Klimaks Climax Alur atau Plot

94 Adib tak menoleh ke belakang, ia terus berlari dan berlari, keringatnya mengucur, nafasnya hamper habis, perutnya seperti tertusuk-tusuk, menyelip diantara dua rumah Adib berhenti mengintip, Suratman sudah tak ada. Ia belum percaya, ia kembali mengintip dari balik dinding rumah, Abang sepertinya tertinggal, kali ini ia beruntung, besok pasti Abang kembali dating. Adib bertekad untuk kabur dari Abang Do’a hlm. 101.

e. Rumitan Complication

Rumitan adalah perkembangan dari gejala awal tikaian menuju klimaks. Rumitan dalam cerita ini yaitu ketika Dina dan Adib berniat menjemput Cindy yang dititipkan pada Fatimah, namun ternyata Cindy sudah dijemput oleh Suratman yang mengaku sebagai Ayahnya Cindy kepada Fatimah. Hal itu membuat Dina dan Adib harus kembali ke kontrakan demi keselamatan Cindy. Berikut ini adalah kutipannya : Berdua Dina dan Adib berjalan menuju ke rumah Fatimah. Tampak halaman rumah kosong. Tiba-tiba muncul Fatimah, berjilbab dan berpakaian seragam hendak ke sekolah. Adib melihat Fatimah, adib berlari masuk ke halaman rumah Fatimah, “Fatim” Fatimah berhenti, di depan pintu, Fatimah berbalik, “Kok kamu pakai kaos Dib?” “Cindy mana?” Adib tak pedulikan pertanyaan Fatimah. “Lho, tadi dijemput Ayahnya, katanya harus pulang,” Fatimah polos menjawab. Lemas Adib mendengar, pastilah Abang sudah dating lebih awal, sudah hard lebih dulu, Adib ingin marah, tapi Fatimah memang tidak tahu apa-apa, “Kenapa Dib? Kok kamu lemas? Tanya Dina. “Cindy dijemput Abang kak, kita harus pulang ke kontrakan, kasihan Cindy nanti dikasari Abang.” Adib tampak sangat cemas. “Iya, kita pulang sekarang” Do’a hlm. 111.

f. Klimaks Climax

Klimaks adalah titik puncak cerita. Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya. Bagian ini merupakan tahapan ketika pertentangan yang terjadi mencapai titik optimalnya. Klimaks terjadi ketika Adib dan Dina pulang ke kontrakan dan Suratman meminta hasil ngamen mereka selama tiga hari menghilang. Namun 95 uang yang dikumpulkan tidak mencukupi, Suratman marah dan menyiksa Dina dan Adib habis-habisan. Rasa sakit bercampur dendam akhirnya membuat Adib membunuh Suratman. Berikut ini adalah kutipannya : Dua mata merah Suratman memandang, ia sadar Dina dan Adib datang, ia berdiri menanti, nafasnya tampak lebih cepat berhembus, perutnya turun naik, Dina dan Adib tak gentar terus melangkah meski rasa sakit sudah terbayang, kini Abang berhadapan dengan Dina dan Adib, tampak dari lubang pintu Cindy duduk memeluk lutut menangis tanpa suara. “Mana uang kalian?” Dina tahu pertanyaan itu yang akan keluar, Dina keluarkan uang semua yang ia punya, Adib juga merogoh tasnya, di mata mereka berdua hanya ada Cindy, bahkan beberapa keping terjatuh, menggelinding, Dina dan Adib kembali memungutnya, sinar terik mulai naik, tapi terhalang daun nangka. “Cuman segini, kalian pergi tiga hari, mau mati kalian?” Teriak Abang membuat perutnya menguat. “Cuman segitu bang,” Dina menunduk. Abang terlanjur begitu kesal, “Kalian coba berlari, sudah berani, pasti kamu yang memulai,” tangan Abang menarik kaos Dina, menarik keras memaksa memasuk rumah, “Krettt...” kaos Dina sobek, sedikit dada nampak, Adib tak sanggup lagi melihat. “Berani kamu” Abang menjambak rambut Dina, Dina tak berteriak, tapi meringis dalam sakit. “Engga’ bang,” Dina menggengam tangan Abang. “Plak” tanparan pertama mendarat, keras, suaranya mengiris yang mendengar, tapi Cuma sekali, tangan kanannya terus melayang , “Plak” darah tampak menetes dari sudut mulut Dina. Di tendang, dipukul, Dina di siksa, terombang ambing di dalam ruangan 3x4 meter, Dina seperti dalam ring. Adib tak bisa hanya memandang, ia juga tak tahan mendengar. Adib ambil gitar, ia kumpulkan segenap keberanian, ia pegang dengan dua tangan gagangnya, ia mengincar kepala Abang, sekuat tenaga ia ayunkan,”Prak” gitar patah. Tapi Abang tidak tumbang, ia berbalik, semakin bengis, “Kamu berani sekali” Cindy memojok, menutup mata, menutup dua telinga dengan dua tangannya. Dari kepala Abang mengalir satu tetes darah, leher Adib dicekik, ia berteriak, “Cindy lari” Cindy benar-benar bangkit, tapi tak lari, Dina kebingungan, tak tahu harus berbuat apa, bila di biarkan Adib bisa mati, Dina ambil gitar, sekuat tenaga ia ayunkan, “Prakkkk” tepat di kepala, gitar pecah, gagangnya patah, tapi Abang belum juga tumbang. Adib di lepaskan, ia berbatuk, nafasnya hampir habis, giliran Dina di cekik, “Mati kamu, mati kamu” Mata Dina sudah seperti hendak menjeput maut, ia tidak melawan kedua tangan kekar Abang, Dina berlutut dengan leher dalam genggaman Abang, ia seperti ayam hendak disembelih, dua tangan Dina melambai-lambai seperti tenggelam, Cindy hanya menarik-narik tangan abang, “Jangan Jangan” tapi Adip tidak bisa tinggal diam, ia tidak bisa melihat kakaknya mati, ia mengambil pisau dari belakang, pisau kecil, dengan tangan kanan Adib menusuk perut Abang, “Sepp” kali ini Abang terjatuh, darah mengalir, Abang tak bisa lagi bicara, tergeletak, lantai penuh dengan darah, Dina terdiam memandang Do’a hlm. 114-116. 96

g. Leraian Falling action