Manfaat dari Penjualan Listrik

48

4.6.1. Manfaat dari Penjualan Listrik

Cashflow untuk skenario pertama dilakukan untuk penerimaan berdasarkan penjualan listrik. Harga jual listrik yang berlaku di Indonesia dari sumber energi terbarukan yaitu biogas adalah senilai Rp975kWh x F, dengan nilai F sebesar 1 untuk wilayah Sumatera. Nilai tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2012. Jumlah energi listrik yang diperhitungkan pada laporan arus kas ini berasal dari hasil perhitungan masing-masing teknologi pada sasaran proyek di Lampung yang telah dibahas Gambar 26 dengan basis kapasitas olah PKS 45 ton TBSjam. Laporan arus kas dapat dilihat pada Lampiran 5 untuk proyek milik PT KIS, Lampiran 6 untuk proyek milik PT AES, dan Lampiran 7 untuk proyek milik PT KME. Pada cashflow tersebut, terlihat adanya perbedaan antara ketiga teknologi yang ada. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan biaya yang diperlukan serta energi listrik yang dihasilkan. Teknologi PT KIS dengan biaya investasi menengah, memiliki nilai kumulatif cashflow yang menengah juga jika dibandingkan dengan dua teknologi lainnya, yaitu Rp60.456.990.000,00. Nilai kumulatif cashflow yang lebih rendah diperoleh pada teknologi PT AES dengan nilai Rp22.584.530.000,00. Perolehan nilai tersebutsangat kecil dibandingkan dengan kedua teknologi lainnya. Nilai tersebut dipengaruhi oleh biaya investasi yang terbesar dibandingkan teknologi lainnya. Di sisi lain, energi listrik yang dihasilkan justru lebih kecil dibandingkan teknologi lainnya, yaitu sebesar 1.250 kWh per jam, sedangkan teknologi PT KISsebesar 1.446 kWh dan PT KME 1.260 kWh per jam. Umur proyeknya pun lebih singkat dibandingkan dengan perusahaan lainnya, yaitu hanya tujuh tahun. Nilai kumulatif tertinggi diperoleh pada teknologi PT KME, sebesar Rp65.140.860.000,00. Meskipun energi listrik yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi PT KIS, biaya investasi teknologi PT KME lebih rendah Rp3.821.070.000,00 dibandingkan biaya investasi PT KIS. Biaya operasionalnya pun lebih rendah Rp1.653.140.000,00. Analisis kriteria investasi pada skenario pertamaumumnya menunjukkan bahwa ketiga teknologi layak diterapkan Lampiran 14,15,16. Pertama, NPV yang dihasilkan dari semua perusahaan penyedia teknologi bernilai positif di batas akhir umur proyek.Artinya, ketiga proyek layak dikembangkan. Akan tetapi, jika dibandingkan, nilai NPV yang terbesar menunjukkan teknologi yang lebih baik dipilih untuk diterapkan. Teknologi PT KME merupakan teknologi yang lebih baik dipilih dengan nilai NPV Rp25.327.590.000,00. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai NPV PT KIS dengan perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Nilai NPV PT KIS sebesar Rp21.004.520.000,00. Sementara, NPV pada proyek milik PT AES hanya sebesar Rp2.727.510.000,00. Kedua, nilai IRR akan menunjukkan bahwa suatu proyek layak dilaksanakan jika lebih besar atau sama dengan nilai discount rate. Ketiga teknologi memiliki nilai IRR yang lebih besar dari discount rate sehingga layak diterapkan. Nilai yang terbesar adalah nilai IRR dari PT KME sebesar 29,23. Artinya, pengembalian setiap tahun dari proyek PT KME mencapai 29,23 dari biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR PT KIS sebesar 24,80, lebih besar dari pada PT AES yang hanya bernilai 13,55.Menurut Wongsapai 2011, untuk kasus di Thailand, teknologi CSTR untuk pengolahan limbah cair kelapa sawit dalam proyek biogas memiliki IRR sebesar 2,7-17,0 tanpa menggunakan CDM. Sementara, untuk penggunaan cover lagoon, IRR yang diperoleh tanpa menggunakan CDM sebesar 3,1-14,0. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa teknologi CSTR dari PT KIS memiliki potensi nilai IRR yang lebih besar daripada teknologi serupa yang dikembangkan di Thailand. Di sisi lain, teknologi cover lagoon dari PT KME juga memiliki potensi yang lebih tinggi, sedangkan cover lagoon dari PT AES memiliki potensi yang tidak jauh berbeda dengan cover lagoon yang ada di Thailand. 49 Ketiga, nilai perbandingan antara manfaat dan biaya melalui net BC dan gross BC menunjukkan bahwa teknologi PT KME tetap lebih baik digunakan karena memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kedua teknologi lainnya yaitu nilai net BCPT KME PT KIS PT AES sebesar 1,84 1,62 1,07. Sementara, nilai gross BC PT KME, PT KIS, dan PT AES berturut-turut adalah 1,70; 1,62; dan 1,06. Kecenderungan nilainya tetap sama karena menggunakan discounted cashflow. Perbedaannya, nilai net BC menunjukkan angka yang lebih jelas dan akurat. Nilai net BC diperoleh dengan membandingkan arus kas bersih terhadap biaya investasi di awal. Sementara, gross BC membandingkan akumulasi keseluruhan manfaat terhadap keseluruhan biaya. Menurut Soeharto 2002, metode penghitungan gross BC merupakan metode penghitungan standar BC. Akan tetapi, penggunaannya amat dikenal dalam mengevaluasi proyek-proyek untuk kepentingan umum atau sektor publik. Penekanannya ditujukan pada manfaat bagi kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial perusahaan. Sementara, metode penghitungan net BClebih umum digunakan pada proyek- proyek sektor swasta. Manfaat benefit umumnya berupa pendapatan yang telah dikurangi dengan biaya di luar biaya pertama, misalnya biaya operasional. Keempat, perbandingan berdasarkan penilaian pay back period PBP. Semakin tinggi nilai PBP, semakin rendah kelayakan investasi suatu proyek. PBP PT KME merupakan PBP yang tercepat yaitu sekitar4,13 tahun. PBP PT AES sekitar 6,32 tahun dan PBP PT KIS sebesar 4,87 tahun. Berdasarkan nilai PBP tersebut, PT KME dan PT KIS menyediakan teknologi yang prospektif dikembangkan karena pengembalian biaya investasi dapat dicapai sebelum pertengahan umur proyek. Di lain pihak, teknologi PT AES kurang prospektif karena pengembalian investasinya dicapai menjelang akhir proyek.

4.6.2. Manfaat dari Penjualan CER