Perkembangan Desa-desa di Sukabumi Berdasarkan Indikator Air

Indonesia APDESI cabang Kabupaten Bekasi Februari 2016. Pernyataan Mentri Desa didasari atas kajian dari Staf Khusus Bidang Daerah Tertinggal berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia dan Infrastruktur. Jumlah 110 desa berkembang di Kabupaten Sukabumi tersebar di 45 Kecamatan dengan hanya enam kecamatan yang jumlah desa berkembangnya lebih dari 50 Persen yaitu kecamatan Bojonggenteng, Cicurug, Ciracap, Pelabuhanratu, Waluran, Tegalbuleud dan Parungkuda. Dua kecamatan tidak memiliki satupun desa yang berkembang yaitu Cidadap dan Kebonpedes, sedangkang 38 kecamatan lainnya memiliki minimal satu desa yang berkembang. Sebaran desa berkembang paling banyak berada di wilayah selatan dengan 60 desa berkembang yang tersebar di 23 kecamatan dan terdapat empat kecamatan yang memiliki jumlah desa berkembang diatas 50 persen. Terjadi sebuah fenomena yang menarik pada indeks perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi, daerah-daerah yang diharapkan dapat memberikan efek positif terhadap desa lain ternyata tidak berpengaruh. Upaya pemerintah daerah untuk membuka banyak lapangan pekerjaan dengan menarik investor baik dalam negeri maupun luar negeri, tidak banyak memberikan pengaruh pada perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi. Hal ini terjadi karena permasalahan ekonomi seperti Pengangguran dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi perkembangan desa. Skala prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Sukabumi cenderung mengejar sasaran-sasaran makro yang akhirnya menimbulkan berbagai ketidakseimbangan pembangunan seperti, disparitas spasial, kesenjangan desa-kota dan lain sebagainya. Pendekatan makro yang dilakukan juga abai pada keragaman sumberdaya lokal yang menjadi potensi serta ciri suatu daerah, bahkan tidak jarang menabrak kearifan budaya lokal. Pembangunan perdesaan di Kabupaten Sukabumi sudah tidak bisa lagi menggunakan konsep strategi pertumbuhan terpusat growth pole strategy karena penetesan dampak ke desa sekitar pusat pertumbuhan berdampak sia-sia, bahkan cenderung efek merusak backwash effect desa sekitar Lipton, dalam Rustiadi, 2011 . Konsep optimalisasi pengembangan potensi basis, keterlibatan masyarakat dalam upaya perencanaan partisipatif dan penguatan kelembagaan di masyarakat menjadi hal utama yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menggantikan strategi pusat pertumbuhan dalam kebijakan pembangunan perdesaannya seperti yang dikemukakan oleh Mrydal 1988 dan Waterson 1965. Optimalisasi pengembangan potensi basis dapat dilakukan dengan menggali seluruh sumberdaya yang ada di desa seperti, sumberdaya alam lahan, sumberdaya manusia, tekonologi, modal dan sosial budaya sebagai kekuatan social capital. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di perdesaan pada kenyataanya akan mengalami banyak hambatan karena sudah banyak sumberdaya di desa yang dikuasai oleh sekelompok elit atau bahkan dimiliki orang di luar desa itu sendiri. Permasalahan kepemilikan sumberdaya yang terpusat di lingkaran elit atau masyarakat luar desa dapat menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan bagi masyarakat untuk memperoleh akses pembangunan Rustiadi, 2011. Ketimpangan dan ketidakadilan kesempatan setiap unsur masyarakat dalam mengakses pembangunan akan secara lambat laun memendam potensi permasalahan sosial yang dapat meledak sewaktu-waktu. Hal ini secara ekonomi akan menimbulkan inefisiensi sekaligus menutup akses masyarakat lemah terhadap sumberdaya yang pada akhirnya dapat menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Kasus PT. Semen Jawa yang ada di Desa Sirnaresmi Kecamatan Gunungguruh Kabupaten Sukabumi wilayah utara yang hingga sekarang masih mendapatkan penolakan dari sebagian besar masyarakat sekitar pabrik, menjadi salah satu contoh ketimpangan yang akhirnya menimbulkan permasalahan sosial dan secara terus menerus mendapatkan penolakan serta menghabiskan energi baik bagi usaha maupun masyarakat itu sendiri. Kondisi yang sama terjadi di Papua, dimana operasi PT. Freepot Indonesia selalu mendapatkan gangguan dari masyarakat sekitar akibat adanya kesenjangan sosial yang terlampau besar antara masyarakat sekitar dengan para pekerja pendatang Hamsky, 2014. Contoh lain di Kecamatan Cisaat, sebuah kecamatan yang dianggap maju dan masuk dalam kategori perkotaan, ternyata hanya memiliki empat desa berkembang dan ada sembilan desa tertinggal. Pasar tradisional yang tergolong besar, jalur lintas antar provinsi dan beberapa industri baik industri kecil maupun besar merupakan faktor pendukung bagi kecamatan Cisaat untuk menjadi kecamatan dengan jumlah desa berkembang yang tinggi. Namun demikian, pusat- pusat pertumbuhan yang dirancang bahkan sejak zaman orde lama tidak memberikan efek penetesan pada desa-desa yang menjadi hinterland, dimana pertumbuhan hanya terjadi pada desa-desa yang memang secara sengaja dijadikan pusat pertumbuhan. pada kasus di Kalimantan periode tahun 2008-2011, wilayah yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan justru berada pada wilayah relatif tertinggal dibandingkan wilayah lain yang bukan sebagai pusat pertumbuhan Pasaribu, 2014. Pembangunan manusia merupakan hal penting yang sering dilupakan dalam pembangunan sebuah daerah, faktor yang sering mendasari dilupakannya pembangunan manusia karena tidak bersifat instan dan terlihat. Perbaikan infrastruktur desa secara besar-besaran telah coba dilakukan oleh pemerintah baik melalui peningkatan Dana Desa DD, Alokasi Dana Desa ADD bahkan program Program Nasional Pembangunan Mandiri PNPM, Program Peningkatan Kualitas Permukiman P2KP dan lain sebagainya. Namun demikian perkembangan desa ternyata tidak hanya ditentukan oleh pembangunan infrastruktur tersebut, sarana kesehatan, sarana pendidikan, akses pasar merupakan tiga indikator utama dalam perkembangan desa. Saran jalana yang sudah baik, pengangguran, atau pun sarana infrastruktur lainnya tidak menjadi jaminan akan berkembang atau tidaknya desa di Sukabumi. Porsi dana pemberdayaan dalam struktur dana desa menurut Permendes no 22 tahun 2016 adalah minimal 30-50 persen, dan porsi pembangunan infrastruktur sebesar 50-70 persen. Besaran dana pembangunan infrastruktur yang lebih besar atau sama dengan dana pemberdayaan menunjukkan betapa strategi atau model pembangunan yang diterapkan masih bias infrastruktur, dan menempatkan pemberdayaan sebagai pelengkap dalam proses pembangunan. Pembangunan jalan lintas, bangunan kantor dan sarana pelengkap lainnya masih menjadi idola dalam kegiatan pembangunan perdesaan di Sukabumi. Pembangunan seperti ini sejatinya adalah model pembangunan yang urban bias dimana hanya segelintir orang yang dekat dengan perkotaan saja yang dapat menikmatinya, sementara itu orang perdesaan masih berkutat dengan kesulitan dalam mengakses hasil pembangunan. Selain fokus pembangunan infrastruktur yang sangat terbatas untuk diakses orang perdesaan, pembangunan infrastruktur juga sering menggerus lahan pertanian yang menjadi tumpuan masyarakat perdesaan dalam mendapatkan penghidupan. Sumberdaya manusia masyarakat perdesaan di Kabupaten Sukabumi sangat mendesak untuk di intervensi, hal ini terlihat dari masih rendahnya angka lama bersekolah yang hanya 6,9 tahun. Selain lama bersekolah yang rendah, permasalahan sumberdaya manusia lainnya yang terjadi Kabupaten Sukabumi juga adalah pemasalahan keterampilan serta profesionalitas tenaga kerja. Angka keluar masuk tenaga kerja di industri Kabupaten Sukabumi berdasar data dari Gabungan Serikat Buruh Indonesia GSBI seperti yang disampaikan oleh Sekjen GSBI, Hasan dalam orasinya di acara hari buruh 2 Mei 2016 terbilang cukup tinggi yaitu 2000 orang buruh setiap bulan. Besaran jumlah buruh yang keluar masuk industri yang mencapai 2000 orang setiap bulannya menandakan ada permasalahan yang terjadi pada kualitas tenaga kerja di Kabupaten Sukabumi, sehingga diperlukan langkah antisipasi yang dapat menekan angka keluar masuk buruh pada industri. Jumlah tenaga kerja di Kabupaten Sukabumi mencapai 298.000 orang yang tersebar di berbagai industri, dengan proporsi antara perempuan dan laki-laki adalah sebanyak 85:15 persen. Mayoritas tenaga kerja yang didominansi oleh perempuan dan mayoritas merupakan lulusan SMPSMU, menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Kabupaten Sukabumi membutuhkan supply tenaga kerja kelas bawah dan hanya memerlukan persyaratan administratif ijazah SMP. Rendahnya persyaratan administratif untuk mengakses pekerjaan pada industri di Kabupaten Sukabumi secara tidak langsung telah mendorong pada rendahnya partisipasi lama bersekolah masyarakat di Kabupaten Sukabumi. Kajian penyadaran masyarakat akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan yang tidak hanya menekankan pada kebutuhan pasar tenaga kerja, secara massive perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Sukabumi yang masih tergolong rendah. Peningkatan keterampilan masyarakat agar lebih memiliki keterampilan yang berkategori tinggi dan ahli, perlu juga dilakukan untuk semakin meningkatkan kualitas tenaga kerja di Kabupaten Sukabumi sehingga dapat meningkatkan pula posisi tawar tenaga kerja terhadap industri. Kondisi ekologi merupakan salah satu hal yang sangat diperhitungkan dalam mengukur perkembangan desa diantaranya adalah tingkat kejadian bencana yang selama ini bayak terjadi di wilayah sekitar Gunung Gede Pangrango dan Gunung Halimun Salak dan juga di daerah selatan Sukabumi yang berjarak dekat dengan lautan dan Perhutani, tetapi disamping bencana ada hal lain yang mendukung daya hidup masyarakat perdesaan Sukabumi yaitu ketersediaan air minum yang masih berkualitas baik dan terakses. Maka berdasarkan delapan indikator utama yang digunakan maka desa-desa yang berada di Kabupaten Sukabumi lebih banyak yang tidak berkembang yaitu sebanyak 61,5 persen desa. Indikator utama yang digunakan untuk melihat perkembangan desa di Sukabumi seperti infrastruktur jalan secara keseluruhan masih buruk kondisi jalan rusak sedang dan berat di Kabupaten Sukabumi mencapai 63 persen., dari segi pendidikan ketersediaan infrastruktur sekolah secara quantitatif cukup tinggi di Sukabumi yaitu terdapat 201 desa yang mempunyai sekolah lengkap dari tingkat dasar hingga menengah atas, namun tingkat partisipasi penduduk Sukabumi dalam bersekolah tampaknya masih rendah jika dilihat dari rata-rata lama bersekolah yang tidak sampai tujuh tahun artinya mayoritas penduduk di Sukabumi hanya hanya tamat sekolah dasar. Kondisi ini tentu sangat mempengaruhi kualitas masyarakat desa di Kabupaten Sukabumi yang masih jauh dari tingkat pendidikan formal tinggi. Pemerintah daerah harus mengatasi keadaan ini dengan memberikan berbagai macam stimulus agar masyarakat perdesaan di Sukabumi tertarik untuk melakukan perbaikan kualitas pendidikan.Selain pendidikan sarana kesehatan bagi masyarakat perdesaan di Sukabumi masih rendah sehingga perlu ditingkatkan terutama di wilayah selatan karena fasilitas kesehatan yang tersedia saaat ini lebih banyak di wilayah utara kabupaten Sukabumi. Penggunaan indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini penting untuk melengkapai berbagai macam indikator yang telah digunakan selama ini sebagai alat pembanding dan juga perluasan alat ukur secara kuantitatif untuk memotret kondisi perdesaan secara umum yang tidak hanya bergantung pada satu aspek saja namun memperhitungkan berbagai macam indikator. 5.11 Ikhtisar Tingkat perkembangan desa di Kabupaten Sukabumi didasarkan pada beberapa Indikator utama untuk memperolah gambaran yang tepat dan sesuai kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi saat ini. Analisis tingkat perkembangan desa yang dilakukan dalam penelitian ini telah menghasilkan sebuah tesis baru yang mematahkan anggapan pemerintah daerah dan masyarakat selama ini. Jika sebelumnya wilayah selatan selalu diidentikkan sebagai wilayah miskin, tertinggal, dan sangat bergantung pada uluran bantuan luar, maka dalam penelitian ini justru sebaliknya. Wilayah selatan Sukabumi memiliki jumlah desa berkembang yang lebih banyak 62 desa berbanding 48 dibandingkan wilayah utara Sukabumi yang selama ini digemborkan sebagai wilayah maju dan sejahtera. Wilayah utara Sukabumi yang selama ini disangka sebagai wilayah yang maju, ternyata menunjukkan hasil yang berbeda karena hanya memiliki 48 desa berkembang saja. Maraknya industri yang semakin menjamur di wilayah utara tidak secara positif meningkatkan perkembangan desa di wilayah utara Sukabumi, terbukti dengan masih tingginya angka pengangguran di wilayah utara 54 desa memiliki tingkat pengangguran 15 persen dibandingkan wilayah selatan yang hanya memiliki 51 desa dengan tingkat pengangguran yang sama. Pada wilayah selatan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan desa secara berurutan adalah Sarana Kesehatan, akses Pasar dan jumlah keluarga pra KS, penganguran dan frekuensi bencana. Sedangkan di wilayah utara, secara berurutan yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi perkembangan desa adalah akses pasar, sarana kesehatan, jumlah keluarga pra KS, pengangguran dan sarana pendidikan. Secara umum pengangguran tersebar di berbagai desa-desa yang ada di Kabupaten Sukabumi, jumlah keluarga kurang sejahtera di Sukabumi masih banyak kedepan kondisi ini tentu perlu ditingkatkan melalui perbaikan berbagai kondisi sosial-ekonomi termaksuk regulasi yang tepat agar dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Indikator aksesibilitas terhadap pasar di Kabupaten Sukabumi dapat dinilai dari jumlah pasar yang sebanyak 87 pasar Desa dan hanya ada 19 pasar kecamatan. Gambar 14. Peta Tingkat Perkembangan Desa di Kabupaten Sukabumi 6 DESA DALAM PERSPEKTIF KEMANDIRIAN 6. 1 Indek Kemandirian Desa Kemandirian merupakan kondisi pemenuhan kebutuhan pokok untuk penghidupan sehari-hari, yang dapat dipenuhi secara independen tanpa adanya ketergantungan terhadap pihak lain Eko, 2014. Inisiatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat desa, serta kemampuan atau daya dukung sumberdaya desa dalam menyediakan kebutuhan pokok masyarakat adalah hal-hal yang menjadi fokus pada isu kemandirian perdesaan di Kabupaten Sukabumi. Tingkat ketergantungan desa bidang Pangan, Energi dan Air di Kabupaten Sukabumi masih tergolong cukup baik, dimana hanya ada 136 desa atau setara 35,23 persen desa yang kondisinya bergantung kepada pihak luar dan ada 250 desa 64,77 persen kondisinya mandiri. Kemandirian yang diukur berdasarkan tiga dimensi kemandirian yaitu Pangan, Energi dan Air atas desa-desa di Kabupaten Sukabumi menggambarkan bagaimana masyarakat desa mengusahakan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan energinya. Sebagian besar desa yang tidak mandiri Pangan disebabkan oleh mulai rendahnya keluarga yang bekerja di bidang pertanian serta rendahnya luasan lahan pertanian di desanya. Luasan lahan pertanian yang rendah mayoritas dikarenakan desa tersebut berbatasan langsung dengan lahan HGU milik perusahaan ataupun sebagian besar lahan desanya termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Negara melalui Perhutani dan lain sebagainya. Kemandirian air di beberapa desa yang berada di wilayah selatan menggambarkan bahwa ketiadaan hutan dan gunung yang menjadi daerah serapan air dan daerah sumber mata air berpengaruh besar terhadap daya tampung atau daya serap air di wilayah. Sedangkan tingkat kemandirian di tiga kecamatan yaitu Cicantayan, Cireunghas, dan Sukabumi diasumsikan semuanya bergantung karena tidak tersedia data baik di Podes, Data Publikasi BPS KecamatanKabupaten dalam angka maupun monografi desa. Enam indikator yang digunakan dalam pengukuran tingkat kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda, secara berurutan rangking pengaruh setiap indikatornya adalah sebagai berikut, proporsi keluarga pertanian, pengguna kayu bakar, jumlah rumahtangga pengguna PDAM, proporsi luas lahan, sumber mata air dan pengguna PLN.. Rendahnya pengguna listrik non PLN dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kemampuan warga dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di Kabupaten Sukabumi. sumber listrik yang dapat digali dan di konversi menjadi listrik cukup banyak tersedia di Kabupaten Sukabumi, angin yang memiliki kecepatan rata-rata lima meter per detik 5ms banyak dijumpai di wilayah pesisir Sukabumi selatan. Kecepatan angin sebesar itu sudah bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan kincirturbin dengan kapasitas listrik yang bisa dihasilkan antara 10-100kw. Jumlah air terjun atau aliran air yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga airmikrohidro terutama di wilayah selatan dan sebagian wilayah utara Sukabumi, berdasarkan data berjumlah sekitar 25 lokasi. Contoh keberhasilan program pembangkit listrik tenaga mikrohidro PLTMH di Kabupaten Sukabumi adalah diresmikannya PLTMH berkapasitas 50kw pada tahun 2012 oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan di Ciptagelar Kecamatan Cisolok. Tabel 20. Jumlah Desa Mandiri dan Bergantung di Kabupaten Sukabumi Nama Kecamatan Desa Mandiri Desa Bergantung Jumlah Total BANTARGADUNG 6 1 7 BOJONG GENTENG 3 2 5 CARINGIN 7 2 9 CIAMBAR 5 1 6 CIBADAK 5 5 10 CIBITUNG 2 4 6 CICANTAYAN 8 8 CICURUG 3 10 13 CIDADAP 4 2 6 CIDAHU 6 2 8 CIDOLOG 5 5 CIEMAS 9 9 CIKAKAK 6 3 9 CIKEMBAR 3 7 10 CIKIDANG 12 12 CIMANGGU 2 4 6 CIRACAP 8 8 CIREUNGHAS 5 5 CISAAT 6 7 13 CISOLOK 8 5 13 CURUGKEMBAR 7 7 GEGER BITUNG 7 7 GUNUNGGURUH 3 4 7 JAMPANG KULON 5 6 11 JAMPANG TENGAH 11 11 KABANDUNGAN 1 5 6 KADUDAMPIT 3 6 9 KALAPA NUNGGAL 4 3 7 KALI BUNDER 7 7 KEBONPEDES 5 5 LENGKONG 5 5 NAGRAK 3 7 10 NYALINDUNG 9 1 10 PABUARAN 4 3 7 PALABUHANRATU 9 1 10 PARAKAN SALAK 2 4 6 PARUNG KUDA 3 5 8 PURABAYA 7 7 SAGARANTEN 12 12 SIMPENAN 4 3 7 SUKABUMI 6 6 SUKALARANG 5 1 6 SUKARAJA 2 7 9 SURADE 12 12 TEGAL BULEUD 5 3 8 WALURAN 6 6 WARUNG KIARA 9 3 12 Grand Total 250 136 386 Terdapat tiga kecamatan dengan jumlah desa mandiri terbanyak 12 desa yaitu kecamatan Sagaranten, Surade, dan Cikidang, dan ada kecamatan yang hanya memiliki satu saja desa mandiri, yaitu kecamatan Kabandungan. Tingginya kemandirian desa di tiga kecamatan tadi terutama didukung oleh keluarga pertanian serta banyaknya kebun campurhutan yang menyediakan kelimpahan kayu bakar di beberapa desa sehingga menjadikan desa tersebut memiliki nilai kemandirian yang cukup tinggi di bidang energi. Skornilai terbesar dalam kemandirian juga diperoleh dari indikator sedikitnya pengguna air PDAM di Kabupaten Sukabumi karena ketersediaan air tanah maupun air permukaan lainnya yang melimpah. Tabel 21. Perbandingan Persentase Desa Mandiri dan Desa Bergantung Desa se Kabupaten Sukabumi Nama Kecamatan Desa Mandiri Desa Tidak Mandiri Total BANTARGADUNG 2.40 0.74 1.81 BOJONG GENTENG 1.20 1.47 1.30 CARINGIN 2.80 1.47 2.33 CIAMBAR 2.00 0.74 1.55 CIBADAK 2.00 3.68 2.59 CIBITUNG 0.80 2.94 1.55 CICANTAYAN 0.00 5.88 2.07 CICURUG 1.20 7.35 3.37 CIDADAP 1.60 1.47 1.55 CIDAHU 2.40 1.47 2.07 CIDOLOG 2.00 0.00 1.30 CIEMAS 3.60 0.00 2.33 CIKAKAK 2.40 2.21 2.33 CIKEMBAR 1.20 5.15 2.59 CIKIDANG 4.80 0.00 3.11 CIMANGGU 0.80 2.94 1.55 CIRACAP 3.20 0.00 2.07 CIREUNGHAS 0.00 3.68 1.30 CISAAT 2.40 5.15 3.37 CISOLOK 3.20 3.68 3.37 CURUGKEMBAR 2.80 0.00 1.81 GEGER BITUNG 2.80 0.00 1.81 GUNUNGGURUH 1.20 2.94 1.81 JAMPANG KULON 2.00 4.41 2.85 JAMPANG TENGAH 4.40 0.00 2.85 KABANDUNGAN 0.40 3.68 1.55 KADUDAMPIT 1.20 4.41 2.33 KALAPA NUNGGAL 1.60 2.21 1.81 KALI BUNDER 2.80 0.00 1.81 KEBONPEDES 2.00 0.00 1.30 LENGKONG 2.00 0.00 1.30 NAGRAK 1.20 5.15 2.59 NYALINDUNG 3.60 0.74 2.59 PABUARAN 1.60 2.21 1.81 PALABUHANRATU 3.60 0.74 2.59 PARAKAN SALAK 0.80 2.94 1.55 PARUNG KUDA 1.20 3.68 2.07 PURABAYA 2.80 0.00 1.81 SAGARANTEN 4.80 0.00 3.11 SIMPENAN 1.60 2.21 1.81 SUKABUMI 0.00 4.41 1.55 SUKALARANG 2.00 0.74 1.55 SUKARAJA 0.80 5.15 2.33 SURADE 4.80 0.00 3.11 TEGAL BULEUD 2.00 2.21 2.07 WALURAN 2.40 0.00 1.55 WARUNG KIARA 3.60 2.21 3.11 Grand Total 100.00 100.00 100.00 Persentase kecamatan dengan jumlah desa mandiri terbanyak dibandingkan jumlah desa mandiri se Kabupaten Sukabumi dimiliki oleh tiga kecamatan yaitu Surade, Sagaranten dan Cikidang dengan masing-masing 4,8 persen dari jumlah desa mandiri se Kabupaten dan menyumbang masing-masing 3,11 persen terhadap jumlah total desa se Kabupaten Sukabumi. Tiga kecamatan ini memiliki jumlah desa yang sama, yaitu 12 desa dan kesemua desa di tiga kecamatan ini berstatus mandiri. Terdapat 154 desa mandiri di wilayah selatan 39,9 persen dari total desa se Kabupaten Sukabumi, dan hanya ada 39 desa bergantung. Sedangkan untuk wilayah utara terdapat 96 desa mandiri 24,8 persen mandiri dan 97 desa bergantung, dari data ini terlihat jelas bahwa bagian selatan wilayah Sukabumi merupakan daerah dengan jumlah desa mandiri yang lebih banyak. Ketergantungan mayoritas wilayah utara banyak didorong oleh penggunaan Gas yang sudah sangat dominan dalam keperluan sehari-hari, pengguna air PDAM yang cukup besar, serta semakin menurunnya keluarga petani. Tren peralihan basis bidang kerja keluarga di wilayah utara dari sektor pertanian ke sektor non pertanian diduga diakibatkan oleh pergeseran peruntukan lahan yang secara masif terjadi di wilayah utara Sukabumi dari lahan pertanian menjadi lahan industri. Berkembangnya industri baik eksploitatif maupun industri pengolahan di wilayah utara sepanjang Cicurug hingga Sukalarang dan ditetapkannya dua kawasan berikat Kawasan Industri Terpadu Ciambar dan Cibadak, telah menggerus persentase tenaga kerja bidang pertanian menjadi tenaga kerja bidang industri. Menurut data yang dirilis oleh Gabungan Serikat Buruh Indonesia GSBI yang disampaikan dalam rapat musrenbang Kabupaten Sukabumi tahun 2015, terdapat sekitar 287.589 buruh industri di Kabupaten Sukabumi yang didominasi oleh pekerja perempuan sebanyak 85 persen dan pekerja laki-laki sebanyak 15 persen. Hampir seluruhnya industri yang ada di Kabupaten Sukabumi merupakan industri yang bersifat footloose kaki yang menggantung, dimana industri hanya menumpang beroperasi dan tidak memberikan pengaruh positif secara signifikan. Industri yang selama ini beroperasi di Kabupaten Sukabumi hanya menyerap tenaga kerja disekitar Sukabumi serta sebagai pembayar pajak saja, tidak ada satupun industri yang memberikan efek besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi wilayah karena segala bahan penunjang produksi industri didatangkan dari luar Kabupaten Sukabumi. Potensi sumberdaya hasil pertanian di Kabupaten Sukabumi sangat beragam, ikan, buah, sayur-mayur, produk agroforestry, dan ubi kayusingkong adalah beberapa komoditas yang menjadi andalan petani Sukabumi. Sumberdaya yang melimpah dari berbagai komoditas ini seharusnya menjadi pertimbangan dari pemerintah dalam membuat perencanaan pembangunan ekonomi sehingga, produk-produk pertanian di Kabupaten Sukabumi dapat diolah tanpa harus keluar wilayah Sukabumi. Pengolahan berskala industri untuk produk-produk pertanian di Kabupaten Sukabumi dipercaya akan memberikan dampak ekonomi lebih besar ketimbang praktek-praktek industri yang selama ini sudah berjalan. Salah satu industri yang menjadikan sumberdaya lokal sebagai bahan baku utama di Kabupaten Sukabumi adalah PT. Semen Jawa anak perusahaan Siam Cement GroupSCG. Pabrik semen ini mengolah bahan baku pasir kuarsa, kaolin dan batu kapur yang melimpah di Kabupaten Sukabumi, dengan demikian, segala proses peningkatan nilai tambah dari produk pertambangan di Kabupaten Sukabumi dapat dinikmati dan dihasilkan dari dalam wilayah Sukabumi. pengolahan raw material yang dilakukan di dalam wilayah Sukabumi dapat memberikan efek penetesan yang positif bagi wilayah sekitar industri, sehingga bisa menjasi fokus pengembangan industri di kabupaten Sukabumi.

6.2 Indikator Proporsi Kepemilikan Lahan Pertanian

Sebagian besar desa di Kabupaten Sukabumi memiki lahan peruntukan pertanian yang cukup luas, jika diukur berdasarkan proporsi peruntukan lahan untuk pertanian menurut ukuran yang telah ditetapkan dalam kajian ini, yaitu 50 persen lahan pertanian skor satu, 50-70 persen skor dua dan diatas 70 persen skor tiga, maka di Kabupaten Sukabumi terdapat 221 desa yang memiliki proporsi lahan pertanian diatas 70 persen dari luas wilayah desanya, 79 desa hanya memiliki proporsi lahan pertanian dibawah 50 persen dan 86 desa memiliki proporsi luas lahan pertanian antara 50-70 persen dibandingkan dengan luas total wilayah desanya. Jika dilihat dari luas proporsi lahan pertanian, terdapat 57,25 persen desa dengan luas lahan pertanian 70 persen, sekitar 20,46 persen desa merupakan desa dengan proporsi lahan pertaniannya 50 persen dari luas wilayah, dan 22,29 persen desa memiliki luas lahan pertanian antara 50-70 persen dari luas wilayahnya. Gambar 15. Peta Proporsi Lahan Pertanian Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi Kepemilikan lahan masyarakat di wilayah utara yang semakin mengecil seiring dengan bertambahnya waktu ekspansi orang kota dan mungkin sistem waris telah mendorong pergeseran bidang pekerjaan yang digeluti masyarakat. Masyarakat desa yang asalnya menjadi petani cenderung berubah menjadi buruh dan tingkat ketergantungan terhadap pihak yang mempekerjakan menjadi semakin tinggi. Berbeda dengan masyarakat wilayah selatan, walaupun lahan di wilayah selatan banyak yang berupa HGU dan dikelola oleh perusahaan, akan tetapi luasan kepemilikan lahan masyarakat di wilayah selatan masih relatif tinggi dibanding wilayah utara karena harga jual tanah di wilayah selatan masih cukup murah. Semakin ramainya ekspansi para pemilik modal untuk berinvestasi di sektor propertitanah di Kabupaten Sukabumi, harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Pengetatan aturan kepemilikan lahan yang disesuaikan dengan undang- undang pokok agraria UUPA perlu semakin ditegakkan agar pola kepemilikan dan pola distribusi tanah dapat lebih berkeadilan. Insentif bagi petani yang tetap mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian juga perlu dilakukan agar lebih memberikan kepastian penghasilan bagi petani serta dapat memberikan garansi bagi berlangsungnya kegiatan pertanian serta mengurangi konversi lahan. Selain insentif petani dan penegakan UUPA, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju konversi lahan dan kepemilikan lahan oleh pihak pemilik modal diluar wilayah desa adalah dengan menetapkan Rencana Detai Tata Ruang RDTR. Penetapan RDTR yang diarahkan pada hasil studi yang lebih berwawasan lingkungan diharapkan dapat menahan syahwat pemilik modal untuk berinvestasi secara buas dalam upaya penguasaan lahan di perdesaan. Penggunaan lahan yang diatur dalam RDTR yang berwawasan lingkungan, dimana penetapan kawasan sangat memperhatikan sisi ekologis dan keberlanjutan sustainability menjadi salah satu instrumen yang dapat dimainkan oleh pemerintah daerah guna melindungi penguasaan kepemilikan lahan oleh pemilik modal besar. Penetapan RDTR yang mengacu pada sustainability development goals SDGs dengan upaya mengurangi degradasi lahan serta mempertahankan biodiversity dapat dijadikan tameng bagi upaya-upaya pengusaan lahan oleh pemilik modal. Penguasaan lahan oleh pemilik modal luar desa sangat rawan meningkatkan laju pengalihan fungsi lahan yang akhirnya dapat memicu kondisi kebergantungan masyarakat serda degradasi lahan akibat penelantaran lahan. Wawasan pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan pembangunan yang lebih menekankan pada upaya-upaya pelestarian alam dan bersifat non eksploitastif, merupakan sebuah angin segar bagi keberhasilan program kemandirian masyarakat. Penanaman kembali lahan kritis, pemeliharaan keragaman hayati adalah sebuah upaya kongkret yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya keinginan masyarakat untuk menjual tanah kepada pihak luar. Insentif pertanian baik berupa bantuan permodalan kegiatan usaha tani maupun insentif lain, dengan dorongan riil dari pemerintah daerah dalam upaya memelihara keberlanjutan pengelolaan tanah, diharapkan secara ekspansif dapat menekan angka laju pengalihan kepemilikan dan penguasaan lahan oleh pemilik kapital akibat dari rendahnya land rent sektor pertanian.

6.3 Indikator Keluarga Pertanian

Keluarga pertanian dengan jumlah diatas 50 persen tersebar di 172 desa atau 44,56 persen desa se Kabupaten Sukabumi, 41 desa memiliki keluarga pertanian antara 30-50 persen, dan 173 desa atau setara 44,81 persen memiliki jumlah keluarga pertanian 30 persen. Dimulainya era industri di Kabupaten Sukabumi sejak awal tahun 2010 disinyalir telah mendorong perubahan struktur pekerjaan masyarakat Kabupaten Sukabumi yang dahulunya di dominasi oleh keluarga pertanian menjadi keluarga non pertanian. Hal ini terlihat jelas berdasarkan data PODES 2014 yang telah diolah, hanya tersisa 44,56 desa atau setara 172 desa saja yang mayoritas keluarganya yang bekerja di bidang pertanian, berada di bawah persentase keluarga pertanian yang 30 persen yaitu sebesar 44,81 persen atau 173 desa. Gambar 16. Peta Proporsi Keluarga Pertanian setiap Desa di Kabupaten Sukabumi Wilayah utara dan sebagian kecil wilayah selatan kecamatan Pelabuhanratu menjadi basis penyumbang jumlah keluarga pertanian dengan persentase yang rendah 30 persen karena pada wilayah-wilayah tersebut, terdapat banyak sekali industri yang banyak menyerap tenaga kerja sehingga terdapat banyak pilihan pekerjaan bagi masyarakat yang akhirnya menggerus jumlah keluarga pertanian yang tadinya menjadi bagian dominan dalam jenis kegiatanpekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat. Keluarga pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mempertahankan kemandirian bidang pangan, sehingga sangat perlu dicermati bagaimana cara untuk mempertahankan jumlah keluarga pertanian agar tidak semakin rendah. Pendapatan petani yang rendah disertai dengan ketidakpastian dalam penghasilan, disinyalir telah menjadi daya dorong menurunnya jumlah keluarga pertanian di banyak wilayah di Indonesia termasuk di Kabupaten Sukabumi. Sistem pertanian di Kabupaten Sukabumi luas lahan garapan petani