PPH PASAL 4 (2) 1. SUN (Obligasi Negara, SPN) dan SBSN
J. PPH PASAL 4 (2) J.1. SUN (Obligasi Negara, SPN) dan SBSN
I. DASAR HUKUM :
A. PP 16 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) Tentang PPh atas penghasilan berupa bunga obligasi
B. PP 27 TAHUN 2008 (berlaku sejak 4 April 2008) Tentang PPh atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
C. PMK-63/PMK.03/2008 (berlaku sejak 4 April 2008) Tentang tata cara pemotongan PPh atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
D. PER-18/PJ./2008 (berlaku sejak 2 Mei 2008) Tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
E. PP 25 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh kegiatan usaha berbasis syariah
II. DEFENISI o Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
III. SURAT UTANG NEGARA (SUN) TERBAGI 2 o Surat Utang Negara terbagi 2 yaitu :
1. Obligasi Negara , yaitu Surat Utang Negara (SUN) yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan.
2. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) , yaitu Surat Utang Negara (SUN) yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
IV. OBLIGASI NEGARA
A. DASAR HUKUM ▪ PP 16 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) Tentang PPh atas penghasilan
berupa bunga obligasi
B. DEFENISI
1. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan.
2. Bunga/diskonto Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
3. Bunga obligasi adalah jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
4. Diskonto obligasi dengan kupon (tingkat bunga) adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
5. Diskonto obligasi tanpa bunga adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
C. PEMOTONG
0. penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
1. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.
D. PEMOTONG, OBJEK PPH, DAN TARIF ATAS BUNGA OBLIGASI
E.
TARIF (FINAL) Penerbit
PEMOTONG
OBJEK PEMOTONGAN
SAAT PEMOTONGAN
obligasi atau Bunga (jumlah bruto bunga Jatuh tempo Bunga Obligasi Jika penerima obligasi custodian
adalah : pembayaran yang ditunjuk kepemilikan
selaku
agen sesuai
dan/atau diskonto (selisih
lebih harga jual atau nilai nominal
- WPDN/BUT : 15%
dari jumlah bruto
bunga/diskonto
yang diterima pemegang
obligasi
obligasi dengan kupon
Diskonto (selisih lebih harga Jatuh tempo Bunga Obligasi jual atau nilai nominal di atas
yang diterima pemegang
- WPLN : 20% dari
obligasi tanpa bunga
jumlah bruto
Perusahaan efek, dealer, Bunga (jumlah bruto bunga Saat transaksi
bunga/diskonto
atau bank selaku pedagang sesuai
dengan
masa
obligasi atau sesuai
perantara dan/atau pembeli kepemilikan
obligasi)
dan
dengan tax treaty
diskonto (selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
penjual obligasi
F. bunga dan/atau diskonto dari
TARIF
Obligasi yang diterima
2009 s/d 2010
2011 s/d 2013
2014 dst
0% 5% 15% Pajak
dan/atau diperoleh
terdaftar pada
Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
IV.
A. BUNGA OBLIGASI YANG TIDAK DIKENAI PEMOTONGAN PPH PASAL 4 AYAT (2)
▪ Yaitu apabila penerima penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah:
1. WP dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh (penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan KMK
2. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
B. HISTORI PERATURAN ▪ PP Nomor 6 TAHUN 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku
V. SPN
A. DASAR HUKUM
1. PP 27 TAHUN 2008 (berlaku sejak 4 April 2008) Tentang PPh atas diskonto Surat
Perbendaharaan Negara (SPN)
2. PMK-63/PMK.03/2008 (berlaku sejak 4 April 2008) Tentang tata cara pemotongan PPh
atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
3. PER-18/PJ./2008 (berlaku sejak 2 Mei 2008) Tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
B. PEMOTONG, OBJEK PPH, DAN TARIF ATAS SPN PEMOTONG OBJEK PEMOTONGAN SAAT PEMOTONGAN TARIF (FINAL)
Penerbit SPN (emiten) atau custodian yang Diskonto (selisih lebih Tanggal
tempo Jika ditunjuk selaku agen pembayar
jatuh
antara nilai nominal pada SPN
penerima
saat jatuh tempo di atas
diskonto
harga perolehan di Pasar
SPN adalah
Perdana atau di Pasar
Sekunder)
yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo
Perusahaan efek (broker) atau bank selaku Diskonto (selisih lebih Tanggal transaksi saat WPDN/BUT
pedagang perantara (dealer).
di penjualan SPN di Pasar : 20%
Pasar Sekunder di atas Sekunder harga perolehan di Pasar
Perdana atau di Pasar Sekunder) yang diterima
-WPLN
atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi
20% atau
di Pasar Sekunder sesuai Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun,
dengan tax
dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa
treaty
melalui pedagang perantara
Sub Registry (Pihak
mutasi hak pencatatan perubahan hak kepemilikan SPN)
dapat Dalam hal penjualan SPN secara langsung
kepemilikan
dilakukan
tanpa melalui pedagang
perantara dan
dilakukan kepada pihak selain pemotong pajak (Perusahaan efek
pensiun, dan reksadana) (Pasal 1 ayat 2 PER- 18/PJ/2008)
V.
A. PENGECUALIAN PEMOTONGAN ▪ Pemotongan Pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak :
1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
3. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
B. KEWAJIBAN PENJUAL SPN ▪ Kewajiban penjual SPN untuk memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan SPN dan tanggal perolehan yang sebenarnya untuk keperluan penghitungan
diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan, dilakukan dengan menyerahkan lembar ke-4 Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dari pembelian SPN sebelumnya atau menyerahkan fotokopi bukti pembelian di pasar perdana yang sah dalam hal SPN diperoleh di pasar perdana. Kewajiban ini juga berlaku bagi penjual SPN yang dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
C. UNTUK BUNGA OBLIGASI KLIK DISINI
VI. PPH ATAS SBSN (Surat Berharga Syariah Negara / SUKUK)
A. DASAR HUKUM ▪ PP 25 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh kegiatan usaha
berbasis syariah
B. DEFENISI
▪ Sukuk adalah Surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
C. KETENTUAN ATAS SBSN
1. Berdasarkan PP 25 TAHUN 2009 Pasal 3 , Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Berdasarkan Penjelasan PP 25 TAHUN 2009 Pasal 3, Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
3. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas
penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan.
Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan
pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang- Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.
4. Imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori
modal perusahaan berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus dikenakan pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan PPh atas bunga :
a. Bila SBSN dengan tenor (jangka waktu sampai jatuh tempo) > 1 Tahun , maka menggunakan ketentuan tentang bunga obligasi PP 16 TAHUN 2009
b. Bila SBSN dengan tenor (jangka waktu sampai jatuh tempo) sampai dengan 1 Tahun , maka menggunakan ketentuan tentang diskoto SPN PP 27 TAHUN 2008
J.2. PPh Final atas Pengalihan hak atas Tanah dan/atau bangunan, SKB PPhTB
I. DASAR HUKUM
A. UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP 34 TAHUN 2016 (berlaku sejak 7 September 2016) tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
▪ untuk yang sebelum 7 September 2016 dapat merujuk ke:
1. PP 71 TAHUN 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
2. PMK-243/PMK.03/2008 tentang perubahan kedua PMK-635/KMK.04/1994 pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
C. PMK-261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
D. PER-30/PJ/2009 (berlaku sejak 27 April 2009) tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan
E. PER-26/PJ/2010 (berlaku sejak 4 Mei 2010) tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan
F. PER-35/PJ/2008 (berlaku sejak 9 September 2008) tentang kewajiban pemilikan NPWP dalam rangka pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
II. SURAT EDARAN TERKAIT
A. SE-48/PJ/2009 (27 April 2009) Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
B. SE-50/PJ./2009 (tanggal 25 Mei 2009) tentang tata cara penerbitan SKB pembayaran PPh yang bersifat final bagi WP Badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
C. SE-30/PJ/2013 (berlaku sejak 3 Juli 2013) tentang pelaksanaan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ( SE ini mencabut SE-80/PJ./2009 (tanggal 27 Agustus 2009) )
D. SE-30/PJ/2014 (ditetapkan tanggal 14 Agustus 2014) tentang pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli
E. SE-20/PJ/2015 (tanggal 18 Maret 2015) tentang pemberian SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan
III. SUBJEK DAN OBJEK o Berdasarkan Pasal 1 PP 34 TAHUN 2016 Pajak Penghasilan yang bersifat final terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
1. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
▪ Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas
tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
2. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya ▪ Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan merupakan
kesepakatan jual beli antara para pihak yang dapat berupa surat perjanjian pengikatan jual beli, surat pemesanan unit, kuitansi pembayaran uang muka, atau bentuk kesepakatan lainnya antara pihak yang menjual atau bermaksud menjual tanah dan/ atau bangunan dan pihak yang membeli atau bermaksud membeli tanah dan/ atau bangunan. (Pasal 1 ayat 3 PMK-261/PMK.03/2016)
▪ Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya adalah penghasilan dari:
1. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani; atau
2. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
o Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan yang timbul dari perjanjian pengikatan jual beli
beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun di luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.
IV. BESARNYA PAJAK PENGHASILAN
A. Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan: (Pasal 2 ayat (1) PP 34 TAHUN 2016)
No. Jenis transaksi
PPh yang
Definisi Terkait
dikenakan
1 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau selain pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah: (Pasal 2 ayat (2) PP 34 bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah
TAHUN 2016)
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
3. nilai berdasarkan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
2,5% (dua
koma lima
keputusan pejabat yang
berwenang, dalam hal pengalihan ▪ Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah
persen) dari
hak kepada pemerintah; Susun Sederhana sesuai dengan kriteria nilai
jumlah bruto
4. nilai menurut risalah lelang, dalam Rumah Sederhana dan Rumah Susun
hal pengalihan hak sesuai dengan Sederhana yang mendapat fasilitas
peraturan lelang (Vendu dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai hak atas
pengalihan
Reglement Staatsblad Tahun 1908 dengan ketentuan peraturan perundang- tanah
Nomor 189 beserta undangan di bidang perpajakan. (Pasal 2 dan/atau
perubahannya);
5. nilai yang seharusnya diterima ▪ KLIK DISINI untuk kriteria Rumah
ayat 4 PP 34 TAHUN 2016) bangunan
atau diperoleh, dalam hal Sederhana dan Rumah Susun Sederhana
pengalihan hak atas tanah yang mendapat pembebasan PPN
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, Selain jenis
2 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
pengalihan dalam angka 1 dan 2 berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun
1% (satu
persen) dari
diatas ;
Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang jumlah bruto
6. nilai yang sesungguhnya diterima usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas nilai
atau diperoleh, dalam hal tanah dan/atau bangunan
pengalihan
pengalihan hak atas tanah
▪ dan/atau bangunan dilakukan Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah
hak atas
melalui jual beli yang tidak Susun Sederhana sesuai dengan kriteria tanah
dipengaruhi hubungan istimewa, Rumah Sederhana dan Rumah Susun
dan/atau
Sederhana yang mendapat fasilitas
selain jenis pengalihan dalam dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai
bangunan
angka 1 dan 2 diatas ; dengan ketentuan peraturan perundang-
▪ Yang dimaksud dengan undangan di bidang perpajakan. (Pasal 2
hubungan istimewa adalah ayat 4 PP 34 TAHUN 2016) sebagaimana dimaksud
▪ KLIK DISINI untuk kriteria Rumah dalam Undang-Undang Sederhana dan Rumah Susun Sederhana
yang mengatur mengenai yang mendapat pembebasan PPN
Pajak Penghasilan.
7. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga
3 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan pasar, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah, badan usaha milik negara
atas tanah dan/atau bangunan yang mendapat penugasan khusus dari
dilakukan melalui tukar-menukar, Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang 0% (nol
pelepasan hak, penyerahan hak, mendapat penugasan khusus dari kepala daerah,
hibah, waris, atau cara lain yang
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang disepakati antara para pihak. yang mengatur mengenai pengadaan tanah
persen)
bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya : (Pasal 2 ayat (2) PP 34 TAHUN 2016)
No.
Jenis transaksi
PPh yang
Dasar pengenaan
dikenakan
1 perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya selain perjanjian
Dari jumlah bruto: (Pasal 2 ayat (3) pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan
PP 34 TAHUN 2016) beserta perubahannya berupa Rumah Sederhana atau
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
3. nilai yang Pajak yang usaha pokoknya melakukan perjanjian
sesungguhnya diterima atau pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan
diperoleh, dalam hal beserta perubahannya
pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui o Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun
2,5% (dua
pengalihan yang tidak
Sederhana sesuai dengan kriteria Rumah dipengaruhi hubungan Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang persen)
koma lima
istimewa; atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan
4. nilai yang seharusnya PPN sesuai dengan ketentuan peraturan
diterima atau diperoleh, perundang-undangan di bidang perpajakan.
dalam hal pengalihan tanah (Pasal 2 ayat 4 PP 34 TAHUN 2016) dan/atau bangunan
o KLIK DISINI untuk kriteria Rumah Sederhana dilakukan melalui pengalihan dan Rumah Susun Sederhana yang mendapat
yang dipengaruhi hubungan pembebasan PPN
istimewa. ▪ Yang dimaksud dengan hubungan
2 perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau istimewa adalah bangunan beserta perubahannya berupa Rumah
sebagaimana Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang
dimaksud dalam dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
Undang-Undang melakukan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah
yang mengatur dan/atau bangunan beserta perubahannya
1% (satu
persen)
mengenai Pajak Penghasilan.
o Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana sesuai dengan kriteria Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang
3 perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah 0% (nol yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, persen) sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
C. Contoh Perhitungan adalah sesuai Lampiran II PMK-261/PMK.03/2016
V. KETENTUAN UMUM
A. Saat Terutang dan Kewajiban Pembayaran
1. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke Kas Negara sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 3 ayat (1) PMK-261/PMK.03/2016)
▪ Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban
telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak. (Pasal 3 ayat (5) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Pejabat yang berwenang meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 3 ayat (7) PP 34 TAHUN 2016) ▪ SANKSI DALAM HAL TIDAK MEMENUHI ATURAN:
▪ Pejabat yang berwenang menandatangani akta keputusan, kesepakatan atau risalah lelang yang tidak memenuhi
ketentuan terrkait penandatanganan dan pelaporan ini, dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (Pasal 8 PP 34 TAHUN 2016)
▪ Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dikenai tarif 0% (nol persen), orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak. (Pasal 3 ayat (2) PMK-261/PMK.03/2016)
▪ Pajak Penghasilan terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dan dihitung
berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bahgunan tersebut. (Pasal 3 ayat (3) dan (4) PMK-261/PMK.03/2016)
▪ Pajak Penghasilan wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran dan dilakukan untuk setiap pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. (Pasal 3 ayat (5) dan (6) PMK-261/PMK.03/2016)
2. Bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan, Pajak Penghasilan terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. (Pasal 3 ayat (2) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi
oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. (Pasal 3 ayat (3) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Pajak Penghasilan wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. (Pasal 3 ayat (4) PP 34 TAHUN 2016)
3. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada pemerintah, dipungut Pajak Penghasilan oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar. (Pasal 4 ayat (1) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Bendahara pemerintah atau pejabat wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke Kas Negara sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar menukar
dilaksanakan. (Pasal 4 ayat (2) PMK-261/PMK.03/2016)
▪ Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan kepada pemerintah dikenai tarif 0% (nol persen), bendahara pemerintah atau pejabat tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak. (Pasal
4 ayat (4) PMK-261/PMK.03/2016) ▪ Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau
sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar. (Pasal 4 ayat (3) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Bendahara pemerintah atau pejabat wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak. (Pasal 4 ayat (4) PP 34 TAHUN 2016)
4. Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perubahan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau badan yang merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian pengikatan jual beli tersebut. (Pasal 5 ayat (1) PP 34 TAHUN 2016)
▪ Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban telah
dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
▪ Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak. ▪ SANKSI DALAM HAL TIDAK MEMENUHI ATURAN:
▪ Pihak
terrkait penandatanganan dan pelaporan ini, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 8 PP 34 TAHUN 2016)
▪ Catatan: Penyetoran Pajak Penghasilan ke Kas Negara dilakukan melalui: (Pasal 6 PMK-261/PMK.03/2016) ▪ Catatan: Penyetoran Pajak Penghasilan ke Kas Negara dilakukan melalui: (Pasal 6 PMK-261/PMK.03/2016)
b. layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya, pada bank/ pos persepsi.
B. Tempat Terutang (Pasal 7 PMK-261/PMK.03/2016)
0. Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan, Pajak Penghasilan terutang di lokasi tanah dan/atau bangunan berada .
1. Bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak, Pajak Penghasilan terutang di tempat tinggal orang pribadi yang bersangkutan atau tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan.
C. Kewajiban NPWP (Pasal 8 PMK-261/PMK.03/2016) ▪ Dalam pemenuhan hak dan kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/ atau bangunan beserta perubahannya, orang pribadi atau badan wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali orang pribadi yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan subjek pajak luar negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap.
D. Kewajiban Pelaporan (Pasal 9 PMK-261/PMK.03/2016)
0. Orang pribadi atau badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir ke:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/ atau bangunan yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau
b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan,
▪ Catatan: kecuali untuk Subjek Pajak Luar Negeri, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dianggap telah dilakukan apabila Wajib Pajak telah melakukan penyetoran dan
tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Masa sesuai tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
2. Bendahara pemerintah atau pejabat, wajib membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat bendahara pemerintah unit yang bersangkutan terdaftar.
▪ Laporan tersebut merupakan bukti pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen).
3. Badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus:
membuat daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dan tanah dan/atau bangunan yang akan dialihkan dimaksud disertai dengan fotokopi surat penugasan dimaksud dan menyampaikan kepada pejabat yang berwenang menandatangani akta pengalihan hak sebagai pengganti Surat Setoran Pajak dan
a. membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dalam rangka penugasan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang bersangkutan terdaftar.
▪ Laporan tersebut merupakan bukti pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen).
4. Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan terdaftar.
5. Penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dimaksud ke:
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/ atau bangunan yang bersangkutan, bagi penjual yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau
a. Kantor Pelayanan Pajak yang. wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi penjual selain yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan.
B. Ketentuan Tambahan (Pasal 11 PMK-261/PMK.03/2016) ▪ Dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan melalui perjanjian
atau kerja sama antara pemilik tanah dan/atau bangunan dan orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli hak atas tanah dan/ atau bangunan, serta selanjutnya orang pribadi atau badan lain dimaksud mengalihkan hak atas tanah dan/ atau bangunan tersebut kepada pihak ketiga, perjanjian atau kerja sama tersebut merupakan perjanjian pengikatan jual beli yang dikenai Pajak Penghasilan. Serta berlaku ketentuan sbb:
0. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang memiliki tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli tanah dan/atau bangunan termasuk dalam kategori penghasilan pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani.
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli hak atas tanah dan/ atau bangunan dari pihak ketiga termasuk dalam kategori penghasilan pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
VI. PENGECUALIAN DARI PEMBAYARAN ATAU PEMUNGUTAN PPHTB (Pasal 6 PP 34 TAHUN 2016)
No. Yang Dikecualikan Dari Pembayaran atau Tata Cara Permohonan untuk Memperoleh SKB Pemungutan PPh
PPh
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di
2. Permohonan diajukan secara tertulis oleh OP bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
yang melakukan pengalihan hak atas tanah melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
dan/atau bangunan ke KPP tempat OP yang bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya
bersangkutan terdaftar atau bertempat tinggal kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
dengan format Lampiran I PER-30/PJ/2009 rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
3. permohonan harus dilampiri dengan:
a. Surat Pernyataan Berpenghasilan di a. Surat Pernyataan Berpenghasilan di
o Pengecualian diberikan dengan penerbitan
Bangunan
kurang dari Rp
SKB PPh. (Pasal 3 ayat (1) PER-
dengan format 30/PJ/2009) Lampiran I PER-30/PJ/2009 ;
b. fotokopi Kartu Keluarga; dan
c. fotokopi SPPT PBB tahun yang bersangkutan.
6. Permohonan diajukan secara tertulis oleh OP berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta
yang melakukan pengalihan hak atas tanah hibah kepada keluarga sedarah dalam garis
dan/atau bangunan ke KPP tempat OP yang keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
bersangkutan terdaftar atau bertempat tinggal badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
dengan format Lampiran I PER-30/PJ/2009 koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
7. permohonan harus dilampiri dengan Surat usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
Pernyataan Hibah dengan format sesuai lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
Lampiran III PER-30/PJ/2009 sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
o Pengecualian diberikan dengan penerbitan SKB PPh . (Pasal 3 ayat (1) PER- 30/PJ/2009)
o Ketentuan perpajakan terkait penerima hibah KLIK DISINI
10. Permohonan diajukan secara tertulis oleh tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa
badan yang melakukan pengalihan hak atas kepada badan keagamaan, badan pendidikan,
tanah dan/atau bangunan ke KPP tempat badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau
badan yang bersangkutan terdaftar atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
bertempat tinggal dengan format Lampiran I kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
PER-30/PJ/2009
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah
11. permohonan harus dilampiri dengan Surat tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
Pernyataan Hibah dengan format sesuai pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
Lampiran III PER-30/PJ/2009 pihak-pihak yang bersangkutan;
o Pengecualian diberikan dengan penerbitan SKB PPh . (Pasal 3 ayat (1) PER- 30/PJ/2009)
o Ketentuan perpajakan terkait penerima hibah KLIK DISINI
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
13. Permohonan diajukan secara tertulis oleh oleh karena waris;
ahli waris dengan format Lampiran I PER- 30/PJ/2009 ke KPP tempat orang pribadi yang
o Pengecualian diberikan dengan penerbitan melakukan pengalihan, dalam hal ini pewaris, SKB PPh . (Pasal 3 ayat (1) PER-
terdaftar atau bertempat tinggal. 30/PJ/2009) 14. permohonan harus dilampiri dengan Surat
Pernyataan Pembagian Waris dengan format sesuai dengan Lampiran IV PER-30/PJ/2009
15. SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan hanya diberikan apabila tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pewarisan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pewaris , kecuali pewaris
penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak. (Butir E angka
memiliki
2 huruf c SE-20/PJ/2015)
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa o mengajukan permohonan SKB tertulis tanah
dan/atau
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau badan yang melakukan o mengajukan permohonan SKB tertulis pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka
melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
o Pengecualian diberikan secara langsung
tanpa penerbitan SKB PPh (Pasal 3 ayat
(2) PER-30/PJ/2009)
VI. KEPUTUSAN DJP ATAS PERMOHONAN WP UNTUK MEMPEROLEH SKB PPH
1. Kepala KPP harus memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal surat permohonan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan diterima secara lengkap (Pasal 5 ayat (1) PER-30/PJ/2009) ▪ Apabila dalam jangka waktu tersebut Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan SKB PPh atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) PER-30/PJ/2009 berakhir. (Pasal 5 ayat (2) PER-30/PJ/2009)
2. Dalam hal permohonan diterima, Kepala KPP harus menerbitkan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan format Lampiran V PER-30/PJ/2009 (Pasal 5 ayat (3) PER-30/PJ/2009)
3. Dalam hal permohonan ditolak, Kepala KPP harus menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada WP dengan format Lampiran VI PER-30/PJ/2009 (Pasal 5 ayat (3) PER-30/PJ/2009)
VALIDASI SSP DAN SSB KLIK DISINI
VIII.
CATATAN BAGI KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL
(Pasal 7 PP 34 TAHUN 2016) • Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat
keputusan pemberian hak, pengakuan hak, dan peralihan hak atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak atau hasil cetak sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, kecuali permohonan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah dan yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan.
IX. HISTORI TARIF PPH ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Dasar Hukum
PP
48 TAHUN 1994 PP
27 TAHUN PP
79 TAHUN 1999 PP 71 PP
34 TAHUN
1996 TAHUN 2008 2016
Masa Berlaku
1 Januari 1995 s/d
16 April 1996 s/d
1 Januari 2000 s/d
1 Januari
7 September
15 April 1996 31 Desember
31 Desember 2008 2009 s/d 6 2016 s/d 1999 September
sekarang
2016
Besar Tarif PPh Besar tarif PPh-nya Besar tarif PPh- Besar tarif PPh-
Besar
tarif Besar tarif PPh-
(ketentuan Pasal 4 : 5% dari jumlah
nya : 5% dari
nya : 5% dari
PPh-nya : 5% nya :
ayat (1)) dan Pasal bruto nilai
jumlah bruto nilai jumlah bruto nilai
dari
jumlah
8 pengalihan hak atas pengalihan hak pengalihan hak atas bruto nilai
9. 2, tanah dan/atau
pengalihan 5% (dua bangunan.
atas tanah
tanah dan/atau
dan/atau
bangunan.
hak
atas koma lima
Sifat tarif PPh-nya : kecuali Sifat tarif PPh-nya dan/atau
dari
pengalihan hak :
bangunan,
jumlah
o bagi orang
atas rumah
kecuali
atas bruto
pribadi sederhana,
o Bagi WP
pengalihan
10. 1% (satu
bersifat final rumah sangat OP,
hak
atas persen)
o bagi WP
sederhana, dan
badan rumah susun
atau
Sederhana jumlah
merupakan sederhana yang
organisasi dan
Rumah bruto
Pembayaran dilakukan oleh
PPh Pasal
WP badan yang
sejenis,
Sederhana persen)
25 yang
usaha pokoknya
yang usaha yang
dapat
melakukan
pokoknya dilakukan
diperhitungk transaksi
melakukan oleh WP yang
an dengan
pengalihan hak
transaksi
usaha
Sifat tarif PPh-
PPh yang
atas tanah
pengalihan pokoknya
nya : bersifat final
terutang
dan/atau
hak atas
melakukan
untuk tahun bangunan
pengalihan (Pasal 1 ayat 1
tanah
pajak yang dikenakan PPh
atas PP
36 Tahun
dan/atau
hak
bersangkuta sebesar 2% dari
n.(Pasal 8
jumlah bruto nilai
bersifat
dan/atau
pengalihan.
PP 48 final. (Pasal
bangunan
TAHUN
8 PP 79 dikenakan
1994 )
Sifat tarif PPh-
TAHUN
PPh sebesar
jumlah bruto
Bagi WP
o Bagi WP
OP yang
si yang
o Bagi
hak atas
dan/atau
transa
a bangunan
ksi
melakuk
yang jumlah
kurang dari
hak
Rp
atas
pengalih
60.000.000,
tanah
an hak atas tanah dan/atau banguna n apabila melakuk an pengalih an hak atas tanah dan/atau banguna n dalam kegiatan usaha pokokny a, pembay aran PPh bersifat final. o Bagi WP badan lainnya dan bagi WP badan yang usaha pokokny
a melakuk an transaks i pengalih an hak atas tanah dan/atau banguna n apabila melakuk an pengalih an hak atas tanah dan/atau banguna n diluar kegiatan usaha pokokny a, pembay
00 , penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut merupakan objek PPh, dan PPh terutang yang bersifat final sebesar 5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh WP dengan SSP Final sebelum akhir tahun pajak yang bersan gkutan, kecuali penghasilan yang diperoleh dari pengalihan sebagaiman
a dimaksud dalam Pasal
1 ayat (2) huruf c (penjualan, tukar- menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaa n pembangun an untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus)." (Pasal 8 PP
79 TAHUN
dan/a tau bang unan, pemb ayara n PPh- nya bersif at final. (Pasa l 8 PP
71 TAHU N
2008 )
aran PPh-nya merupak an pembay aran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitu ngkan dengan PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersang kutan. o Bagi WP OP yang jumlah penghas ilannya melebihi PTKP , apabila melakuk an pengalih an hak atas tanah dan/atau banguna n yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.0 00,00, penghas ilan yang diperole
h dari pengalih an tersebut merupak an objek PPh, dan PPh terutang yang bersifat final
1999 ) Dikecualikan dari
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, bagi Wajib Pajak badan termasuk koperasi yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pengenaan PPh-nya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-undang
Nomor 7 TAHUN
1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor
10 Tahun 1994. Dengan demikian, kewajiban pembayaran PPh dalam tahun berjalan dihitung dan dilaksanakan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 25. (Pasal 6 dan
penjelasan PP 79
TAHUN 1999 )
sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalih an, wajib dibayar sendiri oleh WP dengan SSP Final sebelum akhir tahun pajak yang bersang kutan, kecuali penghas ilan yang diperole
h dari pengalih an sebagai mana dimaksu
d dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c." (Pasal 8
PP 27 TAHUN
Pasal 6 Ketentuan tentang
Pasal 6 diganti. pembayaran PPh
Tata cara
Dikecualikan dari
Pasal 6
pembayaran
ketentuan-ketentuan dihapus.
atas penghasilan
PPh atas
tersebut di atas,
dari transaksi
penghasilan
bagi Wajib Pajak
penjualan atau
yang diterima
badan termasuk pengalihan hak atas atau diperoleh koperasi yang
tanah dan/atau
Wajib Pajak
usaha pokoknya
bangunan oleh WP badan yang
melakukan transaksi
badan sehubungan usaha pokoknya pengalihan hak atas dengan usaha
melakukan
tanah dan/atau
pokoknya di
transaksi
bangunan,
bidang penjualan
pengalihan hak pengenaan PPh-nya
atau pengalihan hak atas tanah
berdasarkan
atas tanah dan/atau dan/atau
ketentuan umum
bangunan,
bangunan,
Pasal 16 ayat (1)
ditetapkan lebih
ditetapkan lebih dan Pasal 17 UU
lanjut oleh Menteri
lanjut oleh
Nomor 7 TAHUN
Keuangan.
Menteri
1983 tentang PPh
Keuangan."
sebagaimana telah diubah terakhir sebagaimana telah diubah terakhir
10 TAHUN 1994."
Pasal 5 tentang Tidak diubah
Tidak diubah
Diubah
yang dikecualikan dari kewajiban pembaya ran
atau pemungutan
PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/
atau Bangunan
X. TEMPAT PENDAFTARAN/PELAPORAN BAGI WP YANG USAHANYA DI BIDANG PENGALIHAN
TANAH/BANGUNAN SEBAGAI PENGUSAHA YANG DIKENAI PPN o KLIK DISINI
J.3. PPh Final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
I. DASAR HUKUM
A. PP 5 TAHUN 2002 (berlaku sejak 1 Mei 2002) tentang perubahan atas PP 29 TAHUN 1996 (berlaku sejak 18 April 1996) tentang pembayaran PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
B. KMK-120/KMK.03/2002 (berlaku sejak 1 Mei 2002) tentang perubahan KMK-394/KMK.04/1996 (berlaku sejak 5 Juni 1996) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
C. KEP-227/PJ./2002 (berlaku sejak 1 Mei 2002) tentang tata cara pemotongan dan pembayaran, serta pelaporan PPh dari persewaan tanah dan atau bangunan
II. YANG DIKENAI PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2) o Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri,dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (Pasal 2 KEP-227/PJ./2002).
▪ Pengertian bagian dari gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk areal baik di dalam gedung maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut (SE-22/PJ.4/1996)
III. TARIF PAJAK
o 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/ atau bangunan dan bersifat final
o Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan
dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan "service charge" baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan . (KMK-120/KMK.03/2002)
▪ Service charge adalah : Balas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan penyewa yang terdiri dari biaya listrik, air,
keamanan, kebersihan, dan biaya administrasi. ( SE-13/PJ.32/1989 (SE ini sudah dicabut oleh SE-14/PJ.53/2003 , tetapi untuk pengertian service chargenya tidak dirubah oleh SE-14/PJ.53/2003 )
▪ DPP PPN atas service charge dalam rangka kegiatan persewaan ruangan adalah penggantian, yakni sebesar nilai tagihan service charge yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa SE-14/PJ.53/2003 .
IV. PEMOTONG, SAAT PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN o Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 atas sewa tanah dan/atau bangunan adalah apabila PENYEWA (pihak yang menyewa/ yang membayar biaya sewa) merupakan : (Pasal 3 ayat (1)
KMK-394/KMK.04/1996)
1. Badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
2. Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong (KEP-50/PJ./1996) (Harus ada Surat Keputusan Penunjukan yang diterbitkan oleh Kepala KPP dengan menggunakan formulir yang ada di Lampiran KEP-50/PJ./1996 ) , yaitu :
1. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; ▪ yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri
o Kewajiban pemotong :
1. Pemotong wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa , tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi. (Pasal 5 ayat (1) huruf a KEP-227/PJ./2002)
2. Menyetor PPh paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; (Pasal 5 ayat (1) huruf b KEP-227/PJ./2002)
▪ KODE MAP DAN KJS ( PER-38/PJ./2009 Jo PER-23/PJ./2010)
▪ MAP : 411128 ▪ KJS : 403
3. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke KPP paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; (Pasal 5 ayat (1) huruf c KEP-227/PJ./2002)
▪ KALAU TIDAK ADA PPH PASAL 4 (2) YANG TERUTANG DALAM SUATU BULAN PAJAK MAKA TIDAK PERLU MELAKUKAN PELAPORAN (KALAU NIHIL TIDAK PERLU LAPOR PPH PASAL 4 AYAT (2) NIHIL)
V. DIPOTONG ATAU DIBAYAR SENDIRI? (Pasal 3 KMK-394/KMK.04/1996) PENYEWA
APAKAH PPH DIPOTONG ATAU DIBAYAR SENDIRI? OP Badan/OP yang ditunjuk sebagai Pemotong
setor sendiri (max. tgl 15 dipotong penyewa (setor max. tgl
OP
bulan berikutnya)
10 bulan berikutnya)
PEMILIK Badan/OP
yang
ditunjuk setor sendiri (max. tgl 15 dipotong penyewa (setor max. tgl
sebagai Pemotong
bulan berikutnya)
10 bulan berikutnya)
VI. PENGETAHUAN TAMBAHAN
GUDANG/LAPANGAN PENUMPUKAN DI LINGKUNGAN PELABUHAN (dermaga)
o SE-37/PJ.43/1998 tentang
PPh
ATAS
JASA PEMAKAIAN
J.4. PPh Final atas Jasa Konstruksi
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP 40 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Agustus 2008) tentang perubahan PP 51 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2008) tentang PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi
▪ PP 40 TAHUN 2009 ini mengubah ketentuan Pasal 10 PP 51 TAHUN 2008 dan menambah Pasal 10A, 10B, dan 10C
C. PMK-153/PMK.03/2009 ( berlaku mulai 29 September 2009 ) tentang perubahan atas PMK- 187/PMK.03/2008 (berlaku sejak 1 Januari 2008) tentang tata cara pemotongan, penyetoran,
pelaporan dan penatausahaan PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi
D. UU Nomor 18 TAHUN 1999 tentang Jasa Konstruksi
II. INFORMASI TAMBAHAN o KLIK DISINI Untuk Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 02 Tahun 2011 tentang tata cara registrasi ulang, perpanjangan masa berlaku, dan permohonan baru sertifikat
Badan Usaha Jasa Pelaksanana Konstruksi
III. DEFINISI (Pasal 1 PP Nomor 51 TAHUN 2008)
o Jasa Konstruksi adalah :
1. layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi,
2. layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan
3. layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. o Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/
atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
▪ Untuk uraian pekerjaan yang termasuk di bidang arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan KLIK DISINI LAMPIRAN Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) Nomor 02 Tahun 2011
▪ (Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU 18 TAHUN 1999 tentang Jasa Konstruksi) Hasil pekerjaan konstruksi ini dapat juga dalam bentuk fisik lain, antara lain: dokumen,
gambar rencana, gambar teknis, tata ruang dalam (interior), dan tata ruang luar (exterior), atau penghancuran bangunan (demolition).
o Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di dibidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
o Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build). o Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. o Penyedia Jasa Konstruksi adalah orang pribadi atau badan termasuk BUT, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya. o Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.
IV. PENGHITUNGAN PPh (KETENTUAN YANG DIUBAH OLEH PP 40 TAHUN 2009 )
A. Jika Kontrak ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008, berlaku ketentuan:
1. untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal
31 Desember 2008, maka pengenaan PPh nya: (Pasal 10 PP 40 TAHUN 2009)
a. Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang (Lembaga Pengembangan Jasa Konstuksi (LPJK)), serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan (tidak lebih dari) Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
i.
Dipotong PPh Final, pada saat pembayaran uang muka dan termin, jika pengguna jasa adalah:
▪ badan Pemerintah, ▪ Subjek Pajak badan dalam negeri, ▪ bentuk usaha tetap, atau ▪ orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
ii.
Menyetor sendiri PPh Final yang terutang, pada saat menerima pembayaran uang muka dan termin, jika Pengguna Jasa bukan Pemotong Pajak.
iii.
Tarif PPh Final untuk WP yang memenuhi kualifikasi usaha kecil ini adalah:
▪ Untuk penyedia jasa Perencanaan konstruksi: 4% (empat persen) dari jumlah bruto;
▪ Untuk penyedia jasa Pelaksanaan Konstruksi: 2% (dua persen) dari jumlah bruto; atau ▪ Untuk penyedia jasa Pengawasan Konstruksi: 4% (empat persen) dari jumlah bruto.
b. Bagi Wajib Pajak selain yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil (sebagaimana disebut diatas).
i.
Dipotong pajak sesuai pasal 23 UU PPh pada saat pembayaran uang muka dan termin, jika pengguna jasa adalah:
▪ badan Pemerintah, ▪ Subjek Pajak badan dalam negeri, ▪ bentuk usaha tetap, atau ▪ orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
ii.
jika Pengguna Jasa bukan Pemotong Pajak, Dikenakan pajak sesuai PPh Pasal 25 UU PPh
2. untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak yang dilakukan setelah 31 Desember 2008, maka pengenaan PPhnya: (Pasal 10A PP 40 TAHUN 2009)
1. Jika Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, maka pengenaan PPh berdasarkan Pasal 10 PP 40 TAHUN 2009 (seperti ketentuan untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 diatas)
2. Jika Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1Januari 2009, maka pengenaan PPh berdasarkan PP 51 TAHUN 2008 (pengenaan PPh-nya bersifat final) ;
3. Jika penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan, maka pengenaan PPh berdasarkan PP 51 TAHUN
2008 (pengenaan PPh-nya bersifat final) .
B. Jika kontrak ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, berlaku ketentuan: (Pasal 10B PP 40 TAHUN 2009) yaitu Pengenaan PPhnya berdasarkan PP No. 51 TAHUN 2008 (pengenaan PPh-nya bersifat final)
KESIMPULAN PENGENAAN TARIF FINAL • PP No. 51 TAHUN 2008 (pengenaan PPh yang bersifat final) digunakan untuk penghasilan dari
Jasa Konstruksi dimana:
1. kontrak ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak yang dilakukan setelah 31 Desember 2008, Jika Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009; atau (Pasal 10A Huruf b PP 40 TAHUN 2009)
2. kontrak ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak yang dilakukan setelah 31 Desember 2008, jika penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan; atau (Pasal 10A Huruf
b PP 40 TAHUN 2009)
3. kontrak ditandatangani sejak 1 Agustus 2008. (Pasal 10B PP 40 TAHUN 2009)
V. CARA PEMBAYARAN ATAU PENYETORAN PPH FINAL o Cara Pembayaran atau penyetoran PPh atas jasa konstruksi yang bersifat final : (Pasal 5 ayat
(1) PP 51 TAHUN 2008)
1. Dipotong PPh Final, pada saat pembayaran, jika Pengguna Jasa adalah Pemotong Pajak;
2. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, jika pengguna Jasa bukan Pemotong Pajak
VI. SAAT TERUTANG o Saat terutangnya PPh atas Jasa Konstruksi adalah pada saat pembayaran (Pasal 5 ayat (1) PP
51 TAHUN 2008)
VII.
DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP) (Pasal 5 ayat (2) PP 51 TAHUN 2008)
1. Jika dipotong oleh Pemotong Pajak: DPP adalah sebesar Jumlah pembayaran (tidak termasuk PPN)
▪ Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran ini merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. (Pasal 5 ayat (3) PP 51 TAHUN 2008)
2. Jika disetor sendiri oleh Penyedia Jasa: DPP adalah sebesar Jumlah penerimaan pembayaran (tidak termasuk PPN) (Pasal 5 ayat (3) PP 51 TAHUN 2008)
VIII. TARIF PPH FINAL ATAS JASA KONSTRUKSI (Pasal 3 PP No. 51 TAHUN 2008)
1. Untuk Pelaksanaan Konstruksi: ▪ 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha
kecil. ▪ 4% Pelaksanaan Konstruksi oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. ▪ 3% Pelaksanaan Konstruksi oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha
menengah dan kualifikasi usaha besar (penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c) .
2. Untuk Perencanaan/ Pengawasan Konstruksi: ▪ 4% Perencanaan/Pengawasan Konstruksi oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha. ▪ 6% Perencanaan/Pengawasan Konstruksi oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha. Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi ditentukan oleh LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi).
3. Jika penyedia jasa adalah BUT, maka tarif diatas belum termasuk pajak penghasilan yang bersifat final atas sisa laba BUT setelah Pajak Penghasilan sesuai Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh.
o Dasar pengenaan pajak Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan termasuk Pajak Penghasilan yang bersifat final.
IX. TANGGAL PENYETORAN PPh FINAL ATAS JASA KONSTRUKSI (Pasal 5 PMK-187/PMK.03/2008)
1. Jika dipotong oleh Pengguna Jasa (Pemotong Pajak), disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan,
2. Jika disetor sendiri oleh Penyedia Jasa ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah penerimaan pembayaran.
X. TANGGAL PELAPORAN SPT MASA PPh PASAL 4 (2) ATAS JASA KONSTRUKSI o SPT Masa dilaporkan oleh Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah bulan dilakukan pemotongan pajak atau penerimaan pembayaran. (Pasal 6 PMK- 187/PMK.03/2008)
XI. BUKTI POTONG (AKIBAT PERUBAHAN PP
51 TAHUN 2008 OLEH PP
40 TAHUN 2009 )
A. Untuk Penyedia Jasa :
▪ yang sudah terlanjur diterbitkan Bukti Potong PPh Final berdasarkan PP No.
51 TAHUN
2008 , tetapi menurut ketentuan didalam PP No.
40 TAHUN 2009 seharusnya Penyedia Jasa tersebut dikenakan PPh Pasal 23, maka bukti pemotongan PPh Final tersebut diubah menjadi bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan dengan besar tarif berdasarkan ketentuan Pasal 23. (Pasal 8 ayat (1) PMK- 153/PMK.03/2009)
▪ Untuk melakukan perubahan bukti pemotongan dari PPh yang bersifat final menjadi PPh Pasal 23, Tata caranya adalah : (Pasal 8A ayat (2) PMK 153/PMK.03/2009)
1. Penyedia jasa mengajukan permohonan secara tertulis dengan format sesuai Lampiran I PMK 153/PMK.03/2009 .
2. Permohonan dilampiri dengan:
1. bukti potong PPh yang bersifat Final asli dan 2 (dua) lembar fotokopinya; dan
2. data atau keterangan pendukung yang diperlukan, berupa: ▪ fotokopi kontrak dan dokumen pembayaran; atau
▪ fotokopi kontrak, dokumen pembayaran, dan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan. (untuk kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008,
dan untuk pembayaran kontrak dan bagian kontrak setelah 31 Desember 2008, dan Berita Acara Serah Terima Penyelesaian Pekerjaan ditandatangani sampai dengan tanggal 31 Desember 2008)
3. Kepala KPP
Jasa terdaftar menyelesaikan permohonan perubahan bukti paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap. Jika jangka waktu ini terlampaui dan Kepala KPP belum menyelesaikan permohonan perubahan bukti potong, maka permohonan tersebut dianggap disetujui dan Kepala KPP harus menyelesaikan permohonan paling lama 3 (tiga) hari sejak jangka waktu penyelesaian permohonan berakhir.
tempat
Penyedia
4. Jika permohonan disetujui seluruh atau sebagian, setiap lembar bukti pemotongan yang disetujui tersebut harus dibubuhi tulisan atau cap:
"DIUBAH MENJADI BUKTI PEMOTONGAN PASAL 23 DENGAN TARIF SEBESAR .....% SEJUMLAH Rp ..........BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR ......./PMK.03/2009"
dan divalidasi oleh KPP.
5. Setelah dibubuhi tulisan atau cap tersebut, KPP tempat penyedia Jasa terdaftar:
▪ memberikan asli lembar ke-1 pemotongan kepada Penyedia Jasa;
▪ menyatukan 1 (satu) lembar fotokopi bukti pemotongan dengan berkas SPT Tahunan Penyedia Jasa yang bersangkutan; dan ▪ mengirimkan 1 (satu) lembar fotokopi bukti pemotongan kepada KPP tempat Pengguna Jasa terdaftar untuk disatukan dengan
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Pengguna Jasa.
6. Jika permohonan tidak disetujui, maka Kepala KPP tempat Penyedia Jasa terdaftar harus menyampaikan pemberitahuan penolakan dengan format sesuai Lampiran II PMK 153/PMK.03/2009 .
▪ jika ada kelebihan pemotongan PPh yang bersifat Final setelah perubahan bukti pemotongan, kelebihan PPh tersebut dikembalikan melalui permohonan secara tertulis
oleh Penyedia Jasa kepada KPP tempat Penyedia Jasa terdaftar sesuai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. (Pasal 8 ayat (2) PMK-153/PMK.03/2009)
B. Untuk Pengguna Jasa
▪ Pengguna Jasa yang telah melakukan pemotongan PPh atas pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak untuk kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak tersebut dan telah menerbitkan bukti pemotongan serta telah melaporkan bukti pemotongan tersebut dalam SPT Masanya, atas bukti potong tersebut tidak perlu dilakukan perubahan dan dianggap sudah benar. (Pasal 8B PMK 153/PMK.03/2009)
Kesimpulannya adalah yang harus mengajukan perubahan bukti potong cukup Penyedia Jasa saja, untuk Pengguna Jasa tidak perlu melakukan perubahan bukti potong.
XII. KONDISI TERTENTU TERKAIT PEMBAYARAN PPH DAN NILAI KONTRAK
1. Dalam hal terdapat selisih kekurangan PPh yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh yang telah dipotong atau disetor sendiri, maka selisih kekurangan tersebut harus disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. (Pasal 6 ayat (1) PP 51 TAHUN 2008)
2. Dalam hal Nilai kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak yang tidak dibayar tersebutB tidak terutang PPh Final (dengan syarat sudah dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih, sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh). (Pasal 6 ayat (2) an (3) PP 51 TAHUN 2008)
▪ Jika piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut dapat ditagih kembali, maka tetap dikenakan PPh Final. (Pasal 6 ayat (4) PP 51 TAHUN 2008)
XIII. KETENTUAN LAIN-LAIN
1. Jika penyedia Jasa memperoleh atau menerima penghasilan dari Luar Negeri, maka atas pajak yang dibayar atau terutang di Luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan (PPh Pasal 24). (Pasal 7 ayat (1) PP 51 TAHUN 2008)
2. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh Penyedia Jasa Konstruksi dari luar usaha dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum UU PPh. (Pasal 7 ayat (2) PP 51 TAHUN 2008)
3. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam penghitungan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang dikenakan PPh Final. (Pasal 7 ayat (3) PP 51 TAHUN 2008)
4. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.
5. Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai Tahun Pajak 2008. (Pasal 10C PP 40 TAHUN 2009)
6. Untuk Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi, sejak tahun pajak 2009 tidak diwajibkan membayar angsuran PPh Pasal 25. (Pasal 8C PMK- 153/PMK.03/2009).
J.5. PPh Final atas Penjualan Saham di Bursa Efek
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4 dan Pasal 4 ayat (3) haruf a angka 2 UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP 94 TAHUN 2010 (berlaku sejak 30 Desember 2010) tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan
C. PP 14 TAHUN 1997 (berlaku sejak 29 Mei 1997) tentang perubahan atas PP 41 TAHUN 1994 tentang PPh atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
D. KMK-282/KMK.04/1997 (berlaku sejak 29 Mei 1997) tentang pelaksanaan pemungutan PPh atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
II. SURAT EDARAN TERKAIT
A. SE-06/PJ.4/1997 (tanggal 20 Juni 1997) tentang pelaksanaan pemungutan PPh atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
B. SE-15/PJ.42/1997 (tanggal 19 November 1997) tentang petunjuk lebih lanjut pelaksanaan SE-
06/PJ.4/1997 tanggal 20 juni 1997 dan SE-09/PJ.24/1997 tanggal 25 juli 1997 dalam kaitannya dengan pengenaan tambahan pajak penghasilan atas saham pendiri (seri pph umum nomor 50)
III. DEFENISI
A. Pengertian pendiri adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar PT sebelum Penyertaan Pendaftaran yang diajukan kepada BAPEPAM dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) menjadi efektif. (Pasal 1 ayat (1) KMK 282/KMK.04/1997)
▪ Termasuk dalam pengertian pendiri adalah orang pribadi atau badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena: (Pasal 1 ayat (2) KMK 282/KMK.04/1997)
1. warisan;
2. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3)n huruf a angka 2 UU PPh (UU No
7 Thn 1983 stdtd UU 36 Thn 2008).
3. cara lain yang tidak dikenakan PPh pada saat pengalihan tersebut.
B. Termasuk pengertian saham pendiri adalah: (Pasal 1 ayat (3) KMK 282/KMK.04/1997)
1. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (Initial Public Offering/ IPO)
2. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
C. Tidak termasuk pengertian saham pendiri adalah: (Pasal 1 ayat (4) KMK 282/KMK.04/1997)
0. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian deviden dalam bentuk saham;
1. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (Initial Public Offering/ IPO) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), warran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
2. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
IV. TARIF (Bersifat FINAL )
1. untuk semua transaksi penjualan saham: 0,1 % X jumlah bruto nilai transaksi penjualan (Pasal 2 KMK 282/KMK.04/1997)
2. untuk transaksi penjualan saham pendiri: ((0,1 % X jumlah bruto nilai transaksi penjualan) + (0,5% X nilai saham )) (Pasal 3 KMK 282/KMK.04/1997)
o Besarnya nilai saham ini adalah :
1. Untuk saham yang telah diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 dan sebelumnya, besarnya nilai saham adalah nilai saham saat penutupan bursa di akhir 1996.
2. Untuk saham yang diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997, besarnya nilai saham adalah nilai saham perusahaan saat penawaran umum perdana (Initial Public Offering/ IPO).
• PPh Final atas penjualan saham di Bursa Efek dengan tarif: 0,1 % x Jumlah bruto nilai transaksi Tambahan PPh 0,5% x nilai saham penjualan saham
Pemotong Penyelenggara
bursa
efek
melalui Emiten (Emiten cukup menggunakan 1 (satu) Surat
PPh perantara
saat Setoran Pajak (SSP) Final untuk menyetorkan pelunasan transaksi penjualan saham (Angka tambahan PPh atas seluruh saham pendiri) (angka
5 SE-06/PJ.4/1997 )
2 SE-15/PJ.42/1997 )
Tempat
Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro, NPWP Penyetoran (Angka 5 SE-06/PJ.4/1997 )
yang harus dicantumkan dalam SSP adalah NPWP dari emiten yang bersangkutan. (angka 2 SE- 15/PJ.42/1997 )
Saat paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya Jika saham Jika saham perusahaan
Penyetoran atas transaksi
penjualan saham bulan perusahaan
telah baru diperdagangkan di
KMK diperdagangkan
bursa efek pada atau 282/KMK.04/1997) sebelum 29 Mei 1997 setelah 29 Mei 1997
paling lambat 6 (enam) paling lambat 1 (satu)
bulan setalah tanggal bulan setelah
29 Mei 1997.
diperdagangkan di bursa efek
dibayarkan tidak boleh Dan PPh yang dibayarkan dibiayakan oleh emiten. tidak
boleh dibiayakan (Pasal 5 ayat (3) KMK oleh emiten. (Pasal 5 ayat
282/KMK.04/1997) (3)
KMK 282/KMK.04/1997)
Saat
paling lambat tanggal 25 bulan berikutnya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
Pelaporan
atas transaksi
penjualan saham bulan setelah bulan penyetoran
V. AGIO SAHAM BUKAN OBJEK PPH (PP 94 TAHUN 2010 Pasal 4)
1. Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek pajak.
2. Contoh kasusnya liat di penjelasan Pasal 4 PP 94 TAHUN 2010
VI. DISAGIO SAHAM TIDAK BOLEH MENJADI PENGURANG PENGHASILAN BRUTO (PP 94 TAHUN 2010 Pasal 4)
o Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan bruto.
o Contoh kasusnya liat di penjelasan Pasal 4 PP 94 TAHUN 2010
J.6. Tabel Tarif PPh Pasal 4 (2)
N Uraian
Dasar Hukum o
Tarif x DPP
Wkt Setor&Lapor
Cara
Penyetora
n& Pelaporan
• PP 5/2002 , bangunan.
1 Sewa tanah dan/ atau
10% x jumlah bruto nilai Disetor oleh
Disetorkan
persewaan tanah dan/
pemotong= maks dengan
KEP
atau bangunan
FINAL berikutnya, jika • disetor Sejak 1 Mei
KAP:
Sejak 1 Mei 2002 411128
selengkapnya..
Disetor
sendiri=maks tgl
KJS: 403
15 bulan berikutnya.
Pelaporan dengan
Pelaporan SPT
SPT Masa Masa maks tgl 20 PPh Pasal
bulan berikutnya.
• PP 48/1994 dan/ atau bangunan.
2 Pengalihan hak atas tanah 5% x jumlah bruto nilai
Disetor sendiri oleh Disetor
pengalihan hak atas tanah penerima
dengan
Jo. PP
dan/atau bangunan.
(OP/Badan)
• PMK
Dikecualikan dari
FINAL pengenaan PPh atas sebelum akta
KAP:
243/PMK.03/
pengalihan hak atas tanah 411128 2008 dan/ atau bangunan dapat
ditandatangani
• SE
Rumah Sederhana dan
oleh pejabat yang
dilihat di selengkapnya.. Rumah Susun
berwenang.
KJS: 402 06/PJ.03/20
Sederhana dikenakan=
• PER
1% x jumlah bruto nilai
Untuk lelang,
Pelaporan
pengalihan
disetor oleh
dengan
30/PJ/2009
Pejabat Lelang SPT Masa Sejak 1 Januari 2009 atas nama pemilik PPh Pasal harta
3 Jasa Konstruksi
Disetor oleh
Disetorkan
• PP 51 tahun
Sejak 1 Januari 2008 pemotong: paling dengan
2008 Jo PP
selengkapnya.. lambat disetor tgl SSP.
40 tahun
untuk ketentuan peralihan 10 bulan
lihat selengkapnya.. berikutnya.
KAP:
411128 Pelaksanaan Konstruksi: Disetor sendiri
(tidak dipotong):
KJS: 409
• disetor paling
2%: kualifikasi
lambat tgl 15
usaha kecil;
Pelaporan
• bulan berikutnya.
4%: tidak punya
dengan
kualifikasi;
SPT Masa
• 3%: kualifikasi
PPh Pasal
selain kecil
(menengah & besar)
Perencanaan/Pengawasa
n Konstruksi: • 4%: punya
kualifikasi usaha; • 6%: tidak punya kualifikasi usaha; • 6%: tidak punya
4 Penjualan saham di Bursa selain IPO= 0,1% x jmlh
Pemotong Pajak
bruto nilai transaksi
setor paling lambat dengan
Jo. PP
penjualan
tgl 20 bulan
SSP
selengkapnya.. berikutnya. (utk
• KMK
selain IPO)
Pemotong Pajak adalah:
KJS:
((0,5 % x nilai saham) +
- Selain
(0,1 % x jmlh bruto nilai
• selain IPO: IPO: 406
transaksi penjualan))
perantara - IPO: 407 pedagang FINAL efek
IPO(Initial Public Offering)
SPT Masa PPh Pasal
Pelaporan untuk: Sejak 29 Mei 1997 4 (2)
1. Selain IPO: maks
tgl 25 bln berikutny
a setelah saham diperdagan gkan
2. IPO: maks tgl 20 setelah bulan penyetoran
• PP 16 tahun Bunga/ Diskonto
5 Penghasilan
Utk WPDN dan BUT:
Pemotong Pajak
Disetorkan
setor paling lambat dengan
2009 stdd
Obligasi
15% x jmlh bruto
tgl 10 bulan
SSP.
PP 100
bunga/diskonto
berikutnya.
TAHUN
Yg dimaksud
2013 dengan Obligasi
KAP:
Utk WPLN selain BUT: Pelaporan paling 411128 • PMK disini adalah Surat
lambat tgl 20 85/PMK.03/2 Utang dan Surat
bulan berikutnya. KJS: 401 011
Utang Negara 20% x jmlh bruto
bunga/diskonto atau
(SUN) yang
berjangka waktu (Surat
SUN
sesuai tarif P3B
Pelaporan
dengan
>12 bulan (lebih Utang
dari 12 bulan). Untuk WP reksadana yg
SPT Masa
Negara
terdaftar di Otoritas Jasa
PPh Pasal
dari: Utk SBSN dengan jgk wkt >12 bulan (lebih dari 12 bln)
• 5% x jmlh bruto
juga mengikuti
(thn 2014-2020)
• 15% x jmlh bruto Obligasi Negara. (thn 2021- dst)
ketentuan seperti
Dikecualikan dari
FINAL
pemotongan PPh
Pasal 4(2) jika:
ketentuan berlaku
• penerima
sejak 1 Januari 2009
adalah WP Dana
Pensiun yang telah disahkan oleh MenKeu;
• WP Bank yang didirikan di
Indonesia, atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
selengkapnya..
6 Surat
• PP 27 tahun Perbendaharaan
20% x diskonto SPN
Pemotong Pajak
Disetorkan
2008 Negara (SPN)=
FINAL setor paling lambat dengan
• PMK SUN berjangka
tgl 10 bulan
SSP.
63/PMK.03/2 waktu paling lama
ketentuan berlaku sejak berikutnya.
4 April 2008 KAP:
12 bulan. Pelaporan paling 411128 • PER
lambat tgl 20 18/PJ/2008 Utk SBSN dengan pemotongan: bank yg
( yg dikecualikan dari
bulan berikutnya. KJS: 401
jgk wkt
didirikan di Indonesia atau cabang bank LN di
Pemotong pajak
Pelaporan
selengkapnya... diatur dalam Pasal
Indonesia, Dana Pensiun,
dengan
3 PMK
SPT Masa
Reksadana yg terdaftar di 63/PMK.03/2008 PPh Pasal
BAPEPAM-LK)
7 Deviden yang dibagikan
10% x jmlh bruto deviden Pemotong Pajak
Disetorkan
• Pasal 17
kepada OP
setor paling lambat dengan
ayat (2c) UU
FINAL tgl 10 bulan
SSP.
36 tahun
selengkapnya.. berikutnya.
sejak 1 Januari 2009 KAP:
• PP 19 tahun
Pelaporan paling 411128 2009
lambat tgl 20
bulan berikutnya. KJS: 419
Pelaporan dengan
SPT Masa PPh Pasal
8 Bunga Simpanan Koperasi 0% atas bunga simpanan Pemotong Pajak
• PP 15 tahun yang dibayarkan kepada
koperasi sampai dengan setor paling lambat Disetorkan
anggota koperasi orang
Rp 240.000 tgl 10 bulan
10% x Jmlh bruto (utk
selengkapnya.. bunga simpanan diatas Pelaporan paling KAP:
Rp 240.000 sebulan .)
lambat tgl 20 411128
FINAL bulan berikutnya. KJS: 417 sejak 1 Januari 2009 Pelaporan
dengan SPT Masa
PPh Pasal
• PP 131 deposito dan tabungan
9 Pendapatan bunga
Untuk WPDN & BUT: Pemotong Pajak
Disetorkan
setor paling lambat dengan
tahun 2000
serta Sertifikat Bank
20% x jmlh bruto bunga tgl 10 bulan
SSP.
Indonesia (SBI)
selengkapnya.. Pelaporan paling 411128 Untuk WPLN: lambat tgl 20
bulan berikutnya. KJS: 404 20% x jmlh bruto bunga
atau sesuai P3B
Pelaporan dengan
( FINAL )
SPT Masa PPh Pasal
4 (2) sejak 1 Januari 2001
dikecualikan dari pemotongan:
• jumlah tidak melebihi Rp 7,5 juta • jika penerima: bank yg didirikan
di Indonesia atau cabang bank LN di Indonesia.
• jika penerima:Dana
Pensiun yg telah disahkan Menteri Keuangan.
• bunga tabungan pada bank yang
ditunjuk Pemerintah dlm rangka pemilikan Rumah Sederhana, dsb.
10 Hadiah Undian
25% x jmlh bruto nilai
Pemotong Pajak
setor paling lambat dengan
tahun 2000
selengkapnya.. tgl 10 bulan
SSP.
• KEP
FINAL berikutnya.
395/PJ/2001
KAP:
• SE sejak 1 Januari 2001 Pelaporan paling 411128 19/PJ.43/20
lambat tgl 20 01
bulan berikutnya. KJS: 405
Pelaporan dengan SPT Masa PPh Pasal
4 (2)
11 Penjualan saham milik
• PP 4 tahun Modal Ventura
0,1% x jmlh bruto nilai
Disetor paling
Disetorkan
transaksi
lambat tgl 10 dengan
1995
bulan berikutnya. SSP.
• KMK FINAL 250/KMK.04/
Pelaporan paling KAP:
1995
sejak 8 Februari 1995 lambat tgl 20 411128 bulan berikutnya.
Jika saham
KJS: 408
diperjualbelikan di Bursa
Efek, maka berlaku
Pelaporan
ketentuan tentang
dengan
penjualan saham di Bursa
SPT Masa
Efek.
PPh Pasal
4 (2)
J.7. PPh Final atas Dividen yang diterima Orang Pribadi (OP)
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 17 Ayat (2c) UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang
perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP 19 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh atas deviden yang diterima atau diperoleh oleh WP OP DN
C. PMK-111/PMK.03/2010 (berlaku sejak 14 Juni 2010) tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh WP OP DN
II. SURAT EDARAN TERKAIT o SE-30/PJ/2012 tentang pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas penghasilan berupa
dividen
III. DEFENISI o Dividen adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. (Pasal
1 ayat (2) PMK-111/PMK.03/2010)
IV. KODE MAP DAN KJS o Disetorkan dengan SSP.
▪ MAP: 411128 ▪ KJS: 419
o Pelaporan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 (2)
V. TARIF o Sejak 1 Januari 2009, penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh WP OP DN, tidak lagi dipotong PPh Pasal 23, tetapi dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% dan bersifat final.
VI. MEKANISME PENGENAAN PPH PASAL 4 AYAT (2) (SAAT PEMOTONGAN) o Melalui mekanisme pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. (Pasal 2 ayat (1) PMK-111/PMK.03/2010) o Saat pemotongan adalah saat dividen disediakan untuk dibayarkan (pasal 2 ayat (2) PMK- 111/PMK.03/2010) .
▪ Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan" adalah : (Penjelasan PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 15 ayat (3)
1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen 2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen
o Pihak pemotong wajib memberikan bukti potong PPh Pasal 4 (2) kepada OP yang
menerima dividen (bukti potongnya tersedia di PER-53/PJ./2009 )
VII. SAAT PENYETORAN DAN PELAPORAN OLEH PIHAK PEMBAYAR DIVIDEN o Saat Penyetoran : tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir o Saat Pelaporan : paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir
▪ Formulir pelaporan SPT masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) ada di PER-53/PJ./2009
▪ dalam hal terdapat data dan informasi keuangan mengenai pembagian dividen
dalam laporan keuangan WP badan, WP badan wajib melakukan pemotongan dan penyetoran PPh atas dividen tersebut serta melaporkannya ke KPP tempat SPT
Tahunan PPh WP badan diadministrasikan. (SE-30/PJ/2012 )
VIII. KETENTUAN TERKAIT DIVIDEN BAGI WP BADAN (dijelaskan dalam SE-30/PJ/2012) o Peraturan perundang-undangan di bidang PPh telah mengatur bahwa atas penghasilan berupa
dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh WP badan dalam negeri kepada:
1. WP OP dalam negeri dikenai PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final yang dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh jo. PP Nomor 19 TAHUN 2009 ;
2. WP badan dalam negeri atau BUT, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 UU PPh ;
3. WP luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a UU PPh .
o Ketentuan Terkait Tempat Pemotongan dan Penyetoran PPh atas dividen serta Pelaporan SPT masa PPh-nya
▪ Dengan mempertimbangkan bahwa:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan harus dilampiri laporan keuangan;
2. data dan informasi mengenai dividen merupakan salah satu data dan informasi keuangan yang harus dilaporkan oleh Wajib Pajak badan dalam laporan keuangan untuk periode Tahun Pajak; dan
3. untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak badan dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan dan kemudahan bagi Kantor Pelayanan Pajak dalam melakukan pengawasan kepada Wajib Pajak badan,
▪ maka dalam hal terdapat data dan informasi keuangan mengenai pembagian
dividen dalam laporan keuangan WP badan, WP badan wajib melakukan pemotongan dan penyetoran PPh atas dividen tersebut serta melaporkannya ke KPP tempat SPT Tahunan PPh WP badan diadministrasikan.
J.8. PPh Final atas Bunga Obligasi
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP 16 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) stdd PP 100 TAHUN 2013 (berlaku sejak 31 Desember 2013) tentang PPh atas penghasilan berupa bunga obligasi
C. PMK-07/PMK.11/2012 ( berlaku setelah 20 hari terhitung sejak tanggal 13 Januari 2012) tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-85/PMK.03/2011 (berlaku sejak 23 Mei 2011) tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga obligasi
▪ Pasal tambahan di PMK-07/PMK.11/2012 adalah Pasal 3A dan Pasal 10A, yang dirubah adalah Pasal 5 dan lampiran dari PMK-85/PMK.03/2011
II. DEFENISI
1. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. (Pasal 1 angka 1 PP 16 TAHUN 2009)
2. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. (Pasal 1 angka 2 PP 16 TAHUN 2009)
3. Bunga/diskonto Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
4. Diskonto obligasi dengan kupon (tingkat bunga) adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
5. Diskonto obligasi tanpa bunga adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
III. PEMOTONG
1. penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
2. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.
IV. BUNGA OBLIGASI YANG TIDAK DIKENAI PEMOTONGAN PPH PASAL 4 AYAT (2) o Yaitu apabila penerima penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah: (Pasal 2 ayat (2) PP 16
TAHUN 2009 stdd PP 100 TAHUN 2013)
1. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh dan perubahannya; dan
2. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia Catatan: Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai UU PPh dan perubahannya. (Pasal 2 ayat (3) PP 100 TAHUN 2013)
V. CONTOH PENGHITUNGAN PPH FINAL ATAS BUNGA OBLIGASI o KLIK DISINI (Lampiran PMK-07/PMK.11/2012)
VI. PEMOTONG, OBJEK PPH, DAN TARIF ATAS BUNGA OBLIGASI (Pasal 4 PP 16 TAHUN 2009) No. PEMOTONG (Pasal 4 ayat No.
TARIF (Pasal 3 PMK- (1) PMK-85/PMK.03/2011 )
OBJEK
SAAT
PEMOTONGAN (Pasal PEMOTONGAN
85/PMK.03/2011)
4 ayat (1) PMK-
(Pasal 4 ayat (1)
85/PMK.03/2011 )
PMK- 85/PMK.03/2011 )
1. WPDN/BUT = 15% atau custodian selaku agen
1. Penerbit obligasi (emiten) 1. bunga yang diterima
2. WPLN selain BUT = pembayaran yang ditunjuk
20% atau sesuai tax treaty
dengan kupon ; dan/atau
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan
masa kepemilikan (holding period) Obligasi (Pasal
3 huruf a PMK-85/PMK.03/2011 )
diskonto yang diterima
3. WPDN/BUT = 15%
atau
diperoleh Saat Jatuh tempo
4. WPLN selain BUT =
pemegang
Obligasi Bunga Obligas
20% atau sesuai tax dengan kupon treaty
dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo Obligasi di
harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan
atas
(accrued interest)
(Pasal
b PMK- 85/PMK.03/2011 )
3 huruf
2. diskonto yang diterima Saat Jatuh tempo 5. WPDN/BUT = 15%
atau
diperoleh Obligasi
6. WPLN selain BUT =
pemegang
Obligasi
20% atau sesuai tax tanpa bunga treaty
dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo Obligasi di atas harga perolehan Obligasi (Pasal
c PMK- 85/PMK.03/2011 )
3 huruf
2. Perusahaan efek, dealer, bunga dan/atau diskonto Saat transaksi 7. WPDN/BUT = 15% atau bank selaku perantara Obligasi yang diterima atau 8. WPLN selain BUT =
(Pasal 4 ayat (1) huruf b diperoleh penjual Obligasi 20% atau sesuai tax PMK 85/PMK.03/2011) treaty
3. Perusahaan efek, dealer, bunga dan/atau diskonto Saat transaksi bank, dana pensiun, dan Obligasi yang diterima atau reksadana, selaku pembeli diperoleh penjual Obligasi Obligasi langsung tanpa melalui perantara . (Pasal 4 ayat (1) huruf c PMK 85/PMK.03/2011)
VI. Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi, diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan. (Pasal 3A PMK-07/PMK.11/2012) .
VII.
TARIF PPH FINAL UNTUK BUNGA DAN/ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DITERIMA DAN/ATAU
DIPEROLEH REKSADANA bunga dan/atau diskonto dari
TARIF
Obligasi yang diterima
2014 s/d 2020
2021 dst
dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
DALAM HAL PENJUALAN OBLIGASI SECARA LANGSUNG TANPA PERANTARA KEPADA PIHAK SELAIN PEMOTONG
Kondisi Transaksi
YANG MELAKUKAN
Pihak yang
SAAT MELAKUKAN
PEMOTONGAN PPH
Jika ada
sebelum mutasi hak pencatatan mutasi registry (selaku pihak
Kustodian atau sub-
penjual obligasi
kepemilikan dilakukan kepemilikan
yang mencatat mutasi
obligasi (Pasal 4
hak kepemilikan
ayat (2) PMK-
obligasi)
Penjualan obligasi 85/PMK.03/2011 ) secara
langsung tanpa
untuk bunga: saat jatuh tempo kepada
perantara Dalam hal
penerbit obligasi
pembeli/
bunga, dihitung berdasarkan selain pemotong tidak memerlukan kustodian yang
pihak penjualan Obligasi (emiten) atau pemegang
masa kepemilikan penuh sejak pencatatan mutasi ditunjuk sebagai agen
obligasi
tanggal jatuh tempo bunga hak kepemilikan
berakhir. (Pasal 4 ayat (3) PMK- Obligasi melainkan
pembayaran
85/PMK.03/2011 )
hanya atas unjuk (Pasal 4 ayat (3)
untuk diskonto: saat jatuh PMK-
tempo obligasi, dihitung 85/PMK.03/2011 )
berdasarkan masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana obligasi. (Pasal 4 ayat
(3) PMK-85/PMK.03/2011)
VIII. o Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak yang tidak diberlakukan pemotongan PPh atau pihak lain yang telah dikenakan pemotongan PPh,
pemotongan PPh yang bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi tersebut. (Pasal 4 ayat (4) PMK-85/PMK.03/2011)
IX. KEWAJIBAN PEMOTONG PPH FINAL
1. Pemotong wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan berupa Bunga Obligasi. (Pasal 6 PMK- 85/PMK.03/2011)
2. Pemotong wajib menyetor PPh tersebut ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pemotongan pajak. (Pasal 7 ayat (1) PMK-85/PMK.03/2011)
▪ Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 7 ayat (2) PMK-85/PMK.03/2011)
▪ Penyetoran dilakukan dengan menggunakan SSP . (Pasal 7 ayat (3) PMK- 85/PMK.03/2011)
3. Pemotong wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran PPh paling lama
20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak. (Pasal 8 ayat (1) PMK- 85/PMK.03/2011) ▪ Apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 8 ayat (2) PMK-85/PMK.03/2011)
▪ Pelaporan PPh dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) .
X. KEWAJIBAN PENJUAL OBLIGASI (Pasal 5 PMK-07/PMK.11/2012 )
1. Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga dan/atau diskonto yang menjadi dasar pemotongan PPh. (Pasal 5 ayat (1) PMK-07/PMK.11/2012 )
▪ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi penjual Obligasi yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan. (Pasal 5 ayat (4) PMK-
07/PMK.11/2012 )
2. Dalam hal Obligasi yang dijual tidak dapat ditentukan harga perolehan dan tanggal perolehan yang sebenarnya, harga perolehan dan tanggal perolehan yang wajib diberitahukan oleh penjual Obligasi kepada pemotong pajak ditentukan dengan cara mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First In First Out).
3. Pemberitahuan ini dilakukan dengan menyerahkan formulir Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dari pembelian Obligasi tersebut sebelumnya.
4. Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2) PMK-07/PMK.11/2012 , atas penghasilan bunga dan/atau diskonto yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenai PPh sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK-85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi beserta perubahannya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud dan dikenai sanksi administrasi berupa bunga.
XI. KETENTUAN
PERALIHAN
AKIBAT
DIRUBAHNYA PMK-85/PMK.03/2011
OLEH
PMK-
07/PMK.11/2012 (Pasal 10A PMK-07/PMK.11/2012 )
o Terhadap pemotongan PPh yang bersifat final atas Bunga Obligasi sejak tanggal 23 Mei 2011 sampai dengan sebelum berlakunya PMK-07/PMK.11/2012 ( berlaku setelah 20 hari terhitung
sejak tanggal 13 Januari 2012) , berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan Obligasi dapat diketahui, penghitungan bunga dan/atau diskonto Obligasi pada saat penjualan ditentukan sesuai dengan tanggal perolehan dan harga perolehan yang sebenarnya, atau dengan cara mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First In First Out);
2. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan Obligasi tidak dapat diketahui, penghitungan bunga dan/atau diskonto Obligasi pada saat penjualan ditentukan dengan cara mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First In First Out);
3. Perolehan diskonto negatif atau rugi dalam penjualan Obligasi dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.
XII. HISTORI PERATURAN o PP 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
J.9. PPh Final atas Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
I. DASAR HUKUM
A. PP 123 TAHUN 2015 (berlaku sejak 28 Desember 2015) tentang perubahan atas PP 131 TAHUN 2000 tentang PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
▪ PP 123 TAHUN 2015 mengubah ketentuan Pasal 2
B. PMK-26/PMK.010/2016 (berlaku sejak 28 Desember 2015) tentang perubahan KMK- 51/KMK.04/2001 (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang pemotongan PPh atas bunga deposito
dan tabungan serta diskonto SBI
▪ PMK ini merngubah ketentuan Pasal 3, dan Pasal 6, serta menambah Pasal 3A, 3B, 6A
C. PER-01/PJ/2013 (berlaku sejak 14 Januari 2013) tentang tata cara penerbitan surat keterangan bebas pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat bank indonesia yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendirlannya telah disahkan oleh menteri keuangan
II. SURAT EDARAN TERKAIT
o SE-01/PJ.43/2001) (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang PP 131 TAHUN 2000
III. OBJEK PPH FINAL
o Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. (Pasal 1 PP 131 TAHUN 2000)
IV. DEFENISI o Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito
berjangka, sertifikat deposito dan "deposit on call" baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. (Pasal 1 PER- 01/PJ/2013) o Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank. (Pasal 1 PER-01/PJ/2013)
V. TARIF (Pasal 2 PP 123 TAHUN 2015)
A. ATAS BUNGA DARI DEPOSITO (Pasal 3 PMK-26/PMK.010/2016)
a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.
b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau
1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.
c. SYARAT AGAR DAPAT MENGGUNAKAN TARIF HURUF a DAN b : (Pasal 3 ayat (4) PMK-26/PMK.010/2016)
1. sumber dana Deposito merupakan dana Devisa Hasil Ekspor yang diperoleh setelah berlakunya PP 123 TAHUN 2015 yang dibuktikan dengan dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan Devisa Hasil Ekspor;
2. sumber dana Deposito berasal dari pemindahbukuan dana Devisa Hasil Ekspor yang ditempatkan pada rekening milik eksportir pada bank tempat diterimanya Devisa Hasil Ekspor dari luar negeri dan rekening milik eksportir dimaksud hanya digunakan untuk menampung dana Devisa Hasil Ekspor;
3. Deposito ditempatkan pada bank yang sama dengan bank tempat diterimanya Devisa Hasil Ekspor dari luar negeri; dan
4. harus dilampiri surat pernyataan dari eksportir yang paling sedikit memuat:
i.
identitas eksportir antara lain nama, alamat, NPWP, dan nomor rekening penempatan dana Devisa Hasil Ekspor;
ii.
data dana Devisa Hasil Ekspor antara lain nilai ekspor, saat diperolehnya dana Devisa Hasil Ekspor, nomor dan tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang, dan jenis valuta;
iii.
pernyataan bahwa sumber dana rekening berasal dari Devisa Hasil Ekspor; dan
iv.
pernyataan bahwa sumber dana Deposito bukan berasal dari penempatan
melalui mekanisme
perpanjangan Deposito.
d. TIDAK DAPAT MENGGUNAKAN TARIF HURUF a DAN b YAITU :
1. dalam hal Devisa Hasil Ekspor yang atas bunga Depositonya telah dikenai PPh dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b
PMK-26/PMK.010/2016 ditempatkan kembali sebagai Deposito, termasuk
melalui mekanisme perpanjangan Deposito. (Pasal 3 ayat (2) PMK- 26/PMK.010/2016)
▪ Terhadap Deposito yang ditempatkan kembali sebagai Deposito termasuk melalui mekanisme perpanjangan Deposito ini, atas bunga dari
Deposito dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif 20% dari jumlah bruto. (Pasal 3 ayat (3) PMK-26/PMK.010/2016)
2. DALAM HAL DEPOSITO DICAIRKAN SEBELUM JANGKA WAKTUNYA
▪ Dalam hal Deposito yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dicairkan sebelum jangka waktu Deposito bersangkutan, atas bunga Deposito tersebut dikenai PPh dengan tarif 20% dari jumlah bruto.
(Pasal 3A ayat (1) PMK-26/PMK.010/2016) ▪ Saat Pemotongan : Selisih antara PPh terutang dengan tarif 20%
tersebut dengan PPh yang telah dipotong pada bulan-bulan sebelum dicairkan Deposito dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a atau huruf b dilakukan pemotongan PPh pada saat Deposito dicairkan. (Pasal 3A ayat (2) PMK-26/PMK.010/2016)
3. JIKAS UMBER DANA DEPOSITO BUKAN BERASAL DARI DANA DEVISA HASIL EKSPOR
▪ Dalam hal sumber dana Deposito sebagian atau seluruhnya bukan berasal dari dana Devisa Hasil Ekspor, atas bunga Deposito
bersangkutan seluruhnya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif tarif 20% dari jumlah bruto. (Pasal 3B ayat (1) PMK-26/PMK.010/2016)
▪ Saat Pemotongan : (Pasal 3B ayat (2) PMK-26/PMK.010/2016) ▪ Selisih antara PPh terutang dengan tarif 20% tersebut dengan
PPh yang telah dipotong pada bulan-bulan sebelumnya dengan PPh yang telah dipotong pada bulan-bulan sebelumnya dengan
1. terutang atau dibayarkannya bunga Deposito bulan berikutnya; atau
2. Deposito dicairkan dalam hal seluruh bunga Deposito telah
dipotong Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a atau huruf b.
4. Atas bunga dari deposito selain dari deposito sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-26/PMK.010/2016)
▪ dikenai PPh yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
c. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
d. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
B. ATAS BUNGA DARI TABUNGAN DAN DISKONTO SBI (Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK- 26/PMK.010/2016)
▪ dikenai PPh yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
VI. BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SBI YANG TIDAK DIKENAI PEMOTONGAN PPH PASAL 4 AYAT (2)
1. Orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. (Pasal 2 ayat
3 KMK 51/KMK.04/2001) ▪ OP ini dapat mengajukan restitusi atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong. (Pasal
2 ayat 4 KMK 51/KMK.04/2001)
2. Bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; (Pasal 4 KMK-51/KMK.04/2001)
3. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia (Pasal 4 KMK-51/KMK.04/2001)
4. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Nomor
11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. (Pasal 4 KMK-51/KMK.04/2001) ▪ Pengecualian dari pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) ini dapat diberikan berdasarkan
Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh KPP tempat
Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar. Aturan lebih lanjut silahkan klik di PER-
160/PJ/2005
5. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri (Pasal
4 KMK-51/KMK.04/2001)
VII. PEMOTONG DAN KEWAJIBAN PEMOTONG (PMK-26/PMK.010/2016)
1. Bank yang membayarkan bunga tabungan dan/atau Deposito serta Bank Indonesia yang menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
▪ Dalam hal bank melakukan pemotongan PPh atas bunga Deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, bank bersangkutan wajib
melampirkan fotokopi dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, pada saat penyampaian laporan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) .
2. Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut.
VIII. PERATURAN TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA (Penjelasan Pasal 4 ayat (2) PP 131 TAHUN 2000)
1. Dana Pensiun dan bank yang menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut (wajib memotong PPh atas selisih antara nilai nominal dengan harga jualnya)
2. Jika pihak lain menjual kembali SBI tersebut, maka selisih antara nilai nominal dengan harga jualnya merupakan keuntungan karena pengalihan harta yang tidak perlu dipotong PPh, namun wajib dilaporkan di SPT Tahunan.
IX. STEMPEL TANDA TANGAN PADA BUKTI POTONG PPH ATAS BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN,
JASA GIRO, DAN DISKONTO SBI o Selengkapnya KLIK DISINI
X. HISTORI PERATURAN o SE-01/PJ.43/2001 hanya menyampaikan tentang aturan peralihan tantang bunga diskonto,
bunga tabungan, dan SBI yang sebelum tahun 2001 dikenakan tarif 15% dan setelah 2001 dikenakan tarif 20%
J.10. PPh Final atas Hadiah Undian KETENTUAN SEJAK 1 MEI 2015
I. DASAR HUKUM
A. PP 132 TAHUN 2000 (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang PPh atas hadiah undian
B. PER-11/PJ/2015 (berlaku sejak 1 Mei 2015) tentang PPh atas hadiah undian
II. OBJEK PPH FINAL o Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final. (Pasal 1 PP 132 TAHUN 2000 ) o Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian; (Penjelasan Pasal 1 PP 132 TAHUN 2000 dan Pasal 1 angka 1 PER-11/PJ/2015)
III. TARIF o 25% dari jumlah bruto nilai hadiah (Pasal 2 PP 132 TAHUN 2000 ) o nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk
natura misalnya mobil. (Penjelasan Pasal 2 PP 132 TAHUN 2000 )
IV. PEMOTONG ATAU PEMUNGUT o Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan atas hadiah undian
(Pasal 3 PP 132 TAHUN 2000 ) o Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk
organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi. (Penjelasan Pasal 3 PP 132 TAHUN 2000 )
KETENTUAN SEBELUM 1 MEI 2015
I. DASAR HUKUM
A. PP 132 TAHUN 2000 (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang PPh atas hadia undian
B. KEP-395/PJ/2001 (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang pengenaan PPh atas hadiah dan penghargaan
II. SURAT EDARAN TERKAIT o SE-19/PJ.43/2001 (tanggal 256 Juni 2001) tentang pengantar KEP-395/PJ/2001 tanggal 13 Juni
2001 tentang pengenaan PPh atas hadiah dan penghargaan
II. OBJEK PPH FINAL o Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau
dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final. (Pasal 1 PP 132 TAHUN 2000 ) o Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui
undian (Penjelasan Pasal 1 PP 132 TAHUN 2000 )
III. TARIF o 25% dari jumlah bruto nilai hadiah (Pasal 2 PP 132 TAHUN 2000 ) o nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk
natura misalnya mobil. (Penjelasan Pasal 2 PP 132 TAHUN 2000 )
IV. PEMOTONG ATAU PEMUNGUT o Pemotong adalah Penyelenggara undian.
o Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi. (Penjelasan Pasal 3 PP 132 TAHUN
2000 )
J.11. PPh Final atas Bunga simpanan Koperasi
I. DASAR HUKUM
A. PP 15 TAHUN 2009 ( berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi OP
B. PMK-112/PMK.03/2010 (berlaku sejak 14 Juni 2010) tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi OP
II. YANG DIKENAKAN PPH PASAL 4 AYAT (2) o Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (Pasal 1 PP 15 TAHUN 2009 )
III.
TARIF (Pasal 2 PP 15 TAHUN 2009 )
1. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp.240.000 per bulan; atau
2. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 per bulan.
IV. YANG WAJIB MELAKUKAN PEMOTONGAN PPH PASAL 4 AYAT (2) DAN SAAT PEMOTONGAN o Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final pada saat pembayaran . (Pasal 3 PP 15
TAHUN 2009 ) o Koperasi wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)
kepada Wajib Pajak orang pribadi yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan. (Pasal 4 ayat (1) PMK-112/PMK.03/2010 )
▪ Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) ini, tetap dilakukan terhadap penghasilan dari bunga simpanan yang dikenai tarif
pemotongan sebesar 0% (nol persen). (Pasal 4 ayat (2) PMK-112/PMK.03/2010 )
V. SAAT PENYETORAN DAN PELAPORAN
1. Saat Penyetoran : tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (Pasal 5 ayat (1) PMK-112/PMK.03/2010 )
▪ Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 5 ayat (2) PMK-112/PMK.03/2010 )
▪ Penyetoran dilakukan dengan menggunakan SSP. (Pasal 5 ayat (3) PMK- 112/PMK.03/2010 )
2. Saat Pelaporan : paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir (Pasal 6 ayat (1) PMK- 112/PMK.03/2010 )
▪ Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 6 ayat
(2) PMK-112/PMK.03/2010 ) ▪ Formulir pelaporan SPT masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) ada di PER-53/PJ./2009
J.12. Stempel Tanda Tangan pada Bukti Potong PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, Jasa Giro, dan Diskonto SBI
I. DASAR HUKUM o KEP-286/PJ/2002 (berlaku sejak 27 Mei 2002) tentang penggunaan stempel tanda tangan pada
bukti pemotongan PPh bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto SBI
II. SURAT EDARAN TERKAIT o SE-11/PJ.43/2002 tentang tentang pengantar KEP-286/PJ/2002 (berlaku sejak 27 Mei 2002)
tentang penggunaan stempel tanda tangan pada bukti pemotongan PPh bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto SBI
III. DIPERBOLEHKANNYA PENGGUNAAN STEMPEL TANDA TANGAN o Pemotong Pajak dapat menggunakan stempel tanda tangan untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh atas bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto Sertifikat Bank
Indonesia. (Pasal 2 KEP-286/PJ/2002) ▪ Pemotong Pajak adalah bank yang menyediakan untuk membayar atau membayar: (Pasal 1 KEP-286/PJ/2002)
1. bunga deposito, tabungan, atau jasa giro;
2. diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
IV. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN, PROSES PERSETUJUANNYA DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK
o Ketentuan bagi pemotong pajak yang menggunakan stempel tanda tangan adalah :
1. Pemotong Pajak yang akan menggunakan stempel tanda tangan wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP tempat Pemotong Pajak terdaftar; (Pasal 3 ayat (1) KEP-286/PJ/2002)
▪ Permohonan ini wajib dilengkapi dengan: (Pasal 3 ayat (2) KEP-286/PJ/2002)
a. jumlah penerima penghasilan bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
b. penunjukan
menandatangani bukti pemotongan PPh bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
2. Setelah melakukan penelitian atas permohonan Pemotong Pajak, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan dalam rangkap tiga dengan menggunakan formulir Lampiran I KEP- 286/PJ/2002
▪ Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan diterbitkan paling lambat
14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan. (Pasal 3 ayat (4) KEP- 286/PJ/2002)
▪ Apabila jangka waktu 14 hari ini telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan Pemotong Pajak tersebut dianggap diterima, dan selanjutnya Kepala KPP atas nama
Direktur Jenderal Pajak segera menerbitkan Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak batas waktu 14 hari tersebut telah lewat. (Pasal 3 ayat (5) KEP- 286/PJ/2002)
3. Bagi Pemotong Pajak yang telah mendapat Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan wajib : (Pasal 4 KEP-286/PJ/2002)
a. Menyerahkan Spesimen Tanda Tangan Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh atas bunga deposito, tabungan, jasa a. Menyerahkan Spesimen Tanda Tangan Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh atas bunga deposito, tabungan, jasa
b. Mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan pada Bukti Pemotongan
c. PPh atas bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
Pemotong Pajak wajib melaporkan kepada Kepala KPP apabila terjadi perubahan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh atas bunga deposito, tabungan, jasa giro dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia disertai Spesimen Tanda Tangan pejabat dimaksud.
J.13. Stempel Tanda Tangan pada Bukti Potong PPh atas Pembayaran Bunga Kepada Nasabah SUN-ORI
I. DASAR HUKUM
A. PER - 171/PJ./2006 (berlaku sejak 11 Desember 2006) tentang penggunaan stempel tanda tangan pada bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran bunga kepada nasabah pemegang Surat Utang Negara Obligasi Republik Indonesia (SUN-ORI)
II. DIPERBOLEHKANNYA PENGGUNAAN STEMPEL TANDA TANGAN PADA BUKTI POTONG PPH
23/26 o Pemotong Pajak dapat menggunakan stempel tanda tangan untuk menandatangani Bukti
Pemotongan PPh atas Pembayaran bunga kepada para nasabah untuk jumlah penerbitan bukti pemotongan PPh minimal 6.000 (enam ribu) lembar. (Pasal 2 PER - 171/PJ./2006)
▪ Pemotong Pajak adalah Wajib Pajak yang menyediakan untuk membayar atau membayar bunga kepada para nasabah pemegang Surat Utang Negara Obligasi Republik Indonesia (SUN-ORI). (Pasal 1 PER - 171/PJ./2006)
III.
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN, PROSES PERSETUJUANNYA DAN KEWAJIBAN
PEMOTONG PAJAK o Ketentuan bagi pemotong pajak yang menggunakan stempel tanda tangan :
1. Pemotong Pajak yang akan menggunakan Stempel tanda tangan wajib mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP tempat Pemotong Pajak terdaftar; (Pasal 3 ayat (1) PER - 171/PJ./2006)
▪ Permohonan ini wajib dilengkapi dengan:
a. jumlah penerima bunga;
menandatangani bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran bunga kepada para para nasabah SUN-ORI.
b. penunjukkan
2. Setelah melakukan penelitian atas permohonan Pemotong Pajak, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan dalam rangkap tiga dengan menggunakan formulir Lampiran I PER - 171/PJ./2006
▪ Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan diterbitkan paling lambat
14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan. (Pasal 3 ayat (4) PER - 171/PJ./2006)
▪ Apabila jangka waktu 14 hari ini telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan Pemotong Pajak
tersebut dianggap diterima, dan selanjutnya Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak segera menerbitkan Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak batas waktu 14 hari telah lewat. (Pasal 3 ayat (5) PER - 171/PJ./2006)
3. Bagi Pemotong Pajak yang telah mendapat Surat Keputusan Penggunaan Stempel
Tanda Tangan wajib: (Pasal 4) PER - 171/PJ./2006)
a. Menyerahkan Spesimen Tanda Tangan Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran bunga kepada para nasabah SUN-ORI ke KPP tempat Pemotong Pajak terdaftar sebagairnana dimaksud dalam Lampiran II PER - 171/PJ./2006
b. Mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan pada Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran bunga kepada para nasabah SUN-ORI
c. Pemotong Pajak wajib melaporkan kepada Kepala KPP apabila terjadi perubahan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran bunga kepada para nasabah SUN-ORI disertai Spesimen Tanda Tangan pejabat dimaksud.
J.14. PPh Final atas penghasilan WP yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP 46 Tahun 2013)
I. DASAR HUKUM
A. PP 46 TAHUN 2013 (Berlaku sejak 1 Juli 2013) tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu
B. PMK-107/PMK.011/2013 (berlaku sejak 6 Agustus 2013) tentang tata cara penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
C. PER-32/PJ/2013 (berlaku sejak 25 September 2013) tentang tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh bagi WP yang dikenai PPh berdasarkan PP
46 TAHUN
D. PER-37/PJ/2013 (berlaku sejak 30 Oktober 2013) tentang tata cara penyetoran PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui anjungan tunal mandiri (ATM)
II. SURAT EDARAN TERKAIT
A. SE-32/PJ/2014 tentang penegasan pelaksanaan PP 46 TAHUN 2013
B. SE-38/PJ/2014 tentang ralat SE-32/PJ/2014 (SE ini hanya meralat ketentuan Huruf E angka 5 huruf b dari SE-32/PJ/2014 )
C. SE-42/PJ/2013 tentang pelaksanaan PP 46 TAHUN 2013
III. SURAT TERKAIT o S-1737/PJ.09/2013 tentang Fasilitas Pembayaran PPh Final 1% Melalui ATM
IV. YANG DIKENAKAN PPH FINAL DAN KRITERIA WP YANG DIKENAKAN PPH FINAL o Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu , dikenai PPh yang bersifat final. (Pasal 2 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013 )
A. WP yang memiliki peredaran bruto tertentu ini adalah WP yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (Pasal 2 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013 )
1. WP OP atau WP badan tidak termasuk BUT; dan
2. menerima penghasilan dari usaha , tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
▪ penjelasan terkait Pasal 2 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013 : ▪ Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari: (Pasal 3 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
1. jasa
pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
sehubungan
dengan
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. ▪ Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi; dan
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
▪ Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun kalender. Namun demikian, bagi WP yang
tahun bukunya tidak sama dengan tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.
Contoh penentuan peredaran bruto: Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat
kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pasar
A sebesar
Rp80.000.000,00;
b. Pasar
B sebesar
Rp250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp400.000.000,00. Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil
Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).
B. Tidak termasuk WP OP yang atas penghasilannya dikenai PPh Final adalah WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: (Pasal 2 ayat (3) PP 46 TAHUN 2013 )
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
▪ penjelasan terkait WP OP yang tidak termasuk WP yang atas penghasilannya dikenai PPh Final :
▪ Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan,
C. Tidak termasuk WP badan yang atas penghasilannya dikenai PPh Final adalah : (Pasal 2 ayat (4) PP 46 TAHUN 2013 )
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial ; atau ▪ Wajib Pajak ini dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai
dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. (Pasal 7 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013) ▪ Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya. (Pasal 7 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
▪ Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 TAHUN 2013 bagi WP badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. (Butir E angka 2 huruf
b SE-32/PJ/2014)
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
▪ Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 TAHUN 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib
Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor: (Butir E angka 2 huruf a SE- 32/PJ/2014)
1. jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau
saat
diterima
atau diperolehnya
pendapatan/penghasilan; dan/atau
2. dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
o Catatan :
1. Ketentuan diatas tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. (Pasal 5 PP 46 TAHUN 2013 )
2. Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud daIam Pasal 2 ayat (1) PP
46 TAHUN 2013 yang diterima atau diperoleh WP, dikenai PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. (Pasal 6 PP 46 TAHUN 2013 )
V. BESAR TARIF, CARA PENGENAAN PPH FINAL, DAN CARA PENYETORAN o Besarnya tarif PPh yang bersifat final adalah 1% (satu persen). (Pasal 3 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013 ) ▪ DPP yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan . (Pasal 4 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013 ) ▪ PPh terutang = 1% (satu persen)
X jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap
tempat kegiatan usaha. (Pasal 4 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013) ▪ Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari
Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013 )
o Ketentuan Terkait Peredaran Bruto :
1. Dalam hal peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 M dalam suatu Tahun Pajak, WP tetap dikenai tarif PPh final 1% (satu persen) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (3) PP 46 TAHUN 2013 )
2. Dalam hal peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp 4,8 M pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. (Pasal 3 ayat (4) PP 46 TAHUN 2013 )
o Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai PPh yang bersifat final, diatur sebagai berikut: (Pasal 10 PP 46 TAHUN 2013 dan Pasal 3 PMK-107/PMK.011/2013)
0. Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (3) PMK-107/PMK.011/2013 )
1. Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum PMK- 107/PMK.011/2013 berlaku pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PMK-107/PMK.011/2013 yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (4) PMK-107/PMK.011/2013 )
2. Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak PMK-107/PMK.011/2013 , pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (5) PMK-107/PMK.011/2013 )
o CARA PENYETORAN DAN PELAPORAN
Penyetoran :
▪ WP wajib menyetor PPh final ini ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain
yang dipersamakan dengan SSP, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 10 ayat (1) PMK- 107/PMK.011/2013 )
▪ Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan ▪ Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu) .
▪ Bila melalui ATM, ketentuannya : PER-37/PJ/2013
1. Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM pada Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (bisa melalui ATM pada Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BCA (S- 1737/PJ.09/2013) )
2. Penyetoran ini dilakukan dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan dibayar.
3. Atas penyetoran ini, Wajib Pajak menerima BPN dalam bentuk cetakan struk ATM.
4. Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN tidak dapat tercetak atau tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
5. Prosedur cetak ulang BPN disesuaikan dengan prosedur pada Bank Persepsi yang bersangkutan.
6. BPN termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
7. Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data pembayaran menurut MPN, maka yang dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
8. BPN setidak-tidaknya mencantumkan elernen-elemen sebagai berikut:
a. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
b. Nomor Transaksi Bank (NTB);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Nama Wajib Pajak;
e. Kode Akun Pajak;
f. Kode Jenis Setoran;
g. Masa Pajak;
h. Tahun Pajak;
i.
Tanggal transaksi; dan
j.
Jumlah nominal pembayaran.
9. Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM ini diadministrasikan sebagai penerimaan Negara dengan :
▪ Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan ▪ Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu) .
A. Pelaporan : ▪ Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh final ini wajib menyampaikan SPT Masa
PPh paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 10 ayat (2) PMK- 107/PMK.011/2013 )
▪ Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi
NTPN) masa Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (Butir E angka 2 huruf b SE- 32/PJ/2014)
▪ Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final ini, dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh, sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak. (Pasal 10 ayat (3) PMK-
107/PMK.011/2013 ) ▪ Wajib Pajak yang menyetor PPh yang bersifat final tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak
mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ke KPP sesuai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2): (Butir F angka 4 SE- 42/PJ/2013)
1. kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu";
2. kolom KAP/KJS diisi dengan "411128/420". ▪ Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib
melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2). (Butir E angka 8 SE-32/PJ/2014)
VI. KETENTUAN TERKAIT PPH YANG DIPOTONG/DIPUNGUT PIHAK LAIN o Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak PP
46 TAHUN 2013 yang berdasarkan ketentuan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan PPh oleh pihak lain. (Pasal 6 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013 ) o Pembebasan ini diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB). o KLIK DISINI untuk Ketentuan lebih lanjut tentang SKB
o Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut: (Butir F angka 7 SE-42/PJ/2013)
1. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
a. dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan; atau
b. dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
c. Dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
2. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor:
a. dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
b. dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
VII. KETENTUAN TERKAIT KOMPENSASI RUGI o Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut: (Pasal 8 PP 46 TAHUN 2013 )
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
VIII. KETENTUAN TERKAIT ANGSURAN PPH PASAL 25 o WP yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP
46 TAHUN 2013 , tidak diwajibkan melakukan pe mbayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh. (Pasal 9 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013 ) o Dalam hal WP selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP
46 TAHUN 2013 juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh, atas penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh. (Pasal 9 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013 )
IX. PENEGASAN PERLAKUAN PPH BAGI WP DEGNAN JENIS USAHA TERTENTU : (Butir E SE- 32/PJ/2014)
A. Perlakuan PPh bagi WP badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
a. Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
B. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana.
a. Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
b. Berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP
46 TAHUN 2013 , maka Wajib Pajak reksa dana dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai PP 46 TAHUN 2013 beserta ketentuan pelaksanaannya.
C. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.
a. Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP
46 TAHUN 2013 , atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
1. pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib Pajak selain bank/bank perkreditan rakyat .( SE-38/PJ/2014 )
c. Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP
46 TAHUN 2013 , atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
D. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP
46 TAHUN 2013 , atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.
E. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT:
1. mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
2. dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
J.15. SKB terkait PP 46 Tahun 2013
I. DASAR HUKUM o KLIK DISINI
II. KETENTUAN LENGKAP TERKAIT PP 46 TAHUN 2013 o KLIK DISINI
III. YANG DIAJUKAN SKB SESUAI KETENTUAN TERKAIT PP 46 TAHUN 2013 o Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak. (Pasal 2 PER-32/PJ/2013)
▪ Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan ini diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. (Pasal 3 ayat (1) PER-32/PJ/2013) ▪ Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKB (Pasal 3 ayat (2) PER- 32/PJ/2013)
IV. TATA CARA PENGAJUAN SKB (Pasal 4 PER-32/PJ/2013)
1. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final, diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT Tahunan dengan syarat:
a. telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk WP yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya SKB.
b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani WP atau kuasa WP yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai PPh bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya SKB, untuk WP yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya SKB;
▪ surat pernyataan ini menggunakan formulir Lampiran II PER-32/PJ/2013 (Pasal
8 ayat (2) PER-32/PJ/2013)
c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
2. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan/tau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.
3. permohonan ini menggunakan formulir Lampiran I PER-32/PJ/2013 (Pasal 8 PER-32/PJ/2013)
V. JANGKA WAKTU PENERBITAN KEPUTUSAN OLEH KEPALA KPP
A. Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh, Kepala KPP harus menerbitkan:
1. Surat Keterangan Bebas; atau
▪ SKB untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 menggunakan formulir Lampiran III PER-32/PJ/2013 (Pasal 8 ayat (3) PER-
32/PJ/2013)
▪ SKB untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 impor menggunakan formulir formulir Lampiran IV PER-32/PJ/2013 (Pasal 8 ayat (4)
PER-32/PJ/2013)
2. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
▪ Surat penolakan permohonan SKB dibuat menggunakan formulir Lampiran V
PER-32/PJ/2013 (Pasal 8 ayat (5) PER-32/PJ/2013)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (Pasal 5 ayat (1) PER-32/PJ/2013)
B. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tersebut, Kepala KPP belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima. (Pasal 5 ayat (2) PER-32/PJ/2013)
C. Dalam hal permohonan WP dianggap diterima, Kepala KPP wajib menerbitkan SKB dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu 5 (lima) hari kerja tersebut terlewati. (Pasal 5 ayat (3) PER-32/PJ/2013)
VI. MASA BERLAKUNYA SKB o SKB berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. (Pasal 6 PER-
32/PJ/2013)
VII.
KETENTUAN DALAM MELAKUKAN PEMBEBASAN PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPH YANG
BERSIFAT TIDAK FINAL o Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak
bersifat final apabila telah menerima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT Tahunan. (Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013) o TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN LEGALISASI FOTOKOPI SKB
1. permohonan legalisasi fotokopi SKB menggunakan formulir Lampiran VI PER-
32/PJ/2013 (Pasal 8 ayat (6) PER-32/PJ/2013)
2. Permohonan legalisasi fotokopi SKB diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT Tahunan dengan syarat: (Legalisasi ini tidak diberikan apabila persyaratan tidak terpenuhi) (Pasal 7 ayat (2) dan (5) PER-32/PJ/2013)
a. menunjukkan SKB;
b. menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 TAHUN 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas:
pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
iii.
pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi;
iv.
pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas WP pemotong dan/atau pemungut PPh dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam SKB.
d. ditandatangani oleh WP, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
3. Fotokopi Surat Keterangan Bebas yang mau dilegalisasi diajukan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: (Pasal 7 ayat (3) PER-32/PJ/2013)
a. satu lembar untuk KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan WP kepada WP pemotong dan/atau pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada KPP tempat pemotong dan/atau pemungut terdaftar
o JANGKA WAKTU PENYELESAIAN PERMOHONAN LEGALISASI
▪ Legalisasi fotokopi SKB dilakukan dalam jangka waktu
1 (satu) hari kerja sejak
permohonan legalisasi diterima lengkap . (Pasal 7 ayat (4) PER-32/PJ/2013)
J.16. PPh Final atas Penghasilan Lain Kontraktor Dari Pengalihan Participating Interest
I. DASAR HUKUM o PMK-257/PMK.011/2011 (berlaku sejak 1 Januari 2012) tentang Tata Cara Pemotongan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift Atau Imbalan
Lain Yang Sejenis Dan/Atau Penghasilan Kontraktor Dari Pengalihan Participating Interest
II. YANG DIKENAKAN PPH FINAL DAN TARIFNYA (Pasal 2 PMK-257/PMK.011/2011)
No. JENIS PENGHASILAN
TARIF
DPP
1. Atas penghasilan lain Kontraktor di luar kontrak kerja sama berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis
dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif sebesar 20% dari jumlah bruto. o Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan
untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
2. Atas penghasilan lain
Dasar Pengenaan Kontraktor di luar kontrak
dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif sebesar:
Pajak Penghasilan atas kerja sama berupa
pengalihan Participating pengalihan Participating
e. 5% dari jumlah bruto, untuk pengalihan
Interest adalah: Interest
Participating Interest selama masa Eksplorasi ;
atau
7. jumlah o Participating
▪ Masa Eksplorasi terhitung sejak tanggal
yang Interest adalah
efektif kontrak kerja sama sampai
sesungguhnya hak dan
dengan tanggal persetujuan rencana
diterima atau kewajiban
pengembangan lapangan pertama pada
diperoleh sebagai
suatu wilayah kerja Kontraktor.
Kontraktor; atau Kontraktor
▪ PENGECUALIAN PENGENAAN PPH :
8. jumlah yang kontrak kerja
Dalam rangka membagi risiko dalam
seharusnya sama, baik
masa Eksplorasi, pengalihan
diterima atau secara langsung
Participating Interest dikecualikan dari
diperoleh maupun tidak
pengenaan Pajak Penghasilan ini, dalam
Kontraktor, langsung, pada
hal memenuhi kriteria: (Pasal 3 ayat (1)
PMK-257/PMK.011/2011) dalam hal suatu wilayah
terdapat kerja.
1. tidak mengalihkan seluruh
hubungan o Eksplorasi
Participating Interest yang
istimewa adalah kegiatan
dimilikinya;
sebagaimana yang bertujuan
2. Participating Interest telah
dimaksud memperoleh
dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
dalam Pasal 18 informasi
3. di wilayah kerja telah dilakukan
ayat (4) mengenai
Eksplorasi dan Kontraktor telah
Undang- kondisi geologi
mengeluarkan investasi untuk
Undang Pajak untuk
melaksanakan Eksplorasi
dimaksud; dan Penghasilan menemukan dan
antara pihak- memperoleh
4. pengalihan Participating Interest
pihak yang perkiraan
oleh Kontraktor tidak
melakukan cadangan
dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.
pengalihan pengalihan
Participating bumi di wilayah
f. 7% dari jumlah bruto, untuk pengalihan
Interest. kerja yang
Participating Interest selama masa Eksploitasi .
▪ Masa Eksploitasi terhitung dari
ditentukan.
berakhirnya masa Eksplorasi sampai
o Eksploitasi
dengan tanggal berakhirnya kontrak
adalah rangkaian
kerja sama.
kegiatan yang
▪ PENGECUALIAN PENGENAAN PPH :
bertujuan untuk
Pengenaan PPh ini, dikecualikan
menghasilkan
sepanjang untuk melakukan kewajiban
minyak dan gas
pengalihan Participating Interest sesuai
bumi dari
kontrak kerja sama kepada perusahaan
wilayah kerja
nasional sebagaimana tertuang dalam
yang ditentukan,
kontrak kerja sama. (Pasal 3 ayat (2)
yang terdiri atas
PMK-257/PMK.011/2011)
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
III.
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DALAM HAL TERJADI PENGALIHAN PARTICIPATING INTEREST
(Pasal 5 PMK-257/PMK.011/2011)
A. Dalam hal terjadi pengalihan Participating Interest, Kontraktor wajib melaporkan nilai pengalihan Participating Interest dimaksud kepada KPP tempat Kontraktor terdaftar disertai dengan dokumen tertulis berupa perjanjian pengalihan Participating Interest dan Financial Quarterly Report (FQR) triwulan terakhir sebelum terjadinya pengalihan Participating Interest.
B. Dalam hal ketentuan pelaporan tersebut tidak dipenuhi oleh Kontraktor, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan besarnya nilai pengalihan Participating Interest.
C. Pelaporan dilakukan oleh:
1. Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest dalam hal penerima pengalihan Participating Interest sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak; atau
2. Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest dalam hal penerima pengalihan Participating Interest belum terdaftar sebagai Wajib Pajak,
dengan menggunakan format formulir laporan pengalihan Participating Interest sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PMK-257/PMK.011/2011
D. Kontraktor tersebut harus melaporkan nilai pengalihan Participating Interest paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak perjanjian pengalihan Participating Interest ditandatangani.
IV. SAAT TERUTANG DAN METODE PEMOTONGAN/PEMBAYARAN PPH
No. JENIS
SAAT TERUTANG
METODE PEMOTONGAN/PEMBAYARAN PPH
PENGHASILAN
1. Uplift atau yaitu pada saat Atas PPh-nya wajib dipotong oleh Kontraktor yang melakukan imbalan lain
penghasilan berupa pembayaran Uplift atau imbalan lain yang sejenis dengan yang sejenis
Uplift atau imbalan menggunakan format formulir bukti potong sebagaimana tercantum lain yang sejenis
dalam Lampiran II PMK-257/PMK.011/2011
dibayar atau diakui sebagai biaya, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi. (Pasal
6 ayat (1) PMK- 257/PMK.011/2011)
2. pengalihan yaitu pada saat Atas PPh-nya wajib dipotong oleh Kontraktor yang menerima Participating
pembayaran, pada pengalihan Participating Interest dengan menggunakan format Interest
saat pengalihan formulir bukti potong sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Participating Interest, PMK-257/PMK.011/2011
atau pada saat o Dalam hal Kontraktor yang menerima pengalihan diberikannya Participating Interest belum terdaftar sebagai Wajib Pajak
persetujuan pada saat terutangnya PPh, PPh yang terutang wajib disetor pengalihan
sendiri oleh Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest
Participating Interest dengan menggunakan Surat Setoran oleh Menteri Energi
Pajak atas nama Kontraktor yang mengalihkan Participating dan Sumber Daya
Interest. (Pasal 7 ayat (3) PMK-257/PMK.011/2011) Mineral, tergantung o Dalam hal PPh yang terutang tidak disetorkan oleh
Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest peristiwa mana yang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPh yang terutang lebih dahulu terjadi.
dimaksud wajib dipotong, disetorkan, dan dilaporkan oleh (Pasal 7 ayat (1)
Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest PMK-
pada saat setelah terdaftar sebagai Wajib Pajak sesuai 257/PMK.011/2011) perundang-undangan di bidang perpajakan. (Pasal 7 ayat (4) PMK-257/PMK.011/2011)
o Dalam hal pengalihan Participating Interest dilakukan secara tidak langsung dan tidak mengubah Nomor Pokok Wajib
Pajak, Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
V. KEWAJIBAN PENYETORAN o PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), wajib disetorkan ke kas negara, sesuai dengan jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran, pemotongan, pemungutan, dan/atau pelaporan pajak. (Pasal 8 PMK-257/PMK.011/2011)
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(Pasal 2 ayat (1) PMK-
242/PMK.03/2014)
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. (Pasal 2 ayat (2) PMK-242/PMK.03/2014)
VI. KEWAJIBAN PELAPORAN o PPh yang telah disetor wajib dilaporkan kepada:
1. KPP tempat Kontraktor yang melakukan pembayaran Uplift atau imbalan lain yang sejenis terdaftar atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
2. Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest terdaftar atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4); dan/atau
3. Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest terdaftar atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5).
o Pelaporan PPh ini dilakukan sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran,
penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak dengan menggunakan SPT Masa Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) pada bagian penghasilan tertentu lainnya. (Pasal 9 ayat (2) PMK-257/PMK.011/2011)
▪ Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, wajib melaporkan PPh
Pasal 4 ayat (2) yang dipotong atau PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri dengan menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 10 PMK-243/PMK.03/2014)
VII. ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI DENGAN PPH FINAL (Pasal 10 PMK- 257/PMK.011/2011)
o Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau penghasilan Kontraktor dari pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), terutang Pajak Penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan
di bidang Pajak Penghasilan.
o Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap penghasilan lain Kontraktor yang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri ini, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang Pajak
Penghasilan yang berlaku secara umum. o Ketentuan ini diberlakukan terhadap Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final, atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis
dan/atau penghasilan dari pengalihan Participating Interest yang diterima atau diperoleh setelah berlakunya Peraturan Menteri ini. (Pasal 12 ayat (3) PMK-257/PMK.011/2011) o Contoh penghitungan tercantum dalam Lampiran III PMK-257/PMK.011/2011
VIII. PEMBERLAKUAN KETENTUAN INI (Pasal 12 PMK-257/PMK.011/2011)
1. Ketentuan mengenai saat terutangnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dan penghasilan dari pengalihan Participating Interest, yang terjadi sejak tanggal 20 Desember 2010 sampai dengan sebelum berlakunya PMK-257/PMK.011/2011 ini.
2. Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dan penghasilan dari pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pada tanggal berlakunya PMK-257/PMK.011/2011 ini.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diberlakukan terhadap Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final, atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dan/atau penghasilan dari pengalihan Participating Interest yang diterima atau diperoleh setelah berlakunya PMK-257/PMK.011/2011 ini.
J.17. PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang
perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
B. PP Nomor 40 TAHUN 2016 (berlaku sejak 17 Oktober 2016) tentang PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
II. OBJEK PPh PASAL 4 AYAT (2) ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT DALAM
SKEMA KIK TERTENTU o Objeknya adalah penghasilan yang diterima/diperoleh WP dari pengalihan Real Estat kepada
SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu. (Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 40 TAHUN 2016) ▪ Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya. (Pasal 1 angka
2 PP Nomor 40 TAHUN 2016) ▪ Special Purpose Company (SPC) adalah Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki
oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk KIK. (Pasal 1 angka 4 PP Nomor 40 TAHUN 2016)
• Dana Investasi Real Estat (DIRE) adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas. (Pasal 1 angka 3 PP Nomor 40 TAHUN 2016)
▪ Kontrak Investasi Kolektif (KIK) adalah KIK sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang Pasar Modal. (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 40 TAHUN
• KIK adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. ( Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal)
o Skema KIK tertentu merupakan suatu skema investasi dalam bentuk KIK dengan wadah DIRE dengan atau tanpa menggunakan SPC. (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
III. TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 4 AYAT (2) o Tarifnya = 0,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat, bersifat final . (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
▪ Jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat meliputi: (Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
a. Dalam hal WP Tidak Memiliki Hubungan Istimewa dengan SPC atau KIK
• Jumlah brutonya meliputi seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima/diperoleh WP dari SPC atau KIK atas pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu.
b. Dalam hal WP Memiliki Hubungan Istimewa dengan SPC atau KIK
• Jumlah brutonya meliputi seluruh jumlah yang seharusnya diterima/diperoleh WP dari SPC atau KIK atas pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu.
IV. KEWAJIBAN WP YANG MELAKUKAN PENGALIHAN REAL ESTAT & DIKENAI PPH PASAL 4 AYAT
(2 ) (Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
o WP yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) wajib : o WP yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) wajib :
1. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh OJK;
2. keterangan dari OJK bahwa WP yang mengalihkan Real Estat bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
3. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa WP melakukan pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
4. fotokopi SSP atas penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
b. mendapatkan SKF dari KPP tempat WP bersangkutan terdaftar. Resume terkait SKF dapat diklik disini .
V. KEWAJIBAN PEJABAT YANG BERWENANG o Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan wajib
menyampaikan laporan mengenai penerbitan akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Pasal 4 ayat (4) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
VI. PEMBAYARAN o PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema KIK Tertentu
wajib dibayar sendiri oleh WP, sebelum akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
▪ Pejabat yang berwenang merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan. (Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 40 TAHUN 2016) ▪ Pejabat yang berwenang hanya dapat menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau
kesepakatan atas pengalihan Real Estat apabila kepadanya telah dibuktikan bahwa: (Pasal 4 ayat (4) PP Nomor 40 TAHUN 2016)
a. PPh Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema KIK Tertentu telah dibayar dengan menyerahkan fotokopi SSP yang bersangkutan dengan menunjukkan aslinya; dan
b. kewajiban dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 40 TAHUN 2016 telah dipenuhi oleh WP yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai PPh Pasal 4 ayat (2), dengan menyerahkan fotokopi surat dan/atau dokumen bersangkutan serta fotokopi tanda bukti penerimaan surat dari KPP tempat WP bersangkutan.