PPH PASAL 26 1. Perlakuan PPh Vs Perjanjian Internasional
O. PPH PASAL 26 O.1. Perlakuan PPh Vs Perjanjian Internasional
I. DASAR HUKUM
A. Pasal 26 PP 94 TAHUN 2010 (berlaku sejak 30 Desember 2010) tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan.
B. PMK-157/PMK.010/2015 (berlaku sejak 13 Agustus 2015) tentang pelaksanaan perlakuan PPh yang didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional
II. UU PPH VS PERJANJIAN INTERNASIONAL o Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang
berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU PPh, perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan UU tentang Perjanjian Internasional. (Pasal 26 PP 94 TAHUN 2010)
▪ Pelaksanaan perlakuan perpajakan dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (Pasal 2 ayat (1) PMK-157/PMK.010/2015)
▪ Perjanjian internasional tersebut adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik antara Pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-157/PMK.010/2015 ini. (Pasal 2 ayat (3) PMK-157/PMK.010/2015)
merupakan organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum/kerjasama
antar pemerintah atau non pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. (Pasal 2 ayat (4) PMK-157/PMK.010/2015)
III. SYARAT PENGGUNAAN KETENTUAN DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL o Perlakuan PPh didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional tersebut dapat dilaksanakan dengan syarat: (Pasal 2 ayat (5)
PMK-157/PMK.010/2015)
1. perjanjian internasional tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang di bidang Perjanjian Internasional;
2. tidak terdapat persyaratan (reservation) atau pernyataan (declaration) mengenai ketentuan perlakuan Pajak Penghasilan dalam perjanjian internasional tersebut; dan
3. telah dilakukan pengesahan dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan/atau penyetujuan (approvan) melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai Undang-Undang
di bidang Perjanjian
Internasional.
▪ Dikecualikan dari pemenuhan persyaratan telah dilakukan pengesahan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan ini adalah dalam hal perjanjian internasional tidak mensyaratkan adanya pengesahan dalam pemberlakuan
perjanjian tersebut dan perjanjian dimaksud memuat materi yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk. (Pasal 2 ayat (6) PMK-157/PMK.010/2015)
IV. PPH ATAS PENGHASILAN DARI ORGANISASI INTERNASIONAL (Pasal 3 PMK-157/PMK.010/2015) o Atas penghasilan berupa gaji atau pembayaran lainnya dari organisasi internasional yang
diterima oleh pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia, dikenai PPh sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU PPh.
o Dikecualikan dari ketentuan ini, apabila dalam perjanjian internasional telah diatur secara tegas ketentuan pengecualian pengenaan PPh atas gaji atau pembayaran lainnya yang diterima pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia.
O.2. PPh Pasal 26 atas Penjualan Saham yang Dilakukan oleh WPLN
DASAR HUKUM
KMK- 434/KMK.04/1999 (berlaku sejak 24 Agustus 1999) tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham.
YANG DIKENAKAN PPH PASAL 26
Yang dikenakan PPh Pasal 26 adalah WPLN, selain BUT yang memperoleh penghasilan dari penjualan saham Perseroan.
Perseroan adalah Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham WPLN dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. (Pasal 1 KMK- 434/KMK.04/1999 )
TARIF
PPh Pasal 26= 20% x Perkiraan Neto (Pasal 2 KMK- 434/KMK.04/1999 )
Perkiraan Neto= 25% x harga jual
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual.
Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 ini hanya dilakukan apabilan berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia. (Pasal 2 ayat (2) KMK- 434/KMK.04/1999 )
MEKANISME PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26. (Pasal
3 ayat (1) KMK- 434/KMK.04/1999 )
Jika Pembeli saham adalah WPLN :
Pemotong adalah Perseroan yang sahamnya diperjualbelikan. (Pasal 3 ayat (3) KMK- 434/KMK.04/1999 )
Penyetoran: (Pasal 4 ayat (2) KMK- 434/KMK.04/1999 )
Penyetoran dilakukan oleh Perseroan dengan menggunakan nama WPLN pemegang saham.
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Pelaporan :
selambat- lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Jika Pembeli saham adalah WPDN:
Pemotong adalah pihak yang membeli saham Perseroan tersebut. (Pasal 3 ayat (1) KMK- 434/KMK.04/1999 )
Pemotong wajib memberikan bukti pemotongan PPh pasal 26 kepada WPLN yang menjual sahamnya
Penyetoran:
Penyetoran dilakukan oleh pemotong.
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 telah dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya. (Pasal 3 ayat (4) KMK- 434/KMK.04/1999 )
O.3. Premi Asuransi dan Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri
DASAR HUKUM
KMK- 624/KMK.04/1994 (berlaku sejak 1 Januari 1995) tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri.
SURAT EDARAN TERKAIT
SE-25/PJ.4/1995 (tanggal 26 April 1995) tentang pemotongan PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar negeri
YANG DIPOTONG PPH PASAL 26 DAN SSAT TERUTANGNYA
Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. (Pasal 1 ayat (1) KMK- 624/KMK.04/1994 ) .
PPh pasal 26 atas pembayaran premi ini terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. (Pasal 3 ayat (1) KMK- 624/KMK.04/1994 ) .
TARIF
PPh 26 = 20% x perkiraan penghasilan Neto.
Perkiraan Perkiraan Neto :
jika premi dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi diluar negeri (secara langsung ataupun melalui pialang)
Perkiraan Neto = 50% x Jumlah Premi yang dibayar. (Pasal 1 ayat (2) KMK- 624/KMK.04/1994 )
Pemotong PPh Pasal 26 adalah pihak tertanggung (Pasal 2 KMK- 624/KMK.04/1994 )
jika premi dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi diluar negeri (secara langsung ataupun melalui pialang)
Perkiraan Neto = 10% x Jumlah Premi yang dibayar (Pasal 1 ayat (2) KMK- 624/KMK.04/1994 )
Pemotong PPh Pasal 26 adalah perusahaan asuransi di Indonesia (Pasal 2 KMK- 624/KMK.04/1994 )
jika premi dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri (secara langsung ataupun melalui pialang)
Perkiraan Neto = 5% x Jumlah Premi yang dibayar (Pasal 1 ayat (2) KMK- 624/KMK.04/1994 )
Pemotong PPh Pasal 26 adalah perusahaan reasuransi di Indonesia (Pasal 2 KMK- 624/KMK.04/1994 )
KEWAJIBAN PEMOTONG
Pemotong wajib menyetor PPh Pasal 26 selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajakdengan menggunakan SSP. (Pasal 3 ayat (2) KMK- 624/KMK.04/1994 )
MAP: 411127
KJS: 100
Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 26, dalam rangkap 3 (tiga) : (Pasal 3 ayat (3) KMK- 624/KMK.04/1994 )
Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke KPP tempat pemotong pajak terdaftar;
Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.
O.4. DGT 1 dan DGT 2
DASAR HUKUM
PER-24/PJ./2010 berlaku sejak 1 Januari 2010 tentang perubahan PER-61/PJ./2009 beserta Ralat PER-
61/PJ./2009 berlaku sejak 1 Januari 2010 tentang tatacara penerapan perjanjian P3B
PER-25/PJ./2010 (berlaku sejak 1 Januari 2010) tentang perubahan PER-62/PJ./2009 tentang pencegahan penyalahgunaan P3B
SURAT EDARAN TERKAIT
SE-48/PJ/2013 tentang pejabat yang berwenang menandatangani surat keterangan domisili bagi wajib pajak dalam negeri amerika serikat (form 6166)
SE-114/PJ/2009 tentang pelaksanaan PER-61/PJ./2009
CARA PENGISIAN DGT 1 DAN DGT 2 KLIK LAMPIRAN SYARAT AGAR P3B DITERAPKAN OLEH PEMOTONG PAJAK DALAM MEMOTONG PPH PASAL 26
Pemotong/pemungut pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal : (Pasal 3 ayat (1) PER-61/PJ./2009 )
Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) Indonesia;
Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah terpenuhi ; dan
Persyaratan administratif terpenuhi apabila SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak: (Pasal 4 ayat (3) PER-24/PJ./2010 )
menggunakan formulir
dalam Lampiran
II atau
Lampiran
III PER-
61/PJ./2009 (menggunakan Form-DGT 1 atau Form-DGT 2);
telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B;
telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
Dalam hal SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak tidak mendapat pengesahan , maka WPLN tetap harus mengisi form DGT 1 atau DGT 2 dan juga melampirkan SKD yang lazim disahkan/ diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: PER-24/PJ./2010 Pasal 4 ayat (4) Dalam hal SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak tidak mendapat pengesahan , maka WPLN tetap harus mengisi form DGT 1 atau DGT 2 dan juga melampirkan SKD yang lazim disahkan/ diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: PER-24/PJ./2010 Pasal 4 ayat (4)
diterbitkan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
berupa dokumen asli atau fotokopi yang telah dilegalisir oleh KPP tempat salah satu Pemotong/ Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
Sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN; dan
mencantumkan tanda tangan pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat yang dimaksud.
disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
Tidak terjadi penyalagunaan P3B sesuai PER-62/PJ./2009 stdd PER-25/PJ/2010
Penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal :
transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
SELENGKAPNYA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B KLIK DISINI
Jika persyaratan untuk diterapkannya P3B tersebut tidak dipenuhi, maka pemotong/ pemungut pajak harus memotong/ memungut pajak yang terutang sesuai UU PPh Pasal 26 (dengan Tarif 20%)
KETENTUAN TERKAIT FORM-DGT 1
FORM-DGT 1 digunakan oleh semua WPLN kecuali WPLN yang menggunakan DGT 2
Masa berlaku Form-DGT 1
Form-DGT 1 lembar 1, berlaku sampai dengan 12 bulan s ejak bulan form-DGT 1 lembar 1 disahkan atau setelah
bulan SKD yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan. (Pasal 5 ayat (2) PER-
24/PJ./2010 )
Lembar kesatu Form-DGT 1 yang telah diisi dan ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang di negara mit ra P3B. Form DGT 1 digunakan pada saat penerapan P3B oleh pemotong/pemungut Pajakyaitu pada saat terutangnya pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lembar kesatu form DGT 1 dapat dipergunakan lebih dari satu kali oleh WPLN dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak disahkannya dokumen tersebut oleh Pejabat yang Berwenang, apabila : ( SE-
114/PJ/2009 angka 3 huruf d)
WPLN bertransaksi dengan Pemotong/Pemungut Pajak yang sama, dan nama dan alamat WPLN tidak mengalami
perubahan.
Dalam hal butir 1) dan 2) di atas terpenuhi, untuk menerapkan ketentuan dalam P3B pada Masa Pajak berikutnya, WPLN cukup menyampaikan lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi lengkap pada Part IV atau Part V, dan Part VI.
Form-D GT 1 lembar 2, berlaku untuk satu masa pajak.
Lembar kedua Form-DGT 1 dapat digunakan oleh W PLN untuk menyatakan seluruh penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak). Dalam hal terdapat beberapa pembayaran, WPLN : ( SE-114/PJ/2009 angka
3 huruf f)
mencantumkan total penghasilan untuk tiap-tiap kelompok penghasilan (kelompok penghasilan modal: bunga/dividen/royalti, kelompok penghasilan jasa, dan kelompok penghasilan lainnya) dalam lembar kedua Form- DGT 1 yang sama, dan
membuat rekapitulasi atau rincian penghasilan yang diterima pada suatu bulan (Masa Pajak) untuk tiap-tiap kelompok penghasilan tersebut pada lembaran yang terpisah dengan format yang memuat informasi tentang :
a) Nomor urut;
b) Tanggal penerimaan penghasilan;
c) Jenis penghasilan;
d) Jumlah penghasilan (dalam mata uang asli); dan
e) Keterangan (apabila ada).
Form DGT 1 Part V "To Be Completed if the Income Recipient is Non Individual", dalam hal WPLN menjawab "No" untuk pertanyaan pada butir 6, WPLN tetap diperkenankan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B, sepanjang jawaban pada butir 7 sampai dengan butir 12 dijawab "Yes". Hal ini dimaksudkan agar ketentuan dalam P3B dapat diterapkan bukan hanya kepada WPLN yang mendaftarkan sahamnya di pasar modal, namun juga kepada perusahaan yang secara substantif merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya atas penghasilan tersebut. ( SE-114/PJ/2009 angka 3 huruf g )
Dalam butir 12 Form DGT 1 Part V terdapat pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui apakah penerima penghasilan
conduit. Yang dimaksud dengan "Claims by other persons" di butir 12 DGT 1 adalah tagihan kepada WPLN yang berasal dari pihak ketiga, dalam bentuk bunga, royalti, imbalan jasa, atau pembayaran lainnya yang dimaksud untuk meneruskan penghasilan WPLN kepada pihal yang sebenarnya memperoleh manfaat atas penghasilan (beneficial owner), tidak termasuk tagihan pegawai dalam hubungan pekerjaan (employment) yang normal, seperti gaji, upah, bonus, dan tunjangan. ( SE-114/PJ/2009 angka 3 huruf h)
adalah
perusahaan
Part VI Form DGT 1 mengenai "Income Earned from Indonesia in Respect to Which Relief is Claimed", diberi penegasan didalam SE-114/PJ/2009 angka 3 huruf i yaitu:
WPLN mengisi jumlah penghasilan sesuai dengan jumlah yang dibayarkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak. Meskipun tidak terdapat pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam P3B, jumlah penghasilan WPLN mengisi jumlah penghasilan sesuai dengan jumlah yang dibayarkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak. Meskipun tidak terdapat pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam P3B, jumlah penghasilan
Apabila penghasilan yang diterima WPLN dalam mata uang selain Rupiah, WPLN dapat mencantumkan nominal dalam mata uang asing dan mengganti IDR dengan mata uang asing yang digunakan.
Pada butir 2 huruf c, dalam hal waktu penyelesaian suatu pemberian jasa belum atau tidak dapat diperkirakan, maka saat berakhirnya pemberian jasa dapat dikosongkan.
Dalam transaksi pengalihan obligasi, penghasilan yang timbul dari transaksi tersebut diperlakukan sebagai bunga/deposito sesuai dengan PP Nomor
16 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi dan Peraturan PP Nomor
27 TAHUN 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, WPLN yang memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan
obligasi, kecuali WPLN bank, wajib menggunakan Form-DGT 1 untuk memperoleh manfaat P3B. ( SE-
114/PJ/2009 angka
j) Form - DGT 1 yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B. PER-24/PJ./2010 Pasal 5 ayat (1)
3 huruf
Kewajiban pemotong/pemungut pajak saat pelaporan SPT Masa adalah : memfotokopi lembar kedua Form- DGT 1 tersebut, memaraf dan melaporkannya pada saat penyampaian SPT Masa, dengan menyertakan fotokopi
Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) yang pernah disampaikan sebelumnya oleh WPLN. SE-
114/PJ/2009 angka 3 huruf f
bentuk Form-DGT I ada di Lampiran II PER-61/PJ./2009
FORM-DGT 2
FORM-DGT 2 digunakan oleh :
WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga atau dividen; atau
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. PER-24/PJ./2010 Pasal 4 ayat (6)
WPLN bank.
WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
negara mitra P3B Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia. (Pasal 4 ayat (2) PER-
24/PJ./2010 ) .
bentuk Form-DGT 2ada di Lampiran III PER-61/PJ./2009
Masa berlaku Form-DGT 2 = berlaku sampai dengan 12 bulan sejak bulan fo rm-DGT 2 disahkan atau setelah bulan SKD yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan. PER-24/PJ./2010 Pasal 5 ayat (2)
Form-DGT 2 dapat terus digunakan oleh WPLN dalam hal menerima penghasilan dari Pemotong/Pemungut Pajak yang sama atau yang berbeda dalam waktu 12 bulan sejak tanggal dokumen tersebut disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B.
Dalam hal Form-DGT 2 tersebut akan digunakan untuk lebih dari satu Pemotong/Pemungut Pajak, Form- DGT 2 asli dapat diperbanyak oleh Pemotong/Pemungut dan dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Pemotong/Pemungut Pajak tersebut terdaftar. Kepala KPP harus menyimpan dokumen Form-DGT
2 asli tersebut. Form-DGT 2 yang telah dilegalisasi oleh Kepala KPP diperlakukan sama seperti dokumen
aslinya. SE-114/PJ/2009 angka 3 huruf l
PIHAK YANG TIDAK PERLU MENYAMPAIKAN SKD:
Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu P3B yang mengatur bahwa pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga-lembaga yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu,maka pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga dimaksud tidak perlu menyampaikan SKD untuk keperluan penerapan ketentuan dalam P3B tersebut . PER-24/PJ./2010 Pasal 4 ayat (7)
KEWAJIBAN PEMOTONG/ PEMUNGUT PAJAK:
wajib membuat bukti potong sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk jika ada penghasilan yang diterima WPLN tetapi tidak ada pajak yang dipotong atau dipungut di Indonesia; PER-24/PJ./2010 Pasal 8
wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa;
O.5. DGT 6 dan DGT 7 untuk SPDN yang ingin menerapkan P3B di Luar negeri
DASAR HUKUM
PER-35/PJ/2010 (berlaku sejak 28 Juli 2010 tentang SKD Untuk SPDN Indonesia dalam rangka Penerapan P3B
SURAT EDARAN TERKAIT
SE-89/PJ/2010 (tanggal 16 Agustus 2010) tentang Tata Cara Penerbitan/ Pengesahan dan Pemanfaatan SKD bagi SPDN Indonesia dalam rangka Penerapan P3B
BENTUK SKD
SKD untuk SPDN Indonesia dalam rangka penerapan P3B dapat berupa: (Pasal 2 ayat (1) PER-35/PJ/2010 )
DGT 7 (terdapat dalam lampiran PER 35/PJ/2010 ), atau
menggunakan formulir khusus yang diterbitkan oleh negara mitra P3B
SKD ini diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan WP yang bersangkutan. (Pasal 2 ayat (2) PER-35/PJ/2010 )
BATAS WAKTU PENERBITAN SKD
Batas waktu penerbitan SKD paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap. (Pasal 5 ayat (1) PER-35/PJ/2010 )
MASA BERLAKU SKD
Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan kecuali bagi Wajib Pajak bank sepanjang Wajib Pajak bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD yang telah diterbitkan. (Pasal 7 PER-35/PJ/2010 )
WP YANG DAPAT MEMPEROLEH SKD
WP yang dapat memperoleh SKD ini adalah WP yang: (Pasal 3 PER-35/PJ/2010 )
berstatus SPDN Indonesia (sebagaimana yang tercantum didalam pasal 2 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2008);
memiliki NPWP; dan
bukan berstatus SPLN dan bukan berstatus BUT, sebagaimana tercantum didalam pasal 2 ayat (4) UU PPh)
SYARAT-SYARAT PERMOHONAN UNTUK MENGAJUKAN SKD
Untuk memperoleh SKD, WP harus mengajukan permohonan, permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan sbb: (Pasal 4 PER-35/PJ/2010 )
diajukan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili dengan menggunakan Form-DGT 6 sebagaimana ditetapkan dalam lampiran I PER 35/PJ/2010 );
Form DGT 6 harus diisi dengan benar, lengkap dan jelas;
Memuat nama negara/jurisdiksi mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
Memuat penjelasan mengenai penghasilan dan pajak yang akan dikenakan atas penghasilan tsb di negara mitra P3B;
Ditandatangani oleh WP; dan
dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU KUP, dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
PENOLAKAN PERMOHONAN SKD
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili menolak permohonan Wajib Pajak dalam hal : (Pasal 5 ayat (2) PER-35/PJ/2010 )
WP yang mengajukan tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 3 PER 35/PJ/2010 ini (persyaratan untuk WP yang bisa memperoleh SKD);
Permohonan WP tidak memenuhi persyaratan pasal 4 PER 35/PJ/2010 (Persyaratan mengenai permohonan WP); atau
Wajib Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun batas waktu penyampaian telah terlewati dan WP tidak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Tetapi Dalam hal WP ini menyampaikan SPT Tahunan Pajak PPh dan masih memerlukan SKD, Wajib Pajak
harus menyampaikan kembali permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili. (Pasal 6 PER-
35/PJ/2010 )
Penolakan atas permohonan WP harus diberitahukan secara tertulis kepada WP paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan WP diterima. (Pasal 5 ayat (3) PER-35/PJ/2010 )
O.6. DGT 3, DGT 4, dan DGT 5 (Ketentuan ini Sudah dicabut sejak 30 Mei 2013)
RESUME INI TIDAK DAPAT DITERAPKAN LAGI KARENA DASAR HUKUMNYA TELAH DICABUT SEJAK 30 MEI 2013 DASAR HUKUM
PMK 190/PMK.03/2007 (berlaku sejak 1 Januari 2008) tentang tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
PER-40/PJ/2010 (berlaku sejak 9 Agustus 2010) tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang bagi WPLN
FORMULIR YANG DIGUNAKAN
DGT 3 → a dalah Formulir Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang ( Lampiran I PER-40/PJ/2010 ).
DGT 4 → a dalah For mulir Surat Kuasa yang berisi pemberian kuasa dari WPLN kepada Pemotong/ Pemungut Pajak ( Lampiran II PER-40/PJ/2010 ) .
DGT 5 → ad alah Formulir Surat Keterangan Domisili dari Non Resident untuk mengajukan permohonan pengembalian pajak (Certificate of Domicile of Non Resident for Claiming Tax Refund of Indonesia Tax Withholding), yang diisi oleh WPLN ( Lampiran III PER-40/PJ/2010 ).
PAJAK YANG DAPAT DIAJUKAN PENGEMBALIAN
Yaitu Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang atas pe nghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN meliputi : (Pasal 2 PER-40/PJ/2010 )
Kesalahan pemotongan/ pemungutan pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong/ dipungut menjadi lebih besar dari yang seharusnya (berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk P3B)
Pemotongan/ pemungutan pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak
Pemotongan/ pemungutan pajak yang lebih besar daripada yang seharusnya (berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP (Mutual Agreement Procedures))
WPLN YANG DAPAT MENGAJUKAN PENGEMBALIAN
Yaitu hanya WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui BUT di Indonesia. (Pasal 3 ayat (1) PER-40/PJ/2010 )
Permohonan harus diajukan oleh WPLN melalui pemotong/pemungut pajak. (Pasal 3 ayat (2) PER-40/PJ/2010 )
CARA DAN PERSYARATAN PENGAJUAN PERMOHONAN
Permohonan harus memenuhi persyaratan: (Pasal 4 ayat (1) PER-40/PJ/2010 ) Permohonan harus memenuhi persyaratan: (Pasal 4 ayat (1) PER-40/PJ/2010 )
3 (Lampiran I PER-40/PJ/2010 )
Form DGT 3 harus:
diisi dengan benar, lengkap dan jelas
diisi dalam bahasa Inggris
ditandatangani oleh WPLN
mencantumkan alasan permohonan WPLN secara jelas
mencantumkan jumlah pajak yang diminta untuk dikembalikan
dilampiri Surat Kuasa
Surat Kuasa yang dibuat oleh WPLN harus memenuhi persyaratan: (Pasal 6 PER-40/PJ/2010 )
menggunakan Form DGT 4 (Lampiran II PER-40/PJ/2010 )
Form DGT 4 harus:
diisi dengan benar, lengkap dan jelas
diisi dalam bahasa Inggris
ditandatangani oleh WPLN
dilunasi Bea Meterai yang sesuai dengan ketentuan (Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, menggunakan meterai Rp 6000)
mencantumkan pernyataan pemberian kuasa dari WPLN kepada pemotong/ pemungut pajak untuk:
menyampaikan DGT 3 ke KPP, dan
bertindak mewakili WPLN untuk menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
dilengkapi dengan dokumen pendukung, yaitu: (Pasal 7 ayat (1) PER-40/PJ/2010 )
SKD dengan menggunakan Form DGT 5 (Lampiran III PER-40/PJ/2010 )
Form DGT 5 ini hanya diwajibkan bagi WPLN yang adalah SPDN dalam negeri di negara / jurisdiksi mitra P3B
dan harus: (Pasal 7 ayat (2) PER-40/PJ/2010 )
diisi oleh WPLN dengan benar, lengkap, dan jelas;
ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai kelaziman di negara tersebut; ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai kelaziman di negara tersebut;
Jika WPLN tidak mendapat pengesahan Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B pada Form DGT 5, dapat diganti dengan Surat Keterangan Domisili (SKD) asli yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B dengan persyaratan:
menggunakan bahasa Inggris;
minimal memuat informasi mengenai nama WPLN;
menyebutkan tahun pajak yang mencakup penghasilan yang terkait dengan Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; dan
mencantumkan tanda tangan atau tanda yang setara sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B dari Pejabat yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B.
bukti pemotongan/ pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian
Surat pernyataan WPLN bahwa pajak yang diminta pengembaliannya belum diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri
Jika WPLN adalah SPDN dari negara/ jurisdiksi mitra P3B Indonesia, dan menerima/ memperoleh penghasilan yang terkait dengan pasal P3B yang memuat tentang beneficial owner , maka harus melengkapi:
nama, alamat, kewarganegaraan, dan informasi rinci mengenai dewan direksi;
identitas dan informasi rinci mengenai pemegang saham;
jumlah pegawai dan informasi rinci mengenai tugasnya;
penjelasan atas investasi yang menimbulkan penghasilan;
sumber pendanaan investasi;
penggunaan atau rencana penggunaan penghasilan yang bersumber dari Indonesia; dan
laporan keuangan dan surat pemberitahuan pajak untuk tahun yang mencakup saat terjadinya transaksi dan 2 (dua) tahun sebelumnya;
dokumen yang berkaitan dengan jenis penghasilan:
bunga:
perjanjian pemberian atau penyediaan pinjaman/ utang
jurnal pencatatan penerimaan bunga jurnal pencatatan penerimaan bunga
notice of interest computation;
deviden:
dividend declaration dari perusahaan yang membayar deviden;
rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan, dan
surat keterangan dari pembayar dividen yang menyatakan bahwa pemohon adalah pemegang saham yang berhak menerima dividen;
royalti, sewa, dan penghasilan lain dari penggunaan harta:
perjanjian yang terkait dengan penyediaan harta;
jurnal pencatatan penerimaan penghasilan,
rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan, dan
notice of income computation;
imbalan jasa, baik yang dilakukan oleh individu maupun badan:
perjanjian pemberian/ penyediaan jasa
pernyataan WPLN bahwa WPLN tidak menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui BUT; dan
Surat keterangan dari Pemotong/ Pemungut Pajak mengenai lamanya pelaksanaan pemberian jasa di Indonesia;
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan di Indonesia:
perjanjian penjualan atau pengalihan saham; dan
akta pemindahan hak atas saham yang dijual atau dialihkan dari perusahaan di Indonesia yang sahamnya dijual atau dialihkan;
premi asuransi dan premi reasuransi:
polis asuransi/ reasuransi; dan
notice of premium computation;
branch profit BUT:
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan BUT; dan
surat keterangan Wajib Pajak BUT yang menerangkan alasan pemotongan pajak atas branch profit; surat keterangan Wajib Pajak BUT yang menerangkan alasan pemotongan pajak atas branch profit;
pernyataan Pemotong/ Pemungut Pajak bahwa WPLN adalah pemilik sah atas penghasilan; dan
penjelasan WPLN mengenai substansi penghasilan; dan
dokumen lain yang menurut WPLN atau Pemotong/ Pemungut Pajak perlu disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak.
Jika permohonan WPLN terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP, dokumen
pendukung yang diperlukan adalah: (Pasal 7 ayat (3) PER-40/PJ/2010 )
bukti pemotongan/ pemungutan pajak asli sehubungan dengan pajak kelebihan pembayaran pajak yang dimintakan kembali; dan
fotokopi surat Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
Jika permohonan WPLN tidak memenuhi persyaratan diatas maka permohonan tidak dapat dipertimbangkan.
TUGAS KPP
Untuk menyelesaikan permohonan WPLN, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP : (Pasal 8 PER-
40/PJ/2010 )
melakukan penelitian atas permohonan tersebut;
dapat meminta keterangan dari Pemotong/ Pemungut Pajak, WPLN, Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B, dan/ atau pihak lain.
Jika Pemotong/ Pemungut Pajak belum menyetor pajak yang dipotong/ dipungut, maka:
Kepala KPP harus menagih pajak yang terutang kepada Pemotong/ Pemungut sesuai ketentuan yang berlaku. (Pasal 9 ayat (4) PER-40/PJ/2010 )
Jika Pemotong/ Pemungut belum melaporkan SPT Masa, maka:
KPP harus menindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 9 ayat (5) PER-40/PJ/2010 )
Apabila terdapat Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (Permohonan WPLN disetujui), maka: Pasal 10 PER-40/PJ/2010 )
Paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB atas nama Pemotong/ Pemungut Pajak q.q WPLN.
Berdasarkan SKPLB tersebut, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atas nama Pemotong/ Pemungut Pajak q.q WPLN.
Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak tersebut, Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran Pajak atas nama Pemotong/ Pemungut Pajak q.q WPLN dengan mencantumkan nomor rekening bank yang ada di Indonesia milik Pemotong/ Pemungut Pajak dengan mata uang Rupiah.
Jika permohonan WPLN ditolak, maka:
Paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan penolakan kepada WPLN melalui Pemotong/ PemungutPajak. Pasal 10 ayat (2) PER-40/PJ/2010 )
ALASAN PENOLAKAN ATAS PERMOHONAN PENGEMBALIAN
Permohonan oleh WPLN dapat ditolak jika berdasarkan penelitian: Pasal 9 ayat (1) PER-40/PJ/2010 )
WPLN adalah SPDN Indonesia;
Pajak yang dipotong/ dipungut belum disetor oleh Pemotong/ Pemungut Pajak;
Pajak yang dipotong/ dipungut telah:
diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di LN,
telah dibiayakan dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di LN; atau
ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/ Pemungut Pajak;
Permohonan WPLN tidak sesuai dengan ruang lingkup P3B;
Terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana yang tercantum dalam PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 ; atau
Pajak yang dipotong/ dipungut oleh Pemotong/ Pemungut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk P3B.
Permohonan pengembalian yang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP ditolak
jika: Pasal 9 ayat (2) PER-40/PJ/2010 )
Pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/ Pemungut Pajak; atau
Jumlah kelebihan pembayaran menurut WPLN lebih besar daripada jumlah kelebihan pembayaran berdasarkan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
Permohonan pengembalian yang diajukan oleh WPLN yang berasal bukan dari negara/ jurisdiksi mitra
P3B Indonesia ditolak jika: Pasal 9 ayat (3) PER-40/PJ/2010 )
WPLN adalah SPDN Indonesia;
Pajak yang dipotong / dipungut belum disetor oleh Pemotong/ Pemungut Pajak;
Pajak yang dipotong/ dipungut telah:
Diperhitungkan dengan pajak WPLN di LN,
Dibiayakan dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di LN, atau
Ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/ Pemungut Pajak; atau
Pajak yang dipotong/ dipungut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keterangan: Pada saat berlakunya PER-40/PJ/2010 ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
09/PJ.10/1994 tentang Restitusi PPh Pasal 26 Sehubungan Dengan Ketentuan Dalam PPPB dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk permohonan sebelum berlakunya PER-40/PJ/2010 ini.
O.7. Pencegahan Penyalahgunaan P3B
DASAR HUKUM
PER-24/PJ./2010 berlaku sejak 1 Januari 2010 tentang perubahan PER 61/PJ./2009 beserta Ralat PER 61/PJ./2009 berlaku sejak 1 Januari 2010 tentang tatacara penerapan perjanjian P3B
PER-25/PJ./2010 (berlaku sejak 1 Januari 2010) tentang perubahan PER-62/PJ./2009 tentang pencegahan penyalahgunaan P3B
SURAT EDARAN TERKAIT
SE-114/PJ/2009 tentang pelaksanaan PER 61/PJ./2009
SUBJEK PAJAK YANG TERCAKUP DALAM P3B
Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B. (Pasal 2 ayat (1) PER-62/PJ./2009 )
P3B TIDAK DITERAPKAN DALAM HAL TERJADI PENYALAHGUNAAN P3B
P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B , meskipun penerima penghasilan adalah Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B (orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B) (Pasal 2 ayat (2) PER-62/PJ./2009 )
KRITERIA TERJADINYA PENYALAHGUNAAN P3B (Pasal 3 PER-25/PJ./2010 )
Penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal :
transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan(beneficial owner).
Kriteria beneficial owner ini hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.
Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner) adalah penerima penghasilan yang : (Pasal 4 ayat (1) PER-25/PJ./2010 )
bertindak tidak sebagai Agen;
Agen (agent) adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain. (Pasal 1 angka 5 PER-62/PJ./2009 ) Agen (agent) adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain. (Pasal 1 angka 5 PER-62/PJ./2009 )
Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan. (Pasal 1 angka 6 PER-62/PJ./2009 )
bukan Perusahaan Conduit.
Perusahaan Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung. (Pasal 4 ayat (3) PER-25/PJ./2010 )
KRITERIA TIDAK DIANGGAP TERJADINYA PENYALAHGUNAAN P3B (Pasal 4 ayat (2) PER-25/PJ./2010 )
Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B yang dianggap tidak melakukan penyalahgunaan P3B adalah :
Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B;
WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, danhak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. (Pasal 4 ayat (4) PER-25/PJ./2010 )
perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
Pasar modal adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar modal berada. (Pasal 4 ayat (5) PER-25/PJ./2010 )
dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B;
bank; atau
perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu : bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu :
kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
perusahaan mempunyai pegawai; dan
mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
Pengertian "kegiatan atau usaha aktif" ini diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dalam hal WPLN melakukan kegiatan yang signifikan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan entitas. (Pasal
4 ayat (6) PER-25/PJ./2010 )
penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
Pengertian "penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya" adalah kondisi WPLN berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di negaranya, dimana WPLN merupakan subjek yang terutang pajak di negaranya dan penghasilan yang bersumber dari luar negeri merupakan objek pajak, meskipun pada akhirnya subjek pajak tersebut tidak terutang pajak secara legal, antara lain karena penghasilan tersebut terkena tarif pajak 0%, dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang spesifik dengan memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis tidak menanggung beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang ditanggung oleh pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut. (Pasal 4 ayat (7) PER-25/PJ./2010 )
tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Pengertian "tidak menggunakan lebih dari 50% dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain" ini adalah tidak lebih 50% dari seluruh penghasilan WPLN, dalam jenis apapun atau sumber manapun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan keuangan entitas WPLN sendiri (non konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain, tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham. ( Pasal 4 ayat (8) PER-25/PJ./2010 )
O.8. Tabel Tarif PPh Pasal 26
No Uraian Tarif x DPP Dasar Hukum
1 Penghasilan yang dibayarkan kepada
• UU PPh Pasal 26 WPLN berupa:
20% x penghasilan bruto atau Tax
Treaty (P3B)
ayat (1)
1. Deviden;
Penyetoran menggunakan SSP
2. Bunga termasuk
dengan:
Premium,Diskonto dan Imbalan jaminan pengembalian hutang;
5. Penghasilan penggunaan harta
6. Imbalan sehubungan dengan jasa
Deviden: 101
pekerjaan dan kegiatan;
Bunga: 102
7. Hadiah & penghargaan;
• Royalti: 103
8. Pensiun & pembayaran berkala
• Jasa: 104
lainnya;
• Selain Deviden, Bunga,
9. premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya; dan/ atau
Royalti, Jasa: 100
10. keuntungan karena pembebasan utang.
2 Penjualan atas penghasilan dari
• UU PPh Pasal 26 penjualan atau pengalihan harta di
20% x Perkiraan Neto.
ayat (2) Indonesia, yang diperoleh WP Luar
Perkiraan neto=25% x harga jual • PMK Negeri.
82/PMK.03/2009 berlaku sejak 22
Harta yang dimaksud berupa: April 2009
Sehingga tarif efektif:
perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, 20% x 25% x harga jual = 5% x harga mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau
jual
pesawat terbang ringan.
FINAL
Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal
26 adalah:
Pemotong Pajak wajib:
WP OP Luar Negeri yang memperoleh penghasilan tidak melebihi Rp 10Juta
• memberikan bukti potong
untuk setiap jenis transaksi. (Pasal 3 ayat
PPh Pasal 26;
• menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama WPLN
(2) PMK 82/PMK.03/2009 )
yang menjual harta paling lama tgl 10 bulan berikutnya setelah bulan transaksi;
• melaporkan PPh Pasal 26 yang dipotong paling lama tgl
20 bulan berikutnya. Penyetoran menggunakan SSP
dengan: KAP: 411127
KJS: 100
3 Penjualan saham oleh WPLN.
20% x perkiraan neto
• UU PPh Pasal 26 ayat (2a) Saham yang diperjualbelikan adalah Perkiraan neto=25% x harga jual • KMK
saham dari PT di Dalam Negeri dan tidak 434/KMK.04/1999 berstatus
atau Sehingga tarif efektif: • PMK perusahaan publik. (Pasal
sebagai
emiten
258/PMK.03/2008 434/KMK.04/1999 )
1 KMK
20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual
FINAL
Didalam PMK
258/PMK.03/2008
disebutkan bahwa penjualan/pengalihan Jika pembeli adalah: saham
perusahaan
antara (special
purpose company atau conduit company), yang didirikan di Tax Haven Country dan
mempunyai hubungan istimewa dengan
pajaknya adalah Perseroan
WPDN Indonesia atau BUT di Indonesia,
(PT Dalam Negeri) yang
dapat ditetapkan sebagai penjualan/
sahamnya diperjualbelikan.
• WPDN yang ditunjuk sebagai Negeri. pemotong, maka pemotong pajaknya
pengalihan saham WP Badan Dalam
Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah dibayar lunas dengan bukti pemotongan PPh Pasal
26 dengan
menunjukkan
aslinya. Penyetoran
menggunakan
SSP
dengan: KAP: 411127 KJS: 100
4 Premi Asuransi dan Premi Reasuransi
• UU PPh Pasal 26 yang dibayar kepada perusahaan
20% x perkiraan neto.
ayat (2) asuransi di LN
Perkiraan neto: • KMK 624/KMK.04/1994
1. 50% dari Premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 50%= 10%. Pemotong pajak adalah tertanggung.
2. 10% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 10%= 2%.
Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia.
3. 5% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di LN. Sehingga tarif efektif: 20% x 5%= 1%. Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.
Penyetoran menggunakan SSP dengan:
KAP: 411127 KJS: 100
5 BUT (Bentuk Usaha Tetap)/ Permanent Atas Laba BUT sebelum pajak: • UU PPh Pasal 26 Establishment
ayat (4) → dikenakan tarif Pasal 17 • KMK
Dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 113/KMK.03/2002
26 ayat (4) jika penghasilan BUT Penyetoran seperti WP Badan DN. Jo. PMK ditanamkan kembali di Indonesia dengan
257/PMK.03/2008 syarat:
Jo. PMK 14/PMK.03/2011
1. penanaman kembali dilakukan tentang penanaman
atas seluruh penghasilan kena kembali Laba BUT.
Atas Laba BUT setelah pajak yang
pajak setelah dikurangi PPh • PER 16/PJ/2011
tidak ditanamkan kembali di
dalam bentuk penyertaan modal tentang Penanaman pada perusahaan yang baru
Indonesia:
Kembali Laba BUT didirikan dan berkedudukan di
→ dikenakan 20% x laba setelah pajak
Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
Penyetoran PPh Pasal 26 atas Laba
2. Perusahaan yang baru didirikan BUT setelah pajak, menggunakan dan berkedudukan di Indonesia
SSP dengan:
tsb harus aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
KAP: 411127
akte pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak didirikan;
KJS: 105
3. penanaman kembali dilakukan dalam tahun ajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima/ diperolehnya penghasilan tsb; dan
4. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tsb paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan baru tsb telah berproduksi komersial.
O.9. Surat Keterangan Domisili Bagi SPDN Indonesia Dalam Rangka P3B
I. DASAR HUKUM o PER-08/PJ/2017 (berlaku sejak 12 Mei 2017) tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek
Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
II. SURAT EDARAN TERKAIT o SE-89/PJ/2010 (tanggal 16 Agustus 2010) tentang Tata Cara Penerbitan/ Pengesahan dan
Pemanfaatan SKD bagi SPDN Indonesia dalam rangka Penerapan P3B
III. BENTUK SKD o SKD SPDN digunakan oleh Wajib Pajak untuk memperoleh manfaat P3B antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. (Pasal 2 PER-08/PJ/2017 )
▪ SKD SPDN diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IV PER-08/PJ/2017 ▪ SKD SPDN diterbitkan untuk 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dengan
menyebutkan lawan transaksi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Pasal 11 ayat 1 PER-08/PJ/2017 )
IV. MASA BERLAKU SKD o SKD SPDN berlaku selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan. (Pasal 11
ayat 2 PER-08/PJ/2017 ) o Dalam hal SKD SPDN diterbitkan bagi: (Pasal 11 ayat (3) PER-08/PJ/2017 )
1. Wajib Pajak yang menyelenggarakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai otoritas jasa keuangan; atau
2. Wajib Pajak yang sahamnya terdaftar di bursa efek di Indonesia, ▪ SKD SPDN dimaksud diterbitkan tanpa menyebutkan lawan transaksi dan berlaku selama
36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
V. WP YANG DAPAT MEMPEROLEH SKD o Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD SPDN yaitu Wajib Pajak yang pada Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN memenuhi ketentuan: (Pasal 3 ayat 1 PER-
08/PJ/2017 )
1. berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh; dan
2. memiliki NPWP o Wajib Pajak yang yang memenuhi ketentuan diatas dapat meminta pengesahan Formulir Khusus (Pasal 3 ayat 2 PER-08/PJ/2017 )
▪ Formulir Khusus adalah formulir yang diterbitkan oleh otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berisi permintaan konfirmasi status subjek pajak dalam negeri Indonesia. (Pasal 1 angka 8 PER-08/PJ/2017 )
VI. SYARAT-SYARAT PERMOHONAN UNTUK MENGAJUKAN SKD o Pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan untuk: (Pasal 3 ayat 4 PER-08/PJ/2017 )
a. Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan SKD SPDN diajukan; atau a. Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan SKD SPDN diajukan; atau
o Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan SKD SPDN diajukan, Wajib Pajak harus telah menyampaikan
SPT Masa: (Pasal 4 ayat 1 PER-08/PJ/2017 )
a. PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo penyampaiannya pada saat pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25; atau
b. PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo penyampaiannya pada saat pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan, bagi Wajib Pajak yang dikenai pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
▪ Catatan: Dalam hal Wajib Pajak tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu pada Masa Pajak terakhir, Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan penghasilan dengan
menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PER-
08/PJ/2017 (Pasal 4 ayat 2 PER-08/PJ/2017)
o Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum tahun saat permohonan SKD SPDN diajukan, Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan: (Pasal 4 ayat 3 PER-08/PJ/2017)
a. telah menyampaikan SPT Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan sebelum batas penyampaian SPT Tahunan;
b. telah memberitahukan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan dan jangka waktu dimaksud belum terlampaui; atau
c. telah menyampaikan SPT Tahunan, ▪ untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan dalam permohonan SKD
SPDN. o Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN merupakan: (Pasal 5 PER-
08/PJ/2017) .
Wajib Pajak yang baru terdaftar dan belum memiliki kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25 yang melewati batas waktu penyampaiannya;
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan; atau
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas yang saat SKD SPDN diajukan belum melewati batas waktu penyampaian SPT Tahunan untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN,
▪ Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan kedudukan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tecantum dalam Lampiran II PER-08/PJ/2017
o Untuk memperoleh SKD, WP harus mengajukan permohonan, permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan dan ketentuan sbb: (Pasal 6 PER-08/PJ/2017)
. Permohonan SKD SPDN diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Domisili dengan menggunakan contoh format sebagaimana tecantum dalam Lampiran III PER-08/PJ/2017
a. diajukan untuk:
1. satu Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
2. satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia;
c. paling sedikit berisi informasi berupa:
0. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, nomor telepon, dan alamat surat elektronik (email) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN;
1. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, nomor telepon, dan alamat surat elektronik (email) wakil atau kuasa dari Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN, dalam hal diwakilkan atau dikuasakan;
2. nama Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tempat penghasilan bersumber;
3. Masa Pajak dan Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN;
4. nama dan taxpayer identification number lawan transaksi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
5. penjelasan mengenai penghasilan yang bersumber dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
▪ Catatan: menyertakan informasi ini dalam bentuk salinan digital (softcopy).
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
e. dilampiri dengan:
0. surat pernyataan penghasilan bermeterai, dalam hal memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
1. surat pernyataan kedudukan bermeterai, dalam hal memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
2. Formulir Khusus, dalam hal Wajib Pajak meminta pengesahan Formulir Khusus; dan/atau
3. surat kuasa khusus, dalam hal permohonan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak; dan
VII. SYARAT-SYARAT PERMOHONAN PENGESAHAN FORMULIR KHUSUS (Pasal 8 PER-08/PJ/2017)
o Dalam hal Wajib Pajak meminta pengesahan Formulir Khusus, Wajib Pajak harus:
1. mengajukan permohonan SKD SPDN; dan
2. melampirkan Formulir Khusus ▪ kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Domisili o Formulir Khusus yang diajukan oleh Wajib Pajak untuk disahkan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
0. menggunakan bahasa Inggris;
1. mencantumkan nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, dan Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan permohonan SKD SPDN;
2. menerangkan status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak; dan
3. terdapat kolom atau ruang pengesahan untuk Kepala KPP Domisili.
VIII.
PENERBITAN, PENGESAHAN DAN/ATAU PENOLAKAN PERMOHONAN SKD DAN FORMULIR
KHUSUS (Pasal 7 dan 9 PER-08/PJ/2017)
1. Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dalam hal permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan.
2. Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dan mengesahkan Formulir Khusus, dalam hal:
a. permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan
b. Formulir Khusus yang diajukan untuk disahkan memenuhi ketentuan ▪ Catatan: Dalam hal Formulir Khusus yang dimintai pengesahan berisikan
informasi selain status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak, pengesahan Formulir Khusus hanya terbatas pada pengesahan status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN.
3. Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dan surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus beserta alasannya, dalam hal:
a. permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan
b. Formulir Khusus yang diajukan untuk disahkan tidak memenuhi ketentuan
4. Dalam hal permohonan SKD SPDN tidak memenuhi ketentuan, Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penolakan permohonan SKD SPDN dan surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus beserta alasannya.
5. Bentuk surat penolakan:
1. Surat penolakan permohonan SKD SPDN diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PER-08/PJ/2017
2. Surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI PER-08/PJ/2017
IX. BATAS WAKTU PENERBITAN SKD DAN PENGESAHAN FORMULIR KHUSUS IX. BATAS WAKTU PENERBITAN SKD DAN PENGESAHAN FORMULIR KHUSUS
o Apabila jangka waktu telah terlampaui dan Kepala KPP Domisili belum menerbitkan SKD SPDN atau penolakan atas permohonan SKD SPDN, permohonan SKD SPDN dan/atau permintaan
pengesahan Formulir Khusus dianggap dikabulkan. (Pasal 10 PER-08/PJ/2017)
▪ Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung setelah jangka waktu terlampaui, Kepala KPP Domisili harus menerbitkan SKD SPDN dan/atau mengesahkan
Formulir Khusus.