Semenjak saat itu, metadon dikenal sebagai substansi penanganan rumatan kecanduan narkotik. Pada awalnya metadon banyak beredar di jalanan dan
ternyata terbukti mengurangi efek sakaw pada para pecandu. Pada saat itu metadon juga sudah dipakai dibanyak Rumah Sakit. Secara resmi metadon
mulai diperkenalkan sebagai rumatan kecanduan opioid semenjak dipublikasikannya sebuah penelitian oleh Prof. Vincent Dole dari Rockefeller
University di New York. Bersama-sama dengan koleganya, Marie Nyswander dan Mary Jeanne Kreek, mereka mulai mengenalkan konsep bahwa
kecanduan adalah sebuah penyakit yang bisa disembuhkan. Sampai saat ini, terapi rumatan metadon telah banyak diteliti secara sistematik dan mempunyai
cerita sukses yang banyak dan paling bisa diterima secara politis jika dibandingkan dengan model lainnya dalam penanganan farmakologi pada
kecanduan opioid.
29
Program Terapi Rumatan Metadon PTRM dimulai dari suatu hasil uji coba yang dilakukan WHO yang mendapatkan penyebab meningkatnya kasus
HIVAIDS yang terutama diakibatkan penggunaan narkoba jenis heroin dengan bertukaran jarum suntik secara sembarangan. Penyebaran HIV yang
sangat cepat diantarapengguna jarum suntik membutuhkan usaha terapi yang komprehensif. Sehubungan dengan itu, WHO bekerjasama dengan pemerintah
29
Komunitas Methadone Indonesia, “What is Methadone?”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari
http:methadone.blog.com
Indonesia DEPKES mengadakan pilot project berupa program rumatan metadon untuk subtitusi heroin dengan menggunakan metadon.
30
Sejak mulai diterapkan tahun 2003-2004 melalui proyek pilot di Rumah Sakit Sanglah Bali dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO
Jakarta, pencegahan penularan HIV dikalangan pengguna NAPZA suntik melalui Program Terapi Rumatan Metadon PTRM di Indonesia terus
berkembang di Rumah Sakit dan Puskesmas. Keberadaan klinik layanan metadon sangat penting mengingat
tingginya tingkat penularan HIV dikalangan pengguna NAPZA suntik. Melalui Program Terapi Rumatan Metadon PTRM, seorang pecandu yang
biasanya menyuntikkan NAPZA jenis heroin atau yang biasa dikenal dengan putaw, diberikan terapi agar mengubah kebiasaannya itu dengan meminum
cairan metadon dibawah supervisi medis sehingga resiko atau kemungkinan tertular HIV dari jarum suntik menjadi berkurang.
31
Menurut pengakuan salah satu pasien Program Terapi Rumatan Metadon PTRM yang bernama Faizal Rahman, ia adalah mantan pengguna
NAPZA suntik aktif jenis putaw dan sudah kecanduan sejak umur 14 tahun. Faizal telah mengikuti berbagai pengobatan atau rehabilitasi untuk mengatasi
kecanduaannya namun ia kembali relapse atau kambuh menggunakan putaw kembali. Hingga akhirnya pada Juni tahun 2006 Faizal mendapatkan
30
Nurul Arifin, “Program Terapi Rumatan Metadon PTRM”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari
http:nurularifin.comreadnarkobaprogram-terapi-rumatan-metadon-ptrm
31
Tri Irwanda M, “Program Terapi Rumatan Metadon di Indonesia”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari
http:okzone.comread2008032623094953program-terapi-rumatan-metadon-di- indonesia
informasi dari teman sesama pecandu bahwa telah ada Program Terapi Rumatan Metadon PTRM. Setelah itu ia datang ke Puskesmas Tanjung
Priok dan mengikuti berbagai berbagai persyaratan untuk mengikuti terapi metadon. Sampai saat ini Faizal telah merasa banyak perubahan positif yang
terjadi dalam hidupnya, seperti kebiasaan menyuntik yang sulit hilang, kini dengan mengkonsumsi metadon memberikan harapan baru bagi masa depan
dirinya dan para pecandu heroinputaw.
32
2. Pengertian Program Terapi Rumatan Metadon PTRM
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Nasional Dampak Buruk Penggunaan Narkoba Suntik Harm Reduction menetapkan bahwa salah satu program pencegahan penularan
penyakit di kalangan pengguna heroin atau NAPZA suntik adalah Program Terapi Rumatan Metadon PTRM. PTRM merupakan metode rehabilitasi
mantan pecandu narkoba, khususnya Putaw dan merupakan salah satu bentuk program dengan pendekatan pengurangan dampak buruk yang bertujuan unuk
meningkatkan kesehatan pengguna Narkoba Heroin sehingga para pecandu Heroin dapat beraktivitas secara normal dan produktif sehingga dapat
menekan tingkat kriminalitas.
33
32
North Methadone Community NMC, “Methadone”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari
http:methadone-indonesia.blogspot.com
33
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI, Seputar HIV AIDS Jakarta: PKBI, 2011, h. 39.
3. Farmakalogi Metadon
Metadon adalah suatu agonis opioid sintetik yang kuat dan diserap dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara
oral dibawah supervisi dokter dan digunakan untuk terapi pengguna heroin. Waktu kerja metadon pada umumnya adalah sekitar 24 jam.
Penggunaan secara berkesinambungan akan diakumulasi pada berbagai bagian tubuh, namun khususnya pada hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi
alasan mengapa toleransi atas penggunaan metadon berjalan lebih lambat dari penggunaan heroin. Efek analgesic dirasakan dalam 30 hingga 60 menit
setelah diminum dan terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu satu hingga dua jam setelah diminum, hal ini membuat metadon tidak segera
menimbulkan perasaan euphoria sebagaimana heroin. Penghentian metadon secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat.
Gejala putus zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian dan dialami beberapa hari lebih lama daripada gejala putus zat heroin.
Efek samping yang pada umumnya dirasakan dalam waktu lama adalah konstipasi, berkeringat secara berlebihan, keluhan berkurangnya libido dan
disfungsi seksual. Namun efek samping ini dilaporkan semakin dapat diatasi seiring dengan retensi pasien berada dalam program.
34
34
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Metadon Jakarta: Kemenkes RI, 2013, h. 34-35.
4. Waktu Pelayanan PTRM
Pelayanan PTRM buka setiap hari, tujuh hari dalam seminggu dengan jam kerja berorientasi pada kebutuhan pasien untuk menjamin aksesbilitas.
Walaupun demikian, penerimaan pasien baru hanya dapat dilakukan pada hari Senin sampai Rabu, guna penyesuaian pemberian dosis yang terpantau dengan
ketat oleh dokter. Penerimaan pasien baru di luar hari Senin sampai Rabu, dapat
dilakukan sepanjang tersedia dokter jaga pada akhir pekan. Pelayanan pada hari-hari besar dapat disesuaikan dan diputuskan secara lokal oleh Rumah
Sakit Pengampu dalam hal ini Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO dan Dinas Kesehatan setempat, tanpa mengabaikan kebutuhan pasien.
5. Alur Layanan PTRM
PTRM tidak hanya memberikan metadon semata-mata melainkan juga intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien.
Alur layanan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Alur Layanan PTRM
Sumber: Peraturan Menkes RI No. 57 Tahun 2013
Proses Penerimaan •
Informasi tentang metadon, assessment,
rencana terapi, pemeriksaan penunjang
Proses Inisiasi Stabilisasi •
Farmakoterapi lain, konseling adiksi, konseling
HIV, pengobatan ARV bila perlu
Proses Rumatan Assessment lanjutan,
konseling kepatuhan, urinalisis sewaktu-waktu, farmakoterapi
konseling yang dibutuhkan
6. Tahap Dosis Metadon
a. Tahap Penerimaan
Tahapan terhadap calon pasien PTRM dilakukan dengan melakukan skrining atas kriteria inklusi calon pasien. Selanjutnya pasien
akan diberikan informasi mengenai PTRM dan pentingnya keterlibatan keluargawali dalam PTRM agar mendapatkan hasil yang optimal.
Petugas medis atau dokter akan melakukan assessment dan penyusunan rencana terapi sesuai prosedur yang berlaku. Selanjutnya dokter akan
menentukan apakah calon pasien dapat diterima sebagai pasien PTRM atau dirujuk pada modalitas terapi lain yang lebih sesuai.
35
b. Tahap Inisiasi
Pemberian dosis awal metadon kepada pasien sebanyak 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Kematian sering terjadi jika pasien diberikan
melebihi dosis awal 40 mg. Selama pemberian dosis awal, pasien harus diobservasi 45 menit untuk memantau gejala putus obat sakaw.
Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100 cc dengan larutan sirup. Pada tahap ini pasien harus hadir
setiap hari di Puskesmas dan menelan metadon di hadapan petugas PTRM. Setelah itu, pasien harus menandatangani buku yang tersedia
sebagai bukti bahwa pasien telah menerima dosis metadon pada hari itu.
35
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Metadon, h.36-37.
c. Tahap Stabilisasi
Tahap ini bertujuan untuk menaikkan dosis metadon secara perlahan sehingga memasuki tahap rumatan. Pada tahap ini risiko
overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama karena kenaikan dosis. Dosis yang dianjurkan dalam tahap ini adalah menaikkan dosis awal
metadon sebanyak 5-10 mg tiap 3-5 hari. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan. Perlu
diingat bahwa tak ada hubungan yang jelas antara besarnya jumlah dosis opiat yang dikonsumsi seorang pengguna heroin dengan dosis yang
dibutuhkannya pada PTRM. Selama minggu pertama pada tahap ini, pasien masih diwajibkan untuk datang setiap hari ke Puskesmas.
36
d. Kriteria Penambahan Dosis
Kriteria ini dilihat berdasarkan adanya tanda dan gejala putus obat sakaw yang diukur melalui sekala putus opiat obyektif dan subyektif. Prinsip
terapi pada PTRM adalah “start low go slow aim high” yang artinya memulai dosis yang rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan
adalah aman, dan dosis rumatan yang efektif adalah lebih efektif. e.
Tahap Rumatan Pada tahap ini rata-rata dosis rumatan pasien adalah 60-120 mg per hari.
Dosis rumatan tetap dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien. Tahap ini dapat berjalan selama bertahun-
36
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Metadon, h.38-39.
tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial.
f. Dosis Bawa Pulang Take Home DoseTHD
Dosis bawa pulang adalah pemberian dosis bawa pulang karena pasien tidak dapat hadir di klinik oleh karena suatu sebab yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pemberian THD mengikuti aturan pemberian dosis diencerkan.
g. Tahap Penghentian Metadon
Metadon dapat dihentikan secara bertahap perlahan tapering off. Penghentian metadon ini dilakukan jika pasien sudah dalam keadaan
stabil, minimal enam bulan pasien bebas heroin, pasien dalam kondisi stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang memadai. Selain
itu, perkembangan psikologis pasien harus diperhatikan. Jika keadaan emosi pasien tidak stabil maka dosis dapat dinaikkan kembali.
37
E. Pecandu
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pasal 1 ayat 13, pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pada pasal 1 ayat 14, ketergantungan Narkotika adalah
kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan
37
Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Metadon, h.40-41.
apabila penggunaannya dikurangi danatau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Selain itu, pada pasal ayat 15, penyalah guna adalah
orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
38
F. Heroin
Heroin merupakan salah satu jenis narkoba golongan satu. Heroin dikenal sebagai putaw karena berupa bubuk putih.
39
Merupakan golongan narkotika semisintetis yang dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi melalui empat
tahapan sehingga diperoleh heroin paling murni berkadar 80 hingga 90. Heroin murni berbentuk bubuk putih, sedangkan heroin tidak murni berwarna putih keabuan
street heroin. Zat ini sangat mudah menembus otak sehingga bereaksi lebih kuat dari pada morfin itu sendiri.
40
Heroin merupakan opiat yang paling sering disalahgunakan. Heroin memberi efek senang sesaat karena zat aktif heroin sebenarnya secara alamiah juga ada di
dalam otak manusia. Ketika seseorang menggunakan heroin, maka kemampuan alamiah zat untuk mencapai kesenangan akan terhenti. Akibatnya untuk mendapatkan
kesenangan, orang tersebut selalu tergantung sumber dari luar, yaitu heroin tersebut.
41
Selain itu, heroin dapat melegakan ketegangan, kegelisahan dan depresi, merasa
38
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
39
Sunarno, Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya Semarang: PT. Bengawan Ilmu, 2007, h. 19.
40
Andi Hamzah dan RM Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika Jakarta: Sinar Grafika, 1994, h. 18.
41
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh karakter Bangsa Jakarta: PT. Forum Media Utama, 2010, h. 48-49.
terlepas dari kesedihan emosional dan fisik atau rasa sakit dan dengan dosis yang tinggi dapat mengalami perasaan gembira tetapi hanya sementara.
42
Heroin atau putaw merupakan salah satu dari narkoba golongan I yang menimbulkan ketergantungan terhadap si pemakai. Penggunaan heroin ada dengan
cara dihisap aromanya, dimakan dan dengan cara disuntikkan yang jika alat suntik yang digunakan tidak steril akan menjadi media penularan HIVAIDS.
43
Pengaruh jangka pendek penggunaan heroin meliputi pupil yang mengecil, rasa mual, muntah, sering menguap karena merasa mengantuk, nafas berat dan
melemah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan ketidakpedulian. Heroin sangat adiktif dan para pemakai dapat dengan cepat mengembangkan ketergantungan secara
fisik dan psikologi. Heroin bersifat addict begitu pemakai menghentikan penggunaan heroin
secara tiba-tiba menyebabkan gejala-gejala penarikan yang dapat menjadi parah seperi kejang-kejang, diare, gemetaran kepanikan, ingusan, kedinginan, berkeringat,
sakit kepala dan nyeri tulang.
44
Keadaan tersebut dinamakan sakaw, keadaan ini menyebabkan sakit yang luar biasa. Tumbuh rasa ketagihan dalam diri pemakai yang
membuat ia menaikkan dosis heroinnya. Hal inilah yang menyebabkan pemakai menjadi OD over doses. Jika tubuh seseorang tidak mampu lagi untuk menerima
dan menetralisir banyaknya obat yang dikonsumsi, maka orang tersebut akan meninggal.
45
42
Badan Narkotika Nasional, Pelajar dan Bahaya Narkotika Jakarta: BNN, 2010, h.27.
43
Sunarno, Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya, h.20-21.
44
Badan Narkotika Nasional, Pelajar dan Bahaya Narkotika, h. 27-28.
45
Sunarno, Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya, h.23-24.
G. Teori Perilaku
Sikap atau perilaku terbentuk terutama atas dasar kebutuhan-kebutuhan yang kita miliki dan informasi yang kita terima mengenai hal-hal tertentu. Satu per tiganya
merupakan faktor terkait yang berperan dalam pembentukan sikap, adalah kelompok orang tersebut berada didalamnya. Kelompok menentukan bagaimana kita harus
memuaskan kebutuhan kita. Dengan sendirinya, kelompok juga akan menekankanmempraktikannya agar sikap yang ada dalam kelompok tersebut
diikuti.
46
Menurut Wolpe seperti yang dikutip oleh Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, terapi perilaku sebagai conditioning therapy yang melibatkan
penggunaan prinsip-prinsip belajar yang ditegakkan secara eksperimental dengan maksud mengubah perilaku maladaptive. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif
dilemahkan dan dieliminasi; kebiasaan-kebiasaan adaptif diinisiasi dan diperkuat. Dalam terapi ini, terapis atau pekerja sosial harus melakukan assessment yang
meliputi deskripsi tentang apa masalahnya, bagaimana masalah itu timbul, dan apa yang mempertahankannya. Bentuknya adalah hipotesis yang akan diuji dalam terapi.
Terapi perilaku didasarkan atas berbagai teori belajar dan perilaku yang dipelajari, sementara terapi kognitif didasarkan atas keyakinan bahwa kebanyakan
gangguan berasal dari pemrosesan informasi yang salah. Interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tercermin dalam kandungan pemikiran-pemikiran otomatis
46
Samsunuwiyati Mar’at dan Lieke Indieningsih Kartono, Perilaku Manusia Bandung: PT Refika Aditama, 2006, h. 104.