Evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon Bagi Pecandu Heroin di Puskesmas Kecamatan Tebet

(1)

PUSKESMAS KECAMATAN TEBET

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

ANNIES NOOR ISMI

NIM: 1110054100034

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya hasil jiplakan dari karya

orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Agustus 2014


(5)

i

ANNIES NOOR ISMI 1110054100034

EVALUASI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON BAGI PECANDU HEROIN DI PUSKESMAS KECAMATAN TEBET

Penelitian ini dilandasi atas usaha pengurangan dampak buruk penggunaan Narkoba jenis heroin melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Metadon merupakan terapi subtitusi untuk menggantikan Narkoba jenis heroin menjadi metadon yang berbentuk cair yang pemakainnya dilakukan dengan cara diminum. Program ini dapat membantu pasien memutuskan penggunaan heroin sehingga jumlah penyebaran HIV/AIDS dapat berkurang. Selain itu, terapi ini membuat pola kebiasaan baru dan berkesempatan memperbaiki hubungan pasien di lingkungan sosialnya serta mengurangi tingkat kriminalitas. Program ini memerlukan waktu beberapa tahun karena itu disebut Terapi Rumatan Metadon dan pasien tidak perlu kuatir akan terjadinya gejala putus heroin (sakaw).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui evaluasi program

yang meliputi context, input, process dan product (CIPP) PTRM di Puskesmas

Kecamatan Tebet yang mengacu kepada Pedoman Nasional PTRM, serta untuk mengetahui perubahan perilaku pasien setelah mengikuti program. Kesehatan

seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku (behavior causes) yang dapat tercermin

dari gangguan-gangguan tertentu, seperti panik, depresi, dan keadaan paranoid. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara melakukan studi dokumen, wawancara dan observasi. Informan dipilih secara

Purposive Sampling berjumlah 11 orang.

Hasil dari penelitian evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon di

PKC.Tebet, evaluasi konteks berdasarkan indicator relevan, upaya dan

keterjangkauan dinilai baik dan tepat karena pecandu heroin di wilayah Jakarta Selatan dapat mengakses dengan mudah. Hasil evaluasi input berdasarkan indikator cakupan hasilnya tepat sasaran dan ketersediaan dinilai memadai, namun aspek tempat dan waktu pelayanan dinilai masih kurang. Evaluasi proses menunjukkan bahwa pemberian metadon dinilai sudah efisien karena berada di bawah pengawasan dokter, namun terdapat temuan penting bahwa 5 dari 6 subjek penelitian masih menggunakan Narkoba lain selain metadon. Evaluasi produk menggunakan indikator dampak dinilai baik karena dapat merubah kondisi dan perilaku pasien menjadi lebih positif.


(6)

ii

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Sudah tidak terhingga kelalaian yang dilakukan penulis terhadap perintah dan larangan-Nya bahkan seringkali mempertanyakan tentang eksistensi-Nya. Namun penulis sangat mensyukuri karena ternyata Allah SWT masih sudi melimpahi penulis dengan keajaiban-keajaiban kecil-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini merupakan persyaratan memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos). Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini sulit untuk dapat terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penyusunan skripsi ini, diantaranya:

1. Dr. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi.

2. Siti Napsiyah, MSW, selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Ahmad

Zaky, M.Si, selaku Sekertaris Program Studi, dan dosen-dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu dan pengalamannya kepada penulis. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah diberikan selama masa perkuliahan dapat bermanfaat untuk masa yang akan datang.


(7)

iii

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Puskesmas Kecamatan Tebet yang telah mengizinkan penulis untuk

melakukan penelitan.

5. dr. Elizabeth selaku Koordinator PTRM PKC. Tebet yang senantiasa membantu

penulis dalam pelaksanaan penelitian, beserta dr. Fadlinah, petugas medis PTRM dan Kader Muda Judi Hermanto.

6. Kedua orangtuaku tercinta S. Rondhi, SH dan Nia Kusnia serta kakakku Rommy

Ismihadi, S.Pt dan adik-adikku tersayang, atas doanya kepada Allah SWT, kasih sayang dan pengorbanan materi yang telah tercurah selama ini.

7. Keluarga besar dari Mamah dan Bapak yang selalu memberikan semangat dan

dukungan, baik moril maupun materill selama ini.

8. Sahabatku tercinta Ahmad Fadhli Rahman dan Fajaruddien Zakiany yang

berjuang bersama dan saling memotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Sahabatku Nurhadi dan Reza Rizky Ramadhan yang telah setia selama tujuh

tahun ini menemani perjalanan hidup penulis dengan senyum, tawa dan motivasinya kepada penulis.

10.Aceng Mandiri yang merupakan sahabat-sahabat terbaikku Ade Yunus, Ahmad

Rifki Faturrohman bersama yang tersayong Gina Rainissa, Farid Almachzumi, Dian A. Utomo, Lufiarna, Nurbani Ulfah, Shabrina D. Pitarini dan Ulfa Andirany untuk kebersamaan yang tak pernah terganti.


(8)

iv

menghibur penulis dan teman-teman lainnya.

12.Teman-teman dari jurusan Kesejahteraan Sosial yang selalu memberi dukungan

kepada penulis.

13.Serta seluruh pihak yang telah membantu secara moril maupun materil sehingga

penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis senantiasa memanjatkan doa untuk kalian semua teman-teman dari Kesejahteraan Sosial semoga kelak kita dapat kembali dipertemukan dengan kesuksesan yang telah kita raih, Aamiin. Penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis berharap semoga hasil yang disajikan dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 19 Agustus 2014


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II TINJAUAN TEORI A. Evaluasi Program... 26

1. Pengertian Evaluasi ... 26

2. Desain Evaluasi ... 28

3. Model Evaluasi ... 29

4. Indikator Keberhasilan ... 34


(10)

vi

8. Tujuan Program ... 39

9. Evaluasi Program ... 39

B. Terapi ... 40

C. Terapi Rumatan ... 41

D. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ... 42

1. Sejarah PTRM ... 42

2. Pengertian PTRM ... 45

3. Farmakalogi Metadon ... 46

4. Waktu Pelayanan PTRM ... 47

5. Alur Pelayanan PTRM ... 47

6. Tahap Dosis Metadon ... 48

E. Pecandu ... 50

F. Heroin ... 51

G. Teori Perilaku ... 53

BAB III PROFIL LEMBAGA A. Latar Belakang PKC. Tebet ... 55

1. Sejarah PKC. Tebet ... 55

2. Geografi ... 56

3. Dasar Hukum ... 57

4. Visi, Misi dan Kebijakan Mutu ... 57

5. Motto PKC. Tebet ... 58

B. Manajemen Puskesmas (POAC) ... 59

C. Fasilitias PKC. Tebet ... 60

D. Program Penanganan Napza dan HIV-AIDS di PKC. Tebet ... 61

E. Struktur Organisasi ... 63

BAB IV TEMUAN & ANALISIS DATA PENELITIAN A. Gambaran PTRM di PKC. Tebet ... 64


(11)

vii

4. Peraturan PTRM ... 72

B. Hasil Evaluasi PTRM PKC.Tebet ... 74

1. Evaluasi Konteks ... 73

2. Evaluasi Input ... 80

3. Evaluasi Proses ... 89

4. Evaluasi Produk ... 101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110


(12)

viii

TABEL 1.1 : Sumber Data Primer……… 13

TABEL 1.2 : Subjek dan Pemilihan Informan……….…... 22

TABEL 1.3 : Klasifikasi Pemilihan Pasien PTRM………... 22


(13)

ix

GAMBAR 2.1 : Alur Layanan PTRM……… 47

GAMBAR 3.1 : Manajemen Puskesmas………...………... 60

GAMBAR 3.2 : Struktur Organisasi………...……….... 63

GAMBAR 4.1 : Alur Pelayanan PTRM PKC. Tebet………...…………... 65

GAMBAR 4.2: Pasien Baru PKC. Tebet………... 83


(14)

x

1. Surat Bimbingan Skripsi……….……… 113

2. Surat Izin Penelitian (Skripsi)...………... 114

3. Surat Persetujuan Penelitian………...……….... 115

4. Syarat & Peraturan PTRM PKC. Tebet………...…...………….... 116

5. SOP PTRM……….………… 118

7. Hasil Observasi PTRM PKC. Tebet……… 127

8. Pedoman Wawancara untuk Pasien PTRM…..……….. 129

9. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial DZ……….. 132

10. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial RH……….. 138

11. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial AJ……….…….. 143

12. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial DN……….. 148

13. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial MR………...….. 153

14. Hasil Wawancara dengan Pasien berinisial YJ……….…….. 158

15. Pedoman Wawancara untuk Dokter……….. …….. 163

16. Hasil Wawancara dengan Koor. PTRM PKC. Tebet dr. Elizabeth.. 164

17. Hasil Wawancara dengan dr. Fadlinah……… 167

18. Pedoman Wawancara dengan Petugas Medis……… 172

19. Hasil Wawancara dengan Kader Muda.…....……… 174

20. Hasil Wawancara dengan Ibu Devi………...……….. 177


(15)

xi

gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV

BNN : Badan Narkotika Nasional

Harm Reduction : Pengurangan dampak buruk NAPZA sebagai upaya

pencegahan terhadap dampak buruk NAPZA tanpa perlu

mengurangi jumlah penggunanya. Dengan kata lain, harm

reduction lebih mengutamakan pencegahan dampak buruk

NAPZA, bukan pencegahan penggunaan NAPZA.

HIV : Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang

memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.

KPA : Komisi Penanggulangan AIDS

Narkoba : Narkotika dan Obat-obatan Terlarang

NAPZA : Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif

Pedauw : Teler atau mabok

PKC : Puskesmas Kecamatan

PTRM : Program Terapi Rumatan Metadon

Putauw : Heroin yang termasuk kedalam golongan Narkoba

THD : Take Home Dose atau dosis bawa pulang

DO : Drop Out atau dikeluarkan dari program

Tappering Off : Proses menghentikan dosis metadon secara perlahan

Sakaw : Rasa sakit karena ketagihan atau gejala putus obat

Selip : Pasien PTRM yang menggunakan Narkoba jenis lain selain

metadon. Selip adalah perbuatan illegal.

Suggest : Menimbulkan pikiran ingin kembali menggunakan Narkoba


(16)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah Narkoba (Narkotika dan obat-obatan terlarang) atau dikenal dengan istilah lain sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya), merupakan masalah yang sangat serius karena dapat mengancam masa depan bangsa dan negara kita. Penyalahgunaan Narkoba kini merupakan masalah serius, dirasakan tidak saja pada tingkat lokal, nasional melainkan juga

pada tingkat internasional.1

Jumlah kasus Narkoba di Indonesia yang dapat terungkap, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat mengkhawatirkan baik dari sisi kuantitas para pemakai, mata rantai yang berkaitan dengan barang haram tersebut (produsen, bandar, pemakai) maupun kualitas Narkoba itu sendiri yang semakin beragam.

Menurut data BNN pada tahun 2013, jumlah pecandu di Indonesia sebanyak 4.7 juta orang dan 50 orang meninggal setiap hari karena Narkoba. Hanya sekitar 18 ribu korban (0.038%) yang berhasil direhabilitasi dari total 4.7 juta korban. Jumlah kerugian ekonomi akibat Narkoba selama tahun 2012 sebesar

Rp. 48,2 triliun.2

1

Ahmad Sanusi Mustofa, Problem Narkotika-Psikotropika dan HIV-AIDS (Jakarta: Zikrul Hakim, 2002), vol. 1, h. 1.

2

Deputi Bidang Polhukhankam Bappenas, “Kebijakan Pembangunan Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan 2015,” artikel diakses pada 19 Juli 2014 dari


(17)

Demi menyelamatkan anak bangsa dari belenggu Narkoba, pihak pemerintah sudah berupaya mengenai hal ini, namun semuanya tidak akan berjalan jika tidak ada peran serta masyarakat, Undang-undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 Pasal 104 Ayat 1, menyatakan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya berperan serta dalam membantu upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Napza.3

Islam sangat memperhatikan generasi penerus bangsa dan agama tentang penyalahgunaan Narkoba sejak zaman dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam Sûrah al-Maidah/5: 90 berikut:

“Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum arak, khamr, berjudi, berkurban tentang berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu

mendapatkan keberuntungan”.4

Menurut Hawari penyalahgunaan Narkoba menimbulkan dampak antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi anti-sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan,

mempertinggi kecelakaan lalu-lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya.5

3

Departemen Sosial, Bimbingan Teknis Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (Jakarta: 2002), h. 4.

4

Al-Quran Online Indnesia, “Sûrah al-Maidah/5: 90”, artikel diakses pada 16 Januari 2014 dari http://quran.bacalah.net/content/surat/index.php.

5

Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogya: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), edisi III, vol. 10, h. 267-268.


(18)

Salah satu jenis Narkoba yang umum digunakan adalah heroin. Heroin

mengandung sebuah zat yang dikenal dengan nama zat opium. Dalam position

letter yang dibuat bersama antara World Helath Organization (WHO), United

Nation Offices on Drugs and Crime (UNODC) dan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2004 dikatakan bahwa ketergantungan terhadap zat opium membutuhkan waktu yang panjang untuk

perawatannya.6

Heroin dikenal sebagai putaw karena berbentuk bubuk putih. Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat orang kecanduan dan memiliki efek kuat. Obat ini bisa ditemukan dalam bentuk cairan dan bubuk. Heroin memberikan efek yang sangat cepat kepada pengguna baik fisik maupun mental. Bila pemakai berhenti mengkonsumsi akan mengalami rasa sakit yang berkelanjutan. Heroin punya kekuatan dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan di Indonesia akhir-akhir ini.7

Proses pembuatan heroin merupakan kegiatan yang sangat penting dalam dunia kejahatan Narkoba terutama dalam meningkatkan nilai harga gelap dipasaran bebas. Penggunaan heroin ada yang dengan jalan menghisap asap rokoknya atau menyuntikkan kedalam pembuluh darah. Akibat fatal dapat terjadi dengan adanya kelebihan takaran atau dari jarum suntik yang tidak steril.

6

Dhoho A Sastro, ed., Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta (Jakarta: LBH Masyarakat, 2012), h. 78.

7

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), HIV dan AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Jakarta: KPAN), h. 33-34.


(19)

Korbannya akan mengalami infeksi Hepatitis, HIV dan AIDS bahkan over dosis

(OD) yang berakhir dengan kematian.8

Bidang kesehatan merupakan displin Ilmu Kesejahteraan Sosial karena bidang kesehatan dianggap sebagai salah satu indikator utama dari berkembangnya kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kaitan dengan bidang kesehatan, banyak sekali isu-isu yang bersinggungan langsung dengan Ilmu Kesejahteraan Sosial, umumnya adalah bahasan kesehatan yang menyinggung aspek sosial dari kesehatan. Salah satu isu yang sering dibahas ialah isu pencegahan dan penanggulangan Narkoba, prevensi penyakit menular

(seperti HIV/AIDS).9

Upaya masalah penanganan Narkoba terutama untuk pecandu Heroin dilakukan salah satunya dengan mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) merupakan salah satu dari

program pengurangan dampak buruk Napza atau dikenal dengan istilah Harm

Reduction.10 Metadon adalah obat sintetis yang termasuk golongan opiat seperti halnya heroin, kodein dan morfin. Seseorang yang kecanduan heroin atau opiat lain mengalami ketergantungan secara fisik dan secara mental. Jika kadar opiat di tubuh pengguna turun di bawah angka tertentu maka ia akan mengalami gangguan

gejala putus obat (sakaw).11

8

Sumarmo Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), h. 77-79.

9

Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Depok: FISIP UI Press, 2005), h. 65-67.

10

Harm Reduction adalah pengurangan dampak buruk NAPZA sebagai upaya pencegahan terhadap dampak buruk NAPZA tanpa perlu mengurangi jumlah penggunanya. Dengan kata lain, harm reduction lebih mengutamakan pencegahan dampak buruk NAPZA, bukan pencegahan penggunaan NAPZA.

11


(20)

Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) salah satunya dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 494/MENKES/SK/VII/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit dan Satelit Uji Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon, pada pasal 1 ayat 10 menyatakan bahwa, “Terapi rumatan medis adalah suatu terapi jangka panjang minimal enam bulan bagi klien ketergantungan Opioida dengan menggunakan golongan opioid sintetis agonis (Metadon) atau agonis parsial (Bufrenorfin) dengan cara oral atau sub-lingual, dibawah pengawasan dokter terlatih, dengan merujuk pada pedoman

nasional”.12

Sehubungan dengan permasalahan diatas diharapkan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dapat memberikan kesempatan kepada pasien untuk menstabilkan hidupnya dan mengurangi risiko agar tidak tertular virus seperti HIV, hepatitis dan virus lain yang diangkut melalui aliran darah. Selain itu, program pemeliharaan metadon menawarkan kesempatan bagi peserta untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga, menemukan pekerjaan dan bertahan dalam pekerjaan itu agar merasa lebih sehat secara fisik dan psikologis. Perubahan pada gaya hidup ini dapat memberikan kepercayaan diri dan dorongan untuk segera berhenti menggunakan Narkoba.

Namun perlu diketahui penggunaan Narkoba lain selain metadon biasanya dilakukan pasien pada tahap awal pemberian metadon. Ini disebabkan oleh karena dosis yang diberikan belum stabil dan belum mencapai dosis pemeliharaan. Sementara peserta melanjutkan penggunaan opiat mereka juga mungkin memakai

Narkoba atau obat lain seperti alkohol atau benzodiazepine. Kekhawatiran utama

12

Kemenkumham, “Berita Negara Republik Indonesia,” artikel diakses pada 16 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2011/bn825-2011.pdf


(21)

dalam hal ini adalah bahwa penggunaan Narkoba yang dicampur dapat

mengakibatkan over dosis. 13

Berkaitan dengan hal itu, pengawasan sangatlah penting untuk keberhasilan suatu program maka penulis tetarik untuk meneliti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) sebagai pengalihan Narkoba bagi pecandu heroin yang digunakan Puskesmas Kecamatan Tebet.

Penulis memilih Puskesmas Kecamatan Tebet diantaranya karena jumlah pasien PTRM di Puskesmas Kecamatan Tebet yang berjumlah 85 orang merupakan Puskesmas dengan jumlah pasien terbanyak di Jakarta Selatan dan

PTRM disana telah berjalan cukup lama sejak tahun 2007.14 Selain itu, belum ada

kajian literatur program studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah yang membahas mengenai Program Terapi Rumatan Metadon ini. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dengan judul “Evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon bagi Pecandu Heroin di Puskesmas Kecamatan Tebet”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi permasalahan yang akan dipaparkan, yaitu pada evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) bagi pecandu Heroin di Puskesmas Kecamatan Tebet. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya perluasan materi yang akan dibahas selanjutnya. Permasalahan pokok yang akan dibahas

13

KPA, HIV dan AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba, h. 45.

14


(22)

adalah pada pecandu Heroin yang sudah mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang berada di Puskesmas Kecamatan Tebet pada periode tahun 2013. Penulis memilih Puskesmas Kecamatan Tebet sebagai tempat untuk melakukan penelitian karena jumlah pasien PTRM terbanyak yang ada di Jakarta sebanyak 85 orang berada di Puskesmas Kecamatan Tebet. Pasien PTRM di Puskesmas Kecamatan Tebet juga secara mandiri dan kompak membuat kelompok bernama MUST

(Methadone User Society Tebet) dimana para pasien saling mendukung

satu sama lain melalui kelompok dukungan sebaya. Selain itu, dalam kajian literatur program studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah belum ada yang membahas mengenai Program Terapi Rumatan Metadon ini.

2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah pokok sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon

(PTRM) bagi pecandu Heroin?

2. Bagaimana pelaksanaan evaluasi Context, Input, Process, Product

(CIPP) terhadap Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Kecamatan Tebet?


(23)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM) sebagai pengalihan Napza bagi pecandu Heroin.

2. Untuk mengetahui hasil evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon

(PTRM) pada pasien Puskesmas Kecamatan Tebet.

D. Manfaat Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah dikemukakan maka manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Akademis

a. Sebagai sarana bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan dalam

melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan mengenai pelaksanaan Program

Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tebet dalam menangani pecandu Heroin.

c. Merupakan masukkan untuk penelitian–penelitian lebih lanjut,

khususnya penelitian terapan yang berkaitan dengan evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM).


(24)

2. Manfaat Praktis

Memberikan masukan dan saran untuk menjadi bahan evaluasi bagi Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Kecamatan Tebet, Kader Muda di Puskesmas Kecamatan Tebet khususnya dalam memberi pelayanan pada pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), serta menjadi bahan rekomendasi bagi perseorangan atau lembaga sosial yang memiliki perhatian terhadap penanganan pecandu Heroin.

G. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan tinjauan atas kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasan penelitian yang dilakukan pada penulisan skripsi ini. Tinjauan pustaka digunakan sebagai acuan untuk membantu dan mengetahui dengan jelas penelitian yang akan dilakukan untuk penulisan skripsi

ini.15 Adapun tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

literatur berupa skripsi, tesis dan buku yang berkaitan dengan penelitian skripsi penulis.

Skripsi dari Tuti Mutya, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 yang berjudul “Gambaran Pengetahuan dan Sikap Tentang Penggunaan Jarum Suntik pada klien Metadon RSKO Jakarta”. Isi pokok dari skripsi ini membahas pengetahuan dan sikap dari klien metadon di RSKO. Kekurangan skripsi ini penulis hanya melihat segi medis dari klien metadon.

15

Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: Center for Quality, 2007, h. 37.


(25)

Tesis dari Dwi Siswo Subagyo, Program Studi Kajian Ketahanan Nasional, Konsentrasi Kajian Stratejik Penanganan Narkoba, Universitas Indonesia, Jakarta Desember 2008 yang berjudul “Efektivitas Program terapi rumatan Metadon bagi Pasien Terdaftar di Puskesmas Kecamatan Tebet Tahun 2007-2008”. Tesis ini telah menjelaskan keefektifan dari program terapi rumatan metadon di Puskesmas Kecamatan Tebet. Penulis menggunakan tesis ini karena mendapatkan objek penelitian yang sama, yakni pasien metadon di Puskesmas Tebet.

Skripsi dari Putri Nahrisah, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 2008 yang berjudul “Evaluasi Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Kecamatan (PKC) Tanjung Priok”. Isi pokok skripsi ini membahas pelayanan PTRM PKC Tanjung Priok yang belum optimal dan sesuai dengan pedoman nasional.

Skripsi dari Lidya Melawati, Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2011 yang berjudul “Evaluasi Program Layanan Kesehatan

Rumah Bersalin Gratiis (RBG) bagi Orang Miskin di Jakarta Timur. Isi pokok

skripsi ini membahas kesinambungan program dan pelayanan yang diberikan RBG kepada orang miskin.

Skripsi dari Suryati, Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2013 yang berjudul ”Evaluasi Program Unit Usaha Bisnis Barang Bekas Berkualitas (BARBEKU) di Yayasan Imdad Mustadh’afin (YASMIN) Cirendeu. Skrispsi ini mengevaluasi program yang berjalan di YASMIN. Kekurangan


(26)

skripsi ini, penulis tidak menjelaskan secara detail kriteria keberhasilan dari program tersebut.

Selain itu, penulis menggunakan beberapa literatur berupa buku, diantaranya “Problem Narkotika-Psikotropika dan HIV-AIDS”, “HIV dan AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba”, “Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat”, “Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta”, “Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa”, “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba”, “Bimbingan Teknis Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba”, “Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya”, Kejahatan Narkoba dan Psikotropika”, “Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa”.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Menurut Bogdan dan Taylor dalam bukunya Moleong, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku dapat diamati.16 Dalam hal ini yang diteliti adalah evaluasi Program

Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Kecamatan Tebet.

Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat

16

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 1993), Cetakan ke-10, h. 3.


(27)

hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

Adapun data yang dikumpulkan dari metode deskriptif ini adalah berupa

kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya

penerapan metode kualitatif. 17

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian dari

model evaluasi CIPP dengan memfokuskan penjelasan pada gambaran evaluasi

sebagai alat untuk menilai apakah sebuah program relatif sukses atau gagal.

1. Macam dan Sumber Data

Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tape. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan

bertanya.18

Sumber data yang diperoleh penulis dalam penelitian kualitatif tentang Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ini bersumber dari data primer dan sekunder.

17

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cetakan ke-25, h. 9-10.

18


(28)

Sumber data primer berasal dari data-data yang diperoleh dari

sumber informan utama19 (pengurus dan pasien PTRM di Puskesmas

Kecamatan Tebet). Penulis memilih informan ini karena memiliki peran dalam berjalannya program terapi rumatan metadon, diantaranya:

Tabel 1.1 Sumber Data Primer

NAMA JUMLAH

Dokter 2 Orang

Tenaga Medis 4 Orang

Kader Muda 1 Orang

Pasien (PTRM) 6 Orang

Sedangkan sumber data sekunder berasal dari data-data yang diperoleh dari literatur yang berhubungan dengan tulisan ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data. Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek penelitian yang diperoleh di lokasi penelitian.

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah proses pengumpulan dan pengambilan data berdasarkan tulisan-tulisan berbentuk catatan, buku-buku, dan

19

Suryati, “Evaluasi Program Unit Usaha Bisnis Barang bekas Berkualitas (barbeku) di Yayasan Imdad Mustadh’afin (Yasmin) Cirendeu,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013


(29)

arsip milik Puskesmas Kecamatan Tebet atau tulisan-tulisan lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Studi dokumen dilakukan melalui proses sebagai berikut:

1. Meneliti keaslian dokumen. Dalam merencanakan dan

melaksanakan suatu program pemimpin dan staf program banyak memproduksi dokumen. Sebelum meneliti isinya, evaluator menelaah keaslian semua dokumen tersebut dengan berkomunikasi kepada mereka yang ada hubungannya dengan dokumen.

2. Memilih dokumen yang diperlukan oleh evaluasi. Evaluator

memilih dokumen yang diperlukan dalam proses evaluasi setelah diverifikasi keaslian dokumen.

3. Meneliti isinya. Dalam meneliti isi dokumen, evaluator harus

selalu skeptis bahwa isi dokumen belum tentu benar atau sesuai

dengan kenyataan yang tertulis atau terekam.20

b. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya

selain panca indera lainnya seperti telinga, mulut dan kulit.21 Metode

observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik pengumpulan data

20

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 210.

21

Burhan Bugin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h. 134.


(30)

yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan. Metode observasi merupakan cara yang sangat baik untuk mengawasi perilaku subjek penelitian seperti perilaku dalam lingkungan atau ruang, waktu dan keadaan

tertentu.22 Tetapi tidak semua perlu diamati oleh peneliti, hanya

hal-hal yang terkait atau yang sangat relevan dengan data yang dibutuhkan.

Beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif ialah:

1. Observasi Partisipatif

Sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh

para warga yang ditelitinya. 23

2. Observasi terus terang atau samar

Dalam hal ini, peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada subjek penelitian sebagai sumber data, bahwa dia sebagai peneliti sedang melakukan penelitian.

22

Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian & Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 79.

23

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-Rum Media, 2012), h. 165-166.


(31)

3. Observasi tak berstruktur

Observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang

apa yang akan diobservasi.24 Observasi tidak berstruktur

dimaksud, observasi dilakukan tanpa menggunakan guide

observasi.25

4.Observasi Terkendali

Dimana para pelaku yang akan diamati oleh peneliti kualitatif diseleksi dan kondisi-kondisi yang ada di lokasi

penelitian, pelaku diamati dan dikendalikan oleh si peneliti.26

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk observasi tidak berstruktur. Dengan demikian, pada observasi ini pengamat harus mampu secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Pada observasi ini, yang terpenting adalah pengamat harus menguasai “ilmu” tentang objek secara umum dari apa yang hendak diamati, hal mana yang membedakannya dengan observasi partisipasi, yaitu pengamat tidak perlu memahami secara

teoritis terlebih dahulu objek penelitian.27

Observasi ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tebet untuk mendapatkan data seputar penelitian. Observasi dilakukan untuk mengetahui program yang di jalankan sudah efektif atau tidak bagi pasien Program Terapi Rumatan Metadon. Metode ini menjadi

24

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h.173-174.

25

Burhan Bugin, Metode Penelitian Kualitatif, h. 120.

26

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h.174.

27


(32)

penting karena peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti serta memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mempertahankan penelitian untuk mendekati masalah secara induktif. Kemudian memungkinkan peneliti untuk memperoleh data tentang hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara dan memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan.

c. Wawancara

Wawancara kualitatif merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Penggunaan dua metode ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa kini dan juga masa mendatang.

Metode wawancara kualitatif menggunakan panduan wawancara yang berisi butir-butir pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Hal ini hanya untuk memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan informasi, dan selanjutnya bergantung improvisasi si peneliti di lapangan.


(33)

Peneliti akan mewawancarai dua orang dokter, dua orang tenaga

medis, satu orang kader muda, ketua organisasi MUST (Methadone

User Society Tebet), dan enam pasien PTRM.

1. Wawancara tak terstruktur

Wawancara tak terstruktur mirip dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri tiap informan. Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya informan yang

dihadapi.28

2. Wawancara terstruktur

Wawancara terstruktur merupakan model pilihan apabila pewawancara mengetahui apa yang tidak diketahuinya dan karenanya dapat membuat kerangka pertanyaan yang tepat untuk memperolehnya. Dalam wawancara terstruktur pertanyaan ada ditangan pewawancara dan respons terletak pada informan.

3. Wawancara terbuka terstandar

Teknik pengumpulan data wawancara terbuka terstandar ini dikemukakan oleh Patton, Michael Quinn dalam penerapannya pada evaluasi program. Dalam beberapa hal, ketika melaksanakan

28


(34)

suatu evaluasi program hanya memungkinkan para partisipan

selama periode waktu yang terbatas.29

Bentuk wawancara yang dilakukan peneliti dalam penelitian, yaitu wawancara terbuka. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data dari sumber langsung tentang masalah yang akan diteliti. Bentuk wawancara terbuka, yaitu wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan dan cara penyampaiannya pun sama untuk semua responden. Jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah gabungan antara wawancara terbuka dengan wawancara terstruktur, wawancara terbuka adalah suatu wawancara yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula, apa maksud dan tujuan wawancara itu. Wawancara ini akan dilakukan secara bebas, tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah. Sedangkan wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya telah menciptakan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, wawancara ini bertujuan untuk mencari jawaban terhadap hipotesa kerja.

d. Waktu dan Tempat

Pada penelitian ini, penulis memilih Puskesmas Kecamatan Tebet sebagai objek penelitian atas beberapa pertimbangan dan alasan.

29

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h.182-183.


(35)

Puskesmas Kecamatan Tebet merupakan salah satu bidang medis yang menyediakan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM).

Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tebet yang beralamat di Jalan Prof. Supomo No. 54, Tebet, Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 27 April hingga 7 Mei 2014.

3. TeknikAnalisa Data

Analisia data pada penelitian kualitatif dilakukan melalui pengamatan data secara logis dan sistematis dan analisis data itu dilakukan sejak awal peneliti terjun ke lokasi penelitian hingga pada akhir penelitian (pengumpulan data). Secara umum dinyatakan bahwa analisis data merupakan suatu pencarian, pola-pola dalam data perilaku yang muncul, objek-objek, terkait dengan fokus penelitian.

Analisa data dilakukan dalam dua tahapan, yaitu selama proses pengumpulan data dan pada akhir pengumpulan data. Analisa data untuk penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan unit yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa-apa yang penting dan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain.30

Pada saat menganalisa data hasil observasi penulis menginterpretasikan hasil wawancara yang ada kemudian menyimpulkan setelah itu menganalisa kategori-kategori yang nampak pada data tersebut.

30

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 246-247.


(36)

Tujuan utama dari analisa data ialah untuk meringkaskan data dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah ditafsirkan sehingga hubungan

antar problem penelitian dapat dipelajari dan diuji.31 Analisa data

melibatkan upaya mengidentifikasi ciri-ciri suatu objek dan kejadian. Kategori dan analisa data diperoleh berdasarkan fenomena yang nampak pada Program Terapi Rumatan Metadon bagi pecandu Heroin di Puskesmas Kecamatan Tebet.

4. Teknik Pemilihan Informan

Informan penelitian di dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana langkah yang ditempuh agar data atau informasi dapat diperolehnya. Maka dalam penelitian kualitatif dimungkinkan

menggunakan tiga cara ini, yaitu prosedur purposif (purposive sampling),

prosedur kuota, dan prosedur snowball di dalam menentukan dan menemukan informan.

Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Purposive Sampling, yakni menentukan kelompok peserta yang

menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu. Kunci dasar penggunaan prosedur ini adalah penguasaan informasi dari informan dan secara logika bahwa tokoh-tokoh kunci di dalam proses sosial selalu langsung menguasai informasi yang

terjadi di dalam proses sosial itu.32

31

Moh Kasiram, Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cetakan ke-1, h. 128.

32


(37)

Tabel 1.2 Subjek & Informan Penelitian

NO. INFORMAN JUMLAH

(ORANG)

1. Dokter 2

2. Tenaga Medis 2

3. Kader Muda 1

5. Pasien PTRM (Subjek) 6

Tabel 1.3 Klasifikasi Pemilihan Pasien PTRM NO.

KLASIFIKASI PASIEN PTRM LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. Waktu menjadi

pasien PTRM > 1 tahun 4 2

2. Status perkawinan

Kawin 2 2

Belum

Kawin 2

Cerai

3. Pekerjaan

Belum

bekerja 1

Pelajar Ibu Rumah

Tangga 1

Wiraswasta 1

Karyawan 2 1

4. Telah mengikuti


(38)

5. Teknik Keabsahan Data

Salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan melakukan triangulasi peneliti, metode, teori, dan sumber data. Dengan mengacu kepada Denzin seperti yang dikutip oleh M. Burhan Bungin, maka pelaksanaan teknis dari langkah pengujian keabsahan ini akan memanfaatkan: peneliti, sumber, metode, dan teori.

a. Triangulasi Sumber Data

Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang dilakukan menurut Paton: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan, (5) membandingkan

hasil wawancara dengan isi suatudokumen yang berkaitan. 33

b. Triangulasi dengan Metode

Mengacu pendapat Patton seperti yang dikutip oleh M. Burhan Bungin dengan menggunakan strategi; (1) pengecekan derajat

33


(39)

kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan

data, (2) pengecekan beberapa sumber data metode yang sama.34

Triangulasi ini dilakukan untuk melakukan pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data, apakah metode yang didapat

dengan metode interview sama dengan metode observasi, atau apakah

hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika

di-interview.

c. Triangulasi dengan Teori

Dilakukan dengan menguraikan pola, hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis untuk mencari tema atau penjelasan pembanding. Seperti yang dikutip Burhan, Bardiansyah secara induktif dilakukan dengan menyertakan usaha pencarian cara lain untuk mengorganisasikan data yang dilakukan dengan jalan memikirkan kemungkinan logis dengan melihat apakah

kemungkinan-kemungkinan ini dapat ditunjang dengan data.35

6. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan sesuai dengan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan

oleh UIN Jakarta Press tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka penulis membagi dalam lima bab, sebagai berikut:

34

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 246-247.

35


(40)

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teoritis

Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai pengertian evaluasi program yang meliputi pengertian evaluasi, program dan evaluasi program. Selanjutnya penulis menguraikan tentang pengertian Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Terakhir penulis menguraikan tentang pengertian pecandu, Narkoba jenis heroin dan teori perilaku.

Bab III: Profil Lembaga

Menjelaskan tentang profil lembaga, dalam bab ini penulis menguraikan temuan dan analisa data, pertama penulis menguraikan profil Puskesmas yang mencakup latar belakang berdirinya, visi dan misi, sarana dan prasarana, struktur organisasi dan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM).

Bab IV: Temuan dan Analisa Data

Pada bab ini penulis menguraikan hasil temuan dan analisis penelitian tentang evaluasi Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) sebagai subtitusi bagi pecandu Heroin.

Bab V: Penutup

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.


(41)

26

TINJAUAN TEORITIS

A. Evaluasi Program 1. Pengertian Evaluasi

Evaluasi secara etimologi dalam kamus ilmiah popular adalah

penaksiran, penilaian, perkiraan keadaan dan penentuan nilai.1 Sedangkan

secara terminologi pengertian evaluasi menurut Casley dan Kumar seperti

yang dikutip dari Freddy S. Nggao, evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi, kinerja, efisensi dan implikasi dari suatu proyek dikaitkan

dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.2 Malcom dan Provus, sebagai

pencetus Discerepancy Evaluation seperti yang dikutip Djuju Sudjana,

menjelaskan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengetahui perbedaan antara apa yang ada dengan suatu standar yang telah ditetapkan serta

bagaimana menyatakan perbedaan antara keduanya.3

Menurut Vendung seperti yang dikutip Wirawan, evaluasi merupakan mekanisme untuk memonitor, mensistematikan, dan meningkatkan aktivitas pemerintah dan hasil-hasilnya sehingga pejabat publik dalam pekerjaannya di masa akan datang dapat bertindak serta bertanggung jawab, kreatif, dan

1

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 163.

2

Fredy S.Nggao, Evaluasi Program, (Jakarta: Nuansa Madani, 2003), h. 15.

3

Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h. 19.


(42)

seefisien mungkin. Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh lembaga publik, akan

tetapi juga dilakukan oleh perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat.4

Maka secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa evaluasi merupakan kegiatan penilaian terhadap segala macam pelaksanaan program agar dapat diketahui secara jelas bahwa apakah sasaran-sasaran yang dituju sudah dapat tercapai atau belum. Segala bentuk program apapun baik itu dalam hal profit dan non profit ataupun nirlaba dalam pelaksanaan manajerialnya sangatlah diisyaratkan untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Fungsi pengawasan dalam suatu organisasi pada umumnya terkait

dengan proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi (evaluation).5

Melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah suatu kesatuan yang saling mengisi satu dengan yang lainnya dan juga sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu program atau organisasi. Maka sudah dapat dipastikan bahwa melakukan evaluasi tidak lepas dari melakukan monitoring, begitu juga sebaliknya. Jika kegiatan monitoring atau pemantauan biasa dilakukan pada proses pelaksanaan program, maka evaluasi adalah penilaian diakhir pelaksanaan program.

Pengertian evaluasi dilaksanakan pada akhir pelaksanaan program tidaklah suatu yang mutlak harus dilakukan sedemikian rupanya. Melakukan evaluasi tidak harus dilakukan sedemikan rupanya. Melakukan evaluasi tidak

4

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 16.

5

Isbandi Rukminto Adi, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis (Jakarta: FEUI Press, Cetakan ke-3, Edisi Revisi), h. 187.


(43)

harus dilaksanakan menunggu tahap akhir program, akan tetapi juga bisa dilakukan pertengahan program kegiatan jikalau ditemukan indikasi-indikasi kejanggalan atau penyimpangan yang tidak sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan jika hanya dilakukan pada akhir kegiatan, maka kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada proses pelaksanaan kegiatan makin lama menjadi besar dan berat perbaikannya. Oleh karena itu, melalui evaluasi terhadap kekurangan dari yang kecil ini akan lebih mudah pemecahannya dan tidak akan mengganggu kelancaran proses dan tahapan kegiatan berikutnya.

2. Desain Evaluasi

Desain evaluasi adalah kerangka proses melaksanakan evaluasi dan rencana menjaring dan memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh informasi dengan presisi yang mencukupi atau hipotesis dapat diuji secara tepat dan tujuan evaluasi dapat dicapai. Menurut Rowley seperti yang dikutip oleh Wirawan, desain penelitian merupakan logika yang menghubungkan data yang akan dikumpulkan dan kesimpulan-kesimpulan yang harus ditarik ke arah pertanyaan-pertanyaan dari studi, selain penelitian memastikan terjadinya perpaduan. Cara lain memandang suatu desain penelitian adalah melihatnya sebagai rencana tindakan untuk memperoleh dari pertanyaan ke kesimpulan.

Berbeda dengan riset murni dan riset terapan lainnya, desain evaluasi terdiri dari model evaluasi dan metode penelitian. Model evaluasi menentukan jenis evaluasi apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana proses


(44)

melaksanakan evaluasi tersebut. metode penelitian menentukan jenis data apa yang akan dijaring, teknik menjaringnya, apakah akan mempergunakan metode kuantitatif, kualitatif atau metode campuran dan instrument yang akan menjaring data. Di samping itu, metode penelitian menentukan bagaimana

mentabulasi, menganalisis data dan kesimpulan hasil evaluasi.6

3. Model Evaluasi

Evaluasi itu sendiri terdiri dari berbagai jenis evaluasi diantaranya:

a. Evaluasi awal kegiatan, yaitu penilaian terhadap kesiapan program

kegiatan atau mendekati kelayakan program kegiatan.

b. Evaluasi formatif, yaitu penilaian terhadap hasil-hasil yang telah dicapai

selama proses kegiatan dilaksanakan. Waktu pelaksanaan secara rutin (per bulan, triwulan, semester atau tahunan) sesuai dengan kebutuhan informasi hasil penilaian.

c. Evaluasi sumatif, yaitu penilaian hasil-hasil yang telah dicapai secara

keseluruhan dari awal program kegiatan sampai akhir program kegiatan. Waktu pelaksanaan pada saat akhir program kegiatan sesuai dengan jangka waktu program kegiatan dilaksanakan. Untuk program kegiatan yang memiliki jangka waktu enam bulan, maka evaluasi sumatif dilaksanakan menjelang akhir bulan ke enam. Untuk evaluasi yang

6


(45)

menilai dampak program kegiatan dapat dilaksanakan setelah program

kegiatan berakhir dan diperhitungkan dampaknya sudah terlihat nyata.7

Dalam kegiatan dengan evaluasi Pietrizak, Ramler dan Gilbert mengemukakan tiga model evaluasi guna mengawasi suatu program secara lebih seksama, yaitu:

a. Evaluasi input (input) memfokuskan pada berbagai unusr yang masuk

dalam sutu pelaksanaan suatu program. Tiga unsur (variabel) utama yang terkait dengan evaluasi input adalah klien, staf dan program. Variable klien meliputi karakteristik demografi klien, seperti susunan (konstelasi) keluarga dan beberapa anggota yang ditanggung. Variabel staf meliputi aspek demografi dari staf, seperti latar belakang pendidikan staf, dan pengalaman staf. Sedangkan variable program meliputi aspek tertentu seperti lamanya waktu yang diberikan dan sumber-sumber rujukan yang tersedia. Dalam kaitan dengan evaluasi input program, ada empat kriteria yang dapat dikaji baik sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan. Kriteria tersebut adalah (1) Tujuan dan objektif; (2) Penilaian terhadap kebutuhan komunitas; (3) Standar dari suatu ‘praktek yang baik’; (4) Biaya per unit layanan.

b. Evaluasi proses (process) memfokuskan diri pada aktifitas program yang

melibatkan interaksi langsung antar klien dengan staf “terdepan” (line

7

Panduan Standarisasi Monitoring dan Evaluasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin (Departemen Sosial RI, 2005), h. 1.


(46)

staf) yang merupakan pusat dari pencapaian tujuan (objektif) program. Tipe evaluasi ini diawali dengan analisis dari system pemberian layanan dari suatu program. Dalam upaya mengkaji nilai komponen pemberian layanan, hasil analisis harus dikaji berdasarkan criteria yang relevan

lembaga; tujuan proses (proses goals) dan kepuasan klien.

c. Evaluasi hasil (outcomes) diarahkan pada evaluasi keseluruhan dampak

(overall impac) dari suatu program terhadap penerima layanan

(recipients). Pertanyaan utama yang muncul dari evaluasi ini adalah bila suatu program telah berhasil mencapai tujuannya, bagaimana penerima layanan akan menjadi berbeda setelah ia menerima layanan tersebut? Berdasarkan pertanyaan ini seorang evaluator akan mengkonstruksikan criteria keberhasilan dari suatu program. Kriteria keberhasilan ini akan dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan suatu program (berorientasi

pada program = program oriented) ataupun pada terjadinya perubahan

perilaku dari klien (berorientasi pada klien = client oriented).8

Selain itu, ada jenis model evaluasi lainnya, yaitu model evaluasi CIPP

(Context, Input, Process dan Product). Model evaluasi ini mulai

dikembangkan oleh Danile Stufflebeam pada tahun 1966. Stufflebeam mendefinisikan seperti yang dikutip oleh Wirawan, evaluasi sebagai proses

melukiskan (delineating), memperoleh, dan menyediakan informasi yang

berguna untuk menilai alternatif-alternatif pengambilan keputusan.

8

Isbandi Rukminto Adi, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis, h. 189-190.


(47)

Stufflebeam menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka yang komperhensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem.

Model CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi:

a. Evaluasi Konteks (Context Evaluation). Menurut Daniel Stufflebeam

seperti yang dikutip oleh Wirawan, evaluasi konteks untuk menjawab

pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan? (What needs to be done?)

Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang

mendasari disusunnya suatu program.9 Stufflebeam dalam Hamid Hasan

menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat

memberikan arah perbaikan yang diperlukan.10

b. Evaluasi Masukan (Input Evaluation). Evaluasi Masukan untuk mencari

jawaban atas pertanyaan: Apa yang harus dilakukan? (What should be

done?)11 Menurut Eko Putro Widyoko seperti yang dikutip oleh Dewi

Silvia, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi

9

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, h. 92.

10

Dewi Silvia, “Evaluasi Program,” artikel diakses pada 07 April 2014 dari

http://yudistiadewisilvia.wordpress.com/2013/04/24/evaluasi-program/

11


(48)

untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: 1) Sumber Daya Manusia; 2) Saran dan Prasarana; 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.

c. Evaluasi Proses (Process Evaluation). Evaluasi Proses berupaya untuk

mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah program sedang dilaksanakan? (Is it being done?)12 Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang

perlu diperbaiki.13

d. Evaluasi Produk (Product Evaluation). Evaluasi Produk diarahkan untuk

mencari jawaban pertanyaan: Did it succed? Evaluasi ini berupaya

mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka

panjang.14

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model evaluasi CIPP karena model ini lebih komprehensif diantara model evaluasi lainnya karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses dan hasil.

12

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, h. 94.

13

DewiSilvia, “Evaluasi Program.” 14


(49)

4. Indikator Keberhasilan

Dalam hubungan dengan kriteria keberhasilan yang digunakan untuk suatu proses evaluasi, Feurstein seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi mengajukan beberapa indikator yang perlu untuk dipertimbangkan, diantaranya:

1. Indikator Ketersediaan (Indicator of Availability). Indikator ini melihat

apakah unsur yang seharusnya ada dalam suatu prose situ benar-benar ada.

2. Indikator Relevansi (Indicator of Relevance). Indikator ini menunjukkan

seberapa relevan ataupun tepatnya sesuatu yang teknologi atau layanan yang ditawarkan.

3. Indikator Keterjangkauan (Indicators of Accessibility). Indikator ini

melihat apakah layanan yang ditawarkan masih berada dalam ‘jangkauan’ pihak-pihak yang membutuhkan.

4. Indikator Cakupan (Indicators of Coverage). Indikator ini menunjukkan

proporsi orang-orang yang membutuhkan sesuatu dan menerima layanan tersebut.

5. Indikator Upaya (Indicators of Efforts). Indikator ini menggambarkan

berapa banyak upaya yang sudah ‘ditanamkan’ dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.


(50)

6. Indikator Efisiensi (Indicators of Efficiency). Indikator ini menunjukkan apakah sumber daya dan aktivitas yang dilaksanakan guna mencapai tujuan dimanfaaatkan secara tepat guna (efisien) atau tidak memboroskan sumber daya yang ada dalam upaya mencapai tujuan.

7. Indikator Dampak (Indicators of Impact). Indikator ini melihat apakah

sesuatu yang kita lakukan benar-benar memberikan suatu perubahan di

masyarakat.15

5. Tujuan Evaluasi

Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan objek evaluasinya. Tujuan melaksanakan evaluasi antara lain:

a. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat. Program dirancang

dan dilaksanakan sebagai layanan atau intervensi sosial untuk menyelesaikan masalah, problem, situasi, keadaan yang dihadapi masyarakat. Program juga diadakan untuk mengubah keadaan masyarakat yang dilayani.

b. Menilai apakah program telah direncanakan sesuai dengan rencana.

Setiap program direncanakan dengan teliti dan pelaksanaannya harus sesuai dengan rencana tersebut.

15

Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis) (Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), h. 130-132.


(51)

c. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar. Setiap program dirancang dan dilaksanakan berdasarkan standar tertentu.

d. Evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan dimensi

program yang jalan, mana yang tidak berjalan.16

e. Pengembangan staf program. Evaluasi dapat dipergunakan

mengembangkan kemampuan staf garis depan yang langsung menyajikan layanan kepada klien dan para pemangku kepentingan lainnya. Evaluasi memberikan masukan kepada manajer program mengenai kinerja staf dalam melayani masyarakat.

f. Memenuhi ketentuan undang-undang. Seiring suatu program disusun

untuk melaksanakan undang-undang tertentu. Suatu program dirancang dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.

g. Akreditasi program. Lembaga-lembaga yang melayani keburuhan

masyarakat, seperti sekolah, universitas, hotel, rumah sakit, pusat kesehatan, dan perusahaan biro perjalanan perlu dievaluasi untuk menentukan apakah telah menyajikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

16


(52)

h. Mengukur cost effectiveness dan cost-efficiency. Untuk melaksanakan suatu program diperlukan anggaran yang setiap organisasi mempunyai keterbatasan jumlahnya.

i. Mengambil keputusan mengenai program. Salah satu tujuan evaluasi

program adalah untuk mengambil keputusan mengenai program.17

j. Accountabilitas. Evaluasi dilakukan juga untuk pertanggungjawaban

pimpinan dan pelaksana program. Apakah program telah dilaksanakan sesuai rencana, sesuai dengan standar atau tolak ukur keberhasilan atau tidak. Apakah dalam pelaksanaan program terjadi penyimpangan anggaran, prosedur dan waktu atau tidak. Semua hal tersebut perlu dipertanggungjawabkan oleh para penyelenggara program.

k. Memberikan balikan kepada pimpinan dan staf program. seperti yang

dikutip Wirawan, Poscav dan Carey mengemukakan bahwa evaluasi

merupakan loop balikan untuk layanan program sosial. Loop tersebut

merupakan proses mengakses kebutuhan, mengukur pelaksanaan program untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mengevaluasi prestasi pencapaian tujuan program, membandingkan pengaruh keluaran program dengan biaya serta perubahan yang diciptakan oleh layanan program.

l. Memperkuat posisi politik. Jika evaluasi menghasilkan nilai yang positif,

kebijakan, program atau proyek akan mendapat dukungan dari para

17


(53)

pengambil keputusan-legislatif dan eksekutif-dan anggota masyarakat yang mendapatkan layanan atau perlakuan.

m. Mengembangkan teori ilmu evaluasi atau riset evaluasi. Pada awalnya

evaluasi dilaksanakan tanpa landasan teori, hanya merasa suatu program perlu dievaluasi untuk mencari kebenaran mengenai program sosial. Praktik melaksanakan evaluasi yang berulang-ulang, mengembangkan asumsi bahwa evaluasi dilaksanakan untuk mengukur apakah tujuan

program dapat dicapai atau tidak.18

6. Pengertian Program

Program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk

melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas.19

Program adalah sederetan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok organisasi, lembaga bahkan negara. Seorang kelompok organisasi, lembaga bahkan negara mempunyai suatu program. Suharsimi Arikunto mengemukakan program sebagai berikut: “Program adalah sederetan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai

suatu kegiatan tertentu”.20

7. Macam-macam Program

Macam atau jenis program dapat bermacam-macam wujud, jika ditinjau dari berbagai aspek. Program ditinjau dari:

18

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, h. 24-25.

19

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, h. 17.

20


(54)

a. Tujuan

b. Jenis

c. Jangka waktu

d. Keluasan

e. Pelaksanaannya

f. Sifatnya

8. Tujuan Program

Tujuan program adalah sasaran atau maksud yang harus dicapai dalam proses pelaksanaan kegiatan yang direncanakan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto sebagai berikut, “Tujuan program merupakan suatu yang pokok dan harus dijadikan pusat perhatian oleh evaluator. Jika suatu program tidak mempunyai tujuan yang tidak bermanfaat, maka program tersebut tidak perlu dilaksankan tujuan

menentukan apa yang akan diraih.”21

9. Evaluasi Program

Evaluasi program adalah metode sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar

mengenai program.22

21

Fredy S. Nggao, Evaluasi Program, h. 23.

22


(55)

Evaluasi program dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan standar minimum yang telah disepakati guna mengukur

efekrivitas, kesesuaian dan dampak. 23

Paulson bukunya “A Strategy for Evaluation Design”, yang dikutip

oleh Grotelueschen mengemukakan bahwa evaluasi program adalah proses pengujian berbagai objek atau peristiwa tertentu dengan menggunakan ukuran-ukuran nilai khusus dengan tujuan untuk menentukan keputusan-keputusan yang sesuai. Berdasarkan pengertian ini, maka evaluasi program adalah kegiatan pengujian terhadap suatu fakta atau kenyataan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan.

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa evaluasi program kita dapat mengukur dan menilai sesuatu program sehingga kita mengetahui nilai program tersebut. Dengan demikian, evaluasi program merupakan kegiatan yang teratur dan berkelanjutan dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk memperoleh data yang berguna bagi pengambilan keputusan.

B. Terapi

Terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit,

pengobatan penyakit, perawatan penyakit.24 Dalam kamus kedokteran terapi diartikan

23

Pusat Studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial Indonesia, ed., Pengelolaan Kesehatan Masyarakat dalam Kondisi Bencana (Yogyakarta: GRHA Yudistira, t.t), h. 78.

24

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1998), h. 935.


(56)

sebagai pemberian pertolongan kepada orang sakit, usaha menyembuhkan orang sakit

atau bisa juga diartikan sebagai cara pengobatan.25

Sedangkan dalam kamus lengkap psikologi dikatakan bahwa terapi

merupakan suatu bentuk perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada

penyembuhan suatu kondisi yang menyimpang (patologis) pada diri seseorang.26

Menurut Dadang Hawari, prinsip terapi adalah berobat dan bertobat, berobat artinya membersihkan NAPZA dari tubuh pasien, bertobat artinya si pasien memohon petunjuk Allah SWT, berjanji tidak akan mengulanginya dan memohon kekuatan iman agar tidak lagi untuk mengkonsumsi NAPZA karena disamping perawatan medis, maka solat, doa dan zikir merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Sesuai dengan firman Allah SWT surah al-Baqarah ayat 186 yang artinya: “Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila berdoa kepadaKu.”

Hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat mengenai sasarannya maka dengan izin Allah, penyakit itu sembuh.”

(H.R. Muslim dan Ahmad).27

C. Terapi Rumatan

Terapi rumatan atau yang biasa disebut Maintenance Therapy adalah

penggunaan obat terus-menerus untuk waktu tertentu setelah infeksi dionati, untuk

mencegah kekambuhan atau pemburukan.28

25

Ahmad Ramli, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 354.

26

J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, penerjemah: Kartini Kartono, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 507.

27

Muhammad Saifuddin, “Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari http://kesehatanmuslim.com/setia-penyakit-ada-obatnya/


(57)

D. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

1. Sejarah Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

Metadon pertama kali dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1937 untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan minimnya pasokan opium mentah selama perang berlangsung. Opium mentah ini penting digunakan sebagai bahan baku morfin yang pada saat itu digunakan untuk keperluan di medan perang. Secara medis telah dilakukan uji coba oleh para ahli militer Jerman selama masa 1939-1940. Namun pada saat itu didapatkan hasil bahwa metadon ini mempunyai efek toksik dan efek ketergantungan yang terlampau besar. Tidak ideal jika digunakan oleh tentara yang terluka di medan perang.

Obat ini selanjutnya diberikan nama Dolophine yang berasal dari bahasa latin dolor yang artinya nyeri. Kebanyakan obat untuk mengatasi rasa nyeri akan menggunakan DOL misalnya dipidolor (piritramide) dan dolantin (pethidine). Istilah ini tidak hanya dipakai di Jerman saja, namun juga dipakai di seluruh Negara di dunia. Pada bulan September 1942, Bockmuhl dan Ehrhart mempatenkan substansi ini yang kemudian mereka sebut sebagai Hoecsht 1820 atau polamidon yang pada saat itu strukturnya tidak ada hubungannya dengan morfin atau alkaloid opoid.

Metadon diperkenalkan pertama kali di AS pada tahun 1947 oleh Eli Lilly sebagai sebuah analgesik. Pada saat itu diberikan nama dagang Dolophine, yang sekarang penamaan ini dipakai oleh Roxane Laboratories.

28

Yayasan Spiritia, “Daftar Istilah”, artikel diakses pada 31 Agustus 2014 dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=999


(58)

Semenjak saat itu, metadon dikenal sebagai substansi penanganan rumatan kecanduan narkotik. Pada awalnya metadon banyak beredar di jalanan dan

ternyata terbukti mengurangi efek sakaw pada para pecandu. Pada saat itu

metadon juga sudah dipakai dibanyak Rumah Sakit. Secara resmi metadon mulai diperkenalkan sebagai rumatan kecanduan opioid semenjak dipublikasikannya sebuah penelitian oleh Prof. Vincent Dole dari Rockefeller University di New York. Bersama-sama dengan koleganya, Marie Nyswander dan Mary Jeanne Kreek, mereka mulai mengenalkan konsep bahwa kecanduan adalah sebuah penyakit yang bisa disembuhkan. Sampai saat ini, terapi rumatan metadon telah banyak diteliti secara sistematik dan mempunyai cerita sukses yang banyak dan paling bisa diterima secara politis jika dibandingkan dengan model lainnya dalam penanganan farmakologi pada

kecanduan opioid.29

Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dimulai dari suatu hasil uji coba yang dilakukan WHO yang mendapatkan penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS yang terutama diakibatkan penggunaan narkoba jenis heroin dengan bertukaran jarum suntik secara sembarangan. Penyebaran HIV yang sangat cepat diantarapengguna jarum suntik membutuhkan usaha terapi yang komprehensif. Sehubungan dengan itu, WHO bekerjasama dengan pemerintah

29

Komunitas Methadone Indonesia, “What is Methadone?”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari http://methadone.blog.com/


(59)

Indonesia (DEPKES) mengadakan pilot project berupa program rumatan

metadon untuk subtitusi heroin dengan menggunakan metadon.30

Sejak mulai diterapkan tahun 2003-2004 melalui proyek pilot di Rumah Sakit Sanglah Bali dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, pencegahan penularan HIV dikalangan pengguna NAPZA suntik melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Indonesia terus berkembang di Rumah Sakit dan Puskesmas.

Keberadaan klinik layanan metadon sangat penting mengingat tingginya tingkat penularan HIV dikalangan pengguna NAPZA suntik. Melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), seorang pecandu yang biasanya menyuntikkan NAPZA jenis heroin atau yang biasa dikenal dengan putaw, diberikan terapi agar mengubah kebiasaannya itu dengan meminum cairan metadon dibawah supervisi medis sehingga resiko atau kemungkinan

tertular HIV dari jarum suntik menjadi berkurang.31

Menurut pengakuan salah satu pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang bernama Faizal Rahman, ia adalah mantan pengguna NAPZA suntik aktif jenis putaw dan sudah kecanduan sejak umur 14 tahun. Faizal telah mengikuti berbagai pengobatan atau rehabilitasi untuk mengatasi

kecanduaannya namun ia kembali relapse atau kambuh menggunakan putaw

kembali. Hingga akhirnya pada Juni tahun 2006 Faizal mendapatkan

30

Nurul Arifin, “Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari http://nurularifin.com/read/narkoba/program-terapi-rumatan-metadon-ptrm/

31

Tri Irwanda M, “Program Terapi Rumatan Metadon di Indonesia”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari http://okzone.com/read/2008/03/26/230/94953/program-terapi-rumatan-metadon-di-indonesia/


(60)

informasi dari teman sesama pecandu bahwa telah ada Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Setelah itu ia datang ke Puskesmas Tanjung Priok dan mengikuti berbagai berbagai persyaratan untuk mengikuti terapi metadon. Sampai saat ini Faizal telah merasa banyak perubahan positif yang terjadi dalam hidupnya, seperti kebiasaan menyuntik yang sulit hilang, kini dengan mengkonsumsi metadon memberikan harapan baru bagi masa depan

dirinya dan para pecandu heroin/putaw.32

2. Pengertian Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Nomor 2 Tahun 2007 Tentang

Kebijakan Nasional Dampak Buruk Penggunaan Narkoba Suntik (Harm

Reduction) menetapkan bahwa salah satu program pencegahan penularan

penyakit di kalangan pengguna heroin atau NAPZA suntik adalah Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). PTRM merupakan metode rehabilitasi

mantan pecandu narkoba, khususnya Putaw dan merupakan salah satu bentuk

program dengan pendekatan pengurangan dampak buruk yang bertujuan unuk meningkatkan kesehatan pengguna Narkoba (Heroin) sehingga para pecandu Heroin dapat beraktivitas secara normal dan produktif sehingga dapat

menekan tingkat kriminalitas.33

32

North Methadone Community (NMC), “Methadone”, artikel diakses pada 07 April 2014 dari http://methadone-indonesia.blogspot.com /

33

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Seputar HIV & AIDS (Jakarta: PKBI, 2011), h. 39.


(61)

3. Farmakalogi Metadon

Metadon adalah suatu agonis opioid sintetik yang kuat dan diserap dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral dibawah supervisi dokter dan digunakan untuk terapi pengguna heroin.

Waktu kerja metadon pada umumnya adalah sekitar 24 jam. Penggunaan secara berkesinambungan akan diakumulasi pada berbagai bagian tubuh, namun khususnya pada hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa toleransi atas penggunaan metadon berjalan lebih lambat dari penggunaan heroin. Efek analgesic dirasakan dalam 30 hingga 60 menit setelah diminum dan terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu satu hingga dua jam setelah diminum, hal ini membuat metadon tidak segera menimbulkan perasaan euphoria sebagaimana heroin. Penghentian metadon secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat.

Gejala putus zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian dan dialami beberapa hari lebih lama daripada gejala putus zat heroin.

Efek samping yang pada umumnya dirasakan dalam waktu lama adalah konstipasi, berkeringat secara berlebihan, keluhan berkurangnya libido dan disfungsi seksual. Namun efek samping ini dilaporkan semakin dapat diatasi

seiring dengan retensi pasien berada dalam program.34

34

Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Metadon (Jakarta: Kemenkes RI, 2013), h. 34-35.


(62)

4. Waktu Pelayanan PTRM

Pelayanan PTRM buka setiap hari, tujuh hari dalam seminggu dengan jam kerja berorientasi pada kebutuhan pasien untuk menjamin aksesbilitas. Walaupun demikian, penerimaan pasien baru hanya dapat dilakukan pada hari Senin sampai Rabu, guna penyesuaian pemberian dosis yang terpantau dengan ketat oleh dokter.

Penerimaan pasien baru di luar hari Senin sampai Rabu, dapat dilakukan sepanjang tersedia dokter jaga pada akhir pekan. Pelayanan pada hari-hari besar dapat disesuaikan dan diputuskan secara lokal oleh Rumah Sakit Pengampu dalam hal ini Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Dinas Kesehatan setempat, tanpa mengabaikan kebutuhan pasien.

5. Alur Layanan PTRM

PTRM tidak hanya memberikan metadon semata-mata melainkan juga intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien.

Alur layanan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Alur Layanan PTRM

Sumber: Peraturan Menkes RI No. 57 Tahun 2013

Proses Penerimaan

• Informasi tentang metadon, assessment, rencana terapi, pemeriksaan penunjang

Proses Inisiasi & Stabilisasi

• Farmakoterapi lain, konseling adiksi, konseling HIV, pengobatan ARV bila perlu

Proses Rumatan Assessment lanjutan, konseling kepatuhan, urinalisis sewaktu-waktu, farmakoterapi & konseling yang dibutuhkan


(1)

177

LAMPIRAN :Hasil Wawancara dengan Ibu Devi

Nama : Devi

Jabatan : Petugas medis/suster

Hari/Tanggal : Senin/5 Mei 2014

Pukul : 13.00

Tempat Wawancara : Puskesmas Kecamatan Tebet

Hasil Wawancara

1. Berapa lama Anda menjadi petugas di Program Terapi Rumatan Metadon? Jadi petugas disini sejak tahun 2008.

2. Apakah Anda pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan Program Terapi Rumatan Metadon?

Pelatihan seperti seminar, pelatihan waktu itu sih tidak ada praktek ya, pelatihan waktu itu hanya pemberian materi-materi saja. Saya pelatihan di tahun 2012 dan dapat pelatihan dari Depkes.

3. Apakah tugas dan tanggung jawab Anda (sesuai jabatan)?

Mencatat pelaporan pasien, kadang-kadang konseling, konseling sih ngga spesifik. Cuma ngebantu misalnya pasien ada yang minta THD boleh ngga, kita akan amati, kalau misalnya memang akan beresiko maka kita tidak akan kasih, dokter pun kadang minta saran kepada perawat, karena kita sering berhadapan dengan pasien.


(2)

178

4. Menurut Anda apakah yang membedakan pasien yang telah mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon dan belum mengikuti program?

Jauh lebih baik dari awal-awal, dari sikap ke kitanya aja sudah keliatan kok. Tidak perlu bekerja menjadi patokan, fisiknya saja lebih baik itu sudah menjadi lebih baik.

5. Apakah kriteria untuk mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon?

Yang pasti dia pemakai heroin, harus ada wali, pasien mau ontime datang untuk minum, pemakaian (menggunakan heroin) juga sudah lama, kalau dia baru awal-awal pakai kita engga akan sarankan untuk dia mengikuti metadon.

6. Mengapa terapi metadon dipilih sebagai subtitusi pecandu Heroin?

Metadon itu sudah dilegalkan dan dibawah pengawasan dokter sebagai subtitusi heroin.

7. Bagaimana peran pimpinan dalam pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon?

Beliau sebagai koordinator juga suka meminta saran kepada kami mengenai pasien-pasien. Bagus juga si mau mendengarkan masukkan dan berdiskusi bersama.

8. Menurut Anda, apakah sarana dan prasarana yang tersedia sudah cukup baik? Mungkin masalah tempat ya, kita kan ada di bawah dan tempatnya itu minimalis banget dipojokkan (ujar sambil tertawa kecil), apoteker yang di depan juga kasian tempatnya sempit kecil. Ya… semogalah ruangan bisa lebih layak aja. Kalau untuk pasien sebenearnya kita memang tidak menyediakan lahan untuk mereka karena kita juga tidak mau mereka berlama-lama nongkrong. Untuk KDS sih biasanya kita bikin acara resmi di aula, tapi untuk ruangan mereka sendiri kita sih belum menyarankan.

9. Apa saja kendala yang Anda alami dalam pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon?

Kendalanya mungkin menghadapi pasien-pasien ya, pasien lebih menggampangkan peraturan yang ada, mungkin mereka melihat temannya


(3)

179

lebih gampang dapat THD tapi kenapa saya engga. Padahal dia kan anak baru dan untuk mendapatkan THD melalui beberapa prosedur tidak semudah itu. Kalau mereka ada masalah dengan petugas atau berulah dengan petugas biasanya bisa kita DO tapi kalau ada masalah dengan sesama temannya biasanya kita kasih peringatan, juga kita serahkan kepada kelompoknya (MUST). Kalau masalah solidnya engga usah diragukanlah yaa..untuk mereka. Jadi kalau sudah mengancam dan membuat ketidaknyamanan petugas sudah pasti akan di DO.

10.Bagaimana penjangkauan yang dilakukan Puskesmas kepada pasien Program Terapi Rumatan Metadon?

Penjangkauan kita disini juga ada kader muda, selain itu juga ada LSM.

11.Menurut Anda, apa saja faktor yang diperlukan agar pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon lebih baik?

Fasilitas, honor juga bisa kali ya (hehehe) karena setiap hari Sabtu Minggu kita kan juga masih buka (PTRM), walaupun sebenrnya juga ada shift.

12.Menurut Anda, apakah Program Terapi Rumatan Metadon sudah sesuai dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Tebet?

PTRM sudah dilaksanakan sesuai dengan standar, tinggal komitmen dari para petugas saja dan pengetahuan dari para petugas, misalnya IPWL.


(4)

180

LAMPIRAN :Hasil Wawancara dengan Ibu Juju

Nama : Juju

Jabatan : Petugas medis/suster

Hari/Tanggal : Senin/5 Mei 2014

Pukul : 12.00

Tempat Wawancara : Puskesmas Kecamatan Tebet

Hasil Wawancara

1. Berapa lama Anda menjadi petugas di Program Terapi Rumatan Metadon? Jadi petugas PTRM sejak 2007.

2. Apakah Anda pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan Program Terapi Rumatan Metadon?

Jadi begini… setelah PTRM terbentuk saya sudah ada di poli PTRM tapi pelatihannya setelah saya terjun di PTRM, dua tahun di metadon baru saya ikut pelatihan. Pelatihannya memang setelah program berjalan tapi karena kita sudah terjun langsung. Jadi, sudah enggak aneh karena sudah tahu karakter mereka. Pelatihan dari emenkes, seputar metadon, cara-cara menghadapi pasien sampai dosis dan semuanya.

3. Apakah tugas dan tanggung jawab Anda (sesuai jabatan)?

Saya ini kan perawat. Jadi, sebelum ketemu dokter kan biasanya pasien ketemu kita dulu, kita liat anak ini butuh konsul apa tidak. Di awal pertama kali buka saya juga bantu konseling dan juga merangkap urusan dosis. Sewaktu kita ikut pelatihan, kita harus mampu menghandle kalau sewaktu-waktu farmasi tidak ada.


(5)

181

4. Menurut Anda apakah yang membedakan pasien yang telah mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon dan belum mengikuti program?

Banyak perubahan perilaku sikap, pasti yah.. terus yang tadinya urakan jadi rapih bersih. Selama ini saya bekerja baru ini anak-anak terlihat sekali ada perubahannya dari yang tempramen tinggi kasar sekarang sudah ada perubahan. Anak seperti itu kan perlu perhatian, kita suka ajak mereka “Coba deh untuk liat hasil cek darah”, takutnya kan mereka belum buka hasil cek darah. Anak itu kita rangkul, kan banyak yang masih mengaggap mereka sampah dan kalau kesini kita tanya, “Kamu kalau kesini sudah mandi belum sih?” jadi hal atau pertanyaan kecil seperti itu saja kita perhatikan. Sebenernya dimana anak tersebut sudah mau datang itu sudah ada perubahan. Kan selama tujuh tahun dia datang cuma minum, pasti dia akan jenuh tapi kalau dia datang terus itu terlihat ada perubahan.

5. Apakah kriteria untuk mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon?

Pemakai positif heroin, kita akan konsul dia ikut itu atas kemauan siapa, kemauan dia atau kemauan orang tua. Kalau karena kemauan orang tua kita tidak bisa terima karena sewaktu-waktu dia kan bisa kambuh lagi. Oleh karena itu, saat pendaftaran pasien harus membawa pendamping. Setelah itu kita konseling apakah kamu benar-benar mau berubah. Kita akan tanya apakah kamu sanggup untuk sekian tahun datang setiap hari hanya untuk minum. Kalau mereka sanggup kita akan minta dia tulis di atas materai.

6. Mengapa terapi metadon dipilih sebagai subtitusi pecandu Heroin? Untuk menutup mata rantai HIV.

7. Bagaimana peran pimpinan dalam pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon?

Peran pimpinan ya baguslah, bagus banget. Kalau dokter Elizabeth memang kurang tegas, tidak bisa galak istilahnya, kadang-kadang kalem.

8. Menurut Anda, apakah sarana dan prasarana yang tersedia sudah cukup baik? Sarana dan prasarana kurang, anak-anak ini memang membutuhkan pra sarana, kalau dulu kita punya aula di Menteng Dalam, ada aula disitu. Nah kadang-kadang ada kegiatan, misalnya dari LSM mana kasih kegiatan cara


(6)

182

bikin cokelat dan mendapatkan keterampilan. Minimal bangku saja, ruangan konsultasi juga tidak sesuai, yang namanya ruang konsultasikan tidak kedengaran dari luar, namanya juga pribadikan, kalau disana kamu bisa lihat gimana.

9. Apa saja kendala yang Anda alami dalam pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon?

Paling anak-anak saja yang kurang disiplin, misalnya kita janji ketemu jam 11 tapi jam 1 atau jam 2 baru datang. Alasannya ketiduran lah tapi sebenarnya kita sudah bantu kalau misalnya mereka telat datang, mereka bisa telepon dan ambil metadonnya di apotek. Saya juga kasihan kalau misalnya dosis mereka tinggi terus dia engga minum, nanti yang ada dia bisa makai (Narkoba) lagi.

10.Bagaimana penjangkauan yang dilakukan Puskesmas kepada pasien Program Terapi Rumatan Metadon?

Kalau ada masalah-masalah kejiwaan itu biasanya nanti akan ditangani dokter Fadlinah. Kalau kita kan melakukan pendekatan, kita akan kasih semangat misalnya ada yang tau hasil lab positif (HIV) kita akan memotivasinya agar tidak putus asa, misalnya kita mengingatkan bahwa orang yang hidup akan mati, lebih baik kamu sekarang tobat. Makanya saya sangat ingin dalam program ini juga diadakan siraman rohani seperti pengajian, kalau dulu kita suka solat jamaah. Terkendalanya sebenarnya selain waktu dan tempat, anak-anaknya juga maunya ada imbalan, misalnya dikasih snack padahal maksud kita kan untuk memberi ilmu.

11.Menurut Anda, apa saja faktor yang diperlukan agar pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon lebih baik?

Partisipasi kepala Puskesmas, juga partisipasi ketua metadonnya karena kasian juga mereka kan kumpul yang ditaman Honda itu.

12.Menurut Anda, apakah Program Terapi Rumatan Metadon sudah sesuai dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Tebet?


Dokumen yang terkait

Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Menjalankan Program Terapi Pada Pasien Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Bogor Timur Kota Bogor

0 30 138

PENDAHULUAN Pengaruh Konseling Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Manahan Solo.

0 1 8

DAFTAR PUSTAKA Pengaruh Konseling Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Manahan Solo.

0 1 4

PENGARUH KONSELING TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI Pengaruh Konseling Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Manahan Solo.

0 0 15

PENGARUH KONSELING TERHADAP PENURUNAN DEPRESI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON Pengaruh Konseling Terhadap Penurunan Depresi Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Manahan Solo.

0 3 15

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KETERATURAN TERAPI RUMATAN METADON DI KLINIK Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan Surakarta.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KETERATURAN TERAPI RUMATAN METADON DI KLINIK PROGRAM TERAPI Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan Surakarta.

0 2 14

PENDAHULUAN Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan Surakarta.

0 1 4

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KETERATURAN TERAPI RUMATAN METADON DI KLINIK PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan

0 0 19

Faktor Yang Melatarbelakangi Keikutsertaan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) Pengguna Heroin Dalam Mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Di Poliklinik Lapas Klas IIA Denpasar.

0 2 33