98 tidak berpartisipasi dalam sumber pembiayaan pada IKRT non pangan. Namun,
pada IKRT pangan, perbedaan karakteristik usaha dan rumahtangga tersebut tidak terlalu besar.
Berdasarkan sumber pembiayaan yang digunakan oleh sampel IKRT, maka dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik sampel yang meminjam ke bank,
PKBL, Informal dan modal sendiri. Tabel 9 menunjukkan karakteristik usaha dan rumahtangga sampel IKRT non pangan dan pangan yang meminjam ke sumber
pembiayaan berbeda. Secara keseluruhan, sampel yang meminjam ke sumber pembiayaan bank memiliki karakteristik usaha dan rumahtangga yang lebih besar
dari sumber pembiayaan lainnya baik pada IKRT non pangan maupun pangan. Tabel 9. Rata-rata Karakteristik Usaha dan Rumahtangga Pengusaha Industri
Kecil dan Rumahtangga Sampel Berdasarkan Partisipasinya pada Berbagai Sumber Pembiayaan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Usaha IKRT Non Pangan
IKRT Pangan Bank
PKBL Informal
Sendiri Bank
PKBL Sendiri
Pengalaman usahathn 13.64
15.40 11.93
11.56 12.38
14.28 10.74
Pengg tenaga kerja org 10.93
9.40 9.13
9.33 2.56
2.00 1.81
Total aset Rp 389 000 000
253 200 000 210 333 333
100 996 970 217 458 000
185 801 143 103 528 778
Pendapatan total Rpthn 88 857 143
81 800 000 51 818 182
41943031 80 917 085.63
63 134 286 46 769 713
Pendapatan dalam usaha Rpthn
82 857 143 78 300 000
51 000 000 36 636 364
48 952 327.79 34 162 857
37 106 487 Pendapatan luar usaha Rpthn
6 000 000 3 700 000
818 181.82 5 306 666.7
31 964 757.85 28 971 429
10 263 133 Penjualan Rpthn
847 857 143 870 000 000
790 666 667 669 818 182
368 796 784 292 671 929
343 51 355 Pengeluaran total Rpthn
49 214 286 42 500 000
43 133 333 30 545 455
48 926 562.5 32 812 222
40 616 643 Bahan baku Rpthn
601 428 571 618 000 000
588 666 667 499 363 636
257 620 390 194 434 286
250 125 986 Biaya produksi Rpthn
777 142 857 794 000 000
736 666 667 637 424 242
319 844 456 258 509 071
31 1542 507
Sumber: Data Primer diolah Pengalaman usaha sampel IKRT non pangan yang meminjam ke sumber
pembiayaan PKBL ternyata lebih lama, yaitu 15.4 tahun diikuti sampel yang meminjam pada sumber pembiayaan bank selama 13.64 tahun, kemudian pada
sumber pembiayaan informal selama 11.93 tahun dan modal sendiri selama 11.56 tahun. Pola yang sama juga terjadi pada sampel IKRT pangan, yaitu sampel yang
meminjam pada sumber pembiayaan PKBL memiliki pengalaman usaha yang lebih lama 14.28 tahun diikuti sampel bank 12.38 tahun, dan modal sendiri
10.74 tahun. Rata –rata total aset yang dimiliki IKRT lebih besar pada sampel
yang meminjam pada bank, diikuti sampel kredit PKBL, informal dan modal
99 sendiri. Pendapatan total dan pendapatan usaha juga menunjukkan pola yang
sama dengan nilai aset. Pendapatan dari luar usaha yang dimiliki oleh IKRT non pangan juga
menunjukkan bahwa sampel yang meminjam pada bank memiliki pendapatan luar usaha yang lebih besar, diikuti modal sendiri, sampel yang memiinjam kredit
PKBL, dan informal. Sedangkan pada IKRT pangan, pendapatan dari luar usaha yang lebih besar dimiliki oleh sampel yang meminjam pada bank, diikuti PKBL,
dan modal sendiri. Pendapatan luar usaha menunjukkan bahwa sampel yang meminjam pada bank memiliki usaha diluar IKRT yang lebih banyak dari sampel
yang meminjam pada PKBL dan informal, diikuti sampel dengan modal sendiri. Rata-rata nilai penjualan dan penggunaan bahan baku serta biaya produksi pada
sampel IKRT non pangan yang meminjam ke PKBL lebih besar dibandingkan sumber pembiayaan bank, informal, dan modal sendiri. Sedangkan pada IKRT
pangan, sampel yang meminjam pada sumber pembiayaan bank memiliki nilai penjualan, penggunaan bahan baku, dan biaya produksi yang lebih besar daripada
PKBL dan modal sendiri. Rata-rata pengeluaran total rumahtangga sampel yang meminjam pada
sumber pembiayaan bank baik pada IKRT non pangan dan pangan lebih besar dari sampel PKBL, informal, dan modal sendiri. Hal ini juga tergantung kepada total
pendapatan rumahtangga IKRT, dimana pendapatan total rumahtangga IKRT yang meminjam ke sumber pembiayaan bank lebih besar dari sampel sumber
pembiayaan lainnya.
100
VI. SUMBER PEMBIAYAAN INDUSTRI KECIL DAN RUMAH
TANGGA DI KABUPATEN BOGOR
Pembahasan tentang sumber pembiayaan yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh pengusaha dibagi dalam kelompok IKRT non pangan dan
pangan. Pemisahan tersebut dilakukan untuk melihat secara lebih rinci hubungan karakteristik usaha dengan pembiayaan pada kedua kelompok IKRT dengan basis
yang berbeda. Berikut ini akan dijelaskan pembiayaan pada industri kecil dan rumahtangga non pangan dan diikuti dengan pembiayaan industri kecil dan
rumahtangga pangan.
6.1. Pembiayaan Industri Kecil dan Rumahtangga Non Pangan
Sumber pembiayaan yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh IKRT non pangan dan pangan dapat dikelompokan menjadi sumber pembiayaan formal,
pembiayaan semiformal dan pembiayaan informal. Sumber pembiayaan formal terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank, sumber
pembiayaan semiformal terdiri dari kredit PKBL, sedangkan sumber pembiayaan informal terdiri dari kredit dari suplier atau pedagang grosir produk. Lembaga
perbankan yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh IKRT non pangan adalah Bank Jabar, Bank Danamon, BRI dan BPR yang tersebar di wilayah kerja IKRT.
Kredit PKBL yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh IKRT non pangan adalah kredit PKBL dari PT. Adi Karya untuk usaha alas kaki, dan kredit PKBL dari PT.
Antam dan PT. Asuransi Jiwasraya untuk usaha tas. Jumlah sampel IKRT tas dan alas kaki yang menggunakan sumber
pembiayaan perbankan adalah sebanyak 14 orang atau 17.5 persen dari keseluruhan sampel, jumlah sampel yang menggunakan sumber pembiayaan
PKBL sebanyak 10 orang atau 12.5 persen, dan yang menggunakan pinjaman dari grosir atau suplier adalah sebanyak 33 orang atau 41.25 persen. Sampel IKRT
yang menggunakan sumber pembiayaan perbankan atau sumber pembiayaan PKBL tetapi juga menggunakan sumber pembiayaan suplier adalah sebanyak 8
orang atau 10 persen, sedangkan yang menggunakan modal sendiri adalah sebanyak 15 orang atau 18.75 persen. Kecilnya persentase IKRT untuk
berpartisipasi dalam sumber pembiayaan perbankan dan sumber pembiayaan
101 PKBL karena sebagian besar modal awal IKRT telah dipenuhi oleh suplier yang
menampung penjualan produksi IKRT non pangan dan sebagian besar pengusaha IKRT takut meminjam ke lembaga perbankan.
Industri kecil dan rumahtangga non pangan yang memiliki sumber pembiayaan informal adalah IKRT yang menerima bon dari suplier atau pedagang
grosir, sedangkan IKRT yang dibayarkan dalam bentuk giro dan uang cash tidak dikelompokkan sebagai IKRT yang memiliki sumber pembiayaan informal.
Pinjaman dari suplier atau pedagang grosir biasanya dalam bentuk penyediaan bahan baku. Suplier atau pedagang grosir memberikan bon kepada IKRT,
kemudian pengusaha IKRT menukarkan bon tersebut kepada toko bahan yang biasanya sudah ditunjuk oleh suplier. Untuk mencairkan bon menjadi bahan
baku, biasanya toko bahan baku menaikkan harga sebesar Rp 1 000 – Rp 5 000
dari harga normal dan nilai bon dipotong 3 – 6 persen per bon yang ditukarkan,
sehingga harga barang bahan baku yang dibeli menjadi lebih tinggi dan nilai bon menjadi lebih rendah.
Tabel 10 menunjukkan komposisi pengusaha IKRT yang memiliki akses terhadap sumber pembiayaan formal dan partisipasi pengusaha IKRT pada
sumber pembiayaan formal. Pembahasan tentang aksessibilitas dan partisipasi pada sumber pembiayaan disini lebih ditekankan pada sumber pembiayaan formal
karena yang menjadi isu sentral selama ini adalah keterbatasan penyediaan modal oleh pengusaha IKRT terutama dari sumber pembiayaan formal tersebut.
Tabel 10. Jumlah Sampel yang Memiliki Akses dan Berpartisipasi pada Sumber Pembiayaan Formal di Kabupaten Bogor Jawa Barat
Jenis Pembiayaan Non Pangan
Pangan Jumlah
org Persentase
Jumlah org
Persentase Akses terhadap sumber pembiayaan
52 65
32 64
Partisipasi terhadap sumber kredit 32
40 23
46
Sumber: data primer diolah Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat aksessibilitas IKRT non pangan
terhadap sumber pembiayaan cukup besar, yaitu sekitar 65 persen dari keseluruhan sampel, sedangkan yang berpartisipasi pada sumber pembiayaan
formal sebesar 40 persen. Aksessibilitas yang cukup besar pada sumber pembiayaan formal salah satunya disebabkan oleh banyaknya pegawai lembaga
102 pembiayaan formal yang menawarkan kredit atau pinjaman kepada pengusaha
IKRT. Namun, pada umumnya pemilik IKRT menolak untuk berpartisipasi dalam meminjam kredit dengan beberapa alasan. Tabel 11 menunjukkan alasan
pengusaha IKRT untuk tidak berpartisipasi meminjam kepada sumber pembiayaan formal terutama perbankan.
Tabel 11. Alasan Pengusaha
Industri Kecil
dan Rumahtangga
tidak Berpartisipasi pada Sumber Pembiayaan Formal di Kabupaten Bogor
Jawa Barat
No. Alasan Tidak Meminjam
IKRT Non Pangan IKRT Pangan
Jumlah org
Persentase Jumlah
org Persentase
1. Suku bunga tinggi 3
6.25 3
11.11 2. Prosedur bertele-tele
2 4.17
1 3.70
3. Tidak memiliki jaminan 4
8.33 4
14.81 4. Tidak memiliki informasi
5 10.42
4 14.81
5. Takut meminjam karena ketidakstabilan pasar 7
14.58 2
7.41 6. Tidak membutuhkan modal dari bank
3 6.25
4 14.81
7. Modal sudah dipenuhi suplier 11
22.92 -
- 8. Takut meminjam, takut resiko tidak bisa
membayar 10
20.83 6
22.22 9. Malas berurusan dengan bank
3 6.25
3 11.11
Total Sampel yang tidak Berpartisipasi 48
100.00 27
100.00
Sumber: data primer diolah Alasan pengusaha IKRT secara umum dapat dibagi dua, yaitu faktor harga
dan non harga. Faktor harga adalah suku bunga yang tinggi, sedangkan faktor non harga di luar dari alasan tingkat bunga yang tinggi. Alasan non harga
diantaranya: 1 takut meminjam karena ketidakstabilan pasar, 2 tidak membu- tuhkan modal dari bank, 3 modal sudah dipenuhi oleh suplier, 3 takut
meminjam karena takut tidak bisa membayar, 4 malas berurusan dengan bank, dan 5 tidak memiliki informasi tentang sumber pembiayaan formal.
Kondisi diatas menunjukkan bahwa tingkat bunga sebagai faktor harga bukan merupakan alasan utama bagi pengusaha IKRT untuk tidak berpartisipasi
meminjam pada sumber pembiayaan formal. Faktor non harga merupakan alasan utama pengusaha IKRT untuk tidak berpartisipasi meminjam. Alasan utama dari
pengusaha IKRT non pangan untuk tidak berpartisipasi meminjam pada sumber pembiayaan formal adalah modal sudah dipenuhi suplier dan takut meminjam
karena resiko tidak dapat membayar pinjaman. Dari data sampel terlihat bahwa sekitar 41.25 persen pengusaha IKRT non pangan memiliki sumber modal dari
103 suplier, sehingga menjadi alasan bagi pengusaha untuk tidak berpartisipasi
meminjam pada sumber pembiayaan formal. Alasan takut meminjam karena tidak dapat membayar pinjaman menunjukkan bahwa pengusaha IKRT non
pangan termasuk dalam kelompok risk averse, yaitu takut menanggung resiko dalam melakukan penambahan modal dari luar dirinya terutama terhadap sumber
pembiayaan formal. Hal ini tidak terlepas dengan kondisi pasar produk yang ada. Kondisi pasar
dan permintaan produk non pangan tas dan alas kaki berfluktuasi sepanjang tahun, sehingga kegiatan usaha yang meliputi kegiatan produksi, omset penjualan
dan pendapatan IKRT juga akan mengalami fluktuasi. Permintaan produk yang bersifat musiman, yaitu pengusaha IKRT non pangan mengalami lonjakan
permintaan rata-rata selama 3 bulan sebelum lebaran dan menurun pada hari-hari biasa menyebabkan pengusaha IKRT takut untuk meminjam kepada sumber
pembiayaan formal. Faktor persaingan dengan produk impor akibat pemberlakuan pasar bebas juga menjadi faktor utama yang menyebabkan permintaan produk
IKRT tas dan alas kaki semakin menurun. Faktor kualitas produk yang rendah menyebabkan harga jual dari produk yang dihasilkan juga tidak dapat bersaing
dengan produk impor, sehingga permintaan terhadap produk yang dihasilkan oleh IKRT non pangan juga menurun. Fluktuasi dari penjualan dan pendapatan
menyebabkan pengusaha IKRT tidak berani untuk meminjam ke lembaga keuangan formal.
Dengan demikian, pasar produk juga sangat mempengaruhi perilaku pengusaha IKRT untuk berpartisipasi pada pasar kredit formal. Hal ini juga
terlihat dari alasan selanjutnya untuk tidak berpartisipasi dalam pembiayaan formal adalah takut meminjam karena ketidakstabilan pasar. Ketidakmampuan
pengusaha IKRT untuk memasarkan produknya menyebabkan IKRT non pangan sangat tergantung kepada suplier atau pedagang besar. Produk yang dihasilkan
akan ditampung oleh suplier dan pedagang besar, sehingga pengusaha IKRT pada umumnya memperoleh kebutuhan modalnya dari sumber pembiayaan informal
berupa suplier dan pedagang besar. Informasi yang kurang mengenai prosedur dan skema pembiayaan formal
juga mempengaruhi perilaku pengusaha IKRT non pangan untuk berpartisipasi
104 dalam kredit. Hal ini dapat dilihat dari persentase alasan tidak meminjam yang
cukup besar yaitu 10.42 persen. Kondisi diatas sejalan dengan hasil studi Atieno 2001 yang menunjukkan bahwa alasan utama usaha kecil Kenya untuk tidak
menggunakan kredit adalah kurangnya informasi tentang kredit dan kurangnya keamanan yang diperlukan. Tabungan pribadi dan dana dari suplier masih
merupakan sumber dominan pembiayaan, terutama untuk modal awal yang menunjukkan ketidakmampuan pasar keuangan untuk memenuhi permintaan
kredit yang ada. Tabel 12 menunjukkan distribusi industri kecil dan rumahtangga non
pangan yang meminjam kepada sumber pembiayaan formal. Distribusi IKRT tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu berdasarkan besar
aset, berdasarkan besar omset, dan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Hasil pendugaan korelasi antara jumlah kredit yang dipinjam pada
sumber pembiayaan formal dengan besar aset menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara jumlah kredit yang dipinjam dengan besar aset,
namun hubungannya sangat kecil dan tidak nyata. Tabel 12. Distribusi Sampel Industri Kecil dan Rumahtangga Non Pangan yang
Menggunakan Sumber Pembiayaan Formal
Distribusi IKRT non Pangan
Jumlah Sampel org
Rata-rata Kredit per Periode Rp
Korelasi 1. Besar aset
0.11522 0-25jt
11 17 727 273
25-50 jt 10
25 200 000 50 jt
11 26 363 636
2. Besar omset -0.07364
150-300 jt 4
33 750 000 300-1M
19 21 578 947
1M 9
21 333 333 3. Jumlah tenaga kerja
0.05837 5 org
4 32 500 000
5 sd 19 org 23
21 608 696 19 org
5 28 000 000
Sumber: data primer diolah Rata-rata jumlah kredit yang dipinjam meningkat dengan meningkatnya
besar aset pengusaha IKRT non pangan. Berdasarkan kelompok industri kecil dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, maka sampel IKRT non pangan yang
berpartisipasi dalam sumber pembiayaan pada umumnya merupakan industri
105 mikro karena besar aset diluar tanah dan bangunan kecil dari Rp 50 juta 65.63
persen, sedangkan yang termasuk industri kecil hanya sebesar 34.37 persen. Jumlah kredit yang dipinjam tidak berhubungan dengan besar omset
pengusaha IKRT. Ada kecendrungan rata-rata kredit yang dipinjam menurun dengan meningkatnya omset pengusaha IKRT, hal ini disebabkan oleh adanya
variasi yang cukup besar dari kredit yang dipinjam antara pengusaha yang memiliki omset diatas Rp 300 juta, sehingga nilai rata-rata kredit yang dipinjam
pada kelompok ini terlihat semakin kecil. Pengusaha IKRT non pangan yang memanfaatkan sumber pembiayaan formal pada umumnya memiliki omset diatas
Rp 300 juta yaitu sebesar 87.5 persen, sedangkan pengusaha yang memiliki omset dibawah Rp 300 juta hanya sebesar 12.5 persen. Ini menunjukkan bahwa
pengusaha IKRT yang memiliki omset lebih besar memiliki peluang meminjam kredit pembiayaan formal lebih besar.
Korelasi antara jumlah kredit yang dipinjam pada sumber pembiayaan formal dengan jumlah tenaga kerja berhubungan positif namun tidak nyata dan
sangat kecil. Sama halnya dengan kondisi pada omset, terlihat bahwa terdapat kecendrungan penurunan rata-rata jumlah kredit yang dipinjam dengan
peningkatan tenaga kerja. Hal ini disebabkan adanya variasi yang besar dari jumlah kredit yang dipinjam oleh pengusaha IKRT non pangan yang memiliki
jumlah tenaga kerja diatas 5 orang, sehingga terlihat rata-rata jumlah kredit yang dipinjam lebih kecil. Jumlah pengusaha IKRT non pangan yang memanfaatkan
sumber pembiayaan formal pada umumnya memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 5 orang, yaitu sebesar 87.5 persen, sedangkan pengusaha yang menggunakan
tenaga kerja dibawah 5 orang hanya 12.5 persen. Hal ini menunjukkan pengusaha IKRT non pangan yang memiliki skala usaha lebih besar akan memiliki peluang
yang lebih besar dalam memanfaatkan sumber pembiayaan formal.
6.2. Pembiayaan Industri Kecil dan Rumahtangga Pangan
Sumber pembiayaan yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh IKRT pangan adalah sumber pembiayaan formal yang terdiri dari kredit perbankan,
kredit PKBL PT. Indocement, serta modal sendiri. Jumlah IKRT yang berpartisipasi pada sumber pembiayaan perbankan sebanyak 16 orang atau 32
persen, dan yang berpartisipasi pada sumber pembiayaan PKBL PT. Indocement
106 adalah sebesar 7 orang atau 14 persen, sedangkan dari modal sendiri sebesar 27
orang atau 54 persen. Sumber pembiayaan bank yang dimanfaatkan oleh IKRT pangan adalah Bank Rakyat Indonesia BRI, BNI, Bank Jabar, dan Bank Ulam.
Tabel 10 menunjukkan bahwa pengusaha IKRT pangan memiliki aksessibilitas yang cukup besar pada sumber pembiayaan formal yaitu sekitar 64
persen, sedangkan partisipasi pengusaha pada sumber pembiayaan formal sebesar 46 persen. Partisipasi pengusaha IKRT pangan pada sumber pembiayaan formal
lebih tinggi daripada IKRT non pangan. Lokasi pengusaha IKRT pangan yang lebih dekat dengan pusat ekonomi dan pasar memberikan peluang yang lebih
besar untuk berpartisipasi dalam sumber pembiayaan formal. Alasan-alasan pengusaha IKRT pangan untuk tidak berpartisipasi dalam
sumber pembiayaan formal dapat dilihat pada Tabel 11. Alasan IKRT non pangan dan pangan untuk tidak berpartisipasi pada sumber pembiayaan formal
hampir sama, tetapi memiliki tingkat persentase yang berbeda. Alasan IKRT pangan untuk tidak berpartisipasi pada sumber pembiayaan formal lebih
disebabkan oleh faktor takut meminjam karena resiko tidak dapat membayar yaitu sebesar 22.22 persen, diikuti oleh alasan tidak memiliki informasi, tidak
membutuhkan modal dari perbankan, dan tidak memiliki jaminan masing-masing sebesar 14.81 persen. Alasan tingkat bunga tinggi dan malas berurusan dengan
bank sebesar 11.11 persen, sedangkan alasan bahwa modal sudah dipenuhi oleh suplier tidak ada. Sama halnya dengan IKRT non pangan, pengusaha IKRT
pangan juga termasuk dalam golongan risk averse, yaitu takut menanggung resiko dalam menggunakan sumber dana eksternal. Hal ini dikaitkan dengan pendapatan
usaha pangan yang dirasakan masih belum bisa untuk membayar angsuran pinjaman.
Alasan tidak memiliki jaminan juga memiliki persentase yang lebih besar pada pengusaha IKRT pangan, karena jumlah pengusaha yang tidak memiliki
tanah dan berstatus mengontrak lebih besar yaitu sekitar 40 persen dari seluruh sampel IKRT pangan. Alasan modal sudah dipenuhi oleh suplier pada pengusaha
pangan tidak ada, karena pengusaha IKRT pangan tidak terikat dengan suplier seperti pada IKRT non pangan. Pengusaha IKRT pangan pada umumnya menjual
hasil produksinya sendiri ke pasar yang berada di sekitar wilayah IKRT tersebut,