II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konservasi Sumberdaya Alam
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang
terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Definisi konservasi alam di kedua peraturan perundang-undangan tersebut mirip, meski berbeda penekanannya. Di UU No. 51990 lebih ditekankan di
sumberdaya alam hayati; sedangkan di UU No. 231997 penekanannya pada sumberdaya yang terbaharui atau tak terbaharui. Istilah hayati menunjukkan
makhluk hidup, dan lawan katanya adalah non hayati atau benda mati tak hidup. Istilah terbaharui dan tidak terbaharui menyangkut sifat sumberdaya yang dapat
atau tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan lagi, tidak menyangkut hayati atau non hayatinya.
Kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 adalah melalui:
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti hutan lindung, hutan mangrove, sempadan sungai; sempadan pantai;
2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan ekosistemnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut dijabarkan dari Strategi Konservasi Dunia World Conservation Strategy, untuk menunjukkan pentingnya pelestarian
sumberdaya alam yang terpulihkan bagi pembangunan berkelanjutan yang dapat dicapai melalui cara MacKinnon et al. 1993:
1. Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan;
2. Melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat
tanaman dan hewan budidaya. Selain itu hal ini penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya
sejumlah besar industri yang menggunakan sumberdaya alam. 3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh
manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri.
Menurut Suporahardjo 2005 bahwa prinsip pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada co-ownership, co-operation, coresponsibility:
1. Prinsip Co-ownership
Kawasan yang akan dikembangkan untuk Kawasan Konservasi adalah milik bersama, pemanfaatan dan perlindungan dilaksanakan
bersama berdasarkan pada nilai kearifan teknologi dan budaya lokal. 2.
Prinsip Co-operation Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, dilakukan dengan prinsip
mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seluruh para pihak.
3. Prinsip Co-responsibility Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, kegiatan perlindungan
dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan para pihak.
Definisi, prinsip, dan kategorisasi pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditentukan oleh IUCN sebenarnya merupakan hal yang bersifat “netral”
yang berarti bahwa bentuk dan kategorisasi pengelolaan tersebut tergantung pada pemilik kawasan atau badan otoritas pengelola kawasan konservasi. Dengan kata
lain, sumberdaya alam yang termasuk ke dalam enam kategori pengelolaan kawasan dilindungi dapat dimiliki danatau secara langsung dapat dikelola oleh
Negara, lembaga swadaya, kepemilikan bersama, baik dalam bentuk pengelolaan sendiri ataupun kombinasi.
Di dalam pengelolaan kawasan konservasi, Grazia Borrini-Feyerabend 2007, menyatakan suatu konsep yang relatif baru dalam ranah konservasi yaitu
konsep “kepengurusan kawasan dilindungi Governance Protected Areas. Istilah “kepengurusan” mencakup kekuatan, hubungan, hak, responsibilitas, dan
akuntabilitas. Beberapa mendefinisikan itu sebagai “interaksi antar struktur, proses, dan tradisi yang mempengaruhi bagaimana kekuasaan diuji,bagaimana
keputusan diambil dalam menangani isu utama, dan bagaimana masyarakat serta para pihak berperan di dalam pengelolaan”. Di dalam konteks kawasan
konservasi, bentuk kepengurusan sumberdaya mencakup tataran topic yang luas, mulai dari kebijakan sampai dengan praktek; dari perilaku sampai dengan
pengertian; dan dari investasi sampai dengan dampak. Hal ini berpengaruh pada keberhasilan dan efektifitas pengelolaan kawasan serta keadilan pengelolaan
dalam hal pembagian biaya dan distribusi manfaat sumberdaya kawasan. Hal tersebut merupakan kunci didalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial
yang sering muncul di dalam pengelolaan kawasan konservasi. Perbedaan mendasar dari bentuk-bentuk kepengurusan dalan pengelolaan
kawasan konservasi terbentuk dari “ siapa yang memegang secara de facto otoritas pengelolaan berdasarkan peraturan perundangan, hukum adat, ataupun hak kelola
yang dilegitimasi oleh aturan lainnya. Merujuk hal diatas, maka terdapat empat tipebentuk dasar di dalam kepengurusan kawasan konservasi Grazia Borrini-
Feyerabend, 2007 yaitu: 1. Government Managed Protected Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan
konservasi dimana otoritas pengelolaannya dipegang oleh pemerintah misalnya melalui KementrianDirektorat PHKABalai Taman Nasional.
2. Co-Managed Protected Areas, yaitu pengelolaan kawasan dengan melibatkan para pihak baik organisasi formal ataupun non formal, baik
pemerintah ataupun lembaga swadaya NGO dimana bentuk pengelolaannya dikenal dengan istilah “kolaborasi manajemen”. Dalam
pelaksanaan pengelolaan, para pihak bersama-sama membentuk badan pengelola untuk memutuskan strategikebijakan pengelolaan kawasan. Co-
manajemen merupakan bentuk penguasaan kawasan yang mengedepankan demokrasi dan terjadi karena situasi yang kompleks. Kekuatan dari bentuk
ini bergantung pada komitmen bersama para pihak dalam menjalankan kesepakatankonsensus
3. Private Protected Areas, yaitu bentuk atau tipe penguasaan kawasan, dimana pengelolaannya dilakukan oleh individu, koperasi, lembaga
swadaya atau badan usaha bersama. Tipe penguasaan kawasan seperti ini pengelolaannya dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi non-profit
atau untuk memperoleh keuntungan profit melalui kegiatan ekowisata, perburuan, dan lain-lain, bergantung pada kebijakan pemilik hak kelola.
4. Community Conserved Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan konservasi oleh masyarakat lokal dengan berdasarkan kearifan tradisional
dan hak ulayathukum adat. Dengan demikian, maka pengelolaannya berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan adat
dan kesepakatan tradisional dari masyarakat lokal yang bersangkutan.
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi