Pembiayaan Industri Kecil dan Rumahtangga Non Pangan
106 adalah sebesar 7 orang atau 14 persen, sedangkan dari modal sendiri sebesar 27
orang atau 54 persen. Sumber pembiayaan bank yang dimanfaatkan oleh IKRT pangan adalah Bank Rakyat Indonesia BRI, BNI, Bank Jabar, dan Bank Ulam.
Tabel 10 menunjukkan bahwa pengusaha IKRT pangan memiliki aksessibilitas yang cukup besar pada sumber pembiayaan formal yaitu sekitar 64
persen, sedangkan partisipasi pengusaha pada sumber pembiayaan formal sebesar 46 persen. Partisipasi pengusaha IKRT pangan pada sumber pembiayaan formal
lebih tinggi daripada IKRT non pangan. Lokasi pengusaha IKRT pangan yang lebih dekat dengan pusat ekonomi dan pasar memberikan peluang yang lebih
besar untuk berpartisipasi dalam sumber pembiayaan formal. Alasan-alasan pengusaha IKRT pangan untuk tidak berpartisipasi dalam
sumber pembiayaan formal dapat dilihat pada Tabel 11. Alasan IKRT non pangan dan pangan untuk tidak berpartisipasi pada sumber pembiayaan formal
hampir sama, tetapi memiliki tingkat persentase yang berbeda. Alasan IKRT pangan untuk tidak berpartisipasi pada sumber pembiayaan formal lebih
disebabkan oleh faktor takut meminjam karena resiko tidak dapat membayar yaitu sebesar 22.22 persen, diikuti oleh alasan tidak memiliki informasi, tidak
membutuhkan modal dari perbankan, dan tidak memiliki jaminan masing-masing sebesar 14.81 persen. Alasan tingkat bunga tinggi dan malas berurusan dengan
bank sebesar 11.11 persen, sedangkan alasan bahwa modal sudah dipenuhi oleh suplier tidak ada. Sama halnya dengan IKRT non pangan, pengusaha IKRT
pangan juga termasuk dalam golongan risk averse, yaitu takut menanggung resiko dalam menggunakan sumber dana eksternal. Hal ini dikaitkan dengan pendapatan
usaha pangan yang dirasakan masih belum bisa untuk membayar angsuran pinjaman.
Alasan tidak memiliki jaminan juga memiliki persentase yang lebih besar pada pengusaha IKRT pangan, karena jumlah pengusaha yang tidak memiliki
tanah dan berstatus mengontrak lebih besar yaitu sekitar 40 persen dari seluruh sampel IKRT pangan. Alasan modal sudah dipenuhi oleh suplier pada pengusaha
pangan tidak ada, karena pengusaha IKRT pangan tidak terikat dengan suplier seperti pada IKRT non pangan. Pengusaha IKRT pangan pada umumnya menjual
hasil produksinya sendiri ke pasar yang berada di sekitar wilayah IKRT tersebut,
107 seperti Pasar Citereup, Pasar Cibinong, dan Pasar Cileungsi. Berbeda dengan
pengusaha IKRT non pangan yang hanya memproduksi produknya saja dan tanpa langsung memasarkan produknya ke konsumen akhir.
Sifat produk yang berbeda antara IKRT non pangan dan pangan akan mempengaruhi pasar dari kedua kelompok usaha tersebut. Produk IKRT non
pangan yang lebih elastis terhadap harga membuat permintaan terhadap produk tersebut lebih berfluktuasi. Produk IKRT non pangan yang merupakan barang
normal, yaitu permintaan akan barang meningkat dengan meningkatnya pendapatan maupun harga dan sebaliknya, maka tingkat fluktuasi dari permintaan
barang akan lebih tinggi. Produk IKRT pangan merupakan kebutuhan pokok yang bersifat inelastis. Secara umum permintaan terhadap produk pangan tidak akan
berubah banyak dengan berubahnya pendapatan maupun harganya, karena kebutuhan masyarakat akan produk tersebut tidak akan banyak berubah, bahkan
mengarah kepada barang inferior. Tabel 13 menunjukkan distribusi sampel IKRT pangan yang menggunakan
sumber pembiayaan formal. Jumlah kredit yang dipinjam berhubungan positif dengan besar aset dan nyata pada taraf
α 10 persen. Pengusaha IKRT pangan yang meminjam ke pembiayaan formal pada umumnya memiliki aset dibawah
Rp 50 juta, ini mengindikasikan bahwa pengusaha IKRT pangan pada umumnya merupakan usaha mikro atau usaha rumahtangga. Jumlah pengusaha IKRT
pangan yang memiliki aset dibawah Rp 50 sebesar 78.26 persen, sedangkan yang memiliki aset diatas Rp 50 juta sebesar 21.74 persen. Jumlah kredit yang dipinjam
secara umum meningkat dengan meningkatnya jumlah aset yang ada. Korelasi antara jumlah kredit yang dipinjam dengan besar omset
berhubungan positif dan nyata pada taraf α 5 persen namun hubungannya kecil.
Ini menunjukkan peningkatan besar omset, maka jumlah kredit yang dipinjam juga meningkat. Distribusi sampel berdasarkan besar omset tidak jauh berbeda
antara pengusaha IKRT pangan yang mempunyai omset kurang dari Rp 300 juta dengan yang memiliki besar omset diatas Rp 300 juta. Jumlah pengusaha IKRT
pangan yang meminjam kredit sumber pembiayaan formal yang memiliki besar omset dibawah Rp 300 juta relatif lebih besar, yaitu sebesar 52.17 persen,
sedangkan yang memiliki omset diatas Rp 300 juta sebesar 47.82 persen.
108 Tabel 13. Distribusi Sampel Industri Kecil dan Rumahtangga Pangan yang
Menggunakan Sumber Pembiayaan Formal
Distribusi IKRT non Pangan
Jumlah Sampel org
Rata-rata Kredit per Periode Rp
Korelasi 1. Besar aset
0.36866
c
0-25jt 16
23600000 25-50 jt
2 20000000
50 jt 5
61000000 2. Besar omset
0.45557
b
150-300 jt 12
21727273 300-1M
11 44000000
1M 3. Jumlah tenaga kerja
0.28542 5 org
22 32950000
5 sd 19 org 1
20000000 19 org
Keterangan:
b
nyata pada taraf α = 5 persen
c
nyata pada taraf α = 10 persen Korelasi antara jumlah kredit yang dipinjam dengan jumlah tenaga kerja
IKRT pangan berhubungan positif namun tidak nyata. Pada umumnya, pengusaha IKRT pangan yang meminjam ke sumber pembiayaan formal memiliki jumlah
tenaga kerja kurang dari 5 orang, yaitu sebesar 95.65 persen, sedangkan yang memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 5 orang hanya 4.35 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa pengusaha IKRT pangan pada umumnya merupakan industri mikro, dan industri mikro tersebut telah dapat memanfaatkan sumber kredit dari
luar dirinya. Kecendrungan jumlah kredit yang dipinjam menurun dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja. Namun, ini tidak bisa disimpulkan bahwa
semakin tinggi jumlah tenaga kerja, jumlah kredit yang digunakan semakin besar. Hal ini terjadi karena adanya variasi jumlah kredit yang besar antara sampel IKRT
pangan yang memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang. 6.3. Alokasi Penggunaan Kredit dari Sumber Pembiayaan Formal oleh
Industri Kecil dan Rumahtangga Alokasi penggunaan kredit yang disajikan di bagian ini hanya alokasi
penggunaan sumber pembiayaan bank dan kredit PKBL, sedangkan alokasi dari sumber pembiayaan informal tidak terlalu dirinci karena alokasi penggunaan
kredit informal pada umumnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku. Alokasi penggunaan kredit sumber pembiayaan bank dan PKBL oleh IKRT
109 dikelompokkan menjadi tujuh jenis penggunaan, yaitu: 1 pembelian bahan baku,
2 membangun tempat usaha dan pembelian peralatan, 3 pemenuhan biaya lain, 4 pemenuhan biaya tenaga kerja, 5 untuk usaha lain diluar usaha IKRT non
pangan dan pangan, 6 investasi dalam bentuk lain, seperti pembelian tanah dan rumah yang tidak digunakan untuk keperluan IKRT, dan 7 untuk keperluan
konsumsi, seperti pemenuhan kebutuhan pokok, kebutuhan non pangan, dan pengeluaran untuk pendidikan atau kesehatan. Tabel 14 menunjukkan alokasi
penggunaan kredit yang dipinjam pada sumber pembiayaan formal oleh IKRT non pangan dan pangan. Alokasi penggunaan kredit yang dipinjam antara IKRT non
pangan dan IKRT pangan berbeda. Penggunaan kredit sumber pembiayaan formal untuk kegiatan usaha pada
IKRT non pangan porsinya lebih besar dibandingkan IKRT pangan. Alokasi penggunaan kredit yang berhubungan dengan kegiatan usaha pada IKRT non
pangan sebesar 74.99 persen, sedangkan pada IKRT pangan hanya sebesar 56.97 persen. Pengusaha IKRT non pangan lebih banyak menggunakan kreditnya untuk
pembelian bahan baku yaitu sekitar 43.06 sampai 67.50 persen pada IKRT non
pangan dan 28.93 sampai 39.29 persen pada IKRT pangan. Penggunaan kredit untuk pembelian bahan baku pada IKRT pangan masih yang terbesar dari alokasi
penggunaan kredit lainnya, namun porsinya lebih kecil dibandingkan IKRT non pangan. Alokasi penggunaan kredit yang lebih besar pada penggunaan bahan
baku menunjukkan bahwa komponen biaya yang terbesar dalam kegiatan produksi pada kedua IKRT tersebut adalah pada penyediaan bahan baku produksi.
Penggunaan kredit yang lebih banyak digunakan untuk pembelian bahan baku menunjukkan pengusaha IKRT lebih memiliki masalah pendanaan dalam
pemenuhan modal jangka pendek. Tabel 14. Alokasi Penggunaan Kredit dari Sumber Pembiayaan Formal oleh
Industri Kecil dan Rumahtangga di Kabupaten Bogor
Penggunaan Kredit IKRT Non Pangan
IKRT Pangan
Bank PKBL
Bank PKBL
1. Pembelian bahan baku 43.06
67.50 28.93
39.29 2. Bangunan usaha dan peralatan
10.00 8.75
10.71 35.00
3. Untuk pemenuhan biaya lainnya 3.33
12.86 0.00
0.00 4. Memenuhi upah tenaga kerja
3.06 1.43
0.00 0.00
5. Untuk usaha lain 11.67
0.00 14.64
0.00 6. Investasi lainnya
10.00 3.57
40.00 9.29
7. Pemenuhan konsumsi 18.89
5.89 5.71
16.43
Sumber: data primer diolah
110 Penggunaan kredit untuk usaha lain dan investasi lain lebih besar pada
IKRT pangan. Pekerjaan di luar usaha IKRT yang lebih banyak pada IKRT pangan menyebabkan alokasi kredit untuk usaha lain juga lebih besar. Ras atau
suku bangsa yang berbeda antara pengusaha IKRT non pangan dengan IKRT pangan juga mempengaruhi perilaku alokasi penggunaan kredit. IKRT non
pangan pada umumnya merupakan orang Sunda dan pada umumnya berusaha di daerah asalnya, sedangkan IKRT pangan pada umumnya merupakan berasal dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur. IKRT pangan masih memiliki ikatan dengan kampung dimana dia berasal, sehingga alokasi kredit banyak digunakan untuk
membangun rumah atau membeli tanah di kampungnya. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa fungibilitas kredit lebih banyak terjadi
pada sumber pembiayaan bank, hal ini terlihat dari dari variasi penggunaan kredit oleh IKRT non pangan dan pangan yang lebih besar pada sumber pembiayaan
bank. Alokasi penggunaan kredit PKBL yang berhubungan dengan kegiatan produksi IKRT non pangan sebesar 90.54 persen, sedangkan alokasi penggunaan
kredit bank yang berhubungan dengan kegiatan produksi sebesar 59.44 persen. Alokasi penggunaan kredit bank untuk pemenuhan konsumsi keluarga lebih besar
daripada kredit PKBL, yaitu 18.89 persen sedangkan alokasi kredit PKBL untuk pemenuhan konsumsi hanya sebesar 5.89 persen. Demikian juga pada IKRT
pangan, alokasi penggunaan kredit bank untuk kegiatan produksi sebesar 39.64 persen sedangkan alokasi penggunaan kredit PKBL untuk kegiatan produksi
sebesar 74.29 persen. Alokasi untuk usaha lain dan investasi lain lebih besar pada kredit bank yaitu 54.64 persen, sedangkan pada kredit PKBL sebesar 9.29
persen.