Pandangan dan Sikap Balai Besar TNBBS Terhadap Permukiman dan Kebun Kopi

kegiatan. Karena komoditi kopi merupakan komoditi unggulan di Propinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Lampung Barat, maka tahap pertama adalah bahwa lahan hasil perambahan dibuka untuk kegiatan pertanian tanaman kopi, kalau pun ada yang mengkonversi hutan alam menjadi semak belukar pada dasarnya itu merupakan awal kegiatan dalam membentuk kebun campuran. Tahap kedua, kebun campuran dan semak belukar yang tidak sesuai untuk tanaman kopi biasanya digunakan untuk menanam komoditi lain seperti cengkeh, nilam atau diubah menjadi sawah atau ladang. Tahap ketiga, apabila hutan alam yang dikonversi gagal menjadi kebun kopi, hutan campuran, sawah atau ladang, biasanya ditinggalkan menjadi lahan terbuka atau belukar. Lahan terbuka atau belukar juga terbentuk karena adanya kebakaran hutan secara alami. Alihfungsi kawasan hutan di TNBBS yang berlangsung dalam dua dekade terakhir pada dasarnya dapat dipandang sebagai wujud fisik dari relasi kekuasaan balai taman nasional dengan masyarakat. Pada sub bab selanjutnya berikut ini dipaparkan telaahan atas relasi kekuasaan yang dimaksud.

7.2. Pandangan dan Sikap Balai Besar TNBBS Terhadap Permukiman dan Kebun Kopi

Setiap tipe permukiman dan pola akses yang dilakukan oleh masyarakat ke dalam kawasan taman nasional mendapat penanganan yang berbeda-beda oleh balai taman nasional sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, kondisi geografis, kondisi keanekaragaman hayati, serta pendekatan dan kapasitas organisasi balai taman nasional. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku keberadaan permukiman dan kebun kopi di dalam kawasan taman nasional dipandang oleh balai taman nasional sebagai bentuk perambahan terhadap kawasan hutan negara. Hal ini tercermin secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari, yang dikelola dengan sistem zonasi, serta tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya. Sumber: WCMC dan TNBBS Gambar 17. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 1982 Sumber : WWF, WCS dan TNBBS Gambar 18. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2002 Sumber: WCS-IP dan TNBBS Gambar 19. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2005 Konsekuensi dari arahan pengelolaan ini adalah : Pertama, taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti untuk keperluan perlindungan dan pelestarian, zona pemanfaatan untuk kegiatan penelitian, wisata alam, dan pendidikan, serta zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kedua , pengelolaan taman nasional menggunakan pendekatan konservasi ekosistem, yaitu pengelolaan ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh, dan tidak hanya terbatas hanya pada konservasi spesies. Hal inilah yang kemudian membangun pandangan balai taman nasional dalam pengelolaan kawasan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa akses yang bersifat memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa, serta mengubah bentang alam untuk berbagai keperluan termasuk pertanian dan permukiman harus dilarang. Dalam konstruksi arcadian ini perbuatan atau akses yang diperbolehkan adalah pengawetan dan perlindungan keanekaragaman hayati, penelitian, pendidikan, pembinaan habitat dan populasi satwa, pariwisata alam dan wisata alam terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka balai taman nasional sebagai pengelola kawasan berhak secara hukum melakukan berbagai upaya dalam rangka menjaga keutuhan kawasan taman nasional. Balai taman nasional biasanya melakukan tindakan secara bertahap dalam menangani keberadaan permukiman dan kebun kopi di dalam kawasan. Mulai dari kegiatan preemtif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan dan pembinaan daerah penyangga sampai dengan langkah penindakan dan pengendalian secara represif. Hal ini tentu saja mendapat perlawanan dari masyarakat terutama ketika balai taman nasional melakukan langkah penindakan dan pengendalian secara represif melalui operasi pengamanan kawasan ataupun patroli terpadu. Hal ini karena masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Sehingga masyarakat menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk mengolah lahan pertanian yang berada di dalam kawasan. Sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat dapat mengakses sumberdaya hutan dan lahan, namun hal tersebut berubah ketika kawasan tersebut menjadi taman nasional. Perubahan menjadi de-jure state common property regime ini membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Akses, pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria di kawasan hutan yang semula merupakan hubungan hak ulayat yang bersifat tradisional digantikan dengan hubungan hak yang mempunyai relasi dengan konservasi modern, yakni: kunjungan ke taman nasional; pengkajian, penelitian dan pengembangan; memungut hasil hutan tumbuhan liar dan penangkapan satwa liar untuk keperluan penangkaran, olah raga buru atau perburuan tradisional, memungut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi untuk perdagangan, dan mengelola usaha pariwisata alam di zona pemanfaatan. Selain itu, dalam pandangan balai taman nasional, tanaman kopi merupakan tanaman eksotik atau bukan tanaman asli di kawasan sehingga pihak balai taman nasional melakukan langkah operasi pemusnahan tanaman kopi. Kemudian dalam rangka merehabilitasi kawasan akibat perambahan maka Balai taman nasional melakukan kegiatan restorasi melalui program Gerakan Penghijauan Gerhan.

7.3. Tiga Pola Relasi Kekuasaan