Di mana, ki adalah jumlah gelombang khayal. Bila angka ini negatif, gelombang ini sedang teredam yaitu mereka mengurangi ketinggian,
sedangkan jika angka ini adalah positif, peningkatan ukuran gelombang.
Dari hasil analisa tersebut akan dicari hubungan antara beberapa variabel vegetasi mangrove terukur dengan variabel gelombang, yang menjadi faktor
peredam gelombang. Faktor peredam gelombang yang didapatkan kemudian dijadikan basis dalam perencanaan bangunan tepi pantai. Konsep perencanaan
bangunan tepi pantai yang ramah lingkungan dengan memadukan jasa peredaman ekosistem mangrove A.marina sebagai basis dalam reformasi Eko
Teknik Pantai akan didapatkan dengan membuat disain pengelolaan terpadu kawasan pesisir dan laut.
3.9
Metode Disain Konstruksi Bangunan Tepi Pantai Berbasiskan Ekosistem mangrove
Tahapan disain ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu sebagai berikut: 1 adanya data morfologi pantai yang baik, karena dengan dasar itulah
perencanaan akan di mulai dengan menarik garis dasar gambar disain. Data morfologi pantai itu adalah bathimetri, kedalaman tanah keras, besaran
gelombang perencanaan juga besaran arus dengan mencari yang optimum, 2 memetakan kawasan yang mana saja dapat di gunakan dalam proses pekerjaan
konstruksi serta sejauh mana wilayah mangrove yang tidak boleh tersentuh oleh apapan termasuk pencemaran dari konstruksi yang dapat mangrove rusak.
Mangrove menjadi dasar bagi perencanaan bangunan tepi pantai sebagai sabuk pantai terhadap bangunan, 3 perpaduan pemetaan wilayah konstruksi dan
wilayah mangrove sehingga terlihat jelas batasannya. Dipertegas dengan konstruksi yang dapat melindungi mangrove dari proses pembangunan
konstruksi tersebut. Mangrove tidak boleh rusak karena proses konstruksi itu berjalan, 4 pada tahap akhir setelah konstruksi selesai dibangun dana
beroperasi maka akan ada bentuk siklus alur perairan dimana gelombang datang dan pergi, arus dan sedimentasi tidak mengganggu konstruksi dan juga
mangrove.
Untuk mempermudah dalam proses pembangunan itu dapat terkontrol dengan baik maka di buatkan siklus proyek dengan acuannya melindungi
mangrove secara keseluruhan. Siklus jadi amat penting karena bila tidak disepakati dan tidak dijalankan secara prosedural yang sudah disepakati maka
mangrove dan konstruksi tidak akan saling melindungi. Isi siklus itu sendiri tidak lazim karena di wajibkan membuat metode kerja yang bertugas melindungi
mangrove selain juga mendukung proses pembangunan. Dengan demikian maka konstruksi hijau yang ramah lingkungan dapat tercapai.
3.10
Metode Disain Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasiskan Ekosistem mangrove dan Teknik Pantai
Disain pengelolaan wilayah pesisir terpadu berkelanjutan yang akan di
bahas pada penelitian ini berbasiskan pada apa yang menjadi ruang lingkup penelitian penulis yaitu Ekosistem Mangrove dan Teknik Pantai. Prinsip dasar
dari pengelolaan terpadu wilyah pesisir dan lautan ICM adalah integrasi dan
koordinasi, pengelolaan berbasiskan ekosisitem dan pengelolaan adaptif. Beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Kompilasi data yang didapatkan secara langsung primer dan tidak langsung sekunder.
Membuat siklus pengelolaan terpadu kawasan peisisir dan lautan berbasiskan ekosistem mangrove dan teknik pantai. Siklus dibuat
berdasarkan siklus proyek atau tahapan pelaksanaan pekerjaan pada kondisi wilayah penelitian.
Membuat kerangka perencanaan pengelolaan terpadu peisisir dan lautan
Mencari hubungan antar sektor secara horizontal dan antar tingkatan secara vertikal sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya dihubungkan dengan kegiatan ekosistem mangrove, Teknik Pantai yang ada di lokasi penelitian.
Pengelolaan terpadu berkelanjutan kawasan pesisir dan lautan dengan basis ekosistem mangrove dan teknik pantai.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Mangrove di Pantai Indah Kapuk, Jakarta
Hutan mangrove di wilayah DKI Jakarta tepatnya di Jakarta Utara, di sepanjang pantainya terdapat mangrove pada wilayah Suaka Marga Satwa
Muara Angke BKSDA DKI, Hutan Lindung Dinas Kehutanan DKI, Sungai Cengkareng dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Vegetasi mangrove itu
sendiri terus mengalami degredasi sebagai akibat perkembangan pembangunan kota-kota tepi pantai. Vegetasi mangrove yang ada didominasi mangrove
Avicennia sp dan Rhizopora sp. Jenis Rhizopora sp sebagian besar adalah hasil tanam sedangkan untuk jenis Avicennia sp umumnya tumbuh alami. Keadaan
vegetasi itulah yang menjadi latar belakang peneliti melakukan studi lebih jauh terhadap mangrove Avicennia sp dikarenakan posisi mangrove Avicennia sp
yang berada di garis terdepan dalam meredam gelombang. Posisi mangrove Avicennia sp menjadi sangat penting sebagai bentuk pertahanan dari peredaman
gelombang datang yaitu sebagai penangkal abrasi.
4.1.1 Deskripsi Mangrove Avicennia sp di Wilayah Penelitian
Penelusuran mangrove dilakukan peneliti dari Sungai Muara Angke hingga wilayah Sungai Muara Kamal. Penelusuran dilakukan menggunakan
kapal dari arah laut serta dengan berjalan kaki dari wilayah darat. Hasil penelusuran dapat dijelaskan pada Gambar 40.
Gambar 40 Mangrove yang tertutupi oleh breakwaterbatusampah. Dari gambar di atas terlihat bahwa hampir semua mangrove yang berada
pada formasi terdepan, sepanjang 5,06 km tidak ada yang tumbuh bebas dan langsung tersentuh oleh gelombang melainkan sudah terhalang oleh
batupagarbreakwater. Terdapat sampah yang menumpuk, pagar dan mangrove yang telah mati yang berada di depan atau disekitar mangrove. Sehingga fungsi
mangrove untuk meredam gelombang telah digantikan oleh benda benda penghalang itu.
Selanjutnya hampir 100 mangrove yang tumbuh di formasi terluar adalah mangrove Avicennia marina. Ke arah darat dijumpai hanya sedikit jenis
mangrove Rhizopora. Formasi terluar mangrove A.marina tumbuh secara alami. Kondisi lingkungan seperti subtsrat, salinitas dan pasang surut yang membuat
berkembangnya mangrove A.marina.
Kondisi formasi mangrove seperti dijelaskan di atas maka penentuan lokasi stasiun penelitian dilakukan dengan mencari mangrove Avicennia marina
yang benar-benar bebas dari hambatan. Gambar 41 tergambarkan bahwa hanya ditemukan beberapa lokasi stasiun saja yang memungkinkan dilakukan
pengukuran gelombang dan dipasangnya alat pengukuran. Dari gambar tersebut terlihat bahwa mangrove A. marina tumbuh dengan subur dengan tegakkan yang
baik dan sangat berpotensi untuk melakukan peredaman gelombang. Komposisi akar nafas dan tegakkan pohon sangat bervariasi sehingga dapat menjadi
variebel peredam gelombang untuk kerapatan jenis dan kepadatan mangrove.
Gambar 41 Mangrove A. marina sebagai peredam gelombang Gambar berikut mendiskripsikan wilayah stasiun pengamatan dimana stasiun itu
merupakan mangrove dengan kategori baik, bebas dari halangan dan dapat berfungsi meredam gelombang.
Gambar 42 Situasi pada stasiun 1 dan 2
Sumber : Pencitraan satelit dari Google Earth dan dokumentasi pribadi
Gambar 43 Situasi pada stasiun 3, 4 dan 5
Sumber : Pencitraan satelit dari Google Earth dan dokumentasi pribadi
4.1.2 Kerapatan Mangrove
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan perumusan kerapatan jenis bab 3.6 diperoleh nilai kerapatan untuk mangrove A. marina yang diilustrasikan
dengan grafik pada Gambar 43.
Gambar 44 Grafik kerapatan mangrove pada masing-masing stasiun Tabel 5 Kerapatan Jenis mangrove masing-masing stasiun
Stasiun Ordinat Pengambilan Data
Lapangan Nilai Kerapatan
Pohonha Kerapatan
1 S: 6° 531.80 E: 106°4337.51
450 Jarang
2 S: 6° 533.36 E: 106°4337.73
825 Jarang
3 S: 6° 614.00 E: 106°4533.50
650 Jarang
4 S: 6° 613.75 E: 106°4536.50
1500 Sangat Padat
5 S: 6° 613.76 E: 106°4538.84
1200 Sedang
Kerapatan mangrove pada stasiun satu, dua dan tiga masuk kategori jarang. Pada ketiga stasiun itu mangrove terlihat hanya spot-spot dan terbagi
dalam kelompok-kelompok kecil sehingga tidak menunjukkan adanya kelompok yang besar dan luas. Pada stasiun empat mangrove masuk kategori sangat padat
karena mangrove tumbuh dan menjadi kelompok-kelompok yang besar dan luas. Stasiun lima masuk kategori sedang sedikit dibawah stasiun empat. Kondisi
ketapatan jenis itu dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45 Tampak atas posisi a stasiun 1 dan 2, b stasiun 3, dan c stasiun 4 dan 5.
Sumber : Pencitraan satelit dari Google Earth
Kerapatan jenis pada masing-masing stasiun yang ada juga merupakan kerapatan jenis tunggal karena hanya dari jenis mangrove A. marina.Kerapatan
jenis masing-masing mangrove A.marina yang dijadikan objek penelitian berbeda beda tetapi belum ditinjau dari sisi kepadatannya. Hal ini akan ditinjau
pada bagian lainnya. Pada gambar A, kerapatan mangrove masuk kategori jarang dikarenakan populasi mangrove yang sedikit dan terpisah dari kelompok
mangrove lainnya. Mangrove tidak berkembang pada gambar A stasiun 1 dan 2 dan terpisah karena adanya tambak, abrasi dan mutu lingkungan yang makin
menurun selain itu terlihat adanya sampah dan bau air laut yang menyengat. Gambar B stasiun 3 termasuk dalam kategori jarang karena barada di posisi
terluar yang tidak menyatu dengan mangrove di wilayah daratan. Pemilihan titik stasiun 3 dikarenakan mangrovenya masih alami dan mangrove pada stasiun ini
berfungsi meredam gelombang. Gambar C stasiun 4 dan 5 termasuk kategori di atas jarang yaitu sangat padat dan sedang, terlihat mangrove yang masih
berfungsi baik dan menyatu dengan mangrove lainnya di laut sehingga fungsi peredaman gelombang oleh mangrove masih berjalan dengan baik. Secara
keseluruhan, mangrove yang terpilih lokasinya sebagai peredaman gelombang sangat sedikit namun ketebalan mangrove yang didapat cukup mewakili.
4.1.3 Sebaran Mangrove di Lokasi Penelitian
Hasil survei dan teknologi satelit komputerisasi dilakukan pembuatan peta sebaran mangrove. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Peta Sebaran Mangrove
pada Gambar 46. Berdasarkan survei langsung di lapangan dengan sampel berbagai titik dan hasil perhitungan kerapatan mangrove, maka dapat dilihat
luasan mangrove berdasarkan kerapatannya jenisnya saja yaitu kategori sangat padat seluas 102,11ha, kategori sedang seluas 68,94ha, kategori jarang seluas
37,39ha dan kategori semak-semak atau lahan tak tentu seluas 84,29ha. Sebaran mangrove dengan kategori sangat padat masih banyak ditemukan pada daerah
hutan lindung Sungai Cengkareng. Pada daerah itu kegiatan rehabilitasi dan penanaman mangrove terus dilakukan melalui program yang ada dari Dinas
Kehutanan DKI Jakarta. Sampah dan semak masih banyak terlihat terutama pada daerah muara Sungai Cengkareng, muara Sungai Angke dan dipinggir pantai
antara Sungai Cengkareng dan Sungai Angke warna coklat. Suplai sampah yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan ekosistem yang ada tentu akan
berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan mangrove. Mangrove A
B
C
dengan kategori sedang, banyak ditemui pada daerah Fish Market PIK ke arah barat dari Sungai Cengkareng.
Gambar 46 Peta Sebaran Mangrove di Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Sedangkan mangrove dengan kategori jarang merupakan mangrove yang
terpisah dari kelompoknya yang umumnya disebabkan karena adanya pembuatan tambak dan abrasi. Secara morfologi pantai terlihat pula bahwa
daerah stasiun 1 dan 2 merupakan daerah yang tererosi atau terabrasi sedangkan daerah stasiun 3, 4 dan 5 adalah daerah sedimentasi atau tempat yang terdapat
banyak sampah dan kotoron. Untuk daerah SMMA Suaka Marga Satwa Muara Angke kerapatan mangrove kategori sangat padat, dan sedang, terlihat dengan
komposisi masing-masing sekitar 25. Sedangkan sampah dan semak komposisinya terlihat lebih besar. Mangrove daerah TWA Taman Wisata
Angke terlihat masuk kategori jarang. Penanaman mangrove di TWA terus dilakukan melalui kerjasama dengan Instansi Pemerintah dan swasta. Proyeksi
kerapatan mangrove di TWA akan meningkat di tahun berikutnya. Secara umum sebaran mangrove terbesar terdapat pada daerah Hutan Lindung.
4.1.4 Perubahan Fungsi Mangrove
Mangrove dapat dikatakan berfungsi dengan baik dalam melakukan redaman gelombang bila benar-benar bebas dari benda apapun, misalnya batu,
pemecah gelombang, sampah, kayu, bakau mati dan konstruksi bangunan tepi pantai lainnya. Mazda and Magi 1997; Kusmana et al. 2005; Triatmodjo
1999. Penyebab mangrove tidak berfungsi dengan baik dapat dilihat pada Gambar 47.
Gambar 47 Penyebab mangrove tidak berfungsi dengan baik Pada Gambar 48, berdasarkan hasil observasi di lapangan secara visual
maka mangrove dapat dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan fungsinya sebagai berikut:
1. Warna merah menunjukkan bahwa di kawasan mangrove tersebut fungsi
mangrove meredam gelombang tidak berjalan baik karena terdapat bangunan konstruksi tepi pantai, pagar dan batu. Konstruksi, batu dan pagar tersebut
yang menggantikan fungsi mangrove meredam gelombang. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi abrasi
2. Warna biru menunjukkan bahwa kawasan mangrove yang masih dapat berfungsi meredam gelombang walaupun tidak maksimal. Mangrove pada
kawasan itu tidak ada penghalang jalannya gelombang. Secara morfologi pantai pada kawasan itu terjadi sedimentasi.
Gambar 48 Kawasan mangrove yang masih berfungsi dan tidak berfungsi meredam gelombang
Melihat kejadian di atas, maka diperlukan rehabilitasi mangrove secara komprehensif dengan melibatkan stakeholder terkait sehingga diharapkan
mangrove dapat dijaga keberlanjutannya. Keterlibatan masyarakat memberikan hasil positif pelestarian ekosistem mangrove dan peningkatan pendapatan
masyarakat yang ada di sekitar ekosistem mangrove. Gunarto 2004; Kusmana 1998.
Secara umum, semua ekosistem mangrove dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15-20 tahun jika: 1 kondisi hidrologi normal tidak
terganggu, dan 2 ketersediaan benih, bibit dan jarak tidak terganggu atau diblokir. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji tidak
dapat mendekati restorasi kawasan mangrove, dapat dikembalikan dengan cara penanaman. Oleh karena itu ekosistem mangrove dapat diperbaiki tanpa
penanaman, rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air