Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai kawasan hutan dan fungsi hutan akan mempengaruhi sikap mereka terhadap hutan yang kemudian akan
tercermin pada interaksinya pada hutan, terutama kaitannya dengan aktivitas perambahan lahan hutan yang mereka lakukan Fakultas Kehutanan IPB, 1977.
Menurut Ginting 1972 dalam Yani 1995 perladangan merupakan salah satu pilihan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa alasan utama yaitu
teknologi yang sederhana dan sudah dikuasai masyarakat setempat serta intensitas penggunaan tenaga kerja rendah yang sangat cocok untuk daerah yang
kurang penduduknya. Ada 2 dua tipe sistem perladangan di Indonesia saat ini, yaitu tipe perladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal
menetap di dalam kawasan hutan dan tipe peladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal menetap di luar kawasan hutan Suwardjo, 1993.
Mirip dengan tipe perladangan yang dikemukakan oleh Suwardjo, Greenland 1974 dalam Srivasta 1986 dalam Yani 1995 juga membedakan peladang
berupa perpindahan peladang yang diikuti dengan perpindahan tempat tinggal. dan perpindahan peladang yang tidak selalu diikuti dengan perpindahan tempat
tinggal.
2.11. Partisipasi dan Kolaborasi
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber mata
pencaharian, dengan demikian pengelolaan hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar hutan Rahadjo, 2003.
Pendekatan partisipaif merupakan proses pembelajaran dialogik mutual learning dan societal guidance.
Yang sebenarnya sudah diterapkan sejak dahulu. Para pihak termasuk masyarakat lokal dilibatkan perannya mulai proses
perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan dan evaluasi secara aktif serta diberikan keleluasaan untuk menambil keputusan yang terbaik menurut harapan
dan kepentingan sesuai dengan koridor yang disepakati bersama Setiamihardja, 2003.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar untuk menggabungkan diri mendukung dan menyukseskan kegiatan konservasi,
pelestarian hutan dan lingkungan hidup Zain,1997.
Menurut Rahardjo 2003 partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan
. Tanpa partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil pembangunan berarti masyarakat tidak naik tingkat hidup atau tingkat
kesejahteraannya. Partisipasi dalam pembangunan dibagi menjadi lima jenis yaitu:
1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input
tersebut dan ikut menikmati hasilnya, 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya,
3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung,
4. Menikmatimemanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input
, 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati
hasilnya. Menurut MacKinnon et al. 1993, pengelola kawasan konservasi dapat
melindungi kawasannya sendiri dari ancaman dan kerusakan yang tak alami, tetapi kebijakan ini tidak mungkin berjalan dan terjamin untuk jangka panjang
tanpa dukungan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Keberhasilan pengelolaan
banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat
setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat menggagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu
yang positif manfaatnya, masyarakat setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan.
Hal yang penting dalam menumbuhkan kerjasama dan peran serta masyarakat ini melalui kepercayaan sosial social trust. Antara komunitas
setempat dan pengelola harus ada kepercayaan tentang manfaat yang mereka peroleh dari interaksi di antara mereka.
Gray dalam Suporahardjo 2005 mengingatkan bahwa para aktor yang
mengusahakan suatu kolaborasi agar mengantisipasi dan membuat evaluasi atas kemampuannya mengatasi kenyataan dan potensi kendala-kendala yang
mungkin dihadapinya. Beberapa kondisi yang menyebabkan tingkat keberhasilannya rendah, yaitu ketika:
1. Konflik berakar dari perbedaan ideologi, 2. Suatu stakeholder mempunyai power untuk melakukan aksi sepihak ,
3. Legitimasi pelaksana pertemuan tidak ditemukan, 4. Isu-isu terlalu mengancam karena adanya pertentangan sejarah,
5. Intervensi yang dilakukan sewcara berulang namun tidak efektif, 6. Pemeliharaan hubungan antar organisasi disamakan dengan biaya yang
besar bagi mitra. Langkah-langka yang dapat dilakukan dalam membangun strategi
pencapaian manajemen kolaborasi yang efektif, dapat di uraikan sebagai berikut: 1. Kolaborasi dapat berjalan dengan sukses bila berhasil membangun
”common ground” pandangan yang sama; kemitraan akan sukses jika
memberikan penekanan pada kepentingan bersama atau menemukan cara menjembatani kecocokan kepentingan yang masih berbeda,
2. Pentingnya menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi, 3. Pentingnya melibatkan stakeholder kedalam proses interaksi yang
intensif, bukan hanya pada tataran produk akhir. Agar keputusan yang dibuat dapat menjadi efektif dan mewakili seluruh kepentingan
stakeholder, 4. Pentingnya mengatasi permasalahan dengan menggunakan cara-cara
baru dan kreatif yang didasarkan pada positifisme dalam mempertimbangkan jalan keluar dari suatu problem,
5. Pentingnya meningkatkan kepekaan terhadap tanggung jawab dan komitmen dari para stakeholders.
Menurut Birner dan Mappatoba 2002, ada tiga orientasi nilai dan ideologi yang mendasari keterlibatan para pihak dalam proses pembentukan
kesepakatan konservasi, yaitu: 1 orientasi “konservasionis”; 2 orientasi “developmentalism”; dan 3 orientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat”.
Berdasarkan perbedaan orientasi tersebut, maka pihak yang bersifat “konservasionis” pasti menekankan konservasi alam sebagai prioritas tujuan.
Namun berdasarkan pengalamannya, para organisasi konservasi ini semakin melibatkan aktivitas-aktivitas pembangunan pedesaan ke dalam agenda mereka
karena menyadari bahwa aktivitas semacam itu di zona penyangga dapat mendukung mencapai tujuan-tujuan konservasi secara lebih baik. Sedangkan
pihak yang berorientasi pada wacana ”developmentalism” menempatkan kemiskinan, peningkatan populasi, dan kurangnya teknologi tepat guna sebagai
penyebab utama atas perusakan sumber daya alam. Organisasi dengan orientasi ini memfokuskan pada penyuluhan pertanian, transfer teknologi dan
pembangunan infrastruktur. Teknik-teknik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan secara ekologis dan isu-isu seputar konservasi alam kian menjadi
bagian dari program-program organisasi developmentalis, baik karena kebutuhan untuk melindungi basis produksi dalam jangka panjang maupun sebagai indikasi
perluasan orientasi nilai dari organisasi ini. Akhirnya dalam wacana “eko-populis”, isu-isu ekologi ditempatkan
dalam konteks advokasi atas hak-hak komunitas lokal dan komunitas adat. Pihak-pihak dengan orientasi ini menganggap komunitas lokal sebagai penjaga
alam yang sebenarnya dan lebih memberi kepercayaan kepada institusi-instusi tradisional pengelolaan sumber daya alam. Sejalan dengan perbedaan orientasi
nilai dan ideologi di atas, maka pihak-pihak yang berorientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat” akan memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang
bercorak pengakuan akses masyarakat kepada Taman Nasional. Sebaliknya, pihak-pihak dari dua orientasi nilai dan ideologi yang berbeda cenderung untuk
memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang bercorak pengendalian akses kepada Taman Nasional, dengan memberi aneka insentif pembangunan
dan aktivitas ekonomi di luar kawasan Taman Nasional.
Implikasi adanya perbedaan mendasar tersebut, memunculkan dua macam kesepakatan konservasi yang sangat berlainan satu sama lain, baik dalam
hal pihak yang menjadi sasaran, proses pembentukan, cakupan kesepakatan hak dan tanggung jawab, maupun program-program pembangunan yang menyertai.
Penjelasan mengenai perbedaan dua model kesepakatan konservasi ini dapat
dilihat pada Tabel 4.
41
Tabel 4. Karakteristik Model Kesepakatan Konservasi dengan Masyarakat Adiwibowo, et al., dengan beberapa modifikasi
Atribut Kesepakatan Konservasi yang Bersifat Mengakui
Akses Masyarakat ke TN Model 1 Kesepakatan Konservasi yang Bersifat
Mengendalikan Akses Masyarakat ke TN Model 2
InstansiLembaga yang menjadi Fasilitator Instansilembaga yang berorientasi “eko-populis” dan
“advokasi” Instansilembaga yang berorientasi konservasionis atau
developmentalis. “Logika” di balik upaya membangun
Kesepakatan Konservasi Komitmen konservasi yang ditegakkan dan dilaksanakan
oleh lembaga adat menurut aturan dan kearifan adat, sebagai bagian dari strategi untuk memperoleh kembali
hak akses terhadap sumber daya alam di dalam taman nasional
Komitmen untuk menyepakati dan melaksanakan aturan- aturan konservasi yang dirumuskan secara detail dan jelas
dalam bentuk pasal-pasal hukum, dan sebagai imbalannya disalurkan program-program pembangunan ekonomi dan
infrastruktur
Lingkup wilayah yang dipetakan • Yang dipetakan adalah wilayah kelola masyarakat adat
permukiman, hutan, ladang, sawah yang terletak baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional
• Peta mendeskripsikan tata ruang wilayah kelola adat dan pengaturan akses ke sumber daya alam di dalam
kawasan TN • Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan
melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS. • Yang dipetakan adalah batas administratif desa yang
terletak di dalam TN, diluar TN dan batas kawasan TN. • Peta mendeskripsikan pola penggunaan lahan desa
permukiman, ladang, sawah, baik yang berada di dalam maupun diluar kawasan TN
• Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS.
Institusi yang mewakili masyarakat dalam kesepakatan konservasi
Institusi-institusi tradisional, dalam hal ini lembaga adat Lembaga formal baru yang khusus dibentuk berkaitan
dengan pelaksanaan KKM, yaitu Lembaga Konservasi Pekon LKP
Aturan konservasi yang digunakan Aturan adat yang bersifat “nalar lisan”, tidak dirinci
secara tertulis dalam bentuk aturan-aturan yang terinci. Aturan baru yang dirumuskan kembali dari aturan adat
maupun aturan konservasi dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal yang rinci mengenai hak,
kewajiban dan larangan.
Pengesahan kesepakatan • Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah adat,
aturan dan kelembagaan adat terkait konservasi yang telah direvitalisasi.
• Ditanda-tangani oleh Kepala Balai Taman Nasional dan Lembaga Adat , tanpa pengesahan Camat.
• Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah kesepakatan, dan pasal-pasal kesepakatan konservasi.
• Ditanda-tangani oleh Lembaga Adat, Kepala Desa dan Ketua BPD, diketahui oleh Camat dan Kepala Seksi
Konservasi, dan kemudian disahkan oleh Kepala Balai Taman Nasional
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Keberadaan perkebunan kopi di dalam kawasan Taman Nasional, yang menimbulkan konflik antara Balai Taman Nasional dan masyarakat, pada
dasarnya merupakan bentuk pertarungan akses terhadap sumberdaya. Untuk itu, penelitian ini mencoba memahami mengapa fenomena tersebut terjadi sebagai
langkah penting untuk menghasilkan masukan-masukan yang bersifat membangun bagi kebijakan konservasi di masa mendatang. Merujuk pada teori
akses, penelitian ini dikonstruksikan dengan kerangka penelitian sebagai berikut: 1 Mengidentifikasi berbagai cara dan mekanisme yang digunakan oleh
aktor tertentu untuk memperoleh, mengontrol, memelihara dan mendistribusikan manfaat sumber daya dari aktor yang lain,
2 Menelaah relasi kekuasan yang timbul dikalangan para aktor tersebut dan implikasinya terhadap wujud fisik lansekap taman nasional
Merujuk pada kerangka penelitian research framework yang pertama, dalam studi ini ditelaah secara lebih spesifik: i sumber-sumber kekuasaan yang
digunakan oleh para aktor yang terlibat. Dalam hal Balai Taman Nasional, secara khusus ditelaah sumber-sumber kekuasaan untuk melarang atau
membolehkan suatu tindakan, serta salah atau benarnya suatu perbuatan di dalam kawasan taman nasional. Sementara dalam konteks masyarakat setempat
dicoba ditelaah sejauh mungkin sumber-sumber kekuasaan yang menyebabkan areal perkebunan kopi dapat tetap bertahan di dalam kawasan taman nasional;
ii bentuk-bentuk atau cara-cara yang digunakan para aktor untuk mempertahankan dan mengontrol manfaat sumber daya yang terdapat di dalam
kawasan taman nasional. Berkenaan dengan kerangka penelitian yang kedua, dalam studi ini
ditelaah: i bentuk-bentuk relasi sosialkekuasaan yang timbul dikalangan para pihak misal, pemindahan pemukiman, tindak kekerasan, kesepakatan
konservasi sebagai refleksi konflik kepentingan antar aktor dalam akses dan