Pendekatan Semiotika atau Semiologi Dalam Film

tradisional didefinisikan oleh Roland Barthes terhadap acuan apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan dan di atasnya lah para penulis bertumpu. Sesungguhnya, inilah sumbangan pemikiran Roland Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiotika Saussure, yang hanya membahas pada penandaan dalam tataran pertama, yaitu denotatif Alex Sobur, 2006 : 65 – 66.

2.1.10. Pendekatan Semiotika atau Semiologi Dalam Film

Menurut John Fiske, dalam bukunya berjudul “Cultural and Communication Studies”, dijelaskan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama yaitu dengan melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua yaitu dengan cara melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Khusus bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan, dengan menggunakan metode-metode studi yang utama, yaitu semiotika atau ilmu tentang tanda dan makna John Fiske, 2007 : 9. Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada konsep tentang bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam sebuah budaya. Perspektif ini sering kali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. Definisi semiotik secara umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita pelajari, tanda itu sendiri tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain, yang membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya, semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya, juga tentang bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam bentuk kode-kode Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk. Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural semiotika. Seperti halnya yang telah dikemukakan oleh Van Zoest, dinyatakan bahwa film dibangun dengan tanda yang semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem 32 penandaan. Oleh karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda- tanda arsitektur, terutama indeksikal, dalam film digunakan tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993 : 109 dalam Alex Sobur, 2006 : 128. Ciri-ciri gambar dalam film adalah persamaan dengan realitas yang ditunjukkannya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Yang penting dalam sebuah film adalah gambar dan suara, yaitu kata-kata atau kalimat yang diucapkan, ditambah dengan suara-suara lain, termasuk di dalamnya adalah musik film yang serentak mengiringi gambar tersebut. Menurut Fiske, dalam bukunya yang berjudul “Television Cultural”, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Selain itu, John Fiske juga mengkategorikan tanda sign pada film ke dalam tiga ketegori, yaitu kode-kode sosial social codes, kode-kode teknis technical codes, dan kode-kode representasi representational codes. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks John Fiske, 1990 : 40 dalam Mawardhani, 2006 : 39. Analisis yang dilakukan pada film “liar” ini dibagi menjadi 2 dua level, yaitu : 1. Level realitas reality Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara, dan sebagainya yang dipahami atau dimengerti sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis John Fiske, 1990 : 40. Kode-kode sosial yang merupakan sebuah realitas dan yang diteliti di dalam penelitian ini dapat berupa : a. Penampilan kostum dan make-up yang digunakan oleh pemain dalam film “liar”. Dalam penelitian ini, terdapat dua tokoh yang menjadi obyek penelitian, yaitu tokoh Indra dan Bayu. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka gunakan, apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial atau kultural. b. Lingkungan atau setting yang ditampilkan dari keseluruhan cerita tersebut, yaitu tentang bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan, dan fungsi serta makna di dalamnya. c. Dialog, yaitu berupa makna dari kata-kata atau kalimat- kalimat yang diucapkan dalam dialog atau percakapan pada film tersebut. 2. Level representasi representation Dalam level ini meliputi cara kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting, dan sebagainya http:www.questia.com. Level representasi meliputi : a. Teknik pengambilan gambar pada kamera. Ada empat jenis shot gambar yang paling dasar, yakni : 1. Long shot, yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi menjadi extreme long shot, mulai dari sedikit ruang di bawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar dengan cara ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penampilan tokoh tertentu termasuk body language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan, dan sebagainya mulai dari ujung rambut sampai kaki yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan tersebut. 2. Medium shot, yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi menjadi wide medium shot yang pengambilan gambarnya agak melebar ke 35 samping kanan kiri. Pengambilan gambar dengan cara ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter secara lebih dekat dibandingkan long shot. 3. Close-Up, yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close-up ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi atau emosional serta dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton. 4. extreme close-up, yakni menggambarkan secara detail tentang ekspresi pemain dari suatu peristiwa spesifikasinya pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir, tangan, dan sebagainya. b. Pencahayaan Macam-macam teknik pencahayaan antara lain adalah soft lightning, hard lightning, dan back lightning. Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Penyajian film pada mulanya disebut sebagai “painting with light” atau melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak dan mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosphere set, serta mampu untuk menunjang dramatik adegan Biran, 2006 : 43. c. Penata suara Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mambahas lebih lanjut penggunaan voice over yang seringkali dimunculkan dalam beberapa scene pada film “liar”. Voice over adalah suara-suara di luar kamera berupa narasi atau penuturan seorang tokoh Effendy, 2003 : 155. Voice over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama. Terdapat beberapa jenis dalam penataan atau penggunaan suara, yakni : 1. Comentar voice over narration : biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian dari orang tertentu dalam suatu program atau peristiwa, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, menginterpretasikan kesan kepada penonton dari suatu sudut pandang 37 tertentu, dan menghubungkan bagian-bagian sequences, serta program secara bersamaan. 2. Sound effect : untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian atau peristiwa. 3. Music : untuk mempertahankan kesan dari suatu fase atau bagian untuk mengiringi sebuah adegan, dan warna emosional pada musik, serta turut mendukung keadaan emosional dalam suatu adegan tertentu. d. Teknik editing 1. Cut : perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan sudut pandang atau lokasi yang lainnya. Adapun bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, dan membentuk kesan terhadap image atau ide. 2. Jump cut : untuk membuat suatu adegan yang dramatis. 3. Motived cut : bertujuan untuk membuat penonton atau pemirsa segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya. 38 e. Manipulasi waktu Macamnya adalah sceen time, subjective time, compresses time, simultaneous time, long take, slow motion, replay, flash back, flash forward, overlaping action, universal time, dan ambiguous time. f. Teknik perpindahan kamera 1. Zoom : perpindahan tanpa memindahkan kamera dan lensa hanya difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton. 2. Following pan : kamera berputar untuk mengikuti perpindahan obyek. Kecepatan perpindahan terhadap obyek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subyeknya. 3. Tracking : perpindahan kamera secara perlahan, mendekati atau menjauhi obyek berbeda dengan zoom. Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan penonton. Maksudnya, apabila dilakukan secara cepat tracking in menunjukkan ketertarikan, dan demikian juga sebaliknya. 4. Crab : yakni perpindahan kamera dari kiri ke kanan dan sebaliknya. 5. Tilt : yakni naik dan turunnya kamera mengikuti obyek. g. Gaya bercerita Macamnya adalah subjective treatment, objective treatment, paralel development, insible editing, mise- en-scene, montage, talk to camera, dan tone. h. Mise-en-scene Kode mise-en-scene ialah alat yang digunakan oleh pembuat film untuk merubah dan menyesuaikan pembacaan shot yang akan dilakukan. Mise-En-scene juga digunakan untuk mengungkapkan makna melalui suatu hubungan antara satu adegan yang terlihat dengan adegan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti tidak membahas lebih lanjut tentang suara dan penataan musik yang ada pada level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kenakalan remaja dalam film “liar”.

2.2. Kerangka Berpikir

Dokumen yang terkait

REPRESENTASI FASHION SEBAGAI KELAS SOSIAL DALAM FILM (Studi Semiologi Representasi Fashion sebagai Kelas Sosial dalam Film The Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film The

0 4 15

IDENTITAS SEKSUALITAS REMAJA DALAM FILM (Analisis Semiotika Representasi Pencarian Identitas Identitas Seksualitas Remaja dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Pencarian Identitas Homoseksual Oleh Remaja Dalam Film The Love Of Siam).

0 1 13

TRANSGENDER DALAM FILM (Studi Semiologi Representasi Identitas Seksual Transgender Transgender Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Identitas Seksual Transgender Dalam Film “The Iron Ladies”).

0 1 16

PENDAHULUAN Transgender Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Identitas Seksual Transgender Dalam Film “The Iron Ladies”).

0 7 55

TRANSGENDER DALAM FILM (Studi Semiologi Representasi Identitas Seksual Transgender Transgender Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Identitas Seksual Transgender Dalam Film “The Iron Ladies”).

0 3 15

Representasi Kenakalan Remaja Dalam Iklan Fruit Tea Versi ”Pulo Gadung” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kenakalan Remaja Dalam Iklan Fruit Tea Versi ”Pulo Gadung” Di Televisi).

1 3 112

Kenakalan Remaja | Karya Tulis Ilmiah Kenakalan Remaja

0 1 4

SKRIPSI REPRESENTASI PLURALISME DALAM FILM ” ? ” (Studi Analisis Semiotika tentang Pluralisme dalam Film ” ? ”)

1 1 121

REPRESENTASI KENAKALAN REMAJA DALAM IKLAN FRUIT TEA VERSI ”PULO GADUNG” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kenakalan Remaja Dalam Iklan Fruit Tea Versi ”Pulo Gadung” Di Televisi)

0 0 15

REPRESENTASI KENAKALAN REMAJA DALAM FILM “LIAR” (Studi Semiologi Tentang Representasi Kenakalan Remaja Dalam Film “Liar” Pada Tokoh Indra dan Bayu)

2 13 28