Latar Belakang A. HANGESTI EMI WIDYASARI

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi protein terutama protein hewani di Indonesia masih cukup rendah. Masalah defisiensi protein merupakan salah satu masalah gizi yang belum teratasi. Salah satu sumber bahan pangan yang banyak mengandung protein potensial tinggi ialah laut yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan perairan umum yang cukup luas di daratan Indonesia. Tetapi jika diinginkan meningkatkan produksi ikan dan hasil laut lainnya perlu pula dikembangkan teknologi pengawetannya. Hal ini perlu agar ikan dapat dibawa ketempat-tempat konsumen yang jauh dari sumber produksi. Seperti kita ketahui, ikan dan produk olahannya merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan highly perishable. Kemunduran mutu bahan pangan merupakan masalah utama yang dihadapi dalam penanganan bahan pangan terutama bahan pangan segar, akibat tingginya kandungan air. Kemunduran mutu bahan pangan, tersebut disebabkan oleh kegiatan enzimatis dalam tubuh ikan dan pertumbuhan mikroorganisme. Mikroba ini dapat berasal dari tubuh ikan itu sendiri maupun akibat penanganan pasca panen yang tidak memenuhi persyaratan. Bahan pangan yang telah mengalami kerusakan berarti telah mengalami kemunduran mutu sehingga tidak layak untuk dikonsumsi, meskipun kenampakannya masih sesuai dengan kriteria mutu. Pengawetan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara yang dianggap paling murah di Indonesia ialah dengan metode pengeringan, dengan metode inipun masih menghadapi kendala karena dapat mengakibatkan perbedaan karakteristik ikan segar. Di beberapa daerah penangkapan ikan kadang- kadang garam tidak cukup tersedia. Untuk media pengawetan metode pengawetan yang dianggap paling handal adalah dengan cara penggunaan suhu rendah, baik dengan metode tehnik refrigrasi ataupun dengan penggunaan es. Dalam penerapan suhu rendah ini masih banyak ditemukan kendala, di antaranya kelangkaan sumberdaya listrik untuk pengadaan pabrik es di lokasi setempat, yang menjadikan es menjadi mahal karena harus didatangkan dari tempat yang cukup jauh. Kendatipun ada pabrik es 2 tetapi sering ditemukan pabrik es ini tidak dioperasikan karena berbagai hambatan setempat. Selain itu sering terjadinya kelangkaan bahan baku berakibat tidak menentunya hasil tangkapan yang didapat. Sebagai upaya untuk mengawetkan produk bahan pangan, pengolah produk pangan sering menambahkan bahan pengawet kimia formalin atau insektisida lainnya. Penggunaan formalin ini sudah sejak lama telah disalahgunakan oleh pengolah Lampiran 5 dan 6. Formalin sebagai salah satu bahan kimia, sampai sekarang banyak digunakan sebagai bahan pengawet ikan, daging, ayam dan hasil olahannya. Hal ini meresahkan masyarakat karena formalin adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan tambahan yang tidak terdaftar dan justru dilarang untuk digunakan pada pangan non food grade. Formalin biasanya digunakan sebagai bahan untuk mengawetkan mayat atau preparat lain yang digunakan untuk penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dengan semakin tingginya kesadaran konsumen terhadap keamananan pangan, maka penggunaan bahan pengawet alami lebih menjadi pilihan konsumen sehingga merupakan potensi untuk dikembangkan. Salah satu metode mengawetkan ikan yang telah dilakukan secara turun temurun oleh nelayan di kecamatan Labuan, kabupaten Pandeglang, propinsi Banten, adalah dengan menggunakan biji picung Pangium edule Reinw atau nama lainnya adalah keluwekpangipakemgempaniawaran dan garam. Dengan metode ini garam yang digunakan untuk pengawetan lebih sedikit daripada yang diperlukan untuk pengolahan ikan asin atau ikan kering. Manfaat lain dari penerapan metode ini bahwa rasa ikan tidak terlalu asin dan mempunyai sifat seperti ikan segar untuk jangka waktu tertentu. Metode pengawetan ini terbukti dapat mengatasi masalah kelangkaan es di daerah Labuan dan sekitarnya. Eksplorasi antimikroba banyak dilakukan, terutama dengan menggunakan berbagai jenis tanaman rempah-rempah yang pada khususnya digunakan picung yang ternyata memiliki khasiat sebagai antimikroba atau pengawet pangan, dengan adanya kandungan asam sianida, tanin dan asam hidnokarpat, khaulmograt dan garlat Hilditch dan Williams, 1964. Biji picung selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan tradisional di Indonesia juga dapat digunakan 3 sebagai obat kudis, insektisida, sabun, bahan baku minyak goreng dan pewarna benang Burkill, 1935. Hasil penelitian Indriyati 1989 melaporkan bahwa biji picung segar mempunyai aktivitas antibakteri pembusuk ikan secara in vitro seperti Bacillus sp., Micrococcus sp., Pseudomonas sp. dan coliform yang tumbuh pada ikan mas Cyprinus carpio. Bukti tersebut menunjukkan bahwa biji picung memiliki sejenis bahan aktif yang bekerja sebagai antimikroba, sehingga mampu untuk mengawetkan pangan. Bahan aktif tersebut diduga larut dalam pelarut organik dan dapat dipisahkan melalui proses ekstraksi. Picung terdapat di seluruh Indonesia sehingga memungkinkan untuk dapat digunakan di daerah-daerah penangkapan maupun di tempat-tempat pendaratan ikan yang langka es atau garam.

1.2 Perumusan Masalah