Peraturan Perundang-undangan Konservasi TINJAUAN PUSTAKA

Akibatnya, pengelolaan berjalan tanpa arbitrase, tanpa komunikasi, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan selalu harus mengalah atau bahkan dikalahkan. Di dalam pengelolaan taman nasional hal tersebut pun tidak dapat diindahkan. Menurut Adiwibowo et al.,2008 disebutkan bahwa rentang kekuasaan Balai Taman Nasional diperoleh atau bersumber dari i kebijakan dan peraturan perundangan negara tentang kawasan konservasi juridical power, dan ii ilmu pengetahuan dan diskursus tentang konservasi keanekaragaman hayati knowledgediscourse power. Juridical power mengatur tindakan apa saja yang dilarang dan yang dibolehkan oleh negara forbidden vs allow. Sementara knowledgediscourse power memberi penilaian tindakan apa saja yang tergolong salah atau benar right vs wrong menurut ilmu pengetahuan atau diskursus konservasi. Untuk selanjutnya akan dipaparkan kebijakan dan peraturan perundangan yang menjadi landasan Balai Taman Nasional dalam mengelola kawasan taman nasional. Atas dasar ini masyarakat yang membuka atau berada di dalam kawasan konservasi baik berupa kegiatan pertanian dan permukiman dipandang sebagai perbuatan yang salah dan dilarang.

2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi

Istilah konservasi yang sekarang dikenal pada dasarnya merupakan hasil diskursus ilmu yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan dalam jangka waktu yang panjang sampai dengan sekarang. Istilah ini berawal muncul sebagai aktualisasi pertumbuhan romantisme Eropa pada awal abad ke 18 yang dipengaruhi oleh perkembangan perilaku baru yang berasal dari interpretasi religius ilmu pengetahuan. Kemudian pada akhir abad 19 muncul perkembangan yang bersifat progresif aksi-aksi pengawetan alam nature preservation. Dalam perkembangan selanjutnya, logika preservasi sering terjebak pada pandangan arkeologis yang cenderung melihat sumberdaya sebagai sesuatu yang statis dan harus diawetkan. Koreksi terhadap kekeliruan dasar logika preservasi ini kemudian memunculkan istilah baru yang diangap lebih relevan yaitu konservasi alam nature conservation yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis. dikatakan lebih dinamis karena di dalamnya tidak hanya terkandung makna pengawetan preservation, tetapi juga perlindungan protection dan pemanfaatan berkelanjutan sustainable use. Menjelang akhir 1990an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati biodiversity conservation. Menurut Adiwibowo et al. 2008, sebagai produk ilmu pengetahuan modern ada tiga hal yang melekat dalam istilah konservasi. Pertama, dalam konservasi senantiasa terkandung makna, ideologi, pengetahuan, dan simbol- simbol yang merefleksikan kepentingan dan kebutuhan manusia, akumulasi ilmu pengetahuan, dan kondisi alam itu sendiri. Kedua, dalam pengetahuan senantiasa melekat kekuasaan power, terlepas apakah pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan lokal indigenous knowledge, local knowledge, atau merupakan ilmu pengetahuan modern scientific knowledge. Ketiga, istilah konservasi keanekaragaman hayati dalam waktu singkat menjadi perhatian semua pihak sebagai akibat kampanye dan lobby yang intensif dari kalangan LSM internasional dan akademisi. Dari yang semula hanya merupakan ajang kepedulian peneliti dan akademisi diskursus pengawetan alam, kini menjadi ajang kepedulian pemerintah, LSM, pengusaha, dan bahkan lembaga-lembaga internasional. Konservasi keanekaragaman hayati kini telah menjadi diskursus global terutama semenjak dideklarasikannya Konvensi Keanekaragaman Hayati Convention on Biological Diversity. Dalam tesis ini, istilah konservasi dipandang sebagai produk ilmu pengetahuan yang didalamnya melekat kekuasaan power setelah istilah konservasi diwujudkan dalam bentuk konvensi dan peraturan perundangan- undangan yang bersifat mengikat, membatasi, dan mengatur akses terhadap sumberdaya alam yang berada di areal yang ditunjuk sebagai suatu kawasan konservasi. Salah satu bentuk kawasan konservasi yang bersifat membatasi dan mengatur akses para pihak atas sumberdaya yang ada di dalamnya adalah kawasan taman nasional, dimana kerangka pokok dari taman nasional berdasarkan kongres IUCN di New Delhi 1969 secara eksplisit menyatakan bahwa taman nasional merupakan ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia serta pihak pengelola memiliki power untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mengeliminasi eksploitasi atau okupasi diseluruh kawasan dan menerapkan perlindungan efektif effective protection, serta bentuk pemanfaatan kawasan taman nasional hanya ditujukan pada kondisi yang spesial untuk tujuan inspirasi, pendidikan, budaya, dan rekreasi. Meski disadari bahwa kerangka pokok taman nasional di atas belum tentu dapat diterapkan di semua negara namun secara prinsip batasan tersebut dapat diterima oleh sebagian besar anggota IUCN. Di Indonesia sendiri, penetapan dan pengukuhan taman nasional sendiri diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan lainnya baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ataupun Keputusan Menteri. Kriteria penetapan taman nasional diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dimana disebutkan bahwa kawasan taman nasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami 2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh 4. Memiliki keadaan alam yang asli alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam 5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kemudian di bawah ini akan dipaparkan beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berkaitan langsung dengan pengelolaan taman nasional. Pasal 30 : Taman nasional sebagai salah satu dari kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayai tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Pasal 31 : Di taman nasional dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Pasal 32 : Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain yang sesuai dengan keperluan. Pasal 33 : Taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya Konsekuensi dari arahan pengelolaan ini adalah : Pertama, taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti untuk keperluan perlindungan dan pelestarian, zona pemanfaatan untuk kegiatan penelitian, wisata alam, dan pendidikan, serta zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kedua, pengelolaan taman nasional menggunakan pendekatan konservasi ekosistem, yaitu pengelolaan ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh, dan tidak hanya terbatas hanya pada konservasi spesies. Hal ini secara nyata disebutkan dalam pasal 33, UU No. 5 Tahun 1990, bahwa taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya. Hal inilah yang kemudian membangun paradigma pengelolaan kawasan taman nasional. Paradigma yang memandang kawasan taman nasional sebagai suatu yang arcadian , yang memandang bahwa alam yang unik, khas, dan utuh harus diawetkan dan dilindungi serta terbebas dari sentuhan manusia. Cara pandang tersebut membawa konsekuensi bahwa akses yang bersifat memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa, serta mengubah bentang alam untuk berbagai keperluan termasuk pertanian dan permukiman harus dilarang. Dalam konstruksi arcadian ini perbuatan atau akses yang diperbolehkan adalah pengawetan dan perlindungan keanekaragaman hayati, penelitian, pendidikan, pembinaan habitat dan populasi satwa, pariwisata alam dan wisata alam terbatas. Pada Tabel 1 dipaparkan kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman nasional yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

2.4. Undang-Undang Pokok Agraria