masih mungkin untuk didorong menjadi seratus persen jika saja lahan-lahan kritis yang dikuasai oleh para pemegang HGU dan ditelantarkan dapat dikelola untuk
segera ditanami atau kembali difungsikan menjadi perkebunan produktif terutama dengan komoditas kayu-kayuan.
Khusus untuk daerah pesisir yang banyak lahannya digunakan sebagai lahan pertambangan pasir besi, ketersediaan air memang menjadi permasalahan
yang sangat kompleks dan sulit untuk dikendalikan. Kombinasi lahan pesisir yang hanya berupa padang ilalang, serta lahan pesisir yang dijadikan tambang pasir besi
menjadikan pasokan air bersih bagi rumah tangga semakin berkurang. Kondisi ini memerlukan perhatian yang bersifat segera dari seluruh pihak terkait, karena
permasalahan air adalah sumber penghidupan utama serta seringkali menimbulkan pertentangan dan perselisihan yang berujung pada bentrokan.
Pada gambar 18, dapat kita lihat bagaimana sebaran desa yang mengalami kekurangan sumber air sangat tinggi. Sebaran itu terlihat berkumpul di wilayah
selatan Kabupaten Sukabumi dan hanya ada sedikit saja yang berada di wilayah utara Sukabumi. Desa-desa di selatan yang memiliki sumber air yang sedikit itu
terpusat di wilayah barat daya kabupaten Sukabumi mulai dari wilayah perbukitan hingga wilayah pesisir dan terus memanjang hingga hampir ke wilayah perbatasan
Sukabumi dengan Cianjur.
Gambar 20. Peta Sumber Air Desa-Desa di Kabupaten Sukabumi
6.8 Ikhtisar
Kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi masih cukup baik, terdapat 250 desa mandiri di Kabupaten Sukabumi dan hanya ada 136 desa saja yang masuk
kategori bergantungtidak mandiri. Jumlah desa tidak mandiri di Kabupaten Sukabumi sekali lagi menegaskan bahwa, wilayah selatan Sukabumi lebih baik
dibandingkan wilayah utara. Hal ini terlihat dari jumlah desa mandiri di selatan yang sebesar 196 desa, berbanding 44 desa di wilayah utara.
Jumlah keluarga tani merupakan faktor yang berpengaruh paling besar terhadap kemandirian desa, kemudian selanjutnya jumlah pengguna kayu bakar,
jumlah pengguna ledeng, luas lahan pertanian dan jumlah mata air. Faktor pengguna non PLN tidak menjadi faktor yang berpengaruh karena jumlah
pembangkit listrik mandiri yang dimiliki oleh masyarakat masih sangat sedikit dan terbatas.
Seringnya terjadi kelangkaan gas elpiji serta pasokan yang sering terhambat oleh faktor non teknis, telah mendorong penggunaan kembali kayu
bakar oleh masyarakat. Terutama untuk wilayah selatan, jumlah keluarga petani yang masih banyak, pengguna kayu bakar akibat ketersediaan di alam yang masih
cukup tinggi, serta jarangnya pengguna air ledeng telah menjadikan wilayah selatan sebagai wilayah yang lebih mandiri dibandingkan dengan wilayah utara.
Gambar 21. Peta Kemandirian Desa di Kabupaten Sukabumi
7 TIPOLOGI DESA DI KABUPATEN SUKABUMI
7.1 Empat Tipologi Desa
Tipologi desa merupakan pengelompokkan desa menjadi kategori-kategori yang sudah ditentukan untuk mempermudah pengamatan, analisa dan perencanaan
pembangunannya. Pentipologian desa menjadi penting karena sebuah perencanaan strategi pembangunan akan sangat bergantung kepada ketepan
pendekatan dan analisa awal kondisi eksisting sebuah desa.
Penggabungan kondisi perkembangan desa dengan kemandirian desa berdasarkan pada hasil pengolahan data yang dilakukan membagi tipologi desa
menjadi empat tipologi berbeda. Jumlah desa berkembang yang hanya sebanyak 110 desa digabungkan dengan jumlah desa mandiri yang hanya berjumlah 353
desa tidak semata-mata menjadikan jumlah desa mandiri dan berkembang menjadi banyak. Desa yang masuk dalam kategori berkembang ternyata banyak juga yang
tergolong pada desa bergantung, hal ini disebabkan oleh kondisi desa berkembang tadi yang sudah bertransformasi menjadi desa kota dengan tingkat ketersediaan
sumberdaya yang semakin sedikit. Desa mandiri namun tidak berkembang menjadi gambaran umum kondisi desa-desa di kabupaten Sukabumi, hal ini
menunjukkan bahwa kemandirian yang dimiliki oleh desa-desa di Kabupaten Sukabumi ternyata belum bisa membawa pada kondisi desa yang berkembang.
Faktor-faktor yang menjadi penghalang berkembangnya desa-desa mandiri di Kabupaten Sukabumi karena strategi pembangunannya sangat bergantung pada
intervensi dari pemerintahan diatasnya melalui intervensi program ataupun penanaman investasi dari luar. Selain itu, fokus pembangunan yang bertumpu
pada pembangunan infrastruktur jalan, dan sarana pendukungnya telah menggerus dana pembangunan sehingga dana yang tersedia untuk pembangunan manusia
pemberdayaan menjadi semakin kecil. Kurangnya program pemberdayaan yang lebih partisipatif, dan menyentuh pada pokok persoalan peningkatan
pembangunan manusia SDM akhirnya menghambat perkembangan desa karena faktor sumberdaya manusia adalah faktor utama penentu keberhasil program
pembangunan desa.
Tabel 22. Matriks Perkembangan dan Kemandirian Desa per Kecamatan Kec. Tidak mandiri
50 persen desa Kec. Cukup Mandiri
50-85 persen desa Kec. Mandiri
85-100 persen desa Berkembang
50 persen desa
Parungkuda, Cicurug 2
Bojonggenteng, Tegalbuleud,
Warungkiara 3 Pelabuanratu, Ciracap
2
Tidak Berkembang
50 persen desa
Parakansalak, Jampangkulon,
Gununguruh, Sukabumi,
Kadudampit, Cibitung, Cisaat,
Cireunghas, Sukaraja, Nagrak,
Cicantayan, Cikembar,
Kabandungan 13 Cibadak, Ciambar,
Caringin, Cidadap, Cidahu, Cikakak,
Cisolok, Simpenan, Sukalarang, Surade,
Nyalindung, Pabuaran,
Kalapanunggal 13 Kebonpedes,
Cimanggu, Cikidang, Kalibunder, Purabaya,
Jampangtengah, Gegerbitung, Ciemas,
Curugkembar, Bantargadung,
Cidolog, Waluran, Lengkong, Sagaranten
14
Mengacu pada tabel 22, tesis mengenai tingkat perkembangan dan kemandirian wilayah selatan jauh lebih baik dibandingkan wilayah utara semakin
tidak terbantahkan. Hal ini sekali lagi mematahkan anggapan yang sudah lama berkembang dan dipercayai oleh banyak pihak bahwa wilayah selatan adalah
wilayah tertinggal dan tidak sejahtera.
Terdapat 81 desa yang masuk pada kategori tidak mandiri dan tidak berkembang, jumlah 81 desa ini tersebar di beberapa kecamatan. Kecamatan yang
desa-desanya mayoritas tidak berkembang dan tidak mandiri tipologi 3, sebagian besar merupakan kecamatan yang berada di wilayah utara dengan jumlah
kecamatan sebanyak 11 kecamatan dari total 13 kecamatan yang masuk kategori ini. Karakteristik kecamatan pada tipologi ini merupakan kecamatan dengan
tingkat pengusaan lahan oleh pihak luar desanya sangat tinggi, baik kepemilikan secara individu maupun institusi. Secara garis besar, kepemilikan lahan di 13
kecamatan ini terbagi menjadi tiga tipe penguasaan, yaitu HGU, Taman Nasional TN dan Industripemilik modal Sukabumi dalam Angka 2015.
Luas kepemilikan lahan oleh pemilik HGU terjadi di lima kecamatan yaitu Jampangkulon, Gunungguruh, Cibitung, Cicantayan dan Cikembar. Lima
kecamatan tersebut menjadi basis dari HGU perkebunan dan pertambangan, dengan luas HGU yang relatif cukup tinggi yakni diatas 25 persen dari total luas
wilayahnya. Sedangkan penguasaan lahan oleh Taman Nasional terjadi di empat kecamatan yaitu Parakansalak, Sukabumi TN Gede Pangrango, Kadudampit dan
Kabandungan TN Gunung Halimun Salak. Kepemilikan lahan oleh industri maupun para pemilik modal terjadi di empat kecamatan, yaitu Cikembar, Sukaraja
Industri, Cisaat dan Cireunghas pemilik modal.
Tipologi dua mengelompokkan desa-desa menjadi desa mandiri namun tidak berkembang, pada kelompok ini terdapat 57 desa yang menyebar di
beberapa kecamatan baik utara maupun selatan. Namun demikian, walaupun menyebar baik di utara maupun di selatan, konsentrasi desa-desa pada tipologi
dua ini dapat terlihat pada 14 kecamatan. Dari ke 14 kecamatan yang masuk dalam kategori ini, tiga kecamatan berasal dari wilayah utara dan 11 kecamatan
berasal dari wilayah selatan.
Terjadinya tipologi desa mandiri namun tidak berkembang ini disebabkan oleh strategi pembangunannya yang terfokus pada pembangunan infrastruktur
jalan karena mayoritas desa-desa pada tipologi ini berada di wilayah selatan yang memiliki struktur tanah labil. Hal ini terkonfirmasi dari hasil FGD yang
melibatkan salah satu desa di wilayah dengan tipologi mandiri namun tidak berkembang Desa Cibitung Kecamatan Sagaranten. Selain fokus pembangunan
yang lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur jalan, pada wilayah ini perekonomian sangat bergantung pada dua sektor yaitu hasil pertambangan dan
pengolahan batu hias serta transfer dari masyarakatnya yang bekerja diluar daerah.
Banyaknya warga desa yang menjadi pekerja diluar wilayah telah menjadikan desa-desa pada tipologi ini menjadi tidak dapat mengembangkan desa
walaupun ditunjang dengan tingkat kemandirian yang baik. Rendahnya upaya penguatan ekonomi lokal yang dapat membantu perkembangan desa, serta
dorongan untuk mendapatkan pengahasilan instan dengan menjadi buruh pada beberapa industri telah mendorong terciptanya desa dengan tipologi mandiri
namun tidak berkembang.