Tujuan dan Manfaat Penelitian
22
barang dan penumpang, akan tetapi telah menjadi elemen jaringan logistik logistic chain. Pola angkutan laut telah berubah dari perspektif satu jenis moda transportasi
menjadi multi moda transportasi. Mengikuti pertumbuhan ekonomi dan angkutan barang yang diangkut oleh kapal, maka ukuran dan kapasitas kapal juga
berkembang pesat.Perkembangan ini disebabkan oleh volume perdagangan melalui laut meningkat terus tiap tahun dan general cargo berubah dari bentuk break-bulk
menjadi kontainer dan super container. Kapal-kapal kecil dan tradisional dengan volume kecil berkembang menjadi kapal-kapal barang besar container dan super
container dan kapal-kapal barang spesifik yang mengangkut crude oil, produk- produk berbagai bahan kimia, gas dan dry bulk.
Pada tahun 2020 diperkirakan dari sembilan puluh persen 90 kapal barang yang ada di seluruh dunia diperkirakan sudah menjadi kapal kontainer dan
pada setiap pelabuhan kontainer diperkirakan akan dibongkar dan dimuat barang- barang dengan jumlah tonase naik dua kali lipat. Apabila tingkat pertumbuhan
barang yang melalui pelabuhan kontainer naik enam sampai tujuh persen 6-7 per tahun, maka pelabuhan kontainer harus menangani 700 juta TEUs tahun 2020
Casaca, 2007. Di sisi lain perkembangan pesat sektor angkutan laut potensial untuk menimbulkan pencemaran udara kawasan pelabuhan, baik dari pembuangan
gas emisi CO
2
, maupun dari pencemaran perairan dari kawasan pelabuhan dan limbah pabrik serta dari kapal yang keluar masuk pelabuhan.
Kondisi kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia perlu dipersiapkan secara baik untuk mengantisipasi perkembangan pesat sektor pelabuhan dan
angkutan laut dunia. Pada saat ini kondisi pelabuhan di Indonesia rata-rata belum mengantisipasi perkembangan pesat sektor angkutan laut internasional. Pelabuhan
Tanjung Priok sebagai pelabuhan internasional terbaik di Indonesia belum sebanding dengan pelabuhan-pelabuhan internasional di negara-negara lain, seperti
Singapura dan Malaysia. Kondisi angkutan laut di Indonesia yang mengangkut barang-barang untuk tujuan antar pulau dan tujuan eksporimpor masih didominasi
oleh kapal-kapal asing. Pangsa pasar sektor angkutan laut eksporimpor di Indonesia saat ini masih di bawah sepuluh persen 10 yang dikuasai oleh
pelayaran lokal nasional, sedangkan pangsa pasar domestik masih sekitar 55 persen 55, sisanya 45 persen 45 masih dikuasai kapal-kapal asing.
23
Sehubungan dengan hal di atas, maka kebijakan sektor angkutan laut Indonesia dengan menggunakan azas
“cabotage” mengutamakan kapal-kapal dalam negeri diarahkan untuk : 1 meningkatkan kapasitas, jumlah, jangkauan dan kemampuan
Armada Nasional untuk angkutan barang dan jasa, 2 mengembangkan kebijakan yang mampu mendorong lembaga keuangan perbankkan dan non bank untuk
membiayai pengembangan angkutan laut secara nasional dan 3 menciptakan kemudahan dalam proses perizinan pemilikan kapal dan prosedur kepelabuhanan
secara nasional, terutama dikaitkan dengan era otonomi daerah Kusumastanto, 2002.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kebijakan pengembangan pelabuhan laut, dengan sektor angkutan laut merupakan satu kesatuan terpadu.
Antara pengembangan pelabuhan laut, lengkap dengan saranaprasarana pelabuhan dengan pengembangan sektor angkutan laut sebagai sarana penunjang pelabuhan
tidak terlepas peranannya satu dengan lainnya. 2.2
Pengembangan Pelabuhan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pelabuhan laut adalah salah satu sumber daya pesisir yang memiliki peran strategis.Mengacu kepada Undang-Undang No.27 tahun 2007 Bab I Pasal 1 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka pelabuhan laut yang terletak di wilayah pesisir, dipengaruhi oleh ekosistem darat dan ekosistem laut.
Pelabuhan laut sebagai bagian dari wilayah pesisir merupakan gabungan antara kawasan di darat dan perairan laut. Wilayah pesisir sesuai pengertian umum yang
telah disepakati adalah suatu peralihan antara daratan dan lautan. Menurut Ketchum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai hubungan keterikatan antara
daratan dengan ruang laut yang bersebelahan, dimana proses daratan mempengaruhi proses lautan Ketchum, 1992. Oleh Robert Kay dan Jacquline Alder definisi
wilayah pesisir didasarkan atas kesamaan ciri-ciri fisik, biologi atau administrasi lokal suatu kawasan Kay Robert, Alder J., 1999. Batas-batas ke daerah darat 1
secara ekologis adalah kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, instrusi air laut dan percikan gelombang; 2 secara
administratif, batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter 2 km, 20 km dan 20 km dari garis pantai; 3 secara perencanaan,
24
bergantung pada permasalahan yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir, misalnya pencemaran dan sedimentasi atau hutan mangrove. Batas ke arah laut 1
secara ekologis, kawasan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan seperti aliran sungai, limpahan air permukaan,
sedimentasi dan bahan pencemar; 2 secara administratif jarak 4 mil, 8 mil, dan 12 mil dari garis pantai; dan 3 segi perencanaan, suatu kawasan yang bergantung
pada permasalahannya yaitu kawasan yang masih dipengaruhi oleh dampak pencemaran atau sedimentasi, atau proses-proses ekologi lainnya Bengen, 2001.
Pelabuhan laut sebagai jasa pendukung kehidupan, merupakan salah satu fungsi pokok kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip ekosistem pesisir dan laut.
Fungsi pokok lain ekosistem pesisir dan laut adalah sebagai penyedia sumber daya alam, sebagai penerima limbah, dan sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan
amenity. Pengembangan pelabuhan tidak terlepas kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir. Di wilayah pesisir dan lautan terdapat bebagai sumber daya alam
dan sumber daya jasa-jasa kelautan lainnya. Sumber daya pesisir dan kelautan ini ada yang bisa diperdagangkan dan ada yang tidak bisa diperdagangkan kegiatan
jasa kepelabuhanan termasuk sumber daya yang bisa diperdagangkan, sedangkan ekosistim mangrove, terumbu karang dan ekosistim lainnya tidak bisa
diperdagangkan. Kedua komponen ini sama-sama memiliki nilai ekonomis yang harus diperhitungkan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai menilai suatu sumber daya alam secara komprehensif. Dalam hal ini tidak
saja marketvalue dari barang yang dihasilkan oleh suatu sumber daya, melainkan dari jasa yang ditimbulkan oleh sumber daya tersebut Fauzi, 1999. Kesulitan
penilaian ekonomi tersebut lebih nyata pada suatu wilayah, khususnya barang dan jasa diwilayah pesisir yang tidak diperdagangkan di pasar, sehingga aplikasi dari
penilaian sumber daya yang tidak dipasarkan non market valuationperlu dilakukan, agar trade off pemanfaatan dari barang dan jasa yang disediakan oleh
lingkungan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan wilayah pesisir secara lestari Kusumastanto, 1999.
Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan wilayah pesisir, termasuk pengelolaan kepelabuhanan dan aktivitas-aktivitas lainnya beragam.Dengan