Potensi Dan Keterkaitan Nilai WTP Pantai Indah Kapuk Dan Nilai WTA Petambak

besar minimal 5 orang berpeluang 12,48 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih sedikit. Sedangkan responden dengan jumlah tanggungan yang lebih kecil 3 - 4 orang berpeluang 8,79 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang lain. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden semakin besar peluang nilai WTAnya. 6 Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang nilai WTAnya semakin tinggi. Responden yang berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 5,01 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah. Berdasarkan Tabel.20 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor pendidikan, pendapatan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan.

5.5. Potensi Dan Keterkaitan Nilai WTP Pantai Indah Kapuk Dan Nilai WTA Petambak

Seperti sudah dijelaskan pada sub bab diatas bahwa dengan rata-rata nilai WTP sebesar Rp. 12.067,901,- yang dibulatkan menjadi Rp. 12.100, - dapat ditentukan WTP agregat atau WTP total dari masyarakat Pantai Indah Kapuk. Jumlah responden yang bersedia membayar adalah 162 responden dari 210 responden Pantai Indah Kapuk, sedangkan jumlah kepala keluarga masyarakat yang tinggal di perumahan Pantai Indah Kapuk sebanyak 1477 KK. Dari data-data tersebut didapatkan WTP agregat sebesar Rp. 13.786.740,- per bulan atau sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun. Untuk nilai WTA, secara rata-rata nilai uang kompensasi yang bersedia diterima petambak sebesar Rp. 1.332,1429,- per m2 atau Rp. 13.321.429,- per ha. Luas Hutan Wisata Angke Kapuk adalah 99,82 ha, dengan demikian dana kompensasi yang sediakan oleh pemerintah untuk para petambak sekitar Rp. 1.329.745.043,-. Untuk mengelola kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk yang lebih baik dan berkelanjutan, pemerintah bisa menggunakan dana WTP Pantai Indah Kapuk yang sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun untuk membantu sebagai dana kompensasi bagi pembebasan hutan wisata tersebut. Jika hal ini kontinyu dan berkelanjutan, paling tidak dalam sepuluh tahun hutan wisata akan bisa dikelola lebih baik. Selain itu pemerintah bisa proaktif untuk menggalang dana dari pihak lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan pihak swasta. Dengan pihak swasta, pemerintah bisa melakukan kontrak kerjasama untuk mengelola kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk menjadi kawasan hutan wisata alam yang lebih baik.

VI. ORIENTASI PERBAIKAN DAN KONSERVASI DI HUTAN ANGKE KAPUK

6.1. Masalah Lingkungan dan Kondisi Hutan Angke Kapuk

Masalah lingkungan dewasa ini adalah dampak dari intervensi manusia terhadap alam ekologi. Intervensi manusia bertujuan untuk memperoleh hasil dan tenaga yang lebih besar. Semula manusia menggunakan tenaga se derhana untuk memperoleh energi. Tetapi kemudian dalam perkembangan jaman, manusia ingin memperoleh energi yang lebih besar lagi. Demi pemanfaatan energi itulah bumi dan kekayaan sumberdaya alamnya dikuras sebesar-besarnya, hutan ditebangi. Pembangunan Indonesia saat ini memang sangat diperlukan, namun terkadang dilupakan masalah kelestarian lingkungan hidup. Di satu sisi laju pembangunan memang sangat diperlukan, namun di sisi lain dampak yang ditimbulkannya berakibat buruk. Pembangunan sekarang ini lebih mementingkan kepentingan ekonomi dan bisnis semata, adanya perumahan Pantai Indah Kapuk yang tadinya hutan mangrove adalah salah satu contoh. Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya Rumah Sakit, Lapangan Golf, pertokoan, dsb secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap kawasan ekosistem mangrove di Angke-Kapuk, Jakarta Utara. Dewasa ini, karena adanya keterbatasan lahan dan kepentingan ekonomis, hutan mangrove Angke Kapuk yang pada dasarnya harus dilestarikan berubah fungsi untuk areal pemukiman , usaha pertambakan dan lain-lain. Perubahan hutan mangrove menjadi areal pemukiman maupun usaha tambak, dilihat dari sisi pelakunya dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun oleh masyarakat sendiri sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan persepsi mereka terhadap keberadaan kawasan hutan mangrove. Menurut Seragaldin 1996, pembangunan harus mengintegrasikan tiga aspek kehidupan yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Jadi dalam pembangunan perlunya adanya keseimbangan pembangunan sosial budaya dan pembangunan ekonomi. Memang pembangunan akan selalu memberikan dampak, baik positif maupun negatif. Tinggal sekarang bagaimana sinergisitas antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, masyarakat sebag ai obyek dan subyek serta para kalangan bisnis sebagai pelaku sekaligus pemilik modal saling bekerjasama. Pada jaman sekarang, memang ekonomi menjadi faktor utama dalam perguliran kehidupan,