7.3.1. Relasi Kekuasaan yang Mengarah ke Konflik
Pola relasi kekuasaan yang mengarah ke konflik terjadi ketika Balai Besar TNBBS melakukan penindakan dan pengendalian terhadap masalah
perambahan dan pemukiman di dalam kawasan. Hal ini biasanya diterapkan pada talanganak dusun yang tergolong pada pola akses Tipe B Air Abang
Besar dan Sidomakmur dan Tipe C Talang Bukit dan Talang Air Kelat. Sebenarnya pada Talang Air Abang Kecil dan Kayu Are Tipe A, Balai Besar
TNBBS juga melakukan penindakan dan pengendalian hanya saja intensitasnya lebih rendah.
Balai Besar TNBBS melakukan berbagai upaya pengendalian dan penindakan dari upaya negoisasi, pemusnahan tanaman, penindakan secara
hukum, sampai dengan yang paling keras adalah membakar pondok-pondok penduduk yang terletak di dalam kawasan. Namun tentu saja hal tersebut apabila
terus dilakukan akhirnya dapat berujung pada konflik sebagai bentuk perlawanan dari warga kepada Polhut sebagai akibat dibakarnya pondok penduduk,serta
pencabutan dan pemusnahan tanaman kopi yang baru ditanam dan yang sudah siap panen. Hal ini diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan salah
seorang tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa: ”pada dasarnya kami sadar bahwa mungkin kami salah karena telah
berkebun di hutan lindung, tetapi kami kan telah ada sejak dulu, dan kenapa petugas asal bakar saja. Kami juga kan manusia yang punya
akal, ya di ajak bicara baik-baik dulu. Kalau begini terus perlakuan mereka pada kami, ya lama-lama kami juga bisa melawanberontak
”
Sumber: Tokoh 1
Sebelum semuanya bermuara menjadi konflik terbuka, maka diharapkan agar Balai Taman Nasional mengubah tindakan yang dilakukan dalam
menangani masalah perambah melalui operasi khusus ataupun operasi keamanan terpadu. Sehingga permasalahan ini dapat diselesaikan secara baik dan elegan.
7.3.2. Relasi Kekuasaan Berpotensi Tinggi untuk Konflik
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Balai Besar TNBBS akan melakukan tindakan memindahkan penduduk atau resetelmen yang
diprioritaskan pada anak dusun atau talang yang memiliki permukiman di dalam kawasan. Atau dalam hal ini diprioritaskan pada permukiman dan kebun kopi
yang tergolong dalam pola kases Tipe C. Sebenarnya Balai Besar TNBBS telah melakukan usaha penurunan perambah dari dalam kawasan sebanyak dua kali
yaitu: Penurunan perambah sebanyak 500 KK di R46B melalui operasi khusus
penurunan perambah pada tahun 2006. Penurunan perambah sebanyak 172 KK areal permbahan seluas 332 Ha dan
pemusnahan tanaman kopi seluas 15 Ha di daerah Pengekahan, Way Haru melalui Operasi pengamanan pada tahun 2007.
Namun usaha tersebut menoreh hasil yang jauh dari harapan. Masyarakat tetap saja kembali merambah kawasan untuk menanam kopi. Ketidakbehasilan
pemindahan penduduk ini berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang yang mengalami resetelmen dikarenakan beberapa faktor sebagai berikut:
1. ketidakcocokan pola pemukiman yang diharapkan; 2. mengalami penurunan tingkat pendapatan dibandingkan dengan pendapatan
di daerah asal; 3. daerah tujuan tidak memiliki sarana dan prasarana pendukung yang memadai
4. tumpang tindih kepemilikan lahan dengan penduduk lokal; 5. ketidakjelasan lahan usaha dan jaminan keamanan;
6. ketidakjelasan persepsi terhadap keberadaan TNBBS; dan 7. tidak mempunyai sumber mata pencaharian lain selain berkebun kopi.
Selain itu keterbatasan lahan budidaya di Kabupaten Lampung Barat mengakibatkan masyarakat kembali membuka lahan di kawasan untuk usaha
pertanian dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut salah seorang warga yang pernah mengalami tindakan pemindahan atau relokasi menyatakan:
“bagaimana mungkin kami dapat hidup kalau petugas hanya sekedar memindakan saja, sedangkan mata pencaharian kami adalah bertani.
Dan berkebun kopi dirasa lebih menguntungkan. Selain itu terbatasnya lahan garapan mempengaruhi kehidupan kami. Kalau terus bertahan,
kami sekeluarga mau makan apa? Ya akhirnya terpaksa kembali buka ladang di kawasan hutan”
Sumber: Tokoh 2
7.3.3. Relasi Kekuasaan yang Bersifat Akomodatif