I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kegagalan program-program pembangunan di masa lampau berimplikasi pada bergesernya paradigma baru pembangunan yang memandang pentingnya
masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Kesadaran tersebut semakin meningkat sejalan bangkitnya era reformasi pada tahun 1997, setelah
terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan Republik Indonesia. Menurut Adi 2001, pentingnya menempatkan masyarakat sebagai
pelaku utama dalam pembangunan menunjukkan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan growth approach kepada
pendekatan kemandirian self-reliance approach. Namun demikian, akibat telah termarjinalisasi dalam waktu lama, masyarakat mengalami kesulitan untuk
mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan sangat diperlukan sebagai strategi dalam pembangunan
masyarakat. Menurut Hikmat 2001, pemberdayaan dan partisipasi merupakan
strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan
yang lebih berpusat pada rakyat. Perubahan lingkungan internal berupa otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong kemandirian daerah dalam menciptakan kondisi perekonomian yang lebih baik, berdasarkan preferensi dan
kebutuhan masyarakat. Daerah memiliki pengetahuan lebih dibandingkan dengan pemerintah pusat mengenai potensi-potensi ekonomi lokal serta kebutuhan
masyarakat lokal. Otonomi daerah menyebabkan daya saing negara harus bertumpu pada daya saing daerah sehingga daerah-daerah di Indonesia perlu
mengembangkan kompetensi khas atau inti daerah sehingga setiap daerah akan mempunyai competitive advantage yang tinggi, dengan demikian ada suatu
paradigma baru bahwa daya saing itu bermula dari daerah dan dari daya saing daerah tersebut akan menjadi daya saing secara nasional.
Kompetensi inti
daerah haruslah
memperhatikan kemungkinan
berkembangnya kemitraan antar daerah dan menghindari persaingan tidak sehat antar daerah yang justru akan menurunkan daya saing secar nasional. Oleh karena
itu penentuan kompetensi inti dapat dilakukan melalui koordinasi maupun diskusi antar daerah sehingga kemungkinan beberapa daerah mengembangkan
kompetensi inti yang sama dapat dikurangi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah dalam Bab II pasal
2 bahwa kerja sama daerah dilakukan dengan prinsip antara lain : efisiensi, efektif, sinergi, dan saling menguntungkan.
Kompetensi inti dapat menjadi kunci keberhasilan KabupatenKota dalam menentukan arah pembangunan, sesuai keunggulan daya saing yang dimiliki.
Kompetensi inti dapat mencegah penggunaan sumber daya daerah dengan tidak efektip dan efisien. Kompetensi inti hendaknya didasarkan pada berbagai
indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung. Kompetensi inti dapat menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan
KabupatenKota mengenai industri yang akan dikembangkan. Kompetensi inti juga dapat menjadi sumber keunggulan KabupatenKota dalam menghindari
persaingan global, serta mendorong kemandirian pembangunan Departemen Perindustrian RI, 2007.
Untuk meningkatkan kemandirian pembangunan tersebut, maka pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang kini sering
digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin. Untuk di Provinsi Riau, Departemen Perindustrian RI
menetapkan bahwa Provinsi Riau ditetapkan mempunyai kompetensi Inti Kelapa Sawit dan kelapa maka pemberdayaan yang akan dilaksanakan adalah bagaimana
mengoptimalkan pemanfaatan hasil dari kelapa Sawit dan Kelapa dapat memberikan manfaat dengan memberikan akses yang luas masayarakat dalam
memperoleh lahan serta kepemilikan. Dan ini sudah menjadi komitmen Pemda Riau dengan kebun rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena,
memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan misalnya, kurang makan, kurang
pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis dan objek pasif penerima pelayanan
belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi
kerangka acuan mengenai kemampuan yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan
Suharto, 2005. Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses
kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dalam
masyarakat adalah kurangnya akses terhadap sumber daya yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya kesediaan pemerintah
atau kelompok kuat untuk membagi sumber daya kepada kelompok lemah Haeruman dan Eriyatno, 2001.
Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan akses sumber daya tersebut adalah pembinaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah UMKM
masih sangat diperlukan, mengingat peranan sektor UMKM cukup besar, karena sektor usaha ini terbukti mampu bertahan dari kondisi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun 1998. Provinsi Riau, yang memiliki berbagai potensi sumber daya alam cukup besar juga merasakan pentingnya melakukan
pembinaan tersebut. Dari berbagai macam sumber daya alam tersebut masih perlu digali, diolah dan dikembangkan secara terarah dan terpadu sehingga dapat
memberikan manfaat yang sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan menghindari dampak negatif yang mungkin
1.2 Rumusan Masalah