Konteks Tuturan KAJIAN PUSTAKA
Fakta kebahasaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari menegaskan bahwa penutur atau pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the
utterer’, memang memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya pula, seorang penutur atau ‘utterer’ dapat berperan sebagai ‘interpreter’. Dia sebagai
penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus dia sebagai pengintepretasi atas apa yang sedang diucapkannya itu. Jadi, untuk dapat berkomunikasi dan bertutur
sapa dengan secara baik, ‘utterer’ memang harus dapat memfungsikan dirinya sebagai ‘interpreter’. Utterer harus dapat mendalami dan menyelami diri dan
benak mitra tutur, tidak hanya ‘mengerti’ dan ‘memahami’ mitra tutur saja. Hal lain yang harus diperhatikan dan diperhitungkan dalam kaitan dengan
‘utterer’ dan ‘interpreter’, seperti jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan semacamnya adalah ‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah
pertutursapaan. Jadi, memang akan menjadi sangat berbeda makna kebahasaan yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri orang dalam jumlah
banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja, yakni penutur utterer dan mitra tutur interpreter.
2 Aspek-aspek Mental ‘Language User’
Konsep ‘language users’ menunjuk pada dua pihak, yakni ‘utterer’ dan ‘interpreter’. Akan tetapi, telah disinggung bahwa kadangkala kehadiran di luar
pihak ke-1 dan ke-2 masih ada kehadiran pihak lain yang perlu sekali dicermati peran dan pengaruhnya terhadap bentuk kebahasaan yang muncul. Kehadiran
mereka semua itu dalam sebuah pertutursapaan, akan berpengaruh besar pada dimensi ‘mental’ penutur. Sebagai contoh perbincangan antara seorang
mahasiswa dan mahasiswi pada sebuah lorong kampus, dengan serta merta akan berubah ‘tone’ dan ‘style’ bahasanya hanya karena orang-orang yang berada di
luar dirinya dan di luar pasangannya itu hadir di sekitarnya. Masih sangat dekat dengan dimensi mental ‘langugae users’ itu adalah
aspek-aspek kepribadian penutur dan mitra tutur itu. Seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap segala sesuatu yang
hadir baru cenderung ‘menentang’ dan ‘melawan’, sekalipun tidak selalu memiliki dasar alasan yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk
kebahasaan yang digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Demikian pula seseorang yang sudah sangat matang dan dewasa, akan dengan serta-merta
berbicara sopan dan halus kepada setiap orang yang ditemuinya, karena dia mengerti bahwa setiap orang itu memang harus selalu dihargai dan dijunjung
tinggi harkat dan martabatnya. Dalam konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari
penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan. Selain dimensi ‘personality’, aspek yang harus
diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini adalah aspek warna emosinya emotions. Seseorang yang memiliki warna emosi dan
temperamen tinggi, cenderung akan berbicara dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Akan tetapi, seseorang yang warna emosinya tidak terlampau
dominan, dia cenderung akan berbicara sabar. Selain itu, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’, dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi
kepercayaan atau ‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks pragmatik ini.
Dimensi-dimensi mental ‘language users’ seperti yang disebutkan itu, semuanya berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan
mitra tutur dalam pertuturan sebenarnya. Dengan demikian harus dikatakan pula, bahwa dimensi mental penutur dan mitra tutur tidak bisa tidak harus dilibatkan
dalam analisis pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi dalam komunikasi .
3 Aspek-aspek Sosial ‘Language User’
‘Utterer’ dan ‘interpreter’ merupakan individu-individu bagian dari sebuah masyarakat tertentu society, maka dimensi-dimensi yang berkaitan
dengan keberadaannya sebagai warga masyarakat dan kultur atau budaya tertentu harus dilibatkan di dalamnya. Akan tetapi sekali lagi, kajian pragmatik
sama sekali tidak dapat memalingkan diri dari fakta-fakta sosial-kultural yang demikian itu. Alasannya, ‘the user of the language’ alias penutur dan mitra tutur,
dan juga para pelibat tutur lainnya, yang di bagian depan sudah digambarkan dalam Verschueren 1998 secara cukup lebar, melibatkan pihak yang tidak
sedikit jenis dan jumlahnya, masing-masing pasti memiliki dimensi-dimensi yang berkaitan dengan ‘solidarity and power’ dalam masyarakat dan budaya.
Bentuk kebahasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam institusi-institusi berwibawa dan bermartabat tinggi, katakan saja kalau dalam
kampus perguruan tinggi institusi rektorat, atau dekanat, atau mungkin institusinya para pengurus yayasan atau wali amanah dalam perguruan tinggi itu,
dipastikan memiliki wujud-wujud kebahasaan yang berbeda dengan—katakan saja—institusi-institusi tempat berkumpulnya pada dosen, para karyawan atau
bahkan para mahasiswa. Bukan saja wadahnya yang menjadi pembeda, tetapi juga orang-orang yang berada di dalamnya, yang notabene, memiliki dimensi
‘authority’ atau ‘power’ yang tinggi, akan membedakan dengan wadah-wadah yang menjadi tempat bagi kebanyakan dosen dan karyawan serta mahasiswa
dalam kampus itu. Jelas sekali, bahwa aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai
‘social setting’ alias seting sosial, selain juga aspek-aspek mental yang telah disebutkan di bagian depan, harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam
analisis pragmatik. Itulah salah satu aspek dari konteks pragmatik, yang dalam istilah Verschueren 1998 disebut ‘ingredient of the communicative context’.
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan ialah aspek kultur merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang
berkaitan dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.
Berkaitan dengan hal ini, Verschueren 1998:92 menyatakan sebagai berikut, ‘Culture, with its invocation of norms and values has indeed been a
favourite social-world correlate to linguistic choices in the pragmatic literatures.’ Lebih lanjut dia menegaskan bahwa dimensi-dimensi kultur yang
harus diperhatikan dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik ini adalah, ‘…the contrast between oral and literate societies, rural versus urban patterns
of life, or a mainstream versus a subcultural environment ’. Dimensi-dimensi
sosial lain yang harus diperhatikan dalam pragmatik, khususnya dalam kaitan dengan konteks pragmatik, dalam pandangan Verschueren 1998:92 adalah:
‘…social class, ethnicity and race, nationality, linguistic group, religion, age, level of education, profession, kinship, gender, sexual preference…’.
4 Aspek-aspek Fisik ‘Language User’
Dimensi fisik yang sifatnya luar bahasa akan menjadi hal menarik yang harus diperhatikan para pakar linguistik dan pragmatik. Dimensi fisik tersebut
berupa berbagai fenomena dieksis deixis phenomenon, baik yang berciri persona personal deixis, deiksis perilaku attitudinal deixis, deiksis waktu
temporal deixis, dan deiksis tempat spatial deixis. Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang,
misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan harus digunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’. Demikian pula, dalam bahasa Indonesia
terdapat kejanggalan pemakaian antara ‘saya’ dan ‘kami’. Sama pula dengan yang terjadi dalam bahasa Jawa, deksis persona ‘kula’ artinya ‘saya’ dan ‘kula
seday a’ atau ‘aku kabeh’ alias ‘kami’ atau ‘kita’ dalam bahasa Indonesia,
semuanya hingga kini masih mengandung kesamaran dan ketidakjelasan. Artinya pula, dalam perbincangan konteks pragmatik ini, semuanya harus
diperhatikan dan diperhitungkan dengan benar-benar baik dan cermat. ‘Attitudinal deixis’ berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita harus
memperlakukan panggilan-panggilan persona seperti yang disampaikan di depan itu dengan tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Artinya, kapan
kepada orang yang lebih tua Anda harus menggunakan bentuk sapaan persona
‘penjenengan’ atau mungkin pula ‘sampeyan’ atau bahkan ‘kowe’, atau akhir- akhir ini muncul bentuk ‘berprestise ‘U’’ atau ‘you’, atau mungkin ‘kamu’ saja.
Jelas sekali, hal-hal tersebut menjadi bidang telitian yang disebut sebagai ‘attitudinal deixis’. Deiksis-deiksis dalam jenis yang disampaikan di depan itu
semuanya merupakan aspek fisik ‘language users’, yang secara sederhana dimaknai sebagai ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’, sebagai ‘utterer’ dan ‘interpreter’.
Selanjutnya, masih berkaitan dengan persoalan deiksis. Deiksis yang memiliki sifat temporal harus diperhatikan, misalnya, kapan harus menggunakan
ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Demikian pula, kapan harus menggunakan ‘good evening’ dan ‘good night’ dalam bahasa
Inggris. Dalam konteks waktu pula, kapan orang harus berhati-hati, kapan harus menggunakan ‘event time’ seperti ‘pada Senin’ atau ‘pada 2012’, kapan harus
menggunakan ‘time of utterence’ seperti ‘kemarin’, ‘sekarang’, ‘besok’, dan kapan pula harus menggunakan ‘reference time’ seperti pada ‘ketika, pada saat,
manakala’ dan seterusnya. Perhatian juga harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau
‘temporal reference’ seperti yang ditunjukkan di depan tadi, khususnya dalam kaitan dengan deiksis-deiksis waktu, tetapi juga pada dimensi tempat atau
dimensi lokasi, atau yang oleh Verschueren 1998:98 disebut sebagai ‘spatial reference’. Referensi spasial di dalam linguistik ditunjukkan, misalnya dengan
pemakaian preposisi yang menunjukkan tempat, juga kata kerja tertentu, kata keterangan, kata ganti, dan juga nama-nama tempat. Pendek kata, konsep
‘spatial reference’ seperti ditunjukkan di depan itu, semuanya menunjuk pada
konsepsi gerakan atau ‘conception of motion’, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam titik tempat yang lainnya.