Tindak Tutur Fenomena Pragmatik

mengacu pada orang dan benda merupakan peristiwa yang terjadi secara relatif langsung.

2.3.5 Kesantunan Berbahasa

Seseorang menyampaikan maksud kepada orang lain menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Penggunaan bahasa yang baik dan benar belumlah cukup, namum harus disertai dengan kesantunan. Penggunaan bahasa yang santun sudah sepantasnya diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi. Seseorang yang mampu bertutur kata secara halus dan santun tentu akan mudah diterima di masyarakat. Bahasa juga merupakan cermin kepribadian seseorang. Seandainya perilaku bahasa setiap orang demikian santun ketika berkomunikasi menggunakan bahasa yang verbal maupun non verbal, rasa kebencian, rasa curiga, sikap berprasangka buruk pada orang lain tidak perlu ada. Jika demikian, terciptalah kahidupan bermasyarakat yang bahagia dan sejahtera. Pranowo 2009:3 menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku. Selain penggunaan bahasa yang berupa kata-kata atau ujaran, terdapat pula bahasa nonverbal berupa mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang. Ketika berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang baik dan benar, perlu diterapkan juga kesantunan dalam setiap tindak bahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penuturpenulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca Pranowo, 2009:4. Berbahasa secara baik, benar, dan santun dapat menjadi kebiasaan yang mampu membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain a tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, b ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, c ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan d tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun Pranowo, 2009:51. Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata diksi dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur, seseorang dapat menggunakan gaya bahasa. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain; majas hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut, Pranowo 2009:76–79 menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara, aspek nada bicara berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, pranata adat seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur. Banyak ahli yang mengemukakan pendapat berkaitan dengan indikator kesantunan dalam berbahasa. Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan, pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dengan Grice yang lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Kemudian Leech, memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan alasan penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Pranowo mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai- nilai lain, seperti tenggang rasa angon rasa, adu rasa, angon wayah, mau berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.

2.3.6. Ketidaksantunan Berbahasa

Kajian pragmatik mengandung lima fenomena yang terjadi dalam mengatasi permasalah bahasa yang terjadi dalam kehidupan bersama di masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, pragmatik menemukan fenomena baru yang menarik