. Sebuah indeks disusun menggunakan sejumlah peubah yang terintegrasi di dalam sebuah rumus penghitungan indeks. Peubah yang digunakan
di dalam penghitungan suatu indeks disebut sebagai peubah indikator indeks atau peubah indikator.
Salah satu pengembangan indeks terhadap kualitas lingkungan, dikemukakan oleh Ott 1976 yang mengungkapkan bahwa indeks kualitas
lingkungan I merupakan fungsi dari sub indeksnya I
1
,I
2
, I
3
,………I
n
, dan sub indeks merupakan fungsi dari nilai hasil pengamatan dari parameter i
x
1
,x
2
,x
3
,….x
n
yang merupakan komponen sub indeks, yang formulasinya adalah:
I = g .......
.......... ..........
, ,
,
3 2
1 n
I I
I I
i i
i
x f
I =
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan lainnya yang berhubungan dengan konsep daya dukung lingkungan terhadap spesies adalah dengan pendekatan Indeks Kesesuaian Habitat
Habitat Suitability IndexHSI. Model HSI digunakan secara meluas sebagai alat dalam pengelolaan spesies, penilaian dampak ekologis, dan penelitian pemulihan
ekologi. Kurva HSI menggambarkan hubungan antara variabel habitat dengan kesesuaian untuk spesies khusus Van der Lee 2006.
HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. HSI model menghasilkan
gambaran dari karakteristik masing-masing habitat dan interaksinya terkait dengan habitat suatu spesies. Model dapat dibangun dalam berbagai cara, seperti
model kata-kata, sebuah model mekanistik, atau sebuah model statistik multivarian, atau kombinasi dari metode ini Jewett Onuf 1988. HSI
menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies AED 2008.
Pengembangan Indeks Kesesuaian Habitat bagi satwaliar didasarkan pada asumsi bahwa suatu jenis satwaliar akan memilih dan menggunakan kawasan
yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga satwa tersebut akan memilih kawasan yang kualitasnya lebih baik dibandingkan bagian lainnya
Muntasib, 2002. Model Indeks Kesesuaian Habitat dapat dikembangkan antara lain berdasarkan data dasar SIG yang dapat memberikan informasi habitat secara
spasial. Metode ini telah digunakan untuk habitat Badak Jawa Rhinoceros sondaicus Muntasib, 2002; Owa Jawa Hybolates moloch Dewi et al. 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.10. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 2.10.1. Cagar Alam Pinus Jantho