Suratman Abang Tokoh dan Penokohan

58 kerumunan,berlari kearah Cindy dan Hanna, “Cindy Hanna” ia seketika memeluk, mencium keduanya. “Lima menit lagi kita cerdas cermat” Bu guru tersenyum girang. Ada empat kelompok yang lolos, terbagi di grup A, B, C, dan D. Cindy dan Hanna di grup D. Semua pendukung masuk aula, aula sebesar 10 x 20 meter, dewan juri ada empat orang, penulis nilai seorang Ibu guru muda berdiri di dekat papan tulis, semua peserta mencoba memencet bel untuk pengecekan. Saat babak pertama, grup A menang, saat soal lemparan grup B menang, Cindy dan Hanna tertinggal tapi tak begitu jauh. Di papan skor, grup A 600, grup B 650, grup C 450, dan grup D 600 poin. Saat babak rebutan, semua terhanyut dalam ketegangan. Babak rebutan pun dimulai, Cindy beberapa kali mengangkat tangan, dan menjawab soal dengan benar, Hanna pun demikian, mereka melesat hingga sebelum soal terakhir diberikan, kedudukan imbang antara grup A, B, dan grup D, berbeda tipis. Grup A 800, grup B 750, grup D 850. Semua hening terdiam mendengarkan soal terakhir, salah satu juri membacakan soal, “Siapa nama lengkap pencipta lagu Indonesia raya.” Tangan Cindy tampak mengangkat tinggi, “W.R Supratman.” Jawab Cindy tegas. “Nama lengkapnya?” juri ingin tahu jawaban lengkap. Mata penonton memusat pandangan, ada yang mulutnya menganga, ada yang menutup mulut dengan dua tangan, hening terasa seolah mencekam, rasanya bila ada jarum jatuh, akan terdengar di seisi ruangan. Cindy dan Hanna celingukan, selama ini yang mereka tahu W.R.Supratman. “Tiga, dua, satu. Grup D dikurangi seratus.” Bersorak seketika pendukung grup A yang keluar sebagai pemenang. Cindy tertunduk, Hanna pun tampak lesu Do’a hlm. 71-74.

d. Suratman Abang

Suratman adalah seorang preman. Ia lelaki yang berkulit gelap, rambutnya sebahu tapi kusam, bibirnya tebal sedikit lebih hitam dari kulitnya karena banyak rokok yang ia hisap, matanya sering kali merah bila sudah menenggak minuman, perutnya sedikit buncit, banyak bekas luka sabetan di tubuhnya, kumisnya tipis, ada gelang hitam di pergelangan tangan kirinya, dan cincin bermata besar di jari tengahnya. Sepertinya jimat. Ia adalah preman terminal, baginya sangat mudah mencari gelandangan yang tak pulang. Suratman, orang yang sudah 59 memenjarakan hidup mereka bertiga meskipun tanpa jeruji besi, hidup terkungkung di bawah tekanan seorang preman, hidup dalam keterbatasan, hidup dalam penyiksaan. Penokohan Suratman dapat dilihat atau diketahui dari tingkah laku, dan percakapannya dengan tokoh-tokoh lain. Uraian tokoh Suratman adalah sebagai berikut : 1 Pemarah Selayaknya seorang preman, sifat Suratman atau Abang sudah pasti pemarah. Ia akan memarahi Dina, Adib, dan Cindy apabila uang setoran yang sudah ditargetkan tidak mencukupi jumlah tersebut. Kata-kata kasar dan makian pun terlontar dari mulutnya. Suasana ini yang selalu dihadapi ketiganya di rumah kontrakan tersebut. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut : Dari kejauhan Suratman sudah terlihat duduk di teras dalam penantian, ia berteman rokok, mengepul asap, ia duduk di kursi bambu, satu- satunya kursi yang ada di kontrakan. Dari jauh yang tanpak di bawah kemuning asap hanya kumis hitam dan perut buncitnya, tak lebih, Adib sudah tak enak hati untuk memandang, tak enak rasa memperhatikan. “Sini Dapat berapa kalian hari ini ?” perut buncit Suratman kembang kempis memandang tiga anak yang berbaris berdiri. “Ini Abang,” Adib keluarkan dari balik sakunya, ia maju satu langkah. Suratman menghitung, Dina heran, kenapa hanya sedikit yang didapat, Dina peluk kepala Cindy dan didekatkan ke pinggang. “Masa satu hari hanya enam puluh ribu, sedikit sekali, kalian mau mati?” Suratman mulai bengis, “Ngapain aja seharian?” “Itu uang Mba’ Dina dan Cindy bang,” Adib beralasan. “Punya kamu mana?” nafas Suratman turun naik. “Ini Bang,” Adib mengeluarkan dari sakunya. Dihitung kembali kepingan uang, hanya dua puluh ribu, “Kamu mau menghina Abang ya?” “Ga Bang,” Adib menggeleng. Dina tak bisa melindungi, Dina tahu Adib menyembunyikannya. “Kamu main-main sama Abang ya?” rambut Adib dijambak, Suratman berdiri. “Ga Bang, Cuma segitu Adib dapat,” Adib meringkuk. 60 “Kamu mau mati ya?” Suratman melayangkan tamparan pertama, “Plak” “Ampun Bang” Adib mulai kesakitan. Cindy di pelukan Dina ketakutan, menangis tanpa suara. “Kamu mau mati? Eh…” tamparan tak terhitung beberapa kali melayang,” Plak Plak Plak” sampai satu tamparan yang paling keras mendarat, “Plakkk” darah mengalir dari bibir, menetes merah padam seperti rintikan hujan, Adib terhuyung, tersungkur jatuh, tapi semua belum cukup, kepala Adib dibenturkan ke dinding,”Dak” Dina tak kuasa melihat, ia keluarkan uang dari sakunya, “Ini bang Ini uang Adib Ini uang Adib” setengah memohon Dina memberikan. “Ohh…main-main ya…besok awas kalo seperti ini Jangan sok pahlawan depan Abang” Suratman meludah, “Cuih Tidur sana Besok kalian harus kerja” Do’a hlm 36-38. 2 Kasar Selain pemarah, Suratman juga memiliki sifat kasar. Ia selalu menyiksa dan memukul Dina dan Adib. Apabila ada sikap yang tidak berkenan di hatinya, Suratman akan bersikap kasar terhadap mereka. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut : Dua mata merah Suratman memandang, ia sadar Dina dan Adib datang, ia berdiri menanti, nafasnya tanpak lebih cepat berhembus, perutnya turun naik, Dina dan Adib tak gentar terus melangkah meski rasa sakit sudah terbayang, kini Abang berhadapan dengan Dina dan Adib, tampak dari lubang pintu Cindy duduk memeluk lutut menangis tanpa suara. “Mana uang kalian?” Dina tahu pertanyaan itu yang akan keluar, Dina keluarkan uang semua yang ia punya, Adib juga merogoh tasnya, dimata mereka berdua hanya ada Cindy, bahkan beberapa keping terjatuh, menggelinding, Dina dan Adib kembali memungutnya, sinar terik mulai naik, tapi terhalang daun nangka. “Cuman segini, kalian pergi tiga hari, mau mati kalian?” Teriak Abang membuat perutnya menguat. “Cuman segitu Bang,” Dina menunduk. Abang terlanjur begitu kesal, “Kalian coba berlari, sudah berani, pasti kamu yang memulai,” tangan Abang menarik kaos Dina, menarik keras memaksa memasuk rumah, “Krettt...” kaos Dina sobek, sedikit dada nampak, Adib tak sanggup lagi melihat. “Berani kamu” Abang menjambak rambut Dina, Dina tak berteriak, tapi meringis dalam sakit. “Engga’ Bang,” Dina menggengam tangan Abang. “Plak” tamparan pertama mendarat, keras, suaranya mengiris yang mendengar, tapi cuma sekali, tangan kanannya terus melayang , “Plak” darah tampak menetes dari sudut mulut Dina. Ditendang, 61 dipukul, Dina disiksa, terombang ambing di dalam ruangan 3x4 meter, Dina seperti dalam ring. Adib tak bisa hanya memandang, ia juga tak tahan mendengar. Adib ambil gitar, ia kumpulkan segenap keberanian, ia pegang dengan dua tangan gagangnya, ia mengincar kepala Abang, sekuat tenaga ia ayunkan, ”Prak” gitar patah. Tapi Abang tidak tumbang, ia berbalik, semakin bengis, “Kamu berani sekali” Cindy memojok, menutup mata, menutup dua telinga dengan dua tangannya. Dari kepala Abang mengalir satu tetes darah, leher Adib dicekik, ia berteriak, “Cindy lari” Cindy benar-benar bangkit, tapi tak lari, Dina kebingungan, tak tahu harus berbuat apa, bila dibiarkan Adib bisa mati, Dina ambil gitar, sekuat tenaga ia ayunkan, “Prakkkk” tepat di kepala, gitar pecah, gagangnya patah, tapi Abang belum juga tumbang. Adib dilepaskan, ia berbatuk, nafasnya hampir habis, giliran Dina dicekik, “Mati kamu, mati kamu” Do’a hlm 114-115.

e. Kepala Sekolah