Jumlah Penghasilan Dari Usaha Sapi Perah

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi

Bandung memiliki Gerakan Cikapundung Bersih untuk Sungai Cikapundung yang memiliki masalah utama sedimentasi hingga 1 juta tontahun. Banyaknya sampah dari limbah kotoran ternak, limbah rumah tangga, limbah industri yang masuk ke sungai, tidak tersedianya sempadan sungai serta alih fungsi lahan dalam periode 2005-2012 mengakibatkan rusaknya ekosistem dan bencana alam. Faktor utama dari masalah di Sungai Cikapundung ialah pencemaran. Pencemaran merupakan proses masuknya polutan ke dalam lingkungan yang ada di sekitar, baik berupa faktor abiotik benda mati maupun faktor biotik makhluk hidup sehingga menurunkan mutu lingkungan. Perlu diperhatikan dampak negatif dari pencemaran lingkungan, tanah, air, dan udara, namun yang menjadi perhatian utama dari pencemaran di Sungai Cikapundung ini adalah pencemaran oleh limbah ternak. BPPT terlibat dalam mengatasi limbah kotoran ternak di Sungai Cikapundung, dimana pada hulu di sungai tersebut terdapat sentra peternakan yang terletak di Desa Suntenjaya. Desa tersebut merupakan salah satu penyebab Sungai Cikapundung tercemar, sekitar 30 penduduknya hidup sebagai peternak, setiap hari mereka membuang kotoran sapi ke saluran-saluran yang bermuara ke Sungai Cikapundung. Setiap ekor sapi ternak menghasilkan 20-40 kg limbah yang kemudian dibuang ke sungai sehingga menyebabkan tingkat pencemaran tinggi, hal ini menyebabkan kerugian ekonomi karena adanya manfaat-manfaat dari Sungai Cikapundung yang hilang karena pencemaran sungai tersebut. Desa Suntenjaya sendiri telah memiliki pengolahan limbah, namun prinsip dari para peternak di desa tersebut salah, limbah yang digunakan untuk energi hanya digunakan sebagai keperluan rumah tangga, sehingga sisa dari limbah tersebut tetap dibuang ke sungai sehingga menyebabkan tingkat pencemaran yang tinggi. Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai, dan sebagainya. Hal tersebut merugikan faktor industri, yaitu PDAM Tirtawengi Kota Bandung yang memanfaatkan air Sungai Cikapundung untuk mengelola air minum sekitar Kota Bandung, akibat dari pencemaran tersebut PDAM memiliki beban untuk melakukan perawatan yang lebih besar untuk mendapatkan air bersih , sehingga diperlukan suatu proses pengolahan air, dalam hal ini membutuhkan biaya yang lebih besar. Hal ini akan berbeda apabila PDAM Tirtawengi berada di hulu, karena biaya yang dibutuhkan untuk mengelola air pasti lebih murah. Selain dimanfaatkan untuk air minum, Sungai Cikapundung juga terdapat instalasi untuk pembangkit listrik, namun dengan terjadinya pencemaran membutuhkan perawatan yang lebih besar untuk mengolah air agar Sungai Cikapundung menjadi bersih kembali. Sungai Cikapundung merupakan anak sungai dari Sungai Citarum, dimana sungai ini terindikasi terdapat kandungan BOD, COD, N, Sulfur, dimana kandungan nilai BOD dan COD nya melebihi ambang batas. Tingginya kedua parameter kimia ini menunjukkan nilai DO atau oksigen terlarut di air semakin rendah yang mengakibatkan terjadinya pencemaran. Nilai BOD dan COD sangat tinggi dan melebihi baku mutu untuk semua kelas air. Pada reference point, BOD berkisar 1.7 mgL, sementara di bagian hilir sungai nilai BOD mencapai 9.36 mgL hingga 523.00 mgL. Beban pencemaran organik sungai Citarum menunjukkan magnitude 43 hingga 261 kali dibanding baku mutu kelas air berdasarkan nilai BOD. Sementara berdasarkan nilai COD, beban pencemaran organik mencapai 11 hingga 111 kali di atas baku mutu kelas air Sunardi dan Sumiarsa 2012. Sungai Cikapundung secara khusus memiliki nilai BOD pada bagian hulu yaitu 15.9 mgL dan 55.0 mgL pada bagian hilir, sedangkan untuk nilai COD pada bagian hulu sebesar 28.62 mgL dan 79.76 mgL pada bagian hilir BPLH Kota Bandung 2006. Dampak dari pencemaran Sungai Cikapundung tersebut sangat buruk, sebab bahan-bahan organik mengkonsumsi oksigen sampai pada level yang mungkin membahayakan kehidupan organisme perairan. Organisme konsumen seperti ikan-ikan, makroinvertebrata, dan zooplankton mungkin tidak dapat bertahan pada kondisi oksigen terlarut yang rendah. Dengan kata lain, pencemaran dari bahan- bahan organik mengancam biodiversitas air Sunardi dan Sumiarsa 2012. Upaya menghilangkan pencemaran dari kandungan berbahaya di Sungai Cikapundung tersebut terdapat beberapa metode yaitu biogas serta fitoremediasi. Fitoremediasi dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Pada fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun. Dari beberapa metode fitoremediasi tersebut yang paling efektif dalam membersihkan Sungai Cikapundung adalah biogas. Biogas merupakan cara yang efektif untuk menanggulangi masalah pencemaran di Sungai Cikapundung. Dalam mengolah limbah harus mempertimbangkan faktor ekonomi, apabila limbah tersebut dijadikan biogas maka akan memberi manfaat ke masyarakat. Adanya biogas ini dapat menurunkan pencemaran hingga 70, sisa 30 tersebut dapat menggunakan cara-cara yang lain, seperti fitoremediasi dengan mengabsorp polutan-polutan dengan tanaman, sehingga tanaman-tanaman tersebut akan lebih subur adapun Sistem Constructed Wetland merupakan salah satu cara untuk pengolahan lindi yang memanfaatkan simbiosis mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman. Apabila kandungan zat- zat organik dalam limbah tinggi, maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk mendegradasi zat-zat organik tersebut, sehingga nilai BOD dan COD limbah akan tinggi pula. Oleh karena itu untuk menurunkan nilai BOD dan COD limbah, perlu dilakukan pengurangan zat-zat organik yang terkandung di dalam limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengurangan kadar zat-zat organik yang ada pada limbah cair sebelum dibuang ke perairan, dapat dilakukan dengan mengadsorbsi zat-zat tersebut menggunakan adsorben. Metode fitoremediasi mengandalkan pada peranan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik. Mengingat akan kekayaan hayati