Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Indikator Bencana

Secara ekologi, Kabupaten Sukabumi termasuk kedalam Kabupaten yang memiliki unsurfaktor ekologi yang sangat mendukung pada pembangunan dan perkembangan desa atau wilayahnya. Keberadaan dua gunung besar, dan hutan atau kebun campur yang merata di hampir seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi telah menjadikan wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai daerah yang memiliki sumber air yang banyak dan layak minum. Banyaknya sumber air layak minum di Kabupaten Sukabumi bahkan telah menarik banyak industri air dalam kemasan ataupun industri olahan makanan yang berbasis air untuk berinvestasi di Kabupaten Sukabumi. 5.10 Indeks Perkembangan Desa di Kabupaten Sukabumi Pengukuran indeks perkembangan desa sudah sangat sering dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap desa baik di daerah Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa maupun pusat Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementrian Dalam Negeri, setiap pihak menggunakan indikator yang berbeda-beda tergantung kepada metode dan pendekatannya. Pengukuran indeks perkembangan desa yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan delapan indikator yaitu: Infrastruktur Jalan, Sarana Pendidikan, Akses Pasar, Akses dan Sarana Kesehatan, Tingkat Pengangguran, Jumlah Keluarga PRA Sejahtera, Frekuensi Bencana dan Sumber Air Konsumsi. Delapan indikator ini dipilih berdasarkan tiga dimensi faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan suatu desawilayah, adapun tiga dimensi itu adalah: Dimensi Sosial, Dimensi Ekonomi dan Dimensi Ekologi. Berdasarkan hasil analisis komponen utama PCA atas delapan indikator perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi berdasarkan data dasar dari Potensi Desa PODES tahun 2014, terdapat enam indikator utama yang sangat berpengaruh dalam menggambarkan perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi, secara berturut-turut yaitu Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Jumlah Keluarga PRA Sejahtera, Infrastruktur Jalan, Akses Pasar dan Pengangguran. Enam indikator ini dapat menggambarkan perkembangan desa sebesar 90 persen dan menjadi komponen utama dalam menentukan berkembang tidaknya sebuah desawilayah. Terdapat 110 desa dari 386 desa dan kelurahan di Kabupaten Sukabumi yang masuk kedalam kategori desakelurahan berkembang dan sisanya 276 desa termasuk kategori desa tertinggal, berdasarkan delapan indikator yang digunakan untuk menganalisa perkembangannya. Jumlah ini berarti hanya 28,5 persen desakelurahan di Kabupaten Sukabumi yang berkembang, dan 61,5 persen desa lainnya berada dalam kondisi tertinggal. Hal ini menegaskan predikat Kabupaten tertinggal yang disandang Kabupaten Sukabumi sejak lama, walaupun pada tahun 2014 kementrian PDT melalui SK Mentri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal pernah memberikan sertifikat terentaskan, namun demikian keadaaan sebenarnya berdasarkan delapan indikator yang dianalisis masih menempatkan Kabupaten Sukabumi sebagai Kabupaten dengan jumlah desa tidak berkembang nya lebih dari 60 persen. Hasil analisis yang didapat dalam penelitian ini seakan menegaskan predikat tertinggal Kabupaten Sukabumi kembali melekat sesuai dengan pernyataan Mentri Desa pada peresmian kantor Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia APDESI cabang Kabupaten Bekasi Februari 2016. Pernyataan Mentri Desa didasari atas kajian dari Staf Khusus Bidang Daerah Tertinggal berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia dan Infrastruktur. Jumlah 110 desa berkembang di Kabupaten Sukabumi tersebar di 45 Kecamatan dengan hanya enam kecamatan yang jumlah desa berkembangnya lebih dari 50 Persen yaitu kecamatan Bojonggenteng, Cicurug, Ciracap, Pelabuhanratu, Waluran, Tegalbuleud dan Parungkuda. Dua kecamatan tidak memiliki satupun desa yang berkembang yaitu Cidadap dan Kebonpedes, sedangkang 38 kecamatan lainnya memiliki minimal satu desa yang berkembang. Sebaran desa berkembang paling banyak berada di wilayah selatan dengan 60 desa berkembang yang tersebar di 23 kecamatan dan terdapat empat kecamatan yang memiliki jumlah desa berkembang diatas 50 persen. Terjadi sebuah fenomena yang menarik pada indeks perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi, daerah-daerah yang diharapkan dapat memberikan efek positif terhadap desa lain ternyata tidak berpengaruh. Upaya pemerintah daerah untuk membuka banyak lapangan pekerjaan dengan menarik investor baik dalam negeri maupun luar negeri, tidak banyak memberikan pengaruh pada perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi. Hal ini terjadi karena permasalahan ekonomi seperti Pengangguran dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi perkembangan desa. Skala prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Sukabumi cenderung mengejar sasaran-sasaran makro yang akhirnya menimbulkan berbagai ketidakseimbangan pembangunan seperti, disparitas spasial, kesenjangan desa-kota dan lain sebagainya. Pendekatan makro yang dilakukan juga abai pada keragaman sumberdaya lokal yang menjadi potensi serta ciri suatu daerah, bahkan tidak jarang menabrak kearifan budaya lokal. Pembangunan perdesaan di Kabupaten Sukabumi sudah tidak bisa lagi menggunakan konsep strategi pertumbuhan terpusat growth pole strategy karena penetesan dampak ke desa sekitar pusat pertumbuhan berdampak sia-sia, bahkan cenderung efek merusak backwash effect desa sekitar Lipton, dalam Rustiadi, 2011 . Konsep optimalisasi pengembangan potensi basis, keterlibatan masyarakat dalam upaya perencanaan partisipatif dan penguatan kelembagaan di masyarakat menjadi hal utama yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menggantikan strategi pusat pertumbuhan dalam kebijakan pembangunan perdesaannya seperti yang dikemukakan oleh Mrydal 1988 dan Waterson 1965. Optimalisasi pengembangan potensi basis dapat dilakukan dengan menggali seluruh sumberdaya yang ada di desa seperti, sumberdaya alam lahan, sumberdaya manusia, tekonologi, modal dan sosial budaya sebagai kekuatan social capital. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di perdesaan pada kenyataanya akan mengalami banyak hambatan karena sudah banyak sumberdaya di desa yang dikuasai oleh sekelompok elit atau bahkan dimiliki orang di luar desa itu sendiri. Permasalahan kepemilikan sumberdaya yang terpusat di lingkaran elit atau masyarakat luar desa dapat menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan bagi masyarakat untuk memperoleh akses pembangunan Rustiadi, 2011. Ketimpangan dan ketidakadilan kesempatan setiap unsur masyarakat dalam mengakses pembangunan akan secara lambat laun memendam potensi permasalahan sosial yang dapat meledak sewaktu-waktu. Hal ini secara ekonomi