Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat

(1)

ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN KEBUN

KOPI DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

(Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten

Lampung Barat)

ANDI WITRIA RUDIANTO E351070051

MAYOR KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2009

Andi Witria Rudianto


(3)

ANDI WITRIA RUDIANTO. Analysis the Growth of Settlement and Coffe Garden in Bukit Barisan Selatan National Park (Case Study in Sidomakmur, Subdistrict of Way Tenong, West Lampung Regency). Under supervised by RINEKSO SOEKMADI and SOERYO ADIWIBOWO.

Up to now, none of national park in Indonesia is free from conflicts with local people interest such as human settlement and agriculture activities. The presence of settlement and agriculture activities inside the park are often viewed as illegal occupation. This research was conducted in Bukit Barisan Selatan National Park and aimed at identify the constellations of means relations, and processes to enable various actors to derive benefits from utilizing resources within the park and defined a solution to response the conflict of access effectively. The result shows that existence of the settlement and agriculture within the park could not be called as an illegal occupation due to some reasons : a) people have already settled before the area was designated as a national park, b) the change of area management regime, and c) re-design of boundary demarcation did not consider socio-agrarian condition of local people. Unfortunately, the response of national park management related to the problems above mentioned is to develop resettlement. However in fact response has never solved the conflicts. Therefore, providing access for local people to utilize resources within the park represents a win-win solution between conservation purposes and the local people interests, and can prevent incidence of endless conflict among them.

Key words : Bukit Barisan Selatan National Park, access, settlement, coffee


(4)

ANDI WITRIA RUDIANTO. Analisis Perkembangan Pemukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat). Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI DAN SOERYO ADIWIBOWO.

Pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan pemukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan. Penelitian ini dilakukan untuk mencoba menjembatani kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat dan berupaya memetakan pola masing- masing pihak dalam memperoleh, mengontrol, dan memelihara manfaat sumberdaya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, relasi kekuasaan yang terjalin di kalangan para pihak, dan mencoba mencari prinsip, kaidah, dan koridor untuk merespon secara efektif konflik akses atas ruang.

Hasil sintesa menemukan bahwa keberadaan areal pemukiman dan pertanian tersebut tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan : a) masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut,jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, b) terjadinya perubahan rejim pengelolaan kawasan, dan c) penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan. Berkenaan dengan respon Balai TNBBS terhadap keberadaan pemukiman dan areal kebun kopi di dalam kawasan, diketahui bahwa langkah penindakan dan pengendalian akses merupakan dua bentuk respon kekuasaan yang paling sering ditempuh oleh Balai Taman Nasional dalam menangani masalah pemukiman dan pertanian di dalam kawasan. jika seluruh areal permukiman dan pertaniannya berada di dalam kawasan konservasi, maka resetelmen penduduk merupakan respon yang dipilih untuk ditempuh oleh Balai Taman Nasional.

Memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan konservasi merupakan titik temu yang ideal antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.

Kata kunci : Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, akses, pemukiman, kebun kopi, respon


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN KEBUN

KOPI DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

(Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten

Lampung Barat)

ANDI WITRIA RUDIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat)

Nama : Andi Witria Rudianto

NRP : E351070051

Program Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua,    Anggota, 

   

         

   

             

         

   

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F   Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.Si.

Ketua  Anggota 

         

   

         

Diketahui,

     

Ketua Program Mayor   Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

     

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 130 891 377 NIP. 131 953 388

         


(8)

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala bentuk syukur kupanjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Esa yang Maha Besar, karena atas qudrot dan iradah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodoversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Tesis berjudul “Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan” ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan kawasan taman nasional yang selalu berada dilokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara berbagai kepentingan lokal (pemanfaatan tradisional, pemukiman, pertanian dan perkebunan serta kegiatan penambangan) dan kepentingan global (perlindungan keanekaragaman hayati), sehingga penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi titik temu ideal antara dua kepentingan tersebut sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat

Dalam tesis ini diuraikan tentang tipologi permukiman dan kebun kopi di dalam/sekitar kawasan taman nasional, pola akses masyarakat, struktur ruang dan kedudukan taman nasional dalam kerangka pembangunan pemerintah daerah, respon Balai Taman Nasional dalam menangani isu permukiman dan kebun kopi di dalam kawasan, peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan kawasan konservasi, serta alternative solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yang pada hakekatnya merupakan konflik akses atas sumberdaya taman nasional.

Akhir kata, seperti ada pepatah “tiada gading yang tak retak”, Penulis menyadari bahwa penyusunan tesisi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Namun demikian, kehadiran tesis ini diharapkan dapat mengisi dan menambah relung informasi dalam rangka pengelolaan taman nasional ke depan. Semoga….

Bogor, Maret 2009


(9)

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodoversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin tugas belajar dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Supriyanto. selaku Kepala Balai Taman Nasional Manusela telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Kepada Bapak Kurnia Rauf selaku Kepala Balai Besar TNBBS, Bapak Afrizal selaku Kabag Tata Usaha Balai Besar TNBBS atas waktu dan kesediaannya untuk berdiskusi dan memberikan arahan, masukan, dan koreksinya, (4) Mas Agus Hartono dan Mbak Tri yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula kepada Erik Setiawan, Rahman Pasha, Tonni Asmawan (ICRAF Crew), Pak Cucu yang menemani di lapangan, mahasiswa S2 KVT 2007, Pak Sofwan, dan Bi Uum atas bantuannya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Dr. Ir. Rinekso Soekmadi MScF selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan, serta kepada Dr.Ir.Arya Hadi Darmawan M.Agr.Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah menyediakan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Rahayu Kurniawati, S.Pt. dan anak-anakku tersayang Rauzan Raditya Ramadhan dan Raisyafani Nadira Fitri atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Kepada Emih Hj. Maemunah, Ayahanda Suwito DH, Ibu Nia, dan Mamah Sri serta adik tersayang diucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya yang diberikan.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.


(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1982 di Desa Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suwito DH dan Ibu Sri Sumiarsih. Pada tahun 1994 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Banjar V Ciamis, tahun 1997 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri I Banjar Ciamis. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri I Ciamis dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun 2004.

Sejak tahun 2004 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staff Taman Nasional Manusela, Maluku Tengah. Tahun 2007 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada program Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang “Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Rinekso Soekmadi MSc.F sebagai Ketua dan Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumberdaya Alam ... 6

2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 9

2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi ... 10

2.4. Undang Undang Pokok Agraria ... 14

2.5. Tantangan Pengelolaan Taman Nasional ke Depan ... 20

2.6. Teori Akses ... 21

2.7. Hak Milik (Property Rights) ... 25

2.8. Konflik ... 27

2.9. Masyarakat Sekitar Hutan ... 31

2.10. Perambahan Hutan ... 32

2.11. Partisipasi dan Kolaborasi ... 36

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43


(12)

IV. TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN : RIWAYAT PENGELOLAAN, AKSES, DAN KONTROL

4.1. Riwayat Penetapan, Status dan Fungsi, serta Zonasi Kawasan ... 49 4.2. Organisasi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 55 4.3. Upaya Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Dalam Pengelolaan Kawasan ... 59 V. STRUKTUR RUANG WILAYAH, PEREKONOMIAN, DAN KEPENDUDUKAN

5.1. Kedudukan TNBBS dalam Struktur Ruang Wilayah Kab.

Lampung Barat ... 61 5.2. Perekonomian Kabupaten dan Kecamatan di Sekitar TNBBS ... 65 5.3. Kependudukan di Sekitar TNBBS ... 67 VI. MASYARAKAT DUSUN SIDOMAKMUR : RIWAYAT,

POLA AKSES, DAN KONTROL

6.1. Karakteristik Sosial Ekonomi Dusun Sidomakmur ... 69 6.2. Riwayat Perkembangan Pemukiman dan Kebun Kopi ... 76 6.3. Tipologi Pemukiman dan Pola Akses Masyarakat ke

Taman Nasional ... 84 VII. RELASI KEKUASAAN ANTAR PIHAK DAN PENGARUHNYA

TERHADAP WUJUD FISIK KAWASAN

7.1. Konversi TNBBS Menjadi Permukiman dan Kebun Kopi ... 86 7.2. Pandangan Balai Besar TNBBS Terhadap Permukiman

dan Kebun Kopi ... 90 7.3. Tiga Pola Relasi Kekuasaan ... 94 VIII. ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAGI

PENGELOLAAN TNBBS KE DEPAN ... 100 IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan ... 104 9.2. Saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA ... 108


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional ... 15

Tabel 2. Hak Agraria dalam Konteks Akses, Pemanfaatan dan Kontrol atas Taman Nasional ... 18

Tabel 3. Karakteristik Property Right dan Implikasinya ... 28

Tabel 4. Karakteristik Model Kesepakatan Konservasi dengan Masyarakat ... 41

Tabel 5. Parameter Penelitian/Variabel Studi menurut Kerangka Penelitian 47 Tabel 6. Perubahan Status dan Luas Cakupan Kawasan TNBBS ... 51

Tabel 7. Nama, Luas, Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Way Tenong dan Letak Terhadap TNBBS ... 55

Tabel 8. Beberapa Instansi/Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan TNBBS ... 60

Tabel 9. Persentase Sektor Pertanian bagi PDRB Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus dan Kaur………. 66

Tabel 10. Luas Tanam, Produksi dan Jumlah Rumah Tangga Petani pada Beberapa Komoditas Pertanian Perkebunan ... 66

Tabel 11. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Lampung Barat ... 67

Tabel 12. Letak Pemukiman Masyarakat Dusun Sidomakmur... 70

Tabel 13. Asal Daerah Penduduk Sidomakmur ... 70

Tabel 14. Jumlah Penduduk Sidomakmur Berdasarkan Tahun Bermukim .. 71

Tabel 15. Jumlah Penduduk Sidomakmur Berdasarkan Tahun Penetapan .. 72

Tabel 16. Jarak Rumah ke Lahan Garapan ... 74

Tabel 17. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan dalam Kawasan TNBBS ... 74

Tabel 18. Status Kepemilikan Lahan Garapan... 75

Tabel 19. Jumlah Perambah dan Luas Perambahan di Kabupaten Lampung Barat ... 87

Tabel 20. Pola Relasi Kekuasaan Antar Balai Besar TNBBS dan Masyarakat Dusun Sidomakmur... 95


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 44

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian ... 45

Gambar 3. Skema evolusi rejim pengelolaan kawasan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 53

Gambar 4. Peta Zonasi Taman Nasional Sebelum Revisi ... 54

Gambar 5. Peta Zonasi Taman Nasional Setelah Revisi ... 54

Gambar 6. Struktur Organisasi Balai TNBBS ... 56

Gambar 7. Kedudukan TNBBS d Kabupaten Lampung Barat ... 62

Gambar 8. Jalan Tembus Kawasan TNBBS ... 64

Gambar 9. Jenis Penggunaan Lahan di Kawasan TNBBS ... 73

Gambar 10. Sketsa Dusun Sidomakmur ... 81

Gambar 11. Riwayat Perkembangan Dusun Sidomakmur... 82

Gambar 12. Transek Series Dusun Sidomakmur (1977 s/d 2002) ... 83

Gambar 13. Diagram Pola Akses Anak Dusun/Talang Desa Sidomakmur ke Taman Nasional... 84

Gambar 14. Tipe pemukiman dan pertanian di kawasan TNBBS ... 85

Gambar 15. Peta Sebaran Perambahan ... 88

Gambar 16. Perkembangan Luasan Perambahan <1972-2002 ... 89

Gambar 17. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 1982 ... 91

Gambar 18. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2002 ... 91

Gambar 19. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2005 ... 92

Gambar 20. Proses Focus Group Discussion (FGD) di Dusun Sidomakmur………. ... 100


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebanyakan sistem kawasan konservasi khususnya taman nasional berada di lokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara berbagai kepentingan lokal (pemanfaatan tradisional, pemukiman, pertanian dan perkebunan serta kegiatan penambangan) dan kepentingan global (perlindungan keanekaragaman hayati). Hampir tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan pemukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang berbatasan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai sumber ancaman bagi kelestarian dan keutuhan kawasan (Adiwibowo et al., 2008). Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, areal pemukiman dan pertanian di dalam kawasan konservasi dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan atas kawasan hutan negara. Sementara masyarakat setempat mempunyai banyak alasan mengapa mereka bermukim dan bertani di dalam kawasan.

Setiap kawasan taman nasional dan kehidupan masyarakat di sekitarnya mempunyai riwayat ekologi, sejarah, sosial, ekonomi, kependudukan, dan pemukiman yang berbeda-beda. Konflik ruang yang timbul di kawasan konservasi umumnya bersifat spesifik-lokasi dan cenderung merupakan muara dari konflik berkepanjangan terhadap penguasaan sumber-sumber agraria antara masyarakat setempat dan negara. Balai taman nasional, sebagai organ pemerintah yang bertanggungjawab atas keutuhan kawasan, pada umumnya merespon konflik agrarian ini secara linier dan berbasis peraturan perundang-undangan konservasi. Sehingga jika di taman nasional tertentu relokasi dan pemukiman kembali

(resettlement) merupakan alternatif solusi, namun di taman nasional lain langkah

tersebut justru mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Sementara ada taman nasional dimana balai taman nasional justru memberikan pengakuan atas akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan.


(16)

Beberapa kasus yang terjadi di beberapa taman nasional memperlihatkan bahwa bentuk penindakan dan pengendalian serta relokasi penduduk mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Sebagai contoh misalnya bentuk pengendalian dan penindakan di dusun Legon Pakis dan Keramat Jaya (Taman Nasional Ujung Kulon) melalui pemusnahan tanaman di dalam kawasan menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Kemudian, penutupan akses masyarakat Desa Klakah dan Jurong Ombo dalam memanfaatkan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Merapi dan relokasi penduduk Pesisir Bukit (Taman Nasional Kerinci Seblat), masyarakat Suku Amungme (TN Lorenz), serta kasus Dongi-Dongi (TN Lore Lindu) menimbulkan protes dan perlawanan yang kemudian berujung pada konflik terbuka antara pengelola kawasan dengan masyarakat.

Salah satu bentuk usaha pemindahan penduduk terjadi di daerah Pelompek. Semakin derasnya migrasi masuk ke Pelompek merupakan ancaman tersendiri bagi Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) karena menganggap bahwa para pendatang yang masuk ke Pelompek dapat menyebabkan kerusakan kawasan TNKS. Kondisi ini semakin parah ketika krisis moneter melanda Indonesia, dimana harga komoditas hortikultur yang melonjak tinggi terus mendorong masuknya para pendatang dari berbagai daerah. Dalam kondisi seperti ini, Balai Besar TNKS beranggapan bahwa pertambahan populasi dan rangsangan ekonomi membuat penduduk banyak membuka kebun di dalam kawasan TNKS sehingga perlu dilakukan pemindahan atau relokasi penduduk. Adapun upaya yang dilakukan Balai Besar TNKS adalah menyelenggarakan translok yang bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Kerinci. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balai Besar TNKS bahwa sejumlah warga desa Pelompek dan desa-desa lain di Kecamatan Gunung Kerinci yang membuka lahan pertanian di dalam kawasan TNKS ditranslok ke Sungai Bahar. Akan tetapi disebabkan tidak memadainya sarana dan prasarana di daerah tujuan dibandingkan daerah asal (terutama kesuburan tanah yang minim di lokasi pemukiman baru) mendorong sebagian besar warga yang dipindahkan tersebut kembali ke daerah asal mereka. Lahan pembagian dari Balai Besar TNKS dan Pemda Kabupaten Kerinci selanjutnya dijual oleh warga yang ditranslokkan tersebut (Adiwibowo et al., 2008).


(17)

Khusus untuk kasus Dongi-Dongi, benturan ini kemudian berkembang menjadi konflik yang lebih luas karena banyak pihak yang kemudian turut terlibat dalam kontroversi ini. Dukungan yang kuat dari WALHI Sulawesi Tengah dan Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (YBHR) membuat warga petani tetap bertahan di Dongi-Dongi dan membuat upaya pemerintah untuk mencari solusi berupa lahan alternatif di luar kawasan taman nasional tidak bisa dilaksanakan. Menanggapi perkembangan ini, Gubernur Sulawesi Tengah melalui surat tertanggal 18 Agustus 2001 meminta Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah untuk mengambil tindakan tegas. Bupati Donggala tidak mau kalah, melalui surat tertanggal 16 Agustus 2001 meminta masyarakat yang menduduki Dongi-Dongi agar segera mengosongkan daerah Dongi-dongi dalam kurun 3 x 24 jam terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2001. Kepala Balai TNLL juga bersurat kepada Kapolda Sulteng untuk mengusut YBHR yang dianggap mendalangi aksi pendudukan Dongi-Dongi. Namun langkah penindakan tersebut di atas tidak berjalan di lapangan. Sehingga yang muncul kemudian adalah aksi saling demo, teror dan ancaman kekerasan oleh kedua belah pihak. Aksi unjuk rasa yang digelar oleh kedua kubu yang saling bertentangan ini merupakan aksi protes paling masif yang pernah terjadi dalam sejarah Provinsi Sulawesi Tengah. Sampai saat ini wilayah Dongi-Dongi secara de facto masih dikuasai oleh masyarakat. Kondisi ini mendorong aktivitas pembukaan lahan dan permukiman yang cenderung tidak terkontrol, serta terjadinya kebakaran hutan. Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu menyadari bahwa konflik Dongi-dongi sesungguhnya adalah akumulasi kesalahan kebijakan pembangunan masa lalu yang tak kunjung segera dibenahi yang kemudian berdampak panjang pada kelestarian kawasan konservasi (Adiwibowo et al., 2008).

1.2. Perumusan Masalah

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai salah satu kawasan konservasi tidak lepas dari konflik akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam yang terdapat di kawasan taman nasional. Beberapa bagian kawasannya telah mengalami kerusakan yang cukup parah sebagai akibat kegiatan perambahan. Perambahan yang terjadi banyak terkait dengan kondisi sosial


(18)

ekonomi masyarakat di sekitar TNBBS yang kenyataannya masih belum sejahtera. Sekitar 74% kawasan TNBBS berada di kabupaten Lampung Barat dimana 71% perekonomian masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian, dan kopi robusta (Coffe robusta) menjadi komoditas unggulannya, baik di Kabupaten Lampung Barat maupun di tingkat propinsi. Ironisnya, komoditas ini berasal dari kawasan TNBBS yang telah dirambah oleh masyarakat dengan mengubah fungsi hutan menjadi kebun kopi. Tercatat dari luas total kawasan TNBBS, kurang lebih 28% (89.224 ha) telah dirambah oleh masyarakat dan digunakan untuk kegiatan pertanian, dimana 17 % (55.402 ha) berupa kebun aktif dan 11 % (33.822) kebun tidak aktif, yaitu kebun yang ditinggalkan tetapi pada saat musim panen terkadang masih diambil hasilnya. Kemudian dari total luas kebun yang aktif, 82% (45.657 ha) di dominasi oleh kebun kopi yang ditumpangsarikan dengan lada, kayu manis, cengkeh, nilam dan tanaman tahunan; 6% berupa kebun damar campur dengan tanaman tahunan, dan 12 % berupa perambahan baru (tanaman kopi muda dan coklat serta ladang padi). Bahkan hampir seluruh areal TNBBS yang berada di sekitar Gunung Sekincau (Resort Sekincau) sudah berubah fungsi menjadi kebun kopi (Dinata, 2001).

Pihak Balai Besar TNBBS telah melakukan berbagai tindakan mulai dari penyuluhan kepada masyarakat, teguran, penindakan dan pengendalian, sampai dengan upaya penurunan perambah sebanyak 172 KK di areal perambahan seluas 332 Ha (2006) dan pemusnahan tanaman kopi seluas 15 Ha di daerah Pengekahan, Way Haru melalui operasi pengamanan (2007). Respon yang ditempuh oleh Balai Besar TNBBS ini banyak menimbulkan protes dari masyarakat.

Melihat hal tersebut, maka menjadi penting untuk diketahui apa sesungguhnya yang menjadi akar penyebab terjadinya konflik akses di TNBBS? Sejauh mana efektivitas tindakan yang pernah ditempuh oleh Balai Besar TNBBS dalam merespon hal tersebut? Bagaimana langkah preventif serta pengendalian yang tepat dalam merespon masalah tersebut? Atau adakah langkah-langkah inovatif dalam merespon masalah tersebut?

Penelitian ini dilakukan untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut dan berupaya memetakan pola masing-masing pihak dalam memperoleh, mengontrol, dan memelihara manfaat sumberdaya di kawasan


(19)

TNBBS, relasi kekuasaan yang terjalin di kalangan para pihak, dan mencoba mencari prinsip, kaidah, dan koridor untuk merespon secara efektif konflik akses atas ruang.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis akar penyebab terjadinya alihfungsi kawasan TNBBS menjadi permukiman dan kebun kopi dengan menelaah relasi kekuasaan antara para pihak dalam akses dan kontrol atas sumberdaya alam yang berada di dalam kawasan TNBBS,

2. Mencari alternatif kebijakan dan strategi sebagai solusi untuk merespon secara efektif konflik akses atas ruang di dalam kawasan TNBBS.

1.3. Manfaat Penelitian

1. Mengetahui respon pemerintah dalam menyikapi dan mengatasi masalah perkebunan kopi yang terletak di dalam kawasan TNBBS,

2. Memberikan alternatif pilihan strategi dan kebijakan pengelolaan bagi Balai Taman Nasional dalam mengakomodir berbagai kepentingan para pihak (stakeholders) dalam rangka merespon secara efektif konflik akses atas ruang di dalam kawasan TNBBS.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konservasi Sumberdaya Alam

Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Definisi konservasi alam di kedua peraturan perundang-undangan tersebut mirip, meski berbeda penekanannya. Di UU No. 5/1990 lebih ditekankan di sumberdaya alam hayati; sedangkan di UU No. 23/1997 penekanannya pada sumberdaya yang terbaharui atau tak terbaharui. Istilah hayati menunjukkan makhluk hidup, dan lawan katanya adalah non hayati atau benda mati (tak hidup). Istilah terbaharui dan tidak terbaharui menyangkut sifat sumberdaya yang dapat atau tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan lagi, tidak menyangkut hayati atau non hayatinya.

Kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 adalah melalui:

1. perlindungan sistem penyangga kehidupan (seperti hutan lindung, hutan mangrove, sempadan sungai; sempadan pantai);

2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;


(21)

Kegiatan-kegiatan tersebut dijabarkan dari Strategi Konservasi Dunia

(World Conservation Strategy), untuk menunjukkan pentingnya pelestarian

sumberdaya alam yang terpulihkan bagi pembangunan berkelanjutan yang dapat dicapai melalui cara (MacKinnon et al. 1993):

1. Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan;

2. Melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. Selain itu hal ini penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya sejumlah besar industri yang menggunakan sumberdaya alam.

3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri.

Menurut Suporahardjo (2005) bahwa prinsip pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada co-ownership, co-operation, coresponsibility:

1. Prinsip Co-ownership

Kawasan yang akan dikembangkan untuk Kawasan Konservasi adalah milik bersama, pemanfaatan dan perlindungan dilaksanakan bersama berdasarkan pada nilai kearifan teknologi dan budaya lokal.

2. Prinsip Co-operation

Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, dilakukan dengan prinsip mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seluruh para pihak.

3. Prinsip Co-responsibility

Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, kegiatan perlindungan dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan para pihak.

Definisi, prinsip, dan kategorisasi pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditentukan oleh IUCN sebenarnya merupakan hal yang bersifat “netral” yang berarti bahwa bentuk dan kategorisasi pengelolaan tersebut tergantung pada pemilik kawasan atau badan otoritas pengelola kawasan konservasi. Dengan kata


(22)

lain, sumberdaya alam yang termasuk ke dalam enam kategori pengelolaan kawasan dilindungi dapat dimiliki dan/atau secara langsung dapat dikelola oleh Negara, lembaga swadaya, kepemilikan bersama, baik dalam bentuk pengelolaan sendiri ataupun kombinasi.

Di dalam pengelolaan kawasan konservasi, Grazia Borrini-Feyerabend (2007), menyatakan suatu konsep yang relatif baru dalam ranah konservasi yaitu konsep “kepengurusan kawasan dilindungi (Governance Protected Areas). Istilah “kepengurusan” mencakup kekuatan, hubungan, hak, responsibilitas, dan akuntabilitas. Beberapa mendefinisikan itu sebagai “interaksi antar struktur, proses, dan tradisi yang mempengaruhi bagaimana kekuasaan diuji,bagaimana keputusan diambil dalam menangani isu utama, dan bagaimana masyarakat serta para pihak berperan di dalam pengelolaan”. Di dalam konteks kawasan konservasi, bentuk kepengurusan sumberdaya mencakup tataran topic yang luas, mulai dari kebijakan sampai dengan praktek; dari perilaku sampai dengan pengertian; dan dari investasi sampai dengan dampak. Hal ini berpengaruh pada keberhasilan dan efektifitas pengelolaan kawasan serta keadilan pengelolaan dalam hal pembagian biaya dan distribusi manfaat sumberdaya kawasan. Hal tersebut merupakan kunci didalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial yang sering muncul di dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Perbedaan mendasar dari bentuk-bentuk kepengurusan dalan pengelolaan kawasan konservasi terbentuk dari “ siapa yang memegang secara de facto otoritas pengelolaan berdasarkan peraturan perundangan, hukum adat, ataupun hak kelola yang dilegitimasi oleh aturan lainnya. Merujuk hal diatas, maka terdapat empat tipe/bentuk dasar di dalam kepengurusan kawasan konservasi (Grazia Borrini-Feyerabend, 2007) yaitu:

1. Government Managed Protected Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan

konservasi dimana otoritas pengelolaannya dipegang oleh pemerintah (misalnya melalui Kementrian/Direktorat PHKA/Balai Taman Nasional).

2. Co-Managed Protected Areas, yaitu pengelolaan kawasan dengan

melibatkan para pihak baik organisasi formal ataupun non formal, baik pemerintah ataupun lembaga swadaya (NGO) dimana bentuk pengelolaannya dikenal dengan istilah “kolaborasi manajemen”. Dalam


(23)

pelaksanaan pengelolaan, para pihak bersama-sama membentuk badan pengelola untuk memutuskan strategi/kebijakan pengelolaan kawasan. Co-manajemen merupakan bentuk penguasaan kawasan yang mengedepankan demokrasi dan terjadi karena situasi yang kompleks. Kekuatan dari bentuk ini bergantung pada komitmen bersama para pihak dalam menjalankan kesepakatan/konsensus

3. Private Protected Areas, yaitu bentuk atau tipe penguasaan kawasan,

dimana pengelolaannya dilakukan oleh individu, koperasi, lembaga swadaya atau badan usaha bersama. Tipe penguasaan kawasan seperti ini pengelolaannya dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi (non-profit) atau untuk memperoleh keuntungan (profit) melalui kegiatan ekowisata, perburuan, dan lain-lain, bergantung pada kebijakan pemilik hak kelola.

4. Community Conserved Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan

konservasi oleh masyarakat lokal dengan berdasarkan kearifan tradisional dan hak ulayat/hukum adat. Dengan demikian, maka pengelolaannya berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan adat dan kesepakatan tradisional dari masyarakat lokal yang bersangkutan.

2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi

Sampai saat ini, konservasi alam di Indonesia masih menghadap berbagai masalah mendasar. Pada aras paradigma, masih relevan untuk dipertanyakan kembali benarkah berbagai kebijakan konservasi yang ada sekarang merupakan hasil dari refleksi yang berangkat dari kesadaran akan kenyataan kritis sumberdaya alam atau hanya sekedar reaksi mengikuti kecenderungan konservasi yang menggejala secara global.

Pada tataran konsepsi berbagai kebijakan konservasi masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku memandang sumberdaya alam sebagai sesuatu yang statis dan bersifat arcadian sehingga perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang seolah-olah terlarang untuk disentuh. Kesalahan paradigma ini pada akhirnya menyebabkan pendekatan pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya selalu menempatkan masyarakat sebagai kelompok yang dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan negara.


(24)

Akibatnya, pengelolaan berjalan tanpa arbitrase, tanpa komunikasi, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan selalu harus mengalah atau bahkan dikalahkan.

Di dalam pengelolaan taman nasional hal tersebut pun tidak dapat diindahkan. Menurut Adiwibowo et al.,(2008) disebutkan bahwa rentang kekuasaan Balai Taman Nasional diperoleh atau bersumber dari i) kebijakan dan peraturan perundangan negara tentang kawasan konservasi (juridical power), dan ii) ilmu pengetahuan dan diskursus tentang konservasi keanekaragaman hayati

(knowledge/discourse power). Juridical power mengatur tindakan apa saja yang

dilarang dan yang dibolehkan oleh negara (forbidden vs allow). Sementara knowledge/discourse power memberi penilaian tindakan apa saja yang tergolong salah atau benar (right vs wrong) menurut ilmu pengetahuan atau diskursus konservasi.

Untuk selanjutnya akan dipaparkan kebijakan dan peraturan perundangan yang menjadi landasan Balai Taman Nasional dalam mengelola kawasan taman nasional. Atas dasar ini masyarakat yang membuka atau berada di dalam kawasan konservasi baik berupa kegiatan pertanian dan permukiman dipandang sebagai perbuatan yang salah dan dilarang.

2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi

Istilah konservasi yang sekarang dikenal pada dasarnya merupakan hasil diskursus ilmu yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan dalam jangka waktu yang panjang sampai dengan sekarang. Istilah ini berawal muncul sebagai aktualisasi pertumbuhan romantisme Eropa pada awal abad ke 18 yang dipengaruhi oleh perkembangan perilaku baru yang berasal dari interpretasi religius ilmu pengetahuan. Kemudian pada akhir abad 19 muncul perkembangan yang bersifat progresif aksi-aksi pengawetan alam (nature preservation). Dalam perkembangan selanjutnya, logika preservasi sering terjebak pada pandangan arkeologis yang cenderung melihat sumberdaya sebagai sesuatu yang statis dan harus diawetkan. Koreksi terhadap kekeliruan dasar logika preservasi ini kemudian memunculkan istilah baru yang diangap lebih relevan yaitu konservasi alam (nature conservation) yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis. dikatakan lebih dinamis karena di dalamnya tidak hanya


(25)

terkandung makna pengawetan (preservation), tetapi juga perlindungan

(protection) dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Menjelang akhir

1990an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation).

Menurut Adiwibowo et al. (2008), sebagai produk ilmu pengetahuan modern ada tiga hal yang melekat dalam istilah konservasi. Pertama, dalam konservasi senantiasa terkandung makna, ideologi, pengetahuan, dan simbol-simbol yang merefleksikan kepentingan dan kebutuhan manusia, akumulasi ilmu pengetahuan, dan kondisi alam itu sendiri. Kedua, dalam pengetahuan senantiasa melekat kekuasaan (power), terlepas apakah pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge, local knowledge), atau merupakan ilmu pengetahuan modern (scientific knowledge). Ketiga, istilah konservasi keanekaragaman hayati dalam waktu singkat menjadi perhatian semua pihak sebagai akibat kampanye dan lobby yang intensif dari kalangan LSM internasional dan akademisi. Dari yang semula hanya merupakan ajang kepedulian peneliti dan akademisi (diskursus pengawetan alam), kini menjadi ajang kepedulian pemerintah, LSM, pengusaha, dan bahkan lembaga-lembaga internasional. Konservasi keanekaragaman hayati kini telah menjadi diskursus global terutama semenjak dideklarasikannya Konvensi Keanekaragaman Hayati

(Convention on Biological Diversity).

Dalam tesis ini, istilah konservasi dipandang sebagai produk ilmu pengetahuan yang didalamnya melekat kekuasaan (power) setelah istilah konservasi diwujudkan dalam bentuk konvensi dan peraturan perundangan-undangan yang bersifat mengikat, membatasi, dan mengatur akses terhadap sumberdaya alam yang berada di areal yang ditunjuk sebagai suatu kawasan konservasi. Salah satu bentuk kawasan konservasi yang bersifat membatasi dan mengatur akses para pihak atas sumberdaya yang ada di dalamnya adalah kawasan taman nasional, dimana kerangka pokok dari taman nasional berdasarkan kongres IUCN di New Delhi 1969 secara eksplisit menyatakan bahwa taman nasional merupakan ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia serta pihak pengelola memiliki power untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mengeliminasi eksploitasi atau okupasi diseluruh kawasan dan


(26)

menerapkan perlindungan efektif (effective protection), serta bentuk pemanfaatan kawasan taman nasional hanya ditujukan pada kondisi yang spesial untuk tujuan inspirasi, pendidikan, budaya, dan rekreasi.

Meski disadari bahwa kerangka pokok taman nasional di atas belum tentu dapat diterapkan di semua negara namun secara prinsip batasan tersebut dapat diterima oleh sebagian besar anggota IUCN. Di Indonesia sendiri, penetapan dan pengukuhan taman nasional sendiri diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan lainnya baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ataupun Keputusan Menteri.

Kriteria penetapan taman nasional diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dimana disebutkan bahwa kawasan taman nasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami

3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh

4. Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam

5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kemudian di bawah ini akan dipaparkan beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berkaitan langsung dengan pengelolaan taman nasional.


(27)

alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayai tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.

Pasal 31 : Di taman nasional dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam.

Pasal 32 : Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain yang sesuai dengan keperluan.

Pasal 33 : Taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya

Konsekuensi dari arahan pengelolaan ini adalah : Pertama, taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti untuk keperluan perlindungan dan pelestarian, zona pemanfaatan untuk kegiatan penelitian, wisata alam, dan pendidikan, serta zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kedua, pengelolaan taman nasional menggunakan pendekatan konservasi ekosistem, yaitu pengelolaan ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh, dan tidak hanya terbatas hanya pada konservasi spesies. Hal ini secara nyata disebutkan dalam pasal 33, UU No. 5 Tahun 1990, bahwa taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya.

Hal inilah yang kemudian membangun paradigma pengelolaan kawasan taman nasional. Paradigma yang memandang kawasan taman nasional sebagai suatu yang arcadian , yang memandang bahwa alam yang unik, khas, dan utuh harus diawetkan dan dilindungi serta terbebas dari sentuhan manusia. Cara pandang tersebut membawa konsekuensi bahwa akses yang bersifat memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa, serta mengubah bentang alam untuk berbagai keperluan (termasuk pertanian dan permukiman) harus dilarang. Dalam konstruksi arcadian ini perbuatan atau akses


(28)

yang diperbolehkan adalah pengawetan dan perlindungan keanekaragaman hayati, penelitian, pendidikan, pembinaan habitat dan populasi satwa, pariwisata alam dan wisata alam terbatas.

Pada Tabel 1 dipaparkan kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman nasional yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

2.4. Undang-Undang Pokok Agraria

Keberadaan pemukiman dan areal lahan pertanian di dalam kawasan yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakat secara tidak langsung menciptakan konflik akses terhadap kawasan taman nasional. Pada dasarnya, konflik akses atas ruang di dalam kawasan tersebut merupakan bentuk konflik agrarian antara masyarakat dengan pemerintah, dalam hal ini Balai Taman Nasional selaku pengelola kawasan. Dengan demikian, maka salah satu peraturan perundangan yang penting untuk diulas dalam konteks akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria di kawasan konservasi adalah Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau yang selanjutnya disebut sebagai UUPA). Dalam Pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa hak yang melekat pada sebidang tanah meliputi : hak milik, hak usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak hak yang sifatnya sementara.

Apabila akses ke taman nasional sebagaimana dimaksud dikaitkan dengan hak atas sumberdaya tanah sebagaimana dimaksud diatas, maka hanya Hak Pakai dan Hak Memungut Hasil Hutan yang diakomodir di dalam kawasan taman nasional (Tabel 2). Namun kedua hak dimaksud terbatas lingkup dan lokasinya. Hak Memungut Hasil Hutan hanya dapat berlaku untuk pemanfaatan tumbuhan liar dan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam PP No 8 Tahun 1999. Sementara Hak Pakai hanya berlaku untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam PP No 18 Tahun 1994. Kedua Hak dimaksud hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan. Tampak bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat


(29)

Tabel 1. Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Berdasarkan PP Nomor 68 Tahun 1998 dan Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006 (Adiwibowo, et al., 2008)

Kriteria Penetapan Taman Nasional (PP No 68 Tahun 1998)

• Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami

• Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami

• Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh

• Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam

• Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri

Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)

Zona Taman Nasional Zona Inti Zona Rimba Zona

Pemanfaatan

Zona Lain Zona

Tradisional

Zona Rehabilitasi

Zona Religi, Bud.&Sejarah

Zona Khusus

• Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem

• Mewakili formasi biota tertentu & atau unit-unit

penyusunnya √

• Mempunyai kondisi alam yg masih asli & tidak atau

belum diganggu manusia √

• Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yg menunjang pengelolaan yg efektif & menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami

• Mempunyai ciri khas potensinya & dapat menjadi contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi


(30)

Lanjutan Tabel 1

Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)

Zona Taman Nasional Zona Inti Zona Rimba Zona

Pemanfaatan Zona Lain Zona Tradisional Zona Rehabilitasi Zona Religi, Bud.&Sejarah Zona Khusus

• Mempunyai komunitas tumbuhan & atau satwa serta ekosistemnya yg langka atau keberadaannya terancam punah keberadaannya terancam punah

• Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yg prioritas & khas/endemik tertentu yg prioritas & khas/endemik

• Merupakan tempat aktivitas & kehidupan satwa migran √ √

• Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi & mendukung upaya perkembangbiakan jenis satwa

• Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yg mampu menyangga pelestarian zona inti & zona pemanfaatan

√ √

• Mempunyai daya tarik alam / formasi eksositem tertentu / geologi yg indah & unik

• Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi & daya tarik untuk pariwisata & rekreasi alam

• Kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan

• Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangun sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan

• Tidak berbatasan langsung dengan zona inti √


(31)

Lanjutan Tabel 1

Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)

Zona Taman Nasional Zona Inti Zona

Rimba Zona Pemanfaatan Zona Lain Zona Tradisional Zona Rehabilitasi Zona Religi, Bud.&Sejarah Zona Khusus

• Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat

• Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam tertentu yg telah dimanfaatkan melalui kegiatan perkembangbiakan, perbanyakan & pembesaran oleh masyarakat setempat

• Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya memerlukan campur tangan manusia

• Adanya invasi species yang mengganggu jenis dan spesies asli dalam kawasan

• Pemulihan kawasan dimaksud sekurang- kurangnya memerlukan waktu 5 tahun

• Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih

dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat √

• Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang maupun tidak

• Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan sebelum wilayah tsb

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional

• Telah terdapat sarana prasarana al telkom, fasilitas transportasi & listrik sebelum wilayah tsb

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional

√Kriteria penetapan zona bersangkutan


(32)

Tabel 2. Hak Agraria dalam Konteks Akses, Pemanfaatan dan Kontrol atas Taman Nasional

Sumber : Adiwibowo, et al, (2008) dengan beberapa modifikasi

Keterangan :

A. UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

B. PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

C. PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam D. PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan Liar dan Satwa Liar

E. PP No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Jenis akses/kontrol di dalam taman nasional menurut UU No 5/1990, UU No

41/1999 & peraturan pelaksanaanya

Hak Agraria Berdasarkan UUPA 1960 Hak Pengusahaan Pariwisata Alam Dasar Hukum Hak Milik Hak Guna Usaha & Hak Guna Bangunan Hak Sewa Tanah Hak Membuka Tanah Hak Memungut Hasil Hutan Hak Pakai

Mengunjungi taman nasional (berkunjung, berkemah, mendaki, hiking)

- - - -

√ E

Pengkajian, penelitian, dan

pengembangan

- - - -

D

Mengelola usaha pariwisata alam di

zona pemanfaatan & zona lain

- - - - -

C

Memungut hasil hutan (tumbuhan liar & penangkapan satwa liar) utk kegiatan penangkaran

- - - -

-

D

Perburuan satwa liar untuk keperluan olah raga buru atau perburuan tradisional

- - - -

-

D

Memungut tumbuhan & satwa liar yang

tidak dilindungi untuk perdagangan

- - - -

- -

D


(33)

terbatas sifatnya dan dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas ekosistem kawasan konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan telah merubah struktur dan relasi agrarian masyarakat sekitar hutan yang telah lama berinteraksi dengan hutan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan telah menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya hutan terutama sumberdaya lahan. Padahal jika kita melihat ke belakang, keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang memanfaatkan sumberdaya lahan di kawasan taman nasional sebagai sumber penghidupan tidaklah serta merta muncul begitu saja. Mereka sudah di sana dalam waktu yang lama. Interaksinya dengan hutan telah membentuk identitas, budaya, kebiasaan, dan tata nilai yang dipegang teguh dan dihormati masyarakatnya dalam kurun waktu yang amat panjang.

Pada dasarnya UUPA berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat, namun sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja tetapi juga menjadi hak bangsa Indonesia. Maka sebagai implikasinya pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA). Dalam perjalanannya, konstruksi hukum Pasal 3 UUPA plus Hak Menguasai dari Negara ini (Pasal 2 UUPA) justru menjadi “kendaraan” yang efektif bagi para penyelenggara negara untuk mengubah, menggunakan atau memanfaatkan secara sepihak tanah-tanah ulayat atau hutan ulayat atas nama program pembangunan. Sehingga ketika tanah ulayat tersebut akan digunakan untuk kepentingan nasional, negara atau bahkan global, warga masyarakat yang mempunyai Hak Pakai atas sebagian tanah ulayat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan negara. Hal ini tampil kuat dalam UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (kini telah diganti dengan UU No 41 Tahun 1999). Melalui UU No 5 Tahun 1967, Departemen Kehutanan secara sepihak dapat menetapkan 61 persen wilayah daratan Indonesia (sekitar 120 juta hektar) sebagai kawasan hutan


(34)

negara dengan alokasi untuk hutan produksi, lindung dan konservasi (Adiwibowo et al., 2008).

2.5. Tantangan Pengelolaan Taman Nasional ke Depan

Perubahan sistem penguasaan sumberdaya hutan sebagai dampak dari berubahnya institusi pengelola menyebabkan berubahnya pola penguasaan dan kepemilikan lahan hutan. Sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat secara “bebas” dapat mengakses sumberdaya hutan dan lahan, namun hal tersebut berubah ketika kawasan tersebut menjadi taman nasional. Perubahan dari de-facto customary property regime ke de-jure state

common property regime ini membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan

masyarakat sekitar hutan. Akses, pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria di kawasan hutan yang semula merupakan hubungan hak ulayat yang bersifat tradisional digantikan dengan hubungan hak yang mempunyai relasi dengan konservasi modern, yakni: kunjungan ke taman nasional; pengkajian, penelitian dan pengembangan; memungut hasil hutan (tumbuhan liar dan penangkapan satwa liar) untuk keperluan penangkaran, olah raga buru atau perburuan tradisional, memungut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi untuk perdagangan, dan mengelola usaha pariwisata alam di zona pemanfaatan.

Perubahan rejim penguasaan kawasan hutan ini membawa konsekuensi putusnya hubungan hak ulayat antara masyarakat dengan hutan yang telah terjalin sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan penetapan zonasi-zonasi pengelolaan yang masih bias dan lebih banyak dilakukan secara sepihak serta kurang dikonsultasikan dengan masyarakat, padahal hal ini memiliki implikasi yang sangat besar. Akibatnya, seperti yang selama ini terjadi, muncul konflik yang berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan pengelola taman nasional. Disinilah dituntut peran strategis pengelola taman nasional dan pemerintah dalam menyeimbangkan trade off antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan global. Sehingga menjadi tantangan kita bersama bagaimana mewujudkan taman nasional yang dapat menjalankan fungsinya dalam melindungi keanekaragaman hayati sekaligus memiliki kemanfaatan yang lebih luas bagi segenap lapisan dan golongan masyarakat dengan memperhatikan


(35)

riwayat sosio-agraria yang telah terjalin jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.

2.6. Teori Akses

Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (“the right to benefit from things”). Akses dalam definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a

bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses

sebagai“sekumpulan hak” (“a bundle of rights”). Kekuasaan, menurut Peluso, terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-ubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda.

Individu dan institusi yang menguasai akses terhadap sumberdaya, berusaha untuk selalu memelihara posisi dan keberadaannya agar tetap memiliki kontrol dalam mengakses sumberdaya tersebut. Analisis akses akan membantu kita untuk memahami mengapa beberapa individu atau institusi mengambil manfaat dari sumberdaya, baik memiliki hak atau pun tidak memiliki hak dalam mengakses sumberdaya tersebut. Hal ini merupakan perbedaan yang mendasar antara analisis akses dan properti. Jika dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya, namun tidak terbatas pada relasi properti.


(36)

2.6.1. Teori Akses: Meletakkan Hak Milik pada Tempatnya

Salah satu penulis memberikan pandangan bahwa hak milik merupakan hak yang berdasarkan atas wewenang dan sanksi hukum; pandangan lain menyatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang muncul secara alamiah (hak alamiah). Meskipun kedua pandangan tersebut sepintas tampak bertentangan namun pada dasarnya keduanya saling mendukung dan berkorelasi membentuk suatu doktrin yang disebut dengan hak milik

Apa itu hak milik (property right)? 1849 (Proudhon 1993:13)

Lebih dari 150 tahun setelah istilah ini dikemukakan, Proudhon mulai untuk mempertanyakan bagaimana melakukan analisa terhadap hak milik. Di dalam teori akses, terdapat perbedaan batasan dari property itu sendiri., dimana terdapat beberapa perbedaan kunci antara kedua terminology tersebut.. Kita menggambarkan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Macpherson (1978) dalam Peluso (2003) mengidentifikasi bahwa hak milik merupakan "... suatu hak dimana seseorang dapat mempergunakan sumberdaya atau mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut…”. Suatu hak dapat dilaksanakan jika diakui dan didukung oleh masyarakat, hukum, dan adat kebiasaan. Istilah "manfaat" secara umum memiliki makna yang sama baik pada definisi hak milik dan akses. Teori hak milik dan akses sama-sama membahas bagaimana hubungan para aktor/individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya serta posisi/kedudukan mereka terhadap sumberdaya tersebut. Manfaat dari sumberdaya sangatlah penting bagi individu, institusi, dan masyarakat dalam mempertahankan hidup dan untuk itu mereka saling berinteraksi satu sama lain membentuk kerjasama atau bahkan kompetisi di dalam upaya mendapatkan sumberdaya yang bersangkutan.

Perbedaan mendasar antara akses dan hak milik adalah pada istilah "kemampuan (ability)" dan "hak (right)". Kemampuan menggambarkan suatu kekuasaan, yang bermakna: 1) kapasitas para aktor dalam menguasai dan mempengaruhi orang lain, dan 2) kekuasaan tidak hanya dipandang sebagai kemampuan dalam memberikan pengaruh terhadap orang lain. Kekuasaan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dan selalu muncul sebagai konsekuensi dari proses interaksi sosial, dimana satu sama lain berusaha untuk saling


(37)

mempengaruhi. Peraturan yang terbentuk dari kekuasaan dapat meyakinkan orang untuk bertindak sesuai dengan aturan tanpa adanya paksaan (Foucault 1978a, 1979 dalam Peluso 2003).

Akses adalah segala sesuatu yang mungkin digunakan oleh individu dalam memperoleh manfaat dari sumbedaya. Hak milik secara umum didapat dari pengakuan social ataupun diperoleh dari pengakuan yang bersumber peraturan dan kesepakatan yang telah diketahui besama baik dalam bentuk hokum, perjanjian, ataupun adat kebiasaan. Pemilik hak menikmati keberadaannya dalam tingkatan sosial yang memilki kemampuan untuk mengakses sumberdaya. Hak biasanya selalu berasosiasi dengan hukum, kebiasaan, dan konvensi tetapi tidaklah selalu sepadan keberadaannya. Akses secara tidak langsung dapat merupakan aktivitas yang dilakukan oleh individu walaupun tidak sesuai dengan hak miliknya dan atau norma sosial serta kesepakatan yang ada.

Hampir sebagian besar literatur yang berkembang dalam lingkup hak milik bersama dan penguasaan sumberdaya menunjukkan bahwa hukum (baik lisan atau tulisan, resmi atau tidak resmi) tidak sepenuhnya menggambarkan secara jelas semua bentuk dan jalan yang digunakan individu, institusi, atau organisasi dalam mengakses sumberdaya dalam kondisi yang kompleks dan jaring kekuasaan yang tumpang tindih diantara para aktor tersebut.

Dalam beberapa dimensi akses, akan dibahas secara mendalam atau melihat secara lebih luas studi mengenai hak kepemilikan (property). Hak milik dalam sebagian besar literatur cenderung dihubungkan pada istilah “kepemilikan”, tetapi hal tersebut telah berubah secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan istilah “relasi hak milik” dan “penguasaan” hanya mengkaji hubungan sumberdaya kepemilikan dan kendali hukum yang dijalankan oleh institusi sosial terkadang memiliki posisi lebih besar peranannya dibandingkan hak kepemilikan yang diatur oleh hukum negara. Membahas konsep hak milik dan penguasaan untuk menempatkan hak milik dalam akses merupakan satu set dari gabungan faktor dalam aras yang luas didalam institusi, hubungan sosial politik dan ekonomi, dan membentuk jaring yang kompleks dan tak beraturan dalam membentuk aliran manfaat sumberdaya. Beberapa kegiatan


(38)

dalam mengakses sumberdaya terkadang tidak sah atau tidak terlegitimasi hukum yang berlaku (ilegal). Karenanya, analisis akses harus memperhatikan hak milik secara holistik, termasuk tindakan ilegal, hubungan hasil, hubungan kepentingan, dan sejarah terjadinya akses itu sendiri (Peluso, 2003).

Berdasarkan uraian di atas maka teori akses dapat digunakan untuk: 1) mengidentifikasi dan memetakan aliran manfaat dari sumberdaya; 2) mengidentifikasi mekanisme para aktor berbeda dalam mengendalikan dan memelihara aliran manfaat beserta distribusi dari sumberdaya yang diakses; dan 3) menganalisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan para aktor dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Analisa akses terhadap sumberdaya pada awalnya membutuhkan identifikasi manfaat yang diperoleh dari sumberdaya yang diakses (Peluso, 2003).

2.6.2. Mekanisme Akses

Di dalam mekanisme akses, terdapat dua kategori dasar perilaku dan tindakan individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya, yaitu 1) mekanisme akses secara legal berdasarkan hak kepemilikannya (berkesesuaian dengan hokum, kesepakatan, ataupun norma socsal), dan 2) mekanisme akses secara ilegal atau tidak sah.

a. Akses yang Berdasar Atas Hak Milik (Legal Access)

Legal akses terbentuk ketika kemampuan para aktor dalam mengakses manfaat atas sumberdaya berkesesuaian dengan peraturan, kesepakatan, dan adat kebiasaan yang pada saat ini disebut sebagai milik (property) (MacPherson, 1978 dalam Peluso, 2003). Hak tersebut dimiliki oleh para pemegang hak yang dilegitimasi oleh komunitas sosial, pemerintah dan bentuk konvensi lainnya yang muncul dalam kerangka pengakuan hak/klaim. Hukum dasar dari hak milik ini memberikan akses kepada individu untuk melakukan apapun dalam memanfaatkan sumberdaya, sampai memindahtangankan sumberdaya tersebut kepada orang lain. Hanya saja, bentuk legal akses yang berdasarkan pada aturan sosial atau kesepakatan biasanya tidak secara kuat mengikat dan memaksa para aktor untuk mengikuti mekanisme yang legal dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya.


(39)

Namun terkadang kebijakan atau peraturan yang ada tidak secara jelas menggambarkan batasan kekuaaan para aktor dalam mengakses sumberdaya, sehingga pada akhirnya akan bermuara pada konflik. Sebagai contoh,hal ini dapat ditemukan dalam bentuk pengelolaan sumberdaya secara bersama dimana batasan hak dan akses tidak jelas. Atas nama desentralisasi atau partisipasi, pendekatan manajemenen kolaborasi yang didasarkan pada pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya ternyata tidak berhasil mengakomodir hak penduduk local di sekitar hutan dalam mengakses sumberdaya hutan (Sundar dan Baviskar 2001 dalam Peluso, 2003). Sehingga peraturan yang legal yang mengatur akses pada akhirnya tidak memberikan hak masyarakat lokal dan menjadikan sumberdaya negara dalam hal ini hutan menjadi close access bagi masyarakat atau masyarakat dipaksa untuk tunduk pada aturan yang telah ditetapkan.

b. Akses Ilegal (Illegal Access)

Ilegal akses merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya yang bertentangan dengan peraruran ataupun kesepakatan yang telah ditentukan. Illegal akses biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak sesuai dengan kaidah atau dilakukan secara terpaksa karena terbatasnya ruang dalam mengakses sumberdaya. Tujuannya adalah untuk mengendalikan, memelihara dan mengontrol akses terhadap sumberdaya. Ilegal akses terbentuk dari berbagai macam sumber misalnya karena adanya paksaan terhadap suatu kelompok masyarakat dan membatasi mereka dalam mengakses sumberdaya, biasanya bila tidak dikendalikan akan menimbulkan konflik dan berujung pada kekerasan, karena masing-masing pihak berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dalam mengakses sumberdaya (Peluso, 2003).

2.7. Hak Milik (Property rights)

Hak milik atau property rights merupakan hak yang dimiliki oleh individu, masyarakat, negara atas sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Property right merupakan institusi, karena di dalamnya


(40)

mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990). Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah.

Dalam banyak hal hak kepemilikan (property right) merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat (dan negara). Implikasinya: 1) Hak seseorang adalah kewajiban orang lain, 2) Sumber kekuatan untuk akses dan control terhadap sumberdaya (Hanna, 1996).

Bentuk “property regime”dapat bermacam-macam:

1. Private property (milik pribadi)

2. State property (milik negara)

3. Communal (common) property (milik komunal– adat, ulayat, dan lainnya)

4. Public property (milik umum)

5. Open access property (akses terbuka)

Turner (1994) mengatakan bahwa struktur hak kepemilikian yang dapat menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien mempunyai empat karakteristik sebagai berikut:

1. Universality ; seluruh sumberdaya dimiliki secara individu dan seluruh

hak-hak atas penggunaan sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas

2. Exclusivity ; seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh

dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung atau dinikmati oleh pemiliknya.

3. Transferability ; hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan secara

sukarela dari satu pemilik ke pemilik yang lain

4. Enforceability ; hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan adanya

gangguan dari pihak lain.

Secara umum karakteristik dan bentuk property regime beserta implikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.


(41)

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan property rights (Eggertsson, 1990) :

a. Penerima hak dapat menginternalisasikan biaya dan manfaat dari kegiatannya.

b. Hak terdefinisi dengan jelas, pasti dan segala persengkataan dapat diselesaikan dengan biaya yang murah. Kepastian hak mendorong seseorang untuk meningkatkan sediaan (stock) barang modalnya.

c. Struktur hak dapat menekan biaya pengukuran manfaat dan biaya transaksi.

d. Negara dapat menjamin kepemilikan hak.

2.8. Konflik

Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi.

Fisher et al. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai

sebab-sebab konflik adalah:

1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan

oleh polarisasi yang terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh

posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.


(42)

Tabel 3. Karakteristik Property Righst dan Implikasinya

Jenis Hak Kepemilikan

Contoh Pemenuhan Syarat/Karakteristik

Kelemahan yang perlu diperhatikan

Implikasi

1 2 3 4

Private property

(Milik Pribadi)

Tanah, mobil, rumah,SHM

+ + + + - Eksternalitas

- Kualitas SDM

- pengaturan pemanfaatan - penguatan SDM

Communal (common) property

Hak adat/ulayat, tanah desa

- + + + - Kesepakatan Internal

- Optimum group size

- pembangunan dan penguatan institusi local (community)

Public property

(Milik umum)

Taman,jalan, sungai,udara

- - - - - Sulitnya aksi bersama

- Free riders

- pembangunan dan penguatan institusi local (community) - Eksternal-coercion

State property (Milik

Negara)

Hutan,tambang, laut,dll

- - +/- +/- - Enforcement cost

- Dana terbatas - Sentralistik

- Good governance

- Law structures, makin process, interval of acceptances - Law enforcement

Open access property

(Akses terbuka)

Semua B/J yang tidak terawasi dengan baik

- - - - - over demande, lack supplied

- milik Negara rentan menjadi open access

- Mereduksi-mengeliminasi kehadiran sumberdaya open access

:

Keterangan :

1. Universality 2. Exclusivity 3. Transferability 4. Enforceability


(43)

3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.

4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas

yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.

5. Teori kesepahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan

oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh

masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.

Menurut Tadjudin (2000) sumber konflik adalah perbedaan. Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada berbagai tataran, misalnya:

1. Perbedaan persepsi 2. Perbedaan pengetahuan 3. Perbedaan tata nilai 4. Perbedaan kepentingan

5. Perbedaaan akuan hak “kepemilikan”

Perbedaan akuan untuk akses dan kontrol sumberdaya alam dan perbedaan kepentingan mewarnai banyak konflik yang terjadi dalam pengelolaan kawasan taman nasional di Indonesia.

Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah:

1. Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak


(44)

kutub konflik seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun.

2. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya belum berkembang.

3. konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu.

Sedangkan menurut level permasalahannya, terdapat 2 jenis konflik yaitu

konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak

yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapa lawan sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

Menurut Fisher (2000) konflik berubah setiap saat, melalui hubungan berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik, yaitu:

1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.

2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak.


(1)

Bentuk konsensus tersebut dapat dituangkan dalam kesepakatan konservasi diantaranya adalah bahwa masyarakat dapat tetap mengakses kebun kopi yang berada di dalam kawasan tetapi memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

1.Tidak memperluas kebun kopi atau kebun baru di kawasan,

2.Tidak noleh memperjualbelikan lahan di kawasan dengan segala bentuknya (ganti rugi, dan lain-lain),

3.Menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan,

4.Jumlah penduduk di dalam kawasan tidak boleh bertambah

5.Melakukan usaha rehabilitasi pada lahan terbuka dengan menanam tanaman kayu seperti damar.

Untuk memastikan hal tersebut dapat berjalan maka pihak Balai Taman Nasional seyogyanya melakukan monitoring dan evaluasi setiap 3 bulan sekali untuk melihat apakah kesepakatan tersebut berjalan atau tidak. Jika memang ada kebun baru yang dibuka oleh masyarakat maka pihak Balai TN dapat melakukan tindakan pemusnahan tanaman dan masyarakat yang melakukannya dapat diproses secara hukum.

Dalam pasal 67 dan pasal 68 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebenarnya telah diatur bagaimana peranserta dan hak yang dapat diperoleh oleh masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan, hanya saja memang bentuk penekanannya lebih ditujukan pada kelompok masyarakat adat. Sehingga, agar mekanisme akses tersebut memiliki legalitas hukum maka perlu diusulkan kepada Direktorat Jenderal PHKA untuk membuat peraturan yang dapat mengakomodir akses kepada masyarakat tradisional yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. masyarakat secara turun-temurun telah berada di kawasan hutan, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, dan

b. masyarakat memiliki tingkat ketergantungan tinggi akan sumberdaya di kawasan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

Kemudian jika ditelaah lebih dalam perihal pasal 68 butir 3 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, sebenarnya terdapat celah kesempatan (windows


(2)

of opportunity) bagi pengelola kawasan dalam menyiasati permasalahan akses masyarakat. Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Hal ini membuka kesempatan kepada pengelola untuk memberikan akses kepada masyarakat ke dalam kawasan, tetapi akses tersebut hanya terbatas pada mengelola, memelihara, dan memanen tanaman kopi saja.

Kemudian proses pemberian akses ini seyogyanya memiliki batasan waktu, sehingga selama waktu yang diperbolehkan masyarakat memiliki kesempatan untuk mencari alternatif di luar kebun kopi sebagai sumber mata pencaharian. Batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk mengakses kawasan dapat mengadopsi pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu 35 tahun, dan dilakukan evaluasi setiap 5 tahun untuk menilai jalannya kesepakatan/konsensus dari mekanisme pemberian akses tersebut.


(3)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan telaahan yang telah diuraikan, ada beberapa kesimpulan penting yang diperoleh dalam studi ini. Merujuk pada tujuan penelitian yang pertama, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya alihfungsi kawasan TNBBS menjadi permukiman dan kebun kopi pada dasarnya terjadi karena proses panjang penguasaan sumber-sumber agraria di dalam kawasan oleh masyarakat sejak sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Kemudian besarnya investasi dan pendapatan dari usaha kebun kopi menyebabkan masyarakat tetap bertahan mengelola areal tersebut sampai saat sekarang.

2. Berkenaan dengan keberadaan permukiman dan kebun kopi, melalui studi ini teridentifikasi 3 (tiga) tipe pola akses yang terbentuk di Dusun Sidomakmur. Masing-masing tipe tersebut merupakan wujud fisik akses masyarakat dusun Sidomakmur dalam memperoleh, mengatur, mengontrol dan memanfaatkan sumberdaya yang berada di dalam kawasan taman nasional. Pola akses tipe A merupakan pola akses bagi talang/anak dusun yang memiliki wilayah permukiman di luar kawasan serta sebagian areal kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional. Kemudian pola akses tipe B dimiliki oleh talang/anak dusun yang sebagian wilayah permukiman berada di dalam kawasan dan seluruh areal kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional. Sedangkan pola akses Tipe C dimiliki oleh talang/anak dusun yang seluruh areal permukiman dan kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional.

3. Keberadaan areal permukiman dan pertanian tersebut tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan: a) masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut,jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, b) terjadinya perubahan rejim pengelolaan kawasan, dan c) penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan.


(4)

tetapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya laju perambahan dan kerusakan hutan saat ini tidak lepas dari dorongan kebutuhan masyarakat akan lahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, proses perpindahan kepemilikan lahan melalui bentuk jual beli lahan dengan dalih ganti-rugi (menyebabkan semakin meluasnya kebun kopi di TNBBS), serta lemahnya kapasitas pengelola dalam mengontrol dan memonitor sumberdaya di kawasan konservasi yang dikuasainya (kurangnya anggaran dan sumberdaya manusia Balai TN).

4. Berkenaan dengan relasi kekuasaan, terdapat 3 (tiga) pola relasi kekuasaan yang terbentuk yang muncul sebagai reaksi Balai Taman Nasional sekaligus merefleksikan relasi kekuasaan yang berlangsung antara Balai Taman Nasional dengan masyarakat setempat. Pola 1 terbentuk ketika Balai Besar TNBBS melakukan langkah penindakan dan pengendalian. Kemudian Pola 2 terbentuk ketika Balai Besar TNBBS melakukan program pembinaan daerah penyangga. Sedangkan Pola 3 terjadi ketika Balai Besar TNBBS akan melakukan upaya pemindahan atau resetelmen. Pada relasi kekuasaan yang membentuk Pola 1 dan Pola 3, mesyarakat merespon melalui reaksi protes dan penolakan. Jika pola relasi ini diteruskan maka dapat berujung pada perlawanan. Sedangkan Pola 3 cenderung lebih akomodatif dan direspon dengan baik oleh masyarakat.

5. Berkenaan dengan respon Balai Besar TNBBS, langkah penindakan dan pengendalian akses merupakan dua bentuk respon kekuasaan yang paling sering ditempuh oleh Balai Taman Nasional dalam menangani masalah pemukiman dan pertanian di dalam kawasan. Jika seluruh areal permukiman dan pertaniannya berada di dalam kawasan konservasi, maka resetelmen penduduk merupakan respon yang dipilih untuk ditempuh oleh Balai Taman Nasional. Hanya sangat disayangkan, respon yang umum ditempuh Balai Taman Nasional kepada pemerintah daerah yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh kawasan konservasi sering tidak memadai. Tidak ada upaya dari manajemen Balai atau Ditjen PHKA untuk melakukan kerjasama intens dan terencana dengan pemerintah daerah selain daripada upaya yang bersifat penyuluhan dan kegiatan-kegiatan yang bersifat ad-hoc saja. Pembangunan 3


(5)

(tiga) ruas jalan yang membelah kawasan pada tahun 2004 menunjukkan betapa konsensus atau kesepakatan yang mendeklarasikan kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi tidak berjalan secara konsisten dan sesuai dengan komitmen yang diharapkan.

Kemudian, merujuk pada tujuan penelitian yang kedua, berkenaan dengan alternatif strategi dalam merespon secara efektif konflik akses atas ruang di dalam kawasan TNBBS diperoleh sintesis untuk solusi sebagai berikut:

1. Balai Besar TNBBS disarankan untuk memperkenankan masyarakat agar dapat mengakses kebun kopi di dalam kawasan tetapi dengan ketentuan sebagai berikut: a) masyarakat tidak boleh membuka, memperluas, memperjualbelikan kebun kopi di dalam kawasan, b) jumlah penduduk di dalam kawasan tidak boleh bertambah. Apabila jumlah anggota masyarakat bertambah maka harus ada KK yang keluar dari kawasan taman nasional, dan c) masyarakat dapat melakukan kegiatan rehabilitasi lahan serta ikut aktif dalam usaha pengamanan kawasan.

2. Mekanisme akses ini diberikan kepada masyarakat Dusun Sidomakmur dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

a. masyarakat secara turun-temurun telah berada di kawasan hutan, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, dan

b. masyarakat memiliki tingkat ketergantungan tinggi akan sumberdaya di kawasan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

3. Pemberian akses ini harus memiliki batasan waktu, sehingga selama waktu yang diperbolehkan masyarakat didorong untuk dapat mencari alternatif sumber mata pencaharian di luar kebun kopi. Batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk mengakses kawasan dapat mengadopsi pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37/Menhut-II/2007tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu selama 35 tahun.

Dengan memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan diharapkan menjadi titik temu yang ideal antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat serta menjadi salah satu upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.


(6)

9.2. Saran

Berkenaan dengan strategi dalam merespon dan menangani masalah permukiman dan keberadaan kebun kopi di dalam kawasan, maka disajikan beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pengelolaan taman nasional ke depan. Adapun saran yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Perlu adanya perubahan paradigma pengelolaan kawasan taman nasional dari yang semula hanya memandang alam sebagai sesuatu yang arcadian kini harus menjadi lebih kontekstual sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi mastarakat setempat, terutama bagi mereka yang telah memiliki akses turun temurun terhadap taman nasional. Masyarakat yang sebelumnya dianggap sebagai penyebab utama terjadinya degradasi kawasan konservasi kini harus dipandang sebagi mitra penting dalam usaha pengamanan kawasan konservasi.

2. Balai taman nasional harus mengambil langkah proaktif dalam membangun, memantau dan mengevaluasi setiap kesepakatan-kespakatan yang dilakukan antara Balai Taman Nasional dengan masyarakat, Balai Taman Nasional dengan pemerintah daerah, perihal akses dan kontrol ke kawasan konservasi

3. Pelaksanaan tata batas kawasan, haruslah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dengan memetakan secara cermat riwayat, struktur akses, dan kondisi sosio-agraria masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar taman nasional

4. Perlu segera dibuat agenda rancang tindak secara sistematik yang memuat strategi dan kebijakan pengelolaan taman nasional yang dapat membangun perekonomian masyarakat serta menjembatani konservasi dengan pengembangan wilayah.