ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAGI PENGELOLAAN TNBBS KE DEPAN

VIII. ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAGI PENGELOLAAN TNBBS KE DEPAN

Dari hasil analisis yang telah diuraikan mulai dari anak bab 7.3.1. sampai dengan 7.3.3. maka dapat disintesis relasi yang terbentuk antara Balai Taman Nasional sebagai pengelola dengan masyarakat setempat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan kaitannya dengan keberadaan pemukiman dan pertanian kebun kopi di dalam kawasan taman nasional. Pertama, langkah penindakan dan pengendalian akses merupakan dua bentuk respon kekuasaan yang paling sering ditempuh oleh Balai Taman Nasional dalam menangani masalah pemukiman dan pertanian di dalam kawasan. Dalam konteks penelitian ini, respons semacam ini dilakukan pada talanganak dusun yang memiliki pola akses Tipe A dan Tipe B. Respon seperti ini sering berujung pada perlawanan. Kedua, bila terdapat desa atau dusun yang seluruh permukiman dan pertaniannya berada di dalam kawasan konservasi Tipe C, maka resetelmen penduduk merupakan respon yang dipilih untuk ditempuh oleh Balai Taman Nasional. Respon ini umumnya berkembang karena adanya tuntutan global akan usaha yang menitikberatkan pada pelestarian keanekaragaman hayati. Respon semacam ini tidak cukup efektif dalam menangani masalah tersebut mengingat besarnya biaya yang dicurahkan dan tingginya reaksi penolakan dari masyarakat setempat. Ketiga, kehadiran lahan pertanian danatau permukiman di dalam kawasan acap direspon oleh Balai Taman Nasional dengan langkah-langkah penindakan, yang kemudian tidak jarang berujung pada tindak perlawanan oleh masyarakat; maka respon yang umum ditempuh Balai Taman Nasional kepada pemerintah daerah yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh kawasan konservasi, justru sebaliknya atau tidak memadai. Tidak ada upaya dari manajemen Balai atau Ditjen PHKA untuk melakukan kerjasama intens dan terencana dengan pemerintah daerah selain daripada upaya yang bersifat penyuluhan dan kegiatan-kegiatan yang bersifat ad-hoc. Untuk itu perlu adanya alternatif solusi dalam menangani masalah pemukiman dan keberadaan kopi di dalam kawasan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion FGD yang dilakukan oleh peneliti bersama masyarakat di dapat berbagai macam respon mulai dari penolakan keras sampai dengan beberapa opsi yang menjadi keinginan dari penduduk. FGD yang dilakukan peneliti mencakup pada anak dusuntalang di semua pola tipe akses masyarakat Sidomakmur Tipe A, Tipe B, Tipe C. Umumnya mereka menanggapi bahwa relokasi atau pemindahan pemukiman di dalam kawasan dapat dilakukan, hanya saja mereka menginginkan akses terhadap kebun kopi di dalam kawasan tetap dibolehkan. Sehingga proses relokasi yang dilakukan tidak perlu jauh tetapi berada di sekitar kawasan, hanya statusnya di luar kawasan. Hanya saja keinginan warga ini bertolak belakang dengan program yang akan dilakukan oleh Balai TNBBS. Pihak TNBBS pada saat ini sedang membuat Master Plan dalam penanganan perambahan dimana respon utama yang akan dilakukan adalah pemindahan atau relokasi penduduk dalam bentuk transmigrasi lokal, artinya kemungkinan penduduk yang ada di dalam kawasan akan dipindahkan sejauh mungkin dari kawasan sehingga tidak bisa lagi mengakses kawasan. Proses relokasi ini dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 15 tahun. Begitu pula dengan keberadaan kebun kopi di dalam kawasan, dengan statusnya menjadi zona rehabilitasi maka tindakan pemusnahan dan pembersihan kebun serta penanaman kembali menjadi prioritas tindakan. Gambar 20. Proses Focus Group Discussion FGD di Dusun Sidomakmur Jika dilihat lebih dalam, pada dasarnya masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan memiliki keinginan yang sama yaitu mereka diperbolehkan untuk tetap mengakses kebun kopi yang telah lama menjadi sumber mata pencaharian mereka. Sehingga dengan memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan konservasi merupakan titik temu yang ideal antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat. Pemberian akses merupakan upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat. Pemberian akses melalui kesepakatan konservasi ini pun dapat dilakukan melalui 2 dua mekanisme, pertama adalah kesepakatan konservasi yang pada dasarnya mengakui akses masyarakat ke taman nasional. Kesepakatan ini pada hakekatnya memberikan pengakuan kepada kemampuan masyarakat untuk “mengatur diri sendiri” self control termasuk mengelola sumber daya alam di sekitarnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional yang secara tradisi telah melembaga. Kedua, kesepakatan konservasi yang utamanya bersifat mengendalikan atau mencegah akses masyarakat ke kawasan taman nasional. Kesepakatan tipe ini pada hakekatnya lebih bersifat “mengatur dan mengendalikan” command and control akses masyarakat kepada kawasan Taman Nasional Adiwibowo et al, 2008. Berdasarkan karakteristik model kesepakatan konservasi dengan masyarakat di atas, maka untuk Dusun Sidomakmur, kaitannya dengan keberadaan permukiman dan kebun kopi di dalam dan sekitar kawasan disarankan agar Balai Taman Nasional memberikan hak akses kepada masyarakat dalam mengusahakan kebun kopi di dalam kawasan dengan menyusun kesepakatan baru yang diwujudkan dalam aturan dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal yang rinci mengenai hak, kewajiban dan larangan, dalam hal ini bentuk pemberian akses melalui kesepakatan yang bersifat “mengatur dan mengendalikan” command and control akses masyarakat kepada kawasan Taman Nasional. Hal ini didasarkan pada sejarah dan karakteristik keberadaan pemukiman di dusun Sidomakmur itu sendiri, dimana lahan yang diusahakan masyarakat bukan merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang diatur oleh institusi tradisional berupa lembaga adat. Bentuk konsensus tersebut dapat dituangkan dalam kesepakatan konservasi diantaranya adalah bahwa masyarakat dapat tetap mengakses kebun kopi yang berada di dalam kawasan tetapi memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut: 1. Tidak memperluas kebun kopi atau kebun baru di kawasan, 2. Tidak noleh memperjualbelikan lahan di kawasan dengan segala bentuknya ganti rugi, dan lain-lain, 3. Menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan, 4. Jumlah penduduk di dalam kawasan tidak boleh bertambah 5. Melakukan usaha rehabilitasi pada lahan terbuka dengan menanam tanaman kayu seperti damar. Untuk memastikan hal tersebut dapat berjalan maka pihak Balai Taman Nasional seyogyanya melakukan monitoring dan evaluasi setiap 3 bulan sekali untuk melihat apakah kesepakatan tersebut berjalan atau tidak. Jika memang ada kebun baru yang dibuka oleh masyarakat maka pihak Balai TN dapat melakukan tindakan pemusnahan tanaman dan masyarakat yang melakukannya dapat diproses secara hukum. Dalam pasal 67 dan pasal 68 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebenarnya telah diatur bagaimana peranserta dan hak yang dapat diperoleh oleh masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan, hanya saja memang bentuk penekanannya lebih ditujukan pada kelompok masyarakat adat. Sehingga, agar mekanisme akses tersebut memiliki legalitas hukum maka perlu diusulkan kepada Direktorat Jenderal PHKA untuk membuat peraturan yang dapat mengakomodir akses kepada masyarakat tradisional yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. masyarakat secara turun-temurun telah berada di kawasan hutan, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, dan b. masyarakat memiliki tingkat ketergantungan tinggi akan sumberdaya di kawasan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian jika ditelaah lebih dalam perihal pasal 68 butir 3 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, sebenarnya terdapat celah kesempatan windows of opportunity bagi pengelola kawasan dalam menyiasati permasalahan akses masyarakat. Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Hal ini membuka kesempatan kepada pengelola untuk memberikan akses kepada masyarakat ke dalam kawasan, tetapi akses tersebut hanya terbatas pada mengelola, memelihara, dan memanen tanaman kopi saja. Kemudian proses pemberian akses ini seyogyanya memiliki batasan waktu, sehingga selama waktu yang diperbolehkan masyarakat memiliki kesempatan untuk mencari alternatif di luar kebun kopi sebagai sumber mata pencaharian. Batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk mengakses kawasan dapat mengadopsi pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan HKm yaitu 35 tahun, dan dilakukan evaluasi setiap 5 tahun untuk menilai jalannya kesepakatankonsensus dari mekanisme pemberian akses tersebut.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN