37
a. Dina
Namanya Dina, Dina Sanjani umurnya sudah 17 tahun, meski ia baru kelas sembilan, Dina sering berhenti sekolah. Tubuhnya tergolong
tinggi bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya, 165 cm, kulit sebenarnya kuning langsat, tapi tertutup debu jalanan menjadi
kecoklatan, matanya tak istimewa, bibirnya sederhana, sedikit ciut, dagunya lancip, hidungnya tak begitu mancung, tapi bukan pesek,
parasnya bergaya oriental, tubuhnya, tak seksi, namun kesatuan semuanya membuat setiap pemuja kecantikan akan memalingkan
wajah sejenak untuk dirinya. Dina adalah seorang anak pengamen yang tinggal di sebuah kontrakan dekat terminal kampong rambutan, Jakarta.
Sedari kecil, Ia terlahir di panti asuhan, saat lima tahun ada seorang bapak yang mengadopsinya, Suratman. Waktu itu Dina bahagia sekali,
tapi kebahagiaan yang Dina alami ternyata palsu, ia hanya diajari bermain gitar, diajari menyanyi, dijadikan pengamen di jalan, sudah dua
belas tahun Dina menjalani semua ini. Ia memiliki dua adik namun bukan saudara sekandung yang bernama Adib dan Cindy. Bertiga
mereka berjuang dan bekerja keras demi bertahan hidup ditengah kerasnya kota Jakarta.
Penokohan pada Dina dapat dilihat atau diketahui dari tingkah laku, pemikirannya, dan percakapannya dengan tokoh-tokoh lain.
Uraian tokoh Dina adalah sebagai berikut : 1
Pekerja Keras Dina adalah sosok anak yang pekerja keras. Sikap pekerja
kerasnya ditunjukkan dalam setiap kesehariannya dia melakukan
38
kegiatan ngamen di jalanan. Dina akan bekerja keras mengejar setoran yang akan diberikan kepada Suratman yang biasa
dipanggilnya Abang. Hal ini dilakukan agar ia dan kedua adiknya tidak mendapatkan penyiksaan dan perlakuan kasar dari Suratman.
Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Setiap hari Dina tak bisa rasakan kebahagiaan seperti teman-teman yang lain, tak bisa tidur siang, setiap siang harus berpindah dari satu bis ke
bis yang lain untuk menjajahkan suara emasnya, suara Dina memang bagus, tapi apalah artinya keindahan di jalanan, bila penumpang tahu
pengamen akan bernyanyi lebih banyak yang berpaling muka keluar jendela, atau pura-pura tidur, mereka risih, tak ada harganya, pemberian
uang juga lebih banyak karena rasa kasihan, tak banyak orang menghargai nyanyian yang didendangkan. Kalau sore, teman-teman
sebayanya bermain di mall, jalan-jalan keliling kota, sudah sibuk berdandan selepas mandi, atau tidur nyenyak di kamar, tapi Dina dan
kedua adiknya harus semangat-semangatnya memetik gitar menyambut para pekerja pulang dari kantor di bis, atau menyisir tepi jalan dari satu
warung ke warung yang lain Do’a hlm. 2-3.
Sikap pekerja keras Dina juga ditunjukkan ketika ia harus ngamen sendirian tanpa Adib. Kutipan yang mendukung
pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Dina naik satu kopaja, kali ini Dina bertopi, tanpa permisi berdiri menghadap penumpang bersandar punggung kursi dekat pintu, tanpa
pamit Dina tepuk tangan, nyanyikan sebuah lagu dari Hijau Daun, “Setiap detik, engkau yang s’lalu menghantuiku” saat bernyanyi yang
teringat di kepalanya hanya Adib, ia membayang Adib yang kini ada di penjara. Katanya akan menerima hukuman enam tahun penjara, ada
yang mengatakan sepuluh tahun penjara, itu berarti akan lama menanti Adib keluar penjara kembali. Do’a hlm. 126.
2 Penyayang
Sebagai anak tertua bagi kedua adiknya, Dina selalu menyayangi dan mengutamakan kebahagiaan mereka. Bagi Dina
kedua adiknya adalah hal yang paling penting di dunia ini. Hal ini
39
ditunjukkan saat percakapan antara Dina dan Maya. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut adalah sebagai berikut :
“Kenapa kamu tak henti pandangi kedua adikmu?” Maya heran, Dina seperti memndam sesuatu dalam pandangan.
“Aku takut mereka jadi pencuri,” Dina berdo’a hal ini tak merasuki dua adiknya.
“Kenapa berkata seperti itu?” “Mereka masih kecil, tapi sudah merasakan hidup terhimpit, aku selalu
berusaha mengatakan untuk terus semangat, tapi aku takut mereka terpaksa melakukan untuk sekedar mengisi perut,” Dina tersenyum.
“Jangan berpikir macam-macam Din,” Maya menghentikan ocehan Dina, mencoba mengalihkan pikiran, “Kau tidak tergoda untuk pacaran
seperti yang lain?” Dina tersenyum sinis, “Aku lebih baik pikirkan dua adikku, mereka
terlalu berharga untukku. Sedikitpun aku tak memikirkan hal itu, tak penting.” “Kenapa mereka begitu berharga untukmu? Bukankah mereka
bukan saudara kandungmu Din?” “Aku tak punya keluarga, sejujurnya aku iri meliha torang yang berayah
dan beribu, jalan bersama-sama, tapi semakin hari aku sadar, aku punya mereka berdua, merekalah keluargaku satu-satunya. Mereka sudah
menganggapku sebagai kakak, juga ibu, seharusnya dari dulu aku bisa menyadari itu. Tapi rasanya baru kemarin aku tahu, hidup tak mungkin
sendirian Do’a hlm. 94-95.
Dina bagi Adib sudah dianggap seperti kakak. Dina pun menyayangi Adib selayaknya adik kandungnya sendiri. Dina selalu
memberikan kasih sayang yang tulus kepada Adib. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Dina cepat mengambil air di satu botol Air minum, ia ingin membersihkan luka-luka adiknya, sedangkan Cindy terus berada di
dekat Adib, mengusap pipinya, berusaha untuk tak menangis, meski si kecil tak kuat memandang lebam Do’a hlm. 38-39.
Dina kembali dengan air satu gelas, lap kecil dari handuk, diusap di sekitar bibir Adib, bersihkan kening Adib. Cindy hanya bisa
memandang, kadang memijat kaki Adib yang membujur diatas lantai Do’a hlm. 39.
Selain sebagai kakak, Dina juga sudah dianggap Ibu oleh Cindy. Cindy tak segan-segan memanggil Dina dengan sebutan
Mama. Bagi Cindy, Dina adalah sosok ibu yang baik dan
40
penyayang. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Dina akan mandi bersama Cindy, di kamar mandi 1 x 1 meter, mereka seperti anak dan ibu, kalau Cindy kedinginan saat air yang menyiram, ia
akan memeluk kedua kaki Dina erat-erat. Adib pasti lebih awal selesai, tapi ia akan menunggu di depan pintu tempat Dina dan Cindy mandi
bersama. Perlahan toilet umum mulai banyak dikunjungi, entah ibu-ibu penjual sayur di pasar pagi, atau supir angkot s 15 yang hendak mulai
beroperasi Do’a hlm. 8.
Sikap penyayang Dina, juga ditunjukkan saat Dina membelikan Adib dan Cindy mangga dari uang lebih hasil ngamen.
Dina merasa bahagia ketika kedua adiknya dapat merasakan kebahagiaan, walaupun hanya sedikit. Kutipan yang mendukung
pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Kali ini Dina berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, di
bangku bis sebelum pintu belakang ada seorang berkaos, rambutnya pendek, kulitnya coklat bersih, cara berpakiannya rapi. Dina yakin dia
anak orang kaya tapi entah kenapa tidak memakai mobil. Saat Dina menyodorkan tangan kanan, pemuda tersebut mengeluarkan uang dua
puluh ribu dari dompetnya. “Terimakasih Mas, terimakasih,” Dina menunduk, seumur dia hidup
memeluk gitar, belum pernah ia menerima selembar uang dua puluh ribu, seolah di hadapannya malaikat untuk mereka bertiga.
Sebegitu senangnya Dina, saat turun tepat di pasar buah, tempat penjual buah ia belikan mangga, satu kilo lima ribu, berisi empat buah, ia
bagikan satu persatu kepada Adib dan Cindy. “Kenapa beli buah kak?” Adib bertanya.
“Ada yang memberi dua puluh ribu,” Dina tersenyum. “Kenapa tidak disimpan saja kak,” Adib bertanya lagi.
“Biar, supaya kita pernah merasakan makan buah mangga,” Dina beralasan. Mereka tidak mengupas dengan pisau, dengan gigi, tak ada
rasa malu meski setiap orang yang lewat memperhatikan, saat macet ada satu angkot yang berhenti tepat di garis lurus dengan mereka, satu
penumpang memperhatikan, Cindy hanya tersenyum, rasa malu dibuang meski mulut menguning belepotan. Adib paling lahap, Cindy paling
susah makan, Dina hanya biarkan dua adiknya menikmati manisnya mangga Do’a hlm. 89-91.
Sikap penyayang Dina, juga ditunjukkan saat Dina menjaga kedua adiknya yang sedang tertidur dalam kelelahan karena
41
mendapat penyiksaan dan pukulan dari Suratman. Dina selalu berusaha agar kedua adiknya mendapatkan kasih sayang darinya,
walau dalam keadaan yang menyakitkan sekalipun. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Malam semakin larut, keheningan mulai menyeruput, Cindy sudah tergeletak dalm lelap tak berbantal perut Adib atau paha Dina, Cindy
seperti kucing kedinginan, Dina merapikan rambutnya, terkadang Dina melipat handuk untuk dijadikan bantal mengganjal kepala Cindy. Dua
gitar bersandar di pojok ruangan, nyamuk berdengung tak di rasakan termakan lelah yang membakar. Ketukan jarum jam terdengar, jarum
pendek menunjukan angka sepuluh malam. Lampu kuning tak dimatikan, Dina dan Adib masih terjaga, duduk terpisah tubuh Cindy,
memar di kepala Adib semakin tampak jelas. Do’a hlm. 39-40.
3 Dewasa
Kerasnya hidup di jalanan membuat Dina harus selalu berpikir dan bertindak dewasa. Kutipan yang mendukung
pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Dina berdo’a dalam hatinya, semoga mereka yang menghinanya tidak merasakan seperti dirinya yang harus hidup di tengah tekanan, yang
harus berjuang di tengah kesempitan, penyiksaan, yang harus terus bertahan dalam kisah penuh cita yang yang tak pernah mudah
diwujudkan, Dina berdo’a cukup dirinya saja yang merasakan Do’a hlm. 59.
4 Bertanggung Jawab
Sebagai Kakak dan Ibu bagi Adib dan Cindy, membuat Dina harus memiliki sikap tanggung jawab yang penuh terhadap
mereka. Bagi Dina keselamatan Adib dan Cindy lah hal utama yang harus selalu ia jaga. Kutipan yang mendukung pernyataan
tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Adib tampak duduk berdamping Cindy di depan pagar mushola, mereka setia menanti walau dipanggang terik, mereka tak lelah walau terasa
42
payah, mereka berdiri menanti kakaknya, Adib sudah berkaos, punggung sudah terikat bersama gitar, berdua mereka pandangi Dina
yang berjalan sendirian, mereka berdua akan salami Dina dan mencium tangannya.
“Kakak ganti baju dulu,” Dina ke samping toilet mushola toilet terkunci rapat. Bertiga melangkah menuju jalan raya, Adib sembari berjalan
memandang Dina, “Biar aku sendirian aja Kak yang ngamen, biar dapat banyak.”
Kali ini Dina melarang, “Hari ini kita sama-sama aja, jangan menjauh dari Kakak.” Dina merasa takut kalau Adib di ganggu oleh preman
“Nanti dapatnya sedikit Kak,” Adib menyela, jalan sudah tampak,”Nanti…”
“Sudah tidak apa-apa,”Dina tak ingin membahas. Do’a hlm. 86-87.
Tanggung jawab Dina selain menjaga Adib dan Cindy dari gangguan lingkungan sosial, Dina pun harus bertanggung jawab
pada kehidupan mereka dari cengkraman Suratman. Hal itu ditunjukkan dengan sikap tegas Dina membawa pergi Adib dan
Cindy menghindar dari Suratman dan menginap di rumah Maya. Kutipan yang mendukung peryataan tersebut diatas adalah sebagai
berikut :
Dina berjalan sangat lambat sekali, buku tulisnya hanya dimasukkan ke dalam saku rok belakang, kepalanya menunduk, Safira dan Maya hanya
memandangnya. “Kamu kenapa Din?” Maya melihat Dina seperti terhimpit masalah
besar. “iya Din, katakan pada kita” Safira setengah memaksa.
Dina teringat dua adiknya, teringat Adib, teringat Cindy, hanya mereka keluarga belahan hati Dina.
Dina menoleh ke arah Maya, “Boleh aku menginap di rumahmu?” “Boleh Din,” Maya sangat senang bisa membantu.
“Tapi aku bawa dua adikku,” Dina berharap malam ini dua adiknya bisa tertidur nyenyak.
“Tidak apa-apa,” Maya mengangguk. Dina ingin malam ini ia bersama dua adiknya bisa tidur dalam lelap,
Dina ingin melihat Adib dan Cindy tidur mendengkur atau berliur. Dina ingin mulai malam ini ia bisa lepas dari Suratman, mulai berlari entah
sampai kapan, mulai bersembunyi meski satu hari akan kembali ditemukan. Ia merasa lelah, lelah sudah, sangat lelah. Ia sengaja tak
memberitahu Adib dan Cindy jika nanti malam tak akan kembali ke Abang, mereka pasti akan khawatir, mereka pasti menolak, mereka pasti
akan takut pukulan Suratman kembali mendarat, mungkin lebih keras lagi, mungkin lebih kejam, tapi Dina berpikir bahwa semua yang ia
jalani bersama Suratman harus di akhiri.Do’a hlm. 85-86.
43
5 Sabar
Disaat mereka bertiga hidup dalam sesaknya kemiskinan dan penderitaan, Dina selalu berusaha untuk sabar dan tabah
menjalaninya. Dina percaya bahwa akan ada kebahagiaan untuk mereka bertiga di suatu waktu nanti. Kutipan yang mendukung
peryataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Memang Dina meyakini suatu hari semua akan berganti, akan ada kebahagiaan untuk mereka, tapi entah kapan. Dina terus berusaha untuk
sabar dan tabah, yang ia bisa lakukan hanya terus berusaha sekuat tenaga mencari rejeki demi hidup yang lebih baik Do’a hlm. 2-3.
6 Pemberani
Sikap berani Dina ditunjukkan saat ia mengambil satu keputusan untuk menghindar dari Suratman dengan cara membawa
Adib dan Cindy menginap selama dua hari di rumah Maya. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai
berikut :
“Malam ini kita tidur di rumah teman kakak,” Dina membuka pembicaraan.
“Bagaimana dengan Abang?” Adib tahu balasan jika berlari tak kembali pada Abang. “Lupakan saja,” Dina menggenggam gagang gitar.
“Maksud Kakak?” Adib mengerti, malam mulai datang. “Mulai malam ini kita berlari dari Abang, Kakak harap kalian jangan
takut.” “Dina berpesan,”Kita tidak bisa membayar uang ujian kalau tiap hari diminta Abang” Do’a hlm. 91.
Sikap pemberani Dina juga ditunjukkan saat ia membela Maya dan Safira yang diganggu oleh geng centil di kelas. Kutipan
yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Entah mengapa tiba-tiba rambut Maya dijambak Madya, kontan kepala Maya seolah tersangkut, seperti ranting yang ditarik, siswi yang lain
mulai ketakutan, meremas tas, Maya mengerang, “Aaaa” laki-laki mulai bergerak ingin memisah, tapi yang tidak disangka justru tindakan
44
Dina, ia langsung berdiri menarik tangan Madya melayangkan satu tamparan keras, “Plak”
Dina bukan wanita biasa, Dina sudah akrab dengan pukulan Abang, sudah kenyang dengan tamparan, dengan sabetan, darah sudah sering
keluar dari kulitnya, tapi yang melihat justru senang, mereka mengharap ada yang memberi pelajaran untuk geng centil, laki-laki mulai mundur
kembali, guru kebetulan tak juga datang. Dina tatap dalam-dalam mata Madya, Putri pun canggung bergerak,
Madya kesakitan, ia ingin membalas, ia layangkan tangan, tapi Dina sudah terbiasa, ia tangkap dengan tangan kirinya, satu tamparan lebih
keras melayang, “Plakkk” telak, sangat telak, Dina tatap Putri, “Duduk sana Jangan sok jadi perempuan”
Terdengar kata-kata Dina, tercermin jiwa Dina sesungguhnya, ia menganggap orang yang menghina dirinya wajar, tapi bila ada yang
membelanya tapi dihina ia tidak akan pernah terima. Terdengar sayup- sayup suara dari teman-temannya, “Syukurin” Do’a hlm. 56-57.
7 Bijaksana
Sikap bijaksana Dina selalu ditunjukkan melalui pola pikir atau cara berpikirnya. Hal tersebut membuat Dina selalu disayang
Adib dan Cindy. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Tak ada kamus putus asa dalam jiwa mereka. Kalau gagal sekolah karena uang, bagi mereka sudah wajar, Dina dan Adib sering
mengatakan itu dan memahami benar artinya, tapi kalau tidak nauk kelas hanya karena pelajaran, bagi mereka tidak wajar, mereka yakin
sepintar apapun pasti belajar, orang secerdas apapun pasti belajar, apalagi mereka terlahir sebagai anak jalanan. Do’a hlm. 14.
Dina tersenyum, “Aku sering katakan sama mereka jangan malu dengan keadaan Jangan malu kalau kita sering kelaparan Jangan malu kalau
kita mengamen Sekolah memang mahal, kita kadang harus lapar, kadang harus korbankan keadaan karena kita punya cita-cita yang baik,
dan mulia Do’a hlm 71.
8 Peduli
Pekerjaan sebagai pengamen jalanan membuat Dina harus ekstra hati-hati dalam menjaga kedua adiknya. Dina sangat peduli
terhadap keselamatn kedua adiknya. Hal ini ditunjukkan saat Adib dan Cindy tidak pulang ke rumah Maya. Dina panik dan berusaha
45
mencari keduanya, walaupun hari masih terlalu pagi. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
“Kenapa jam segini mereka belum pulang May?” Dari jam delapan Dina terus bertanya. “Mungkin mereka menginap di tempat teman,”
Maya mencoba menenangkan, duduknya memeluk bantal sembari menatap paras Dina dari samping.
Dina menggeleng, “Tidak mungkin, mereka selalu mendengar kata- kataku, aku sudah katakan untuk kembali bertemu di depan mushola
sepulang sekolah”. Dina melirik sejenak melihat ke dinding, terlihat sudah jam sepuluh
malam. Dina cemas, mereka berdua memang masih terlalu kecil, yang Dina khawatirkan jika mereka berdua tertangkap Abang, atau ada
preman lain menculik. Sampai jam dua belas malam Dina tak bisa menutup matanya. Dina
hanya berbaring, namun pikirannya hanya tertuju pada Adib dan Cindy. Belum sempat matahari terbit Dina sudah memaksakan diri untuk
berangkat, Maya berharap Dina bersabar, tapi Dina sudah satu malam tertekan, ditelan gelap pagi Dina berangkat membawa gitar, berjalan ke
luar rumah sendirian, tapi belum sempat Dina menjauh, belum sampai ke tepi jalan raya, Maya menyusul dengan sepeda motornya, ”Ayo
Din”. Berdua menerjang jalan raya, masih sepi bila jarum jam menunjuk jam
lima pagi, terlebih hari jum’at, hanya segelintir sepeda motor menyalakan lampu depan yang tampak menyala.
Dina tak berjaket, tapi ia tak merasa dingin. Ia terus berdo’a semoga bisa temukan dua adiknya sesampainya di mushola. Dalam kepalanya
mereka berdua tidur di sana Do’a hlm. 105-107.
9 Penakut
Dibalik semua sikap Dina yang mengayomi dan menyayangi kedua adiknya, Dina ternyata memiliki sikap penakut.
Hal itu ditunjukkan ketika Adib melakukan pembunuhan terhadap Suratman. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut diatas
adalah sebagai berikut :
Mata Dina sudah seperti hendak menjeput maut, ia tidak melawan kedua tangan kekar Abang, Dina berlutut dengan leher dalam
genggaman Abang, ia seperti ayam hendak disembelih, dua tangan Dina melambai-lambai seperti tenggelam, Cindy hanya menarik-narik tangan
abang, “Jangan Jangan” tapi Adib tidak bisa tinggal diam, ia tidak bisa melihat kakaknya mati, ia mengambil pisau dari belakang, pisau
kecil, dengan tangan kanan Adib menusuk perut Abang, “Sepp” kali ini Abang terjatuh, darah mengalir, Abang tak bisa lagi bicara,
tergeletak, lantai penuh dengan darah, dina terdiam memandang.
46
“Adib,” Dina peluk adiknya. “Panggil polisi Kak,” Adib meminta.