PRODUKSI GAS METANA MELALUI DEKOMPOSISI ANAEROBIK

7 mengambil kembali minyak yang masih terkandung pada LCPKS. Limbah akan dipanaskan menggunakan uap dengan suhu 85-95 o Pada penanganan secara biologi, umumnya PKS di Indonesia menggunakan sistem kolam, yaitu dekomposisi pada kolam anaerobik yang dilanjutkan dengan kolam aerobik atau kolam fakultatif.Sistem konvensional tersebut membutuhkan lahan yang sangat luas, melepaskan gas metana yang dihasilkan ke atmosfer, dan menghasilkan banyak lumpur. Sistem tersebut masih umum digunakan karena dipertimbangkan sebagai sistem yang paling efektif dalam hal biaya Wiryawan 2012. Kondisi di atas disebabkan oleh paradigma pengusaha kelapa sawit bahwa pengolahan limbah cair harus menggunakan biaya seminimal mungkin untuk memenuhi tujuan utama pencapaian baku mutu limbah sebelum disalurkan ke lingkungan, bukan pemikiran bahwa limbah merupakan sumber pendapatan. C. Minyak akan terlepas dan dapat diambil kembali sebanyak 0,8-1,2. BOD dari pengolahan tersebut sebesar 30.000-40.000 ppm dengan pH 4-5Rahardjo 2009. Setelah diolah menggunakan fat pit, limbah cair akan memasuki cooling tower ataupun cooling pond untuk menurunkan suhu dan siap memasuki penangan sekunder. Penanganan sekunder dilakukan secara biologi menggunakan mikroorganisme pengurai untuk menurunkan kadar polutan organik. Penanganan tersier merupakan kelanjutan penanganan sekunder apabila masih terdapat bahan pencemar yang berbahaya. Contoh penanganannya adalah penggunaan saringan pasir sand filter dan saringan hampa vacuum filter serta proses penyerapan. Penanganan lanjutan setelah desinfeksi adalah penanganan lumpur yang dihasilkan dari proses sebelumnya. Pada penanganan limbah secara anaerobik, pengurangan beban limbah dapat mencapai95 BOD dalam jangka waktu 55 hari hingga 110 hari dengan kebutuhan lahan yang sangat luas Ahmad et al. 2012.Mikroorganisme yang berperan sebagai pengurai terbagi menjadi empat golongan. Pertama, bakteri hidrolitik yang berperan katabolis terhadap sakarida, protein, dan lipid. Kedua, bakteri asetogenyang menghasilkan gas hidrogen dengan merombak asam-asam lemak tertentu. Ketiga, bakteri homoasetogen yang menghidrolisis senyawa multikarbon menjadi asam asetat. Kelompok keempat adalah bakteri metanogen yang mengkatabolisis asetat dan senyawa karbon tunggal menjadi gas metana. Oleh karena itu, selain mengurangi beban pencemar dalam LCPKS, proses pengolahan limbah di atas akan menghasilkan biogas yang mengandung metana, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida.

2.3. PRODUKSI GAS METANA MELALUI DEKOMPOSISI ANAEROBIK

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gas metana dihasilkan pada proses dekomposisi LCPKS secara anaerobik. Proses dekomposisi tersebut terdiri atas tahapan hidrolisis, asidogenesis pembentukan asam, asetogenesis pembentukan asam asetat dan metanogenesis pembentukan metana, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. 8 Gambar 1. Tahapan proses dekomposisi anaerobik Hambali et al. 2008 Tahapan hidrolisis merupakan tahapan paling awal dalam bentuk pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana penyusunnya. Senyawa kompleks dapat berupa karbohidrat, lemak, ataupun protein. Hidrolisis dilakukan dengan adanya eksoenzim dari bakteri anaerobik yang membutuhkan senyawa sederhana untuk memperoleh energi. Bakteri yang berperan adalah Clostridium. Bakteri tersebut mampu menghasilkan lipase dan protease untuk memecah lipid dan protein Deublein dan Steinhauser2008. Tahapan selanjutnya sebelum asetogenesis adalah tahapan asidogenesis. Tahapan tersebut merupakan perombakan bahan hasil hidrolisis menjadi bahan organik lain, meliputi asam-asam organik asam format, asetat, propionat, butirat, laktat, suksinat, etanol, karbon dioksida, dan gas hidrogen. Bakteri yang berperan adalah Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes Deublein dan Steinhauser2008. Tahapan asetogenesis merupakan tahapan pembentukan senyawa asetat, karbon dioksida, dan hidrogen. Asam propionat dan butirat dikonversi menjadi asetat karena bakteri metanogen tidak dapat menggunakan bahan organik dengan atom karbon lebih dari dua. Proses konversi tersebut dilakukan oleh bakteri asetogen. Karbon dioksida dan hidrogen yang ada dikonversi juga menjadi asam asetat oleh bakteri homoasetogen. Bakteri yang berperan dalam tahapan asetogenesis adalah Acetobacterium woodee dan Clostridium aceticumDeublein dan Steinhauser 2008. Tahapan metanogenesis merupakan proses yang terpenting dalam pembentukan gas metana pada dekomposisi anaerobik. Karbon dioksida dikonversi menjadi metana dan air, sedangkan asam asetat dikonversi menjadi metana dan karbon dioksida. Proses konversi terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO 2 CH Deublein dan Steinhauser 2008 sebagai berikut: 3 COOH  CH 4 + CO 2 4 CO dekarboksilasi asetat 2 + H 2  CH 4 + CO 2 reduksi CO 2 9 Bakteri pada tahapan metanogenesis merupakan bakteri mesofilik yang hidup pada kisaran suhu 20- 40 o Proses dekomposisi anaerobik tersebut dapat dilakukan di dalam empat jenis bioreaktor, yakni bioreaktor teraduk sempurna Complete Stirred Tank ReactorCSTR, Sludge Blanket Reactor SBR, bioreaktor film tetap Fixed Film Reactor, dan bioreaktor terfluidisasi Fluidized Bed Reactor. Keempat bioreaktor di atas dapat dicampur menggunakan cairan. Selain dengan cairan, CSTR juga dapat menggunakan metode pencampuran mekanis Gumbira-Sa’id 1994. C dan beberapa merupakan bakteri termofilik. Bakteri tersebut antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina. Dalam proses dekomposisi anaerobik, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh antara lain suhu, nilai pH, kadar CN, ada tidaknya bahan toksik, dan pengadukan. Pertama, suhu sebagai faktor yang sangat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan berkaitan erat dengan waktu retensi. Suhu dekomposisi anaerobik terbagi menjadi tiga jenis yaitu suhu termofil 45-60 o C untuk dekomposisi yang cepat dan produksi tinggi, suhu mesofil 27-40 o C berupa suhu ruang, dan suhu kryofil 5-25 o Kedua, dekomposisi anaerobik dipengaruhi oleh nilai pH limbah. Nilai pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan laju reaksi. Umumnya pembentukan biogas membutuhkan pH 6,5-8,5. Jika pH terlalu rendah, kondisi menunjukkan tingginya konsentrasi asam asetat pada limbah sehingga dekomposisi menjadi metana tidak berlangsung dengan baik. Sebaliknya, nilai pH yang terlalu tinggi menghasilkan amonia dengan konsentrasi berlebih sehingga toksisitas substrat meningkat Bitton 1999. C yang umumnya dipengaruhi udara iklim sedang dengan laju dekomposisi berjalan lambatMetcalf dan Eddy 2003. Suhu termofil lebih baik dibandingkan dengan suhu mesofil, asalkan suhunya tidak terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan produksi amonia lebih tinggi sehingga bersifat toksik bagi bakteri metanogen. Suhu termofil yang optimum akan memperkecil waktu retensi karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih cepat dibandingkan dengan laju bakteri mesofil. Selain itu, kondisi termofil akan menyebabkan keberadaan mikroorganisme patogen pada limbah lebih sedikit, degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik, dan residu pembentukan biomassa sludge lebih rendah dibandingkan dengan kondisi mesofil. Akan tetapi, derajat kestabilan kondisi termofil lebih rendah dan membutuhkan energi yang lebih besar Wellinger 1999. Ketiga, rasio karbon-nitrogen CN sebagai substrat yang dibutuhkan oleh bakteri pendekomposisi. Rasio yang baik untuk pertumbuhan bakteri anaerobik adalah 20:1.Nilai CN yang yang terlalu tinggi akan menyebabkan nitrogen dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metanogen sampai batas persyaratan protein, kemudian bereaksi pada kandungan karbon pada bahan sehingga produksi metana rendah. Sebaliknya, nilai CN yang terlalu rendah menyebabkan nitrogen bebas dan membentuk amonia sehingga pH meningkat. Jika kondisi tersebut dibiarkan hingga nilai pH yang terlalu tinggi, akan timbul sifat toksik bagi bakteri metanogen Wahyuni 2009. Keempat, ada tidaknya bahan toksik berpengaruh terhadap proses dekomposisi anaerobik. Bahan yang bersifat toksik bagi bakteri anaerobik adalah logam berat dan pelarut organik. Selain itu, ion substrat dengan konsentrasi yang tidak sesuai juga bersifat toksik. Sebagai contoh, ion natrium Na + dan kalsium Ca 2+ yang lebih dari 8 gL, ion kalium K + yang lebih dari 12 gL, serta ion amonium NH 4 + Kelima, faktor yang berpengaruh berupa ada tidaknya pengadukan. Pengadukan berfungsi untuk menghomogenkan substrat, mempertinggi kontak antara bakteri dengan substrat, dan mencegah pengendapan padatan di dasar reaktor. Pengadukan yang baik untuk proses dekompisisi anaerobik adalah sekitar 15-50 rpm. Tanpa pengadukan, lumpur yang dihasilkan akan terendapkan di bagian bawah reaktor. Dampaknya, volume efektif reaktor menurun sehingga beban hidrolik berlebih. Beban yang lebih dari 3 gL. Keberadaan unsur tembaga Cu, krom Cr, nikel Ni, dan seng Zn dengan konsentrasi rendah juga bersifat toksik Bitton 1999. 10 hidrolik yang berlebih mengindikasikan waktu tinggal di reaktor HRT lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan bakteri mengalami wash- out Wellinger 1999. Proses anaerobik umumnya dilakukan pada suhu 50 o Cdengan laju dekomposisi sebesar 80. Energi yang dibutuhkan cukup kecil yaitu 0,05-0,10 kWhm 3 . Proses dekomposisi anaerobik pada LCPKS dengan COD sebesar 45 kgm 3 akan menghasilkan biogas yang mengandung gas metana sebesar 0,45 m 3 biogaskg COD Sixt 1994 diacu dalam Gumbira-Sa’id 1994. Penurunan kadar polutan sebanyak 30 g CODLhari pada suhu 30 o C dan sebanyak 50 g CODLhari pada suhu 40 o C. Selain itu, hasil samping dari proses anaerobik adalah lumpur sludge dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan proses aerobik. Lumpur dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya unsur hara nitrogen, fosfat, dan kalium.

2.4. GAS METANA SEBAGAI POTENSI ENERGI TERBARUKAN