Pengaruh Model Collaborative Problem Solving terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh: Ade Bayu Setiaji NIM. 109017000096

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh model Collaborative Problem Solving terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika siswa. Penelitian ini dilakukan di SMP Islam Madinatul Ilmi Ciputat Tahun Ajaran 2015/2016. Metode yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian Randomized Postest-Only Control Group Design. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah VII-A dan VII-B sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol yang ditentukan melalui teknik Cluster Random Sampling. Kelas eksperimen pembelajarannya menggunakan model Collaborative Problem Solving,dan kelas kontrol pembelajarannya menggunakan model konvensional. Pengambilan data menggunakan instrumen berupa tes pemahaman konsep matematika. Nilai rata-rata hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model Collaborative Problem Solving adalah sebesar 71,2 dan nilai rata-rata hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model konvensional adalah sebesar 62. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model Collaborative Problem Solving lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan model konvensional. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model Collaborative Problem Solving berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.

Kata kunci: Collaborative, Problem Solving, Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika


(6)

ii

Department of Mathematics Education, Faculty of Science and Teaching of MT, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, in 2016.

The purpose of this study to analyze the influence of the model Collaborative Problem Solving in the ability of understanding mathematical concepts students. This research was conducted in SMP Islam Madinatul Ilmi Ciputat School Year 2015/2016. The method used is the method of quasi-experimental research design Randomized Posttest-Only Control Group Design. The sample used in this study is a VII-A and VII-B as the experimental class and control class that is determined through cluster random sampling technique. Classroom learning experiment using the model of Collaborative Problem Solving, and classroom learning control using conventional models. Retrieving data using a test instrument in the form of understanding mathematical concepts. The average value of the results of tests the ability of understanding mathematical concepts students who are taught by a model Collaborative Problem Solving is by 71.2 and the average value of the results of tests the ability of understanding mathematical concepts students who are taught by the conventional model is for 62. Results of the study revealed that the ability of understanding mathematical concepts students who are taught by a model Collaborative Problem Solving higher than students taught by conventional models. The conclusion of this study is that the study of mathematics by using a model of Collaborative Problem Solving affect the ability of students' understanding of mathematical concepts.

Keywords: Collaborative, Problem Solving, Mathematical Concept Training Capabilities


(7)

iii

Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji serta syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi karunia kenikmatan yang luar biasa, baik nikmat iman, nikmat islam, maupun nikmat kesehatan, dan juga telah memberikan kelancaran dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sang penerang umat di seluruh zaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyaknya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Namun berkat kerja keras, do’a dan dukungan dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semuanya dapat teratasi dan berjalan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S. Si, M. Pd, Sekertaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Afidah Mas’ud, selaku pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

5. Bapak Firdausi, M. Pd, selaku pembimbing II yang selalu arahan-arahan positif, dan semangat dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini. 6. Ibu Dr. Lia Kurniawati, M. Pd, selaku Dosen Penasehat Akademik yang

senantiasa memberikan bimbingan selama mengikuti proses perkuliahan. 7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan bimbingan selama penulis mengikuti perkuliahan.


(8)

8. Ibu Fivi Lutfiani, S. E, selaku kepala SMP Islam Madinatul ‘Ilmi, yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

9. Bapak Irkham Hidayat, S. Pd, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung.

10.Siswa-siswi SMP Islam Madinatul ‘Ilmi yang telah bersedia bekerja sama dengan penulis selama penelitian berlangsung.

11.Keluarga tercinta Bapak Sonhaji Aziz, Ibu Deningsih, Mas Bakti Agung, Nok Ismiyatul Khaefiyah, Kotong Revan Adhitya yang telah memberikan dukungan dan doa.

12.Saudari Siti Khodijah, S. Pd, yang telah menemani baik suka maupun duka. 13.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2009,

kelas A, B dan C terutama Irkham, Dijah, Lukas, Desi, Karina yang telah memberikan motivasi dan bersedia direpotkan selama penulisan skripsi ini. 14.Kakak dan adik kelas Jurusan Pendidikan Matematika yang sudah membantu

dan mempermudah penulis dalam menyusun skripsi.

15.Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga bantuan, bimbingan, dukungan, masukan dan do’a yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima sebagai amalan kebaikan yang menjadi pintu pembuka bagi keridhoan Allah SWT. Aamiin yaa robbal’alamin.

Penulis menyadari bahwa meskipun telah berusaha untuk memberikan yang terbaik, namun skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penulis di masa yang akan datang. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, Juni 2016


(9)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 7

A. Landasan Teoritik... 7

1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika ... 7

a. Pengertian Pemahaman Konsep ... 7

b. Pemahaman Konsep dalam Matematika ... 8

c. Indikator Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika ... 10

2. Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving... 12

a. Pembelajaran Kolaboratif... 12

b. Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving ... 14

c. Tahapan Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving ... 17

3. Model Pembelajaran Konvensional ... 21


(10)

C. Kerangka Berpikir ... 23

D. Hipotesis Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Metode dan Desain Penelitian ... 25

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ... 27

D. Teknik Pengumpulan Data ... 27

E. Instrumen Penelitian... 27

F. Teknik Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Deskripsi Data ... 40

1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 41

2. Nilai Kemampuan Pemahaman konsep matematika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 45

B. Analisis Data ... 48

1. Uji Prasyarat ... 48

a. Uji Normalitas ... 48

b. Uji Homogenitas ... 49

2. Pengujian Hipotesis ... 50

C. Pembahasan ... 51

D. Keterbatasan Penelitian ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

vii

Tabel 3.2 Desain Penelitian ... 26

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman konsep Matematis ... 28

Tabel 3.4 Pedoman Penskoran Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman konsep Matematis... 29

Tabel 3.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Validitas Instrumen ... 30

Tabel 3.6 Kriteri Interpretasi Uji Reliabilitas ... 31

Tabel 3.7 Klasifikasi Indeks Kesukaran ... 32

Tabel 3.8 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran ... 32

Tabel 3.9 Klafisifikasi Indeks Daya Pembeda... 33

Tabel 3.10 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Daya Pembeda ... 34

Tabel 3.11 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran ... 34

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Kelas Eksperimen ... 41

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Kelas Kontrol ... 42

Tabel 4.3 Perbandingan Kemampuan Pemahaman konsep Matematika Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok kontrol ... 44

Tabel 4.4 Nilai Rata-Rata Indikator Pemahaman konsep matematika Kelas ksperimen dan Kelas Kontrol ... 46

Tabel 4.5 Uji Normalitas Kemampuan Pemahaman konsep matematika Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 49


(12)

viii

Siswa Kelas Eksperimen ... 42 Gambar 4.2 Diagram Batang Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

Siswa Kelas Kontrol ... 43 Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Nilai Kemampuan Pemahaman konsep

matematika Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol... 45 Gambar 4.4 Grafik Nilai Indikator Kemampuan Pemahaman konsep

Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 47 Gambar 4.5 Kurva Uji Kritis dengan t Hitung ... 50 Gambar 4.6 Jawaban Soal Posttest Nomor 1 pada Kelas Ekperimen dan

Kontrol ... 56 Gambar 4.7 Jawaban Soal Posttest Nomor 3 pada Kelas Ekperimen dan

Kontrol ... 56 Gambar 4.8 Jawaban Soal Posttest Nomor 4 pada Kelas Ekperimen dan

Kontrol ... 58 Gambar 4.9 Jawaban Soal Posttest Nomor 5 pada Kelas Ekperimen dan

Kontrol ... 59 Gambar 4.10 Jawaban Soal Posttest Nomor 6 pada Kelas Ekperimen dan

Kontrol ... 60 Gambar 4.11 Jawaban Soal Posttest Nomor 7 pada Kelas Ekperimen dan


(13)

ix

Lampiran 2 RPP Kelas Kontrol ... 88 Lampiran 3 Lembar kerja Kelompok ... 97 Lampiran 4 Kisi-Kisi Instrumen Tes Pemahaman Konsep Matematika

Sebelum Validitas ... 119 Lampiran 5 Soal Instrument Tes Pemahaman Konsep Matematika Sebelum

Validitas ... 120 Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes Pemahaman Konsep

Matematika Sebelum Validitas ... 122 Lampiran 7 Rubrik Pedoman Penskoran ... 125 Lampiran 8 Nilai Hasil Uji Instrumen Tes Pemahaman Konsep Matematika

Kelas 8 ... 126 Lampiran 9 Perhitungan Manual Uji Validitas ... 127 Lampiran 10 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Pemahaman Konsep

Matematika ... 129 Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Tes Pemahaman Konsep

Matematika ... 130 Lampiran 12 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Tes Pemahaman Konsep

Matematika ... 131 Lampiran 13 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Pemahaman

Konsep Matematika ... 132 Lampiran 14 Kisi-Kisi Instrumen Tes Pemahaman Konsep Matematika

Setelah Validitas... 133 Lampiran 15 Soal Instrument Tes Pemahaman Konsep Matematika Setelah

Validitas ... 134 Lampiran 16 Kunci Jawaban Instrumen Tes Pemahaman Konsep

Matematika Setelah Validitas ... 136 Lampiran 17 Nilai Posttest Kelas Eksperiman ... 138 Lampiran 18 Nilai Posttest Kelas Kontrol ... 139


(14)

Lampiran 19 Hasil Uji Normalitas Menggunakan SPSS ... 140 Lampiran 20 Hasil Uji Homogenitas Menggunakan SPSS ... 141 Lampiran 21 Hasil Uji T Menggunakan SPSS ... 142 Lampiran 22 Rekapitulasi Persentase Kemampuan Pemahaman Konsep


(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi yang sangat pesat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Berkembangnya teknologi ini mengakibatkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang memiliki dampak positif maupun negatif. Perkembangan teknologi ini dimulai dari negara maju, sehingga sebagai negara berkembang perlu mengikuti perkembangan teknologi sebisa mungkin. Dengan perkembangan teknologi ini pemerintah perlu meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan. Peningkatan tersebut dilakukan dengan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan tenaga pendidik yang profesional dan peningkatan mutu anak didik. Penguasaan materi merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Melalui pendidikan, manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman empirik yang sangat berguna bagi kehidupannya, serta dapat mengembangkan diri manusia sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendidikan memiliki cakupan yang luas, yaitu mencakup pengajaran dan pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.2 Pembelajaran merupakan usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang

1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, pasal 1.

2


(16)

relatif lama dan karena adanya usaha. Dalam pembelajaran siswa tidak hanya menyerap informasi yang disampaikan guru, tetapi melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik.

Pembelajaran matematika adalah suatu proses yang diselengarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa guna memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan matematika. Belajar matematika pada dasarnya merupakan belajar konsep. Belajar konsep yaitu belajar tentang konsep baru, atau perubahan konsep yang telah ada.3 Selama ini siswa cenderung menghapal konsep-konsep matematika, tanpa memahami maksud dan isinya. Jika konsep dasar yang diterima tanpa memahami maksud dan isinya, maka siswa sukar memperbaiki kembali, terutama jika sudah diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana siswa memahami konsep-konsep matematika secara bulat dan utuh, sehingga jika diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika siswa tidak mengalami kesulitan.

Pembelajaran matematika selama ini belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kemampuan matematika. Pada penelitian kemampuan matematika siswa kelas VIII yang dilakukan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011, Indonesia berada di peringkat 38 dari 42 negara yang ikut serta dalam penelitian tersebut dengan perolehan skor rata-rata 386 tertinggal jauh dari peringkat pertama yaitu negara Korea dengan skor rata-rata 613.4 Rendahnya skor rata-rata yang dicapai menunjukan bahwa pemahaman konsep matematika siswa-siswa di Indonesia masih relatif rendah.

Kerangka kerja penilaian matematika TIMSS 2011 diorganisir dengan menggunakan dua dimensi, pertama dimensi isi yang membahas tentang domain-domain atau pokok masalah yang dinilai dalam matematika (contohnya, masalah bilangan 30%, aljabar 30%, geometri 20%, data dan

3

Mulyati, Pengantar Psikologi Belajar, (Jogjakarta: Quality Publishing, 2007) h. 54. 4

TIMSS, Towards Equity and Excellence Highlights from TIMSS 2011: The South African perspective, 2011, h.4.


(17)

peluang 20%) dan kedua dimensi kognitif yang membahas tentang penilaian terhadap domain-domain atau proses berfikir (pengetahuan/pemahaman 35%, penerapan 40% dan pertimbangan 25%). Bidang kognitif membahas tentang sikap perilaku siswa yang diharapkan untuk dapat menggunakan isi/kandungan matematika itu. 5

Dede Suratman dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa pemahaman konsep matematika pada materi PtSLV masih sangat rendah. Persentase pemahaman konsep siswa adalah 26,73% dari persentase rata-ratanya <55%. Siswa masih belum menguasai konsep-konsep yang berhubungan dengan PtLSV, sehingga belum mampu menjawab permasalahan yang diberikan dengan argumen-argumen yang tepat.6

Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa, salah satunya model pembelajaran yang digunakan guru. masih banyak guru yang menerapkan pembelajaran konvensional, dalam prosesnya guru menyampaikan materi dengan metode ceramah, siswa duduk manis mendengarkan dan mencatat konsep-konsep abstrak yang disampaikan oleh guru tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Siswa kurang tertarik dan lebih bersikap pasif dalam pembelajaran. Saat latihan sebagian besar siswa memang dapat mengerjakan soal-soal yang sejenis dengan yang telah dicontohkan guru. Namun pada saat siswa diberi soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.

Permasalahan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika perlu diperbaiki guna meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Mengingat pentingnya matematika maka diperlukan pembenahan proses pembelajaran yang dilakukan guru yaitu dengan menggunakan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika.

5

TIMSS 2011 Mathematics Framework, h. 19-20, dari http://timssandpirls.bc.edu, diakses Sabtu, 22 Januari 2014, pukul: 20.10.

6

Dede Suratman, Pemahaman Konseptual dan Pengetahuan Prosedural Materi Pertidaksamaan Linear Satu Variabel Siswa Kelas VII SMP (Studi Kasus di MTs Ushuluddin Singkawang), PMIPA FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak.


(18)

Seiring berkembangnya model-model atau metode-metode pembelajaran dalam dunia pendidikan. Guru harus pandai merancang pembelajaran dengan memilih model atau metode untuk menciptakan suasana belajar yang mengaktifkan siswa dan menyenangkan. Salah satu alternatif untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif yaitu dengan model pembelajaran collaborative problem solving.

Model pembelajaran collaborative problem solving adalah pembelajaran dimana siswa berpartisipasi dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah secara bersama-sama. collaborative problem solving merupakan gabungan antara aspek yang ditemukan dalam pemecahan masalah individu disamping aspek kolaboratif. Pembelajaran ini juga melibatkan anggota kelompok lainnya dalam proses belajar sehingga membutuhkan keterampilan kognitif dan sosial untuk memungkinkan penyampaian pemahaman, pengetahuan, saling berbagi informasi, membuat dan memahami organisasi kelompok yang sesuai, dan untuk melakukan tindakan terkoordinasi untuk memecahkan masalah.

Menurut Hesse dalam tulisannya menjelaskan bahwa collaborative problem solving memiliki keunggulan yang sangat berguna ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks. Salah satu keunggulannya adalah siswa dapat melakukan pertukaran pengetahuan atau pendapat untuk mengoptimalkan pemahaman.7 Penerapan model pembelajaran collaborative problem solving

diharapkan dapat meningkatan kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa”.

7

Hesse Friedrich, A Framework for Teachable Collaborative Problem Solving Skill,


(19)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat didentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut:

1. Hasil belajar matematika siswa masih rendah.

2. Pemahaman konsep matematika siswa masih rendah.

3. Pembelajaran cenderung masih menggunakan pembelajaran konvensional. 4. Siswa kurang tertarik dan lebih bersikap pasif dalam pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini hanya meneliti kelas VII SMP Islam Madinatul ’Ilmi.

2. Model pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model

collaborative problem solving.

3. Pemahaman konsep yang dimaksud yaitu pemahaman translasi, interpretasi dan eksplorasi. Untuk pemahaman ekstrapolasi tidak dikembangkan indikatornya di RPP tetapi tetap diujikan pada posttest. D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan model collaborative problem solving?

2. Bagaimana pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional?

3. Apakah terdapat pengaruh model collaborative problem solving terhadap pemahaman konsep matematika siswa?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian eksperimen ini adalah: 1. Untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematika siswa


(20)

2. Untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.

3. Untuk mengetahui pengaruh model collaborative problem solving

terhadap pemahaman konsep matematika siswa. F. Manfaat Penelitian

1. Bagi guru

a. Memperoleh pengetahuan tentang pembelajaran dengan model

collaborative problem solving.

b. Dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas dengan baik.

2. Bagi peneliti

a. Memperoleh pengalaman langsung dalam praktet pembelajaran dengan model collaborative problem solving.

b. Memperoleh bekal tambahan sebagai calon guru matematika sehingga diharapkan dapat bermanfaat kelak ketika terjun di lapangan.

3. Bagi pembaca

a. Memperoleh pengetahuan tentang Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa.


(21)

7

A. Landasan Teoritik

1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika a. Pengertian Pemahaman Konsep

Pemahaman berasal dari kata understanding. Suatu pemahaman ditentukan oleh hubungan suatu gagasan, prosedur atau fakta matematika yang dipahami secara menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk jaringan dengan keterkaitan yang tinggi.1 Sedangkan menurut Longworth, Pemahaman merupakan landasan bagi peserta didik atau siswa untuk membangun wawasan dan kebijaksanaan.2

Konsep dapat diartikan sebuah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Konsep dasar dapat dipelajari melalui definisi atau penggunaan secara langsung. Dengan kata lain konsep dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengar, mendiskusikan, dan memikirkannya. Chaplin menyebutkan pengertian konsep meliputi: (1) Suatu ide atau pengertian umum, berupa kata, simbol, tanda. (2) Suatu ide yang menggabungkan beberapa unsur ke dalam satu gagasan tunggal.3 Namun menurut Ratna, belum ada suatau definisi yang tepat mengenai konsep. Pengertian konsep yang diberikan dalam kamus, seperti “sesuatu yang diterima dalam pikiran” atau “suatu ide yang umum dan abstrak” menurutnya masih terlalu luas untuk digunakan.4 Sehingga dari pendapat beberapa ahli dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konsep adalah suatu

1

Nila Kesumawati, “Pemahaman konsep dan Pembelajaran Matematika”, Makalah disampaikan pada Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008, h. 230.

2 Ibid.

3

Mulyati, Pengantar Psikologi Belajar, (Jogjakarta: Quality Publishing, 2007), h. 53. 4

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 62.


(22)

ide atau gagasan yang memungkinkan kita untuk dapat mengelompokkan benda ke dalam atu kelompok yang sama.

Menurut Duffin & Simpson, pemahaman konsep sebagai kemampuan siswa untuk menjelaskan konsep, siswa mampu untuk mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan atau diajarkan kepadanya kedalam bahasa sendiri.5 Penggunaan suatu konsep biasanya digunakan secara terus menerus untuk menjelaskan satu konsep dengan konsep yang lain. Oleh karena itu siswa harus benar-benar dapat mengklasifikasikan suatu konsep dengan masalah, dan memahami relasinya. Konsep yang salah diterima oleh siswa berakibat fatal untuk mempelajari konsep berikutnya yang saling berkaitan dengan konsep sebelumnya.

b. Pemahaman Konsep dalam Matematika

Terdapat beberapa pengertian matematika menurut para ahli, James dan James menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya.6 Sedangkan pendapat yang lain dikemukakan oleh Dindin, menurutnya matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, keterkaitan antar konsep-konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas karena disebabkan kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran yang telah dibuktikan sebelumnya.7

Depdiknas mengungkapkan bahwa pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar

5 Ibid. 6

Hakikat Matematika, dari

http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/MODEL_PEMBELAJARAN_MATEMATIKA/HAKIKAT_MATEMATIKA.pdf, h. 4,

diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.00.

7

Dindin Abdul Muiz Lidinillah, “Strategi Pembelajaran Matematika di Sekoah Dasar”,

makalah disampaikan pada Kegiatan Pembinaan Profesionalisme Guru SD Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya, Maret 2006, h. 1.


(23)

konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.8

Menurut Skinner untuk menguatkan pemahaman konsep dalam pokok bahasan yang dibahas, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang tanya-jawab dalam proses pengajaran, harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latihan soal-soal, tugas, pekerjaan rumah, dan ulangan.9 Dengan adanya latihan soal atau tugas ini membuat siswa mengingat kembali apa yang telah dipelajari, sehingga pemahaman tentang materi atau pokok bahasan yang telah dipelajari akan menjadi lebih kuat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman konsep matematika adalah kemampuan siswa untuk memahami suatu ide matematika, mengaitkan konsep satu dengan konsep yang lain, serta menerapkan konsep yang telah dipahaminya untuk menyelesaikan masalah. Pahamnya siswa terhadap suatu konsep dapat diukur dari indicator pemahaman konsep. Misalnya siswa dapat menjelaskan kembali konsep dengan kata-kata sendiri, menerapkan konsep/rumus dan lain-lain.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman konsep sekaligus keberhasilan belajar matematika siswa ditinjau dari segi komponen pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar, (2) guru, (3) anak didik, (4) kegiatan pengajaran, (5) bahan dan alat evaluasi, (6) suasana evaluasi.10

8

Nizarwati dkk, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X Sma, Jurnal Pendidikan Matematika Unsri Volume 3. No. 2, 2009, h. 57-58.

9

Didi Suryadi, Pendidikan Matematika, UPI, dari

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/195802011984031-DIDI_SURYADI/DIDI-18.pdf, diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.00.

10 Linda Rahmawati, “Pemahaman Pribadi S

iswa”, Makalah Perkembangan Peserta Didik, Purwokerto, 2013, h. 7-8.


(24)

c. Indikator Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

Siswa dikatakan memahami konsep jika siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep, mengembangkan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik dalam konteks di luar matematika.

Indikator pemahaman konsep menurut Bloom dibagi menjadi tiga, yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi, berikut penjelasannya:

1. Penerjemahan (translasi), yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa menerjemahkan kalimat dalam soal menjadi bentuk lain. Pemahaman translasi digunakan untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan bahasa dan bentuk lain dan mengenai pemberian makna dari informasi yang berbeda.11 Kemampuan menterjemahkan merupakan pengalihan dari bahasa konsep ke dalam bahasa sendiri, atau pengalihan dari konsep abstrak ke suatu model atau simbol yang dapat mempermudah orang untuk mempelajarinya.

2. Penafsiran (interpretasi), yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal. Pemahaman interpretasi digunakan untuk menjelaskan suatu bacaan, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga mencakup pemahaman suatu informasi dari sebuah gagasan.12 Misalnya dalam bentuk grafik, peta konsep, tabel, simbol, dan sebaliknya. Jika kemampuan menterjemahkan mengandung pengertian mengubah bagian demi bagian, kemampuan menafsirkan meliputi penyatuan dan penataan kembali. Dengan kata lain, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan bagian-bagian yang diketahui berikutnya.

11

Ety Mukhlesi Yeni, Pemanfaatan Benda-Benda Manipulatif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Geometri dan Kemampuan Tilikan Ruang Siswa Kelas V Sekolah Dasar,

Jurnal Matematika Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011. 12


(25)

3. Ektrapolasi, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa menyimpulkan konsep yang telah diketahui dengan menerapkannya dalam perhitungan matematika untuk menyelesaikan soal. Pemahaman ekstrapolasi merupakan etimasi yang didasarkan pada sebuah pemikiran dari suatu informasi, juga mencakup pembuatan kesimpulan dengan konsekuensi yang sesuai dengan penerapan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori atau petunjuk teknis.13 Dengan demikian, bukan saja berarti mengetahui yang sifatnya mengingat saja, tetapi mampu mengungkapkan kembali ke dalam bentuk lainnya yang mudah dimengerti, memberi interpretasi, serta mampu mengaplikasikannya.

Polya merinci kemampuan pemahaman pada empat tahap, yaitu: 1. Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh dapat mengingat dan

menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana. 2. Pemahaman induktif, yakni dapat menerapkan rumus atau konsep

dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa.

3. Pemahaman rasional, yakni dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema.

4. Pemahaman intiutif, yakni dapat memperkirakan kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut.14

Berbeda dengan Polya, Pollatsek menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, (2) pemahaman fungsional, yaitu dapat mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya dan menyadari proses yang dikerjakan. Pendapat lain yang serupa dikemukakan oleh Skemp dan Copeland. Skemp menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) pemahaman instrumental, yakni hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan

13

Ibid.

14

Utari Sumarmo, Berfikir dan Disposisi Matemetik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik, (Bandung, FPMIPA UPI, 2010), h. 4.


(26)

rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, dan (2) pemahaman relasional, yakni dapat mengaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Mirip pendapat Pollatsek dan Skemp, Copeland menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) knowing how to, yaitu dapat mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/algoritmi, dan (2) knowing, yakni dapat mengerjakan suatu perhitungan secara sadar.15

Dari uraian di atas terdapat beberapa macam indikator pemahaman konsep dalam pembelajaran matematika. Namun dalam penelitin ini penulis menggunakan indikator-indikator pemahaman konsep yang dikemukakan oleh Bloom yang meliputi translasi, interpretasi dan eksplorasi.

2. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving a. Pembelajaran Kolaboratif

Ada beberapa pendapat ahli mengenai pengertian pembelajaran. Kevin Seifert, “pembelajaran merangkumi perubahan tingkah laku yang agak kekal disebabkan oleh pengalaman tertentu atau ulangan pengalaman”.16 Sedangkan pendapat Anita E. Woolfolk, “pembelajaran adalah proses di mana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan dan tingkah laku yang kekal”.17

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran

15

Ibid.

16

Ahmad Johari Sihes, Konsep Pembelajaran, (Johor Bahru, UTM, 2013), h.2. 17


(27)

adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Keohane berpendapat bahwa: “kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain dalam satu team, dan di dalamnya bercampur di dalam satu kelompok untuk mencapai tujuan bersama”.18 Sedangkan Patel berpendapat bahwa “kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan fungsional antara keterampilan koordinasi, tools, dan hadiah”.19 Menurut Jacob, “kolaboratif adalah suatu folosofi interaksi dan gaya hidup personal di mana individual bertanggungjawab terhadap tindakan mereka, meliputi belajar dan respek kemampuan dan kontribusi rekan-rakan mereka”.20

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam pembelajaran kolaboratif siswa belajar bersama-sama dengan siswa yang lain dalam satu kelompok tertentu. Gokhale mendefinisikan bahwa collaborative learning mengacu pada metode pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama.21

Ada empat domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan suatu masalah, yakni (1) kemampuan membentuk tim, (2) bekerja /belajar secara kolaborasi, (3) melaksanakan pemecahan masalah secara kolaborasi, dan (4) mengatur perbedaan dalam tim. Kemampuan berkolaborasi merupakan sesuatau yang dapat dipelajari.

18

Kolaboratif, http://buning_pap.staff.uns.ac.id/files/2010/05/kolaboratif.doc, diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.30

19 Ibid. 20

C. Jacob, Belajar Kolaboratif Lawan Kooperatif: Suatu Perbandingan Dua Konsep yang dapat Membantu Kita Mengerti Ciri Utama Belajar Interaktif, Bandung: FMIPA UPI, 2013, h. 1.

21 Ibid.


(28)

Kemampuan berkolaborasi dapat dikembangkan melalui kegiatan observasi dan mengerjakan suatu proyek.22

Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar siswa.

Pembelajaran kolaboratif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu: (1) siswa belajar bermusyawarah, (2) menghargai pendapat orang lain, (3) mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional, (4) memupuk rasa kerja sama, dan (5) terjadinya persaingan yang sehat. Sedangkan kelemahannya yaitu: (1) pendapat serta pertanyaan siswa dapat melebar, (2) boros waktu, (3) adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri, (4) siswa yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain, dan (5) Kadang terjadi permasalahan dalam pengambilan kesimpulan. 23

b. Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving

Dalam dunia pendidikan, Nelson mengemukakan bahwa collaborative problem solving merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran, yaitu pembelajaran kerja sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini sebenarnya memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif, namun tidak komprehensif. Lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk berkolaborasi secara natural dan efektif sangat penting untuk didesain agar mereka dapat mengembangkan pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah desain pembelajaran collaborative problem solving yang didukung oleh kegiatan pemecahan masalah siswa dimana siswa dapat melakukan kesepakatan,

22

Mustaji, Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi, (Surabaya, UNS, 2007), h.10.

23 Ibid.


(29)

didasarkan pada proses kolaboratif alami mereka masing-masing. Hal ini yang membedakan anatara pembelajaran collaborative problem solving dengan pembelajaran kolaboratif saja atau pembelejaran problem solving saja.

Djamilah berpendapat bahwa dengan memperhatikan keunggulan model kolaboratif dan pendekatan berbasis masalah, maka menggabungkan keduanya tentulah dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Gabungan model kolaboratif yang menekankan timbulanya kolaborasi dan pendekatan berbasis masalah sebagai titik awal dan jangkar yang memandu proses pembelajaran inilah yang disebut pembelajaran berbasis masalah.24

Green menjelaskan bahwa collaborative problem solving adalah suatu pendekatan yang berpegang pada dua hal utama. Pertama, bahwa tantangan sosial, emosional, dan perilaku pada anak sebaiknya dipahami sebagai hasil sampingan dari perkembangan keterampilan kognitif. Kedua,

bahwa tantangan sebaiknya ditangani dengan problem solving yang menjadikan masalah sebagai fokus perhatian, untuk menantang perilaku secara bersama.25

Hannebaur menjelaskan bahwa collaborative problem solving

menunjukan proses dimana suatu agen cerdas bekerja bersama-sama untuk mencari sulosi dari suatu masalah umum.26 Sedangkan menurut Willihnganz menjelaskan bahwa dalam collaborative problem solving, individu-individu bergabung bersama untuk menemukan solusi yang dapat diterima keduanya. Pendapat berbeda disamapaikan oleh PISA, collaborative croblem solving merupakan keterampilan kritis dan dibutuhkan dalam pendidikan di dalam kelompok. Di dalam kelompok

24

Djamilah Bondan Widjajanti, “Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah”,

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, (Yogyakarta: FMIPA UNY, 2008), h. 7, Tersedia online: http://eprints.uny.ac.id/10501/1/P13-Djamilah.pdf, diakses pada 30 Desember 2014, jam 12.59 WIB

25

Rose W. Green, The Explosive Child: (New York, Guilford Press, 2006) h. 1. 26

Markus Hannebaur, Improving the Quality and Efficiency of Collaborative Problem Solving, (Berlin Heiderberg, Spinger-Verlag, 2002) h. 18.


(30)

tersebut, siswa menggabungkan pemahamannya dan bekerja sama dalam upaya memecahkan masalah.27

Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa

collaborative problem solving adalah pembelajaran dimana siswa berpartisipasi dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah secara bersama-sama. Collaborative problem solving merupakan gabungan antara aspek yang ditemukan dalam pemecahan masalah individu disamping aspek kolaboratif. Pembelajaran ini juga melibatkan anggota kelompok lainnya dalam proses belajar sehingga membutuhkan keterampilan kognitif dan sosial untuk memungkinkan penyampaian pemahaman, pengetahuan, saling berbagi informasi, membuat dan memahami organisasi kelompok yang sesuai, dan untuk melakukan tindakan terkoordinasi untuk memecahkan masalah.

Pada model pembelajaran collaborative problem solving siswa diberikan soal secara individu dengan tujuan agar siswa lebih mandiri. Selanjutnya dibentuk kelompok agar siswa aktif menyampaikan pendapat atau konsep yang telah diketahuinya. Setelah hasil diskusi didapatkan salah siswa dalam kelompok menjelaskan hasil diskusinya kepada kelompok lain. Pada tahap yang terakhir ini terjadi koreksi dari kelompok lain sehingga jika ada konsep yang belum benar siswa dari kelompok lain ini akan meluruskannya.

Hesse menjelaskan bahwa collaborative problem solving memiliki keunggulan yang sangat berguna ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks: (1) pertama siswa dapat melakukan pertukaran pengetahuan atau pendapat untuk mengoptimalkan pemahaman, (2) kedua adalah kerjasama, yaitu terutama disepakati pembagian kerja, melibatkan kontribusi responsif terhadap perencanaan dan analisis masalah, (3) ketiga adalah sikap tanggap, aktif dan partisipasi secara mendalam.28

27

PISA 2015, Draft Collaborative Problem Solving Framework, Maret 2013, h. 3. 28

Hesse Friedrich, A Framework for Teachable Collaborative Problem Solving Skill,


(31)

Selain kelebihan yang terdapat pada model pembelajaran

collaborative problem solving, terdapat juga kelemahan. Kelemahan tersebut hampir serupa dengan pembelajaran kolaboratif, diantaranya: pendapat dan pertanyaan siswa dapat melebar dari pokok bahasan yang dipelajari, membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

c. Tahapan Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving

Ada beberapa langkah dalam pembelajaran collaborative problem solving. Menurut pendapat Rod Windle dan Suzane Warren Langkah-langkah tersebut dibagi menjadi enam:

1. Berbagi pandangan/informasi dengan menggunakan keterampilan komunikasi kita untuk memahami persepsi orang lain dari situasi, kebutuhan dan keinginan mereka. Proses ini dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami dengan jelas berbagai perspektif dari masing-masing anggota terhadap masalah yang dihadapi.

2. Menentukan masalah dari pandangan/informasi yang didapat akan membantu untuk menetukan isu-isu atau subjek untuk diskusi dan pemecahan masalah bagi kedua belah pihak menjadi diidentifikasi. Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai topik yang menjadi poin penting dari persfektif yang muncul untuk didiskusikan bersama.

3. Identifikasi minat dengan mencari kesamaan antara semua pihak untuk mencari tahu apa yang pihak benar-benar minati dalam rangka untuk mencapai kesepakatan. Dari berbagai persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi untuk mengetahui kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan mencari kesamaannya.

4. Setelah melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi yang mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi.


(32)

Hasilkan pilihan dengan melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan pertimbangan sehingga menghasilkan banyak ide yang berbeda. 5. Mengembangkan standar atau kriteria yang cukup untuk memutuskan

tujuan bersama. Pada langkah ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk memutuskan solusi akhir permasalahan dengan menggunakan indikator-indikator tertentu yang disetujui.

6. Langkah terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi untuk selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir permasalahan. Mengevaluasi pilihan (options) dan capilah kesepakatan yang akan memenuhi kebutuhan bersama.29

Pendapat lain dikemukakan oleh Willihnganz yang menjelaskan ada 6 langkah dalam collaborative problem solving: (1) menentukan masalah sebagai kebutuhan bukan sebagai solusi, (2) lakukan penyampaian pendapat semua solusi yang mungkin, (3) pilih solusi yang akan memenuhi kebutuhan kedua belah pihak dan periksa kemungkinan konsekuensi dari pendapat-pendapat yang muncul, (4) menyusun rencanakan dari ide yang dipilih, (5) laksanakan rencana tersebut, (6) mengevaluasi proses pemecahan masalah kemudian seberapa baik solusi bekerja.30

Secara garis besar, pembelajaran collaborative problem solving ini bisa dilakukan dalam empat langkah kegiatan. Langkah-langkah ini antara lain:

1. Siswa dihadapkan pada masalah yang diberikan guru untuk dipelajari secara individual. Pada sesi ini guru membuat kelompok yang terdiri dari 2-4 siwa kemudian membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap siswa untuk dikerjakan secara individu. Sesi ini bisa disebut dengan pemunculan masalah.

29

Rod Windle dan Suzane Warren,Collaborative Problem Solving: Steps in the Process,

dari www.directionservice.org/cadre/section5.cfm, diakses Sabtu, 4 September 2013, pukul: 11.00. 30

Nancy Willihnganz, Collaborative Problem Solving, 2013, dari

http://willihnganz.disted.camosun.bc.ca/collaborativeps.htm, diakses Sabtu, 4 September 2013, pukul: 10.00.


(33)

2. Siswa mencoba mengolah masalah berupa membuat pertanyaan-pertanyaan dari masalah yang diberikan dengan modal pemahaman yang didapatkan dari sesi sebelumnya untuk menjadi bahan acuan dalam menyelesaikan masalah pada LKS. Pada sesi ini siswa mulai bekerja sebagai tim dalam kelompoknya masing-masing. Siswa saling bertukar pendapat atau pemahaman yang diperoleh dari sesi pertama mengenai masalah yang disajikan dalam LKS. Pada sesi yang kedua ini lebih menekankan pada proses kolaboratif.

3. Siswa meyelesaikan masalah berdasarkan acuan yang telah dibuat. Pada sesi ini siswa mulai mulai menyelesaikan masalah bersama-sama untuk mencari solusi dari permasalahan yang disajikan dalam LKS sehingga diperoleh solusi yang terbaik. Pada sesi yang ketiga ini merupakan sesi yang paling penting, selain proses kerjasama terdapat juga proses yang lebih penting yaitu pemecahan masalah.

4. Siswa mentransfer pekerjaannya secara individu ke dalam kelompok lain. Pada sesi ini perwakilan kelompok maju ke depan untuk menjelaskan/mempresentasikan solusi yang diperoleh kemudian kelompok lain bertugas menanggapi hasil kerja kelompok yang maju. Pada sesi yang keempat ini terjadi proses evaluasi dari proses pembelajaran yang berlangsung.

Pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan berkelompok, untuk memperoleh solusi permasalahan dan pemahaman yang mendalam melalui aktivitas diskusi dalam kelompoknya masing-masing. Tahapan pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Tahap 1: Muncul permasalahan

Guru menyajikan permasalahan dengan memberikan lembar kerja siswa kepada masing-masing siswa.


(34)

- Masing-masing siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan dan berusaha mencari solusi permasalahan tersebut.

- Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum dimengerti untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya.

 Tahap 3: Penyelesaian masalah secara kelompok

- Setelah waktu penyelesaian tugas individu habis, guru menginformasikan pembagian kelompok diskusi. masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa.

- Setiap kelompok diberi bahan diskusi berupa lembar kerja siswa untuk diselesaikan secara bersama-sama. LKS berisi permasalahan individu dan permasalahan tambahan yang lebih kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang sedang dipelajari.

- Di dalam kelompok, setiap siswa saling bertukar informasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap siswa dari permasalahan individu.

- Antarsiswa dalam tiap-tiap kelompok saling berkolaborasi untuk mencapai kesepakatan mengenai solusi akhir kelompoknya dari permasalahan yang diberikan.

- Guru memberikan informasi tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi ajar jika diminta oleh siswa. Terjadi kolaborasi antara guru dan siswa selama pembelajaran.

 Tahap 4: Transfer hasil kerja

- Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan kelompok lain memberikan tanggapan. Terjadi kolaborasi antarkelompok untuk mencapai solusi optimal dari permasalahan.

- Guru membimbing jalannya diskusi dan memberikan penjelasan tambahan kepada siswa jika diperlukan. Guru dan siswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.


(35)

3. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang sering digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini jarang memotivasi siswa untuk proses pengetahuannya. Pembelajaran konvensional masih didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan didapat secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Guru memberikan penjelasan materi.

b. Guru memberikan contoh dan penyelesaiannya.

c. Guru melakukan tanya-jawab tentang materi yang meraka pelajari. d. Siswa menyimak, mencatat dan mengerjakan tugas dari guru.

Pada pembelajaran konvensional siswa lebih banyak mendengarkan dan menulis apa yang dicatat guru sehingga mengakibatkan siswa menjadi pasif atau kurang mengembangkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Pembelajaran konvensional yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran ekspositori, sehingga yang diutamakan adalah hasil bukan prosesnya.

Metode pembelajaran ekspositori merupakan metode pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan lebih dahulu, defenisi, prinsip dan konsep materi pembelajaran serta memberikan contoh – contoh latihan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, penugasan dan tanya jawab sedangkan siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. Metode ekspositori sering disamakan dengan metode ceramah, karena sifatnya sama–sama memberikan informasi.31

Langkah-langkah model pembelajaran ekspositori:32 1. Kegiatan Awal

31

Tuntaskan Pembelajaran dengan 25 Metode Pengajaran,

https://www.academia.edu/6703678/Tuntaskan_Pembelajaran_dengan_25_Metode_Pengajaran, diakses Sabtu, 4 September 2015, pukul: 10.00.

32


(36)

 Menciptakan suasana pembelajaran yang terbuka

 Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif

 Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar

 Merangsang dan mengunggah rasa ingin tahu siswa 2. Kegiatan Inti

 Guru menyampaikan materi pelajaran yang telah dipersiapkan.

 Guru menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari

 Guru menyimpulkan materi pelajaran yang telah diajarkan dan mencatat kesimpulan materi tersebut.

3. Kegiatan Akhir

 Penilaian

 Refleksi : siswa menyimpulkan materi pelajaran yang telah diajarkan.

 Pemberian tugas

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian Lia Kurniawati yang berjudul “Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMP”, diperoleh kesimpulan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pemecahan masalah memiliki skor rata-rata yang lebih besar dalam semua aspek baik pemahaman, penalaran, maupun secara keseluruhan dari pada siswa yang pembelajarannya secara konvensional.

2. Penelitian Rini Musdika dkk yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Terhadap Pemahaman Konsep Matematis Siswa”. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa. Siswa yang menggunakan model pembelajaran ini memliki nilai rata-rata yang lebih besar daripada siswa yang menggunakan model konvensional.


(37)

C. Kerangka Berpikir

Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa dalam mengklarifikasi konsep dan mengimplementasikan konsep berdasarkan contoh dan bukan contoh serta siswa dapat mengungkapkan konsep dengan kata-kata sendiri disertai alasannya. Pemahaman konsep matematika merupakan landasan dalam belajar matematika. Oleh karena itu agar siswa dapat memahami konsep matematika maka dalam pembelajaran matematika yang ditekankan terlebih dahulu adalah pemahaman konsep yang baik dan benar. Untuk dapat memahami konsep dengan baik dan benar, para guru metematika harus berusaha untuk mewujudkan keabstrakan konsep menjadi sesuatu yang lebih konkret.

Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa, salah satunya model pembelajaran yang digunakan guru. Masih banyak guru yang menerapkan model konvensional, dalam prosesnya guru menyampaikan materi dengan ceramah, siswa duduk manis mendengarkan dan mencatat konsep-konsep abstrak yang disampaikan oleh guru tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Saat latihan sebagian besar siswa memang dapat mengerjakan soal-soal yang sejenis dengan yang telah dicontohkan guru. Namun pada saat siswa diberi soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.

Salah satu cara agar siswa dapat memahami konsep matematika yaitu dengan melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran matematika yang dapat melibatkan siswa aktif dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa dalam memahami konsep serta dapat menyelesaikan masalah dengan keterampilan-keterampilan dan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.

Guru dapat menggunakan berbagai model pembelajaran untuk dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika, salah satunya adalah model collaborative problem solving. Menurut Hesse (2012) salah satu keunggulan pembelajaran ini adalah siswa dapat melakukan pertukaran pengetahuan atau pendapat untuk mengoptimalkan pemahaman. Jadi


(38)

pemahaman konsep siswa dapat dioptimalkan dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Kerangka Berpikir Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir yang telah dijelaskan sebelumnya maka hipotesis penelitiannya yaitu:

“Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang menggunakan model collaborative problem solving lebih tinggi daripada kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang menggunakan model konvensional”.

Pembelajaran Ekspositori

Siswa mendengar dan mencatat konsep-konsep abstrak tanpa bisa mengkritisi

Siswa kurang tertarik dan bersikap pasif

Kemampuan pemahaman konsep matematika rendah

Model Collaborative Problem Solving

1.Adanya permasalahan 2.Merancang penyelesaian

masalah secara individu 3.Penyelesaian kelompok 4.Transfer hasil kerja

Kemampuan pemahaman konsep matematika

Translasi Interpretasi Ekstrapolasi

Kemampuan pemahaman konsep matematika lebih tinggi


(39)

25

A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Islam Madinatul Ilmi yang beralamat di Jl. H. Kipin No. 26, Kel. Pisangan, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VII tahun ajaran 2015/2016.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016, Jadwal kegiatan dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Waktu Penelitian

No Jenis Kegiatan Desember Januari Februari Maret 1 Persiapan dan perencanaan √

2 Observasi (studi lapangan) √

3 Pelaksanaan Pembelajaran √ √

4 Analisis Data √ √

5 Laporan Penelitian √

B. Metode dan desain penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen (percobaan semu), yaitu metode eksperimen yang tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan penuh terhadap faktor lain yang mempengaruhi variabel dan kondisi eksperimen. Dalam hal ini kelompok sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 1.

1

Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D), Cet.X, (Bandung: Alfabeta, 2010), h.114.


(40)

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan treatment (perlakuan khusus) berupa pembelajaran dengan menggunakan model collaborative problem solving. Pada kelompok kontrol, peneliti melakukan proses pembelajaran dengan model konvensional. Kemudian kedua kelompok diberi posttest only untuk mengetahui hasil akhir, apakah ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Desain penelitian yang digunakan adalah posttest only control group design, artinya pengkontrolan secara acak dengan tes hanya diakhir perlakuan

Tabel 3.2 Desain Penelitian

Kelompok Treatmen Post Test

A X1 O

B X2 O

Keterangan:

A : Kelompok Eksperimen B : Kelompok Kontrol

X1 : Penerapan pembelajaran model collaborative problem solving

X2 : Perlakuan pembelajaran dengan model konvensional.

O : Tes kemampuan pemahaman konsep matematika

Langkah yang dilakukan sebelum memberikan tes kemampuan pemahaman konsep matematika adalah dengan melakukan proses pembelajaran pada kedua kelas tersebut. Perlakuan khusus diberikan pada kelas eksperimen dalam bentuk pemberian variabel bebas (model collaborative problem solving) untuk kemudian dilihat pengaruhnya pada variabel terikat (kemampuan pemahaman konsep matematika).


(41)

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ingin diteliti.2 Populasi target penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Islam Madinatul Ilmi. Populasi terjangkau adalah seluruh siswa SMP kelas VII semester genap tahun ajaran 2015/2016.

2. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian.

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel, untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian.3 Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Cluster Random Sampling, yaitu pemilihan sampel bukan didasarkan pada individual, tetapi lebih didasarkan pada kelompok subjek yang secara alami berkumpul bersama. Dalam penelitian ini peneliti mengambil secara acak 2 kelas dari kelas yang ada. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model collaborative problem solving dan satu kelas sebagai kelas kontrol dengan menggunakan model konvensional.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan pemahaman konsep matematika siswa dalam belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes, yaitu tes kemampuan pemahaman konsep matematik. Tes kemampuan pemahaman konsep diberikan kepada kelompok eksperimen yaitu kelas VII A yang dalam pembelajarannya diterapkan model collaborative problem solving dan kelompok kontrol yaitu kelas VII B yang diterapkan pembelajaran konvensional. Tes tersebut berjumlah 6 butir soal yang berbentuk uraian dengan pokok bahasan aritmatika sosial.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemahaman konsep matematik. Soal tes disusun dalam bentuk uraian (essay) untuk mengukur tingkat kemampuan pemahaman konsep matematik siswa. Tes

2

Ibid., h. 117 3


(42)

berdasarkan rubrik penilaian kemampuan pemahaman konsep matematika.

Sebelum instrumen digunakan, instrumen tersebut terlebih dahulu diujicobakan

untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan taraf kesukaran agar mengetahui ketepatan dan keandalan instrumen dalam mengukur aspek yang diinginkan.

Instrumen tes ini diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pokok bahasan aritmatika sosial, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut sama. Instrumen tes ini berjumlah 6 butir soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep matematika siswa pada pokok bahasan aritmatika sosial.

Berikut adalah kisi-kisi tes kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang akan diujicobakan:

Tabel 3.3

Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman konsep Matematis

No Indikator pencapaian

Indikator Kemampuan

Pemahaman konsep

Butir Soal

Jumla h soal

1 2 3

1 Menentukan nilai keseluruhan

√ 1 1

2 Menetukan neto suatu barang √ 3 1

3 Menghitung persentase laba

pada konsep penerapan aljabar √ 4 1

4 Menghitung besar cicilan pada

konsep penerapan aljabar √ 5 1

5 Menghitung besar pajak pada

konsep penerapan aljabar √ 6 1

6

Menggunakan skala untuk menyelesaikan pemecahan masalah


(43)

2 : Interpretasi 3 : Ekstrapolasi

Pedoman penskoran diperlukan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep matematika siswa pada setiap butir soal. Kriteria penskoran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skor rubrik yang dimodifikasi dari Cai, Lane dan Jackabesin seperti disajikan pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.4

Pedoman Penskoran Instrumen Tes Kemampuan Pemahaman konsep Matematis

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab benar semua aspek pertanyaan tentang pemahaman dan dijawab dengan benar dan jelas

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang pemahaman dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang pemahaman dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang pemahaman atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban

1. Uji Validitas

Validitas berasal dari Bahasa Inggris validity yang berarti keabsahan. Validitas adalah derajat ketetapan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur. Validitas dihitung dengan menggunakan rumus product moment dari Pearson. Perhitungan validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut: 4

4

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) Ed. 2. Cet. 1, h. 87.


(44)

N : Jumlah responden X : Skor item

Y : Skor total

Kriteria soal dikatakan valid jika lebih besar dari . Dari sembilan item soal yang diujicobakan dan dilakukan perhitungan validitasnya dengan N= 39 dan diperoleh , sehingga terdapat dua soal yang tidak valid. Hasil perhitungan tersebut, disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.5

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Validitas Instrumen No.

Butir

Indikator Pemahaman konsep

Validitas

Keputusan r hit. Kriteria

1 Translasi 0.601 Valid Digunakan

2 Translasi 0.264 Invalid Tidak Digunakan

3 Translasi 0.517 Valid Digunakan

4 Interpretasi 0.761 Valid Digunakan

5 Interpretasi 0.664 Valid Digunakan

6 Interpretasi 0.584 Valid Digunakan

7 Ektrapolasi 0.654 Valid Digunakan

8 Ektrapolasi 0.314 Invalid Tidak Digunakan 9 Ektrapolasi 0.018 Invalid Tidak Digunakan 2. Uji Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui keterpercayaan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha, yaitu:5

r

11

=

{

}

5


(45)

n = jumlah item dalam instrumen = varians total

∑ = jumlah varians skor tiap-tiap item.

Klasifikasi Interpretasi Uji reliabilitas adalah sebagai berikut : Tabel 3.6

Kriteri Interpretasi Uji Reliabilitas Koefisien Reliabilitas Interpretasi

Sangat Baik

0,60 < ≤ 0,80 Baik 0,40 < ≤ 0,60 Cukup 0,20 < 0,40 Rendah 0,00 < 0,20 Sangat Rendah

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas instrument diperoleh nilai 0,729777, maka instrumen penelitian tersebut dapat disimpulkan memiliki kriteria koefisien reliabilitas yang baik.

3. Uji Tingkat Kesukaran Soal

Uji taraf kesukaran instrumen bertujuan mengetahui soal-soal yang mudah, sedang, dan sukar, maka dilakukan uji taraf kesukaran digunakan rumus-rumus berikut:6

Keterangan :

P = Indeks kesukaran

B = Jumlah skor siswa peserta tes pada butir soal tertentu

Js = Jumlah skor maksimum seluruh siswa peserta tes

6


(46)

P Keterangan Sukar

Sedang

Mudah

Berdasarkan hasil perhitungan uji tingkat kesukaran butir soal instrumen dari 9 soal yang diujikan diperoleh 1 soal dengan tingkat kesukaran “sukar”, 5 soal dengan tingkat kesulitan “sedang”, 3 soal dengan tingkat kesulitan “mudah”.

Rekapitulasi perhitungan tingkat kesukaran instrumen tes disajikan pada tabel 3.8 berikut ini.

Tabel 3.8

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran No.

Butir Indikator Representasi

Tingkat Kesukaran P Kriteria

1 Translasi 0.679 Sedang

2 Translasi 0.859 Mudah

3 Translasi 0.577 Sedang

4 Interpretasi 0.724 Mudah

5 Interpretasi 0.705 Mudah

6 Interpretasi 0.487 Sedang

7 Ektrapolasi 0.449 Sedang

8 Ektrapolasi 0.308 Sedang

9 Ektrapolasi 0.256 Sukar

4. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antarasiswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut dengan indeks diskriminasi.


(47)

Keterangan:

J = Jumlah peserta tes

JA = Skor maksimum peserta kelompok atas

JB = Skor maksimum peserta kelompok bawah

BA = Jumlah skor kelompok atas

BB = Jumlah skor kelompok bawah

PA = Proporsi peserta kelompok atas

PB = Proporsi peserta kelompok bawah Tabel 3.9

Klafisifikasi Indeks Daya Pembeda

D Keterangan

0,00 – 0,20 Jelek 0,20 – 0,40 Cukup 0,40 – 0,70 Baik 0,70 – 1,00 Baik Sekali

Berdasarkan hasil perhitungan uji daya pembeda soal diperoleh 1 soal memiliki daya pembeda baik, 5 soal memiliki daya pembeda cukup dan 3 soal jelek. Rekapitulasi hasil perhitungan uji daya pembeda instrumen disajikan secara singkat pada tabel 3.10 berikut ini.

7


(48)

No.

Butir Indikator Representasi

Daya Pembeda DB Kriteria

1 Translasi 0.299 Cukup

2 Translasi 0.084 Jelek

3 Translasi 0.201 Cukup

4 Interpretasi 0.463 Baik

5 Interpretasi 0.297 Cukup

6 Interpretasi 0.232 Cukup

7 Ektrapolasi 0.208 Cukup

8 Ektrapolasi 0.036 Jelek

9 Ektrapolasi -0.013 Jelek

Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda intrumen, maka dari 9 butir instrumen yang diujicobakan hanya 6 butir saja yang digunakan pada posttest di akhir pembelajaran. Secara rinci data mengenai instrumen yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.11

Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran No.

Item

Validitas Daya Pembeda Tingkat Kesukaran

Keterangan r hit Ket DB Kriteria P Kriteria

1 0.601 Valid 0.299 Cukup 0.679 Sedang Digunakan 2 0.264 Invalid 0.084 Jelek 0.859 Mudah Tidak Digunakan 3 0.517 Valid 0.201 Cukup 0.577 Sedang Digunakan 4 0.761 Valid 0.463 Baik 0.724 Mudah Digunakan 5 0.664 Valid 0.297 Cukup 0.705 Mudah Digunakan 6 0.584 Valid 0.232 Cukup 0.487 Sedang Digunakan 7 0.654 Valid 0.208 Cukup 0.449 Sedang Digunakan 8 0.314 Invalid 0.036 Jelek 0.308 Sedang Tidak Digunakan 9 0.018 Invalid -0.013 Jelek 0.256 Sukar Tidak Digunakan


(49)

tersebut akan memberikan gambaran yang jelas tentang hasil penelitian maupun proses pembelajaran dalam penelitian eksperimen ini. Data kuantitatif dalam penelitian ini diperoleh dari hasil posttest pemahaman konsep matematika. Data

posttest ini dianalisis untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep matematik siswa pada materi aritmatika sosial. Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan statistik dan melakukan perbandingan dua kelas tersebut untuk mengetahui kontribusi model collaborative problem solving dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemahaman konsep matematik siswa.

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis untuk dapat menjawab masalah dan hipotesis penelitian. Sebelum menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat. Dalam penelitian ini perhitungan uji prasyarat dan uji hipotesis dibantu menggunakan aplikasi SPSS. Uji prasyarat analisis yang perlu dipenuhi adalah:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas data ini dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data berdistribusi normal atau tidak. Apabila hasil pengujian menunjukan bahwa sebaran data berdistribusi normal maka dalam menguji kesamaan dua rata-rata digunakan uji-t.

Dalam penelitian ini, pengujian normalitas menggunakan uji lilliefors. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. : Sampel berasal dari populasi yangtidak berdistribusi normal. Untuk memperoleh digunakan rumus:

Keterangan:

L = Harga uji lilliefors

= Peluang masing-masing nilai Z


(50)

Jika > , maka tolak dan terima Jika

α

> 0,05, maka terima dan tolak Jika

α

0,05, maka maka tolak dan terima Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:8 1. Menentukan hipotesis

H0: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

H1: Sampel berasal dari populasi yangtidak berdistribusi normal.

2. Pengamatan , ,..., dijadikan bilangan baku , ,..., dengan menggunakan rumus ̅

3. Untuk tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang baku F( ) = P(z<

4. Menghitung proporsi , ,..., yang lebih kecil atau sama dengan Jika proporsi dinyatakan oleh S( , maka S( = 5. Menentukan selisih F( ) - S( , kemudian tentukan harga mutlaknya. 6. Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut. 7. Kriteria pengujian

Jika , maka terima dan tolak Jika > , maka tolak dan terima 8. Kesimpulan

Jika , maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

Jika > , maka sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

8

Kadir, Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2015),h. 146-147.


(51)

kedua kelompok. Apabila hasil pengujian menunjukkan kesamaan varians maka untuk uji kesamaan dua rata-rata digunakan uji t (apabila berdistribusi normal) dan digunakan varians gabungan. Apabila hasil pengujian menunjukkan tidak homogen maka untuk uji kesamaan dua rata-rata digunakan uji t (apabila berdistribusi normal) dan tidak digunakan varians gabungan.

Uji homogenitas varians dua buah variabel independen dapat dilakukan dengan Uji F, adapun langkah-langkah statistik uji F yang dimaksud diekspresikan sebagai berikut:9

a. Perumusan Hipotesis Ho : σ12= σ22

Distribusi populasi kedua kelompok mempunyai varians yang sama H1: σ12  σ22

Distribusi populasi kedua kelompok mempunyai varians yang tidak sama b. Menghitung nilai F dengan rumus Fisher:

2 2

k b

S S

F

Keterangan: 2

b

S = varians terbesar 2

k

S = varians terkecil

c. Menentukan taraf signifikan α = 5 %

d. Menentukan Ftabel pada derajat bebas db1 = (n1– 1) untuk pembilang dan db2

= (n2– 1) untuk penyebut, dimana n adalah banyaknya anggota kelompok

e. Kriteria pengujian

Jika Fhitung≤ Ftabel maka H0 diterima

Jika Fhit nung> Ftabel maka H0 ditolak

f. Kesimpulan

Fhit≤ Ftab : Distribusi populasi mempunyai varians yang sama homogen

Fhit> Ftab : Distribusi populasi mempunyai varians yang tidak homogen.

9


(52)

mengetahui perbedaan rata-rata yang signifikan antara kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelompok eksperimen dan kontrol. Rumus yang digunakan adalah :10

= ̅ , dengan √ dan

db = n1 + n2– 2

Keterangan:

̅ : Rata-rata hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika kelas

eksperimen

̅ : Rata-rata hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika kelas kontrol

: varians kelas eksperimen

: varians kelas kontrol

: jumlah siswa kelas eksperimen : jumlah siswa kelas kontrol

Jika uji prasyarat analisis tidak terpenuhi, yaitu kelompok eksperimen dan/atau kelompok kontrol tidak berasal dari populasi berdistribusi normal, maka untuk menguji hipotesis digunakan uji statistik non-parametrik. Adapun jenis uji statistik non-parametrik yang digunakan adalah Uji Mann-Whiteney (Uji “U”). Rumus Uji Mann-Whitney (Uji “U”) yang digunakan yaitu:11

a. Merumuskan hipotesis statistik

b. Menetapkan untuk sampel lebih besar dari 20 menggunakan rumus12:

10

Ibid., h. 292

11

Ibid., h. 490 12


(53)

Keterangan: Peringkat sampel kelas eksperimen Jumlah sampel kelas eksperimen Jumlah sampel kelas kontrol

c. Menentukan nilai statistik Mann-Whitney dengan rumus:

dengan total rangking kelas eksperimen dan total ranking kelas kontrol.

Nilai statistik diambil dari nilai terkecil antara dan d. Kriteria pengujian

Jika maka ditolak Jika maka diterima e. Kesimpulan

Jika diterima maka tidak ada perbedaan parameter rata-rata populasi Jika ditolak maka ada perbedaan parameter rata-rata populasi


(54)

40

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Islam Madinatul Ilmi. Peneliti mengambil dua kelas untuk dijadikan kelompok penelitian. Sampel yang digunakan sebanyak 41 siswa yang terdiri dari 20 siswa di kelompok eksperimen dan 21 siswa di kelompok kontrol. Pada penelitian ini, kelas VII A sebagai kelompok eksperimen yang diajar dengan menggunakan model collaborative problem solving dan kelas VII B sebagai kelompok kontrol yang diajar dengan menggunakan model konvensional.

Pokok bahasan yang diajarkan adalah Aritmetika Sosial dan Perbandingan dengan tujuh kali pertemuan. Untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep matemetika siswa pada kedua kelompok tersebut diberikan tes yang terdiri dari 9 butir soal uraian. Tes kemampuan pemahaman konsep matemetika tersebut telah diujicobakan di kelas VIII SMP Islam Madinatul Ilmi, dan telah dianalisis karakteristiknya berupa uji validitas, uji reliabilitas, uji taraf kesukaran soal, dan uji taraf daya pembeda soal. Sebelum diberikan tes, pada kelas eksperimen diberikan perlakuan yaitu pembelajaran dengan menggunakan model collaborative problem solving dan pada kelas kontrol menggunakan model konvensional.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tes kemampuan pemahaman konsep matemtaika. Setelah kedua kelas sampel yaitu kelas VII A dan VII B diberikan perlakuan yang berbeda pada proses pembelajaran, kemudian diberikan tes kemampuan pemahaman konsep matemtaika, maka diperoleh skor kemampuan pemahaman konsep matemtaika siswa dari kedua kelas tersebut. Kemudian dilakukan perhitungan pengujian prasyarat analisis dan pengujian hipotesis.

Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan analisis data terhadap data skor kemampuan pemahaman konsep matemtaika siswa kelompok eksperimen dan skor kemampuan pemahaman konsep matemtaika kelompok kontrol yang sudah terlampir. Berikut ini disajikan data hasil perhitungan akhir dari tes kemampuan pemahaman konsep matemtaika setelah pembelajaran dilaksanakan.


(55)

a. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelompok Eksperimen

Hasil tes yang diberikan kepada kelompok eksperimen yang menggunakan model collaborative problem solving memiliki nilai terendah adalah 46 dan nilai tertinggi adalah 92. Untuk lebih jelasnya, data hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika kelompok eksperimen disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Kelas Eksperimen

NO Nilai (xi) Frekuensi

Fi F (%) Kumulatif

1 46 1 5 1

2 63 3 15 4

3 67 4 20 8

4 71 4 20 12

5 75 3 15 15

6 79 3 15 18

7 83 1 5 19

8 92 1 5 20

Jumlah 20 100

Dari tabel 4.1 menunjukan nilai paling banyak diperoleh siswa yaitu 67 dan 71 masing-masing 4 siswa. Secara visual penyebaran data kemampuan pemahaman konsep matematika kelas eksperimen pada model collaborative problem solving


(56)

Gambar 4.1

Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas Eksperimen b. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelompok Kontrol

Hasil tes yang diberikan kepada kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional memiliki nilai terendah adalah 42 dan nilai tertinggi adalah 83. Untuk lebih jelasnya, data hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika kelompok kontrol disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel 4.2

Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Kelas Kontrol

No Nilai (xi) Frekuensi

Fi f(%) Kumulatif

1 42 1 4,76 1

2 54 7 33,33 8

3 58 1 4,76 9

4 63 3 14,29 12

5 67 5 23,81 17

6 71 2 9,52 19

7 75 1 4,76 20

8 83 1 4,76 21


(57)

pemahaman konsep matematika kelas kontrol pada pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional dapat dilihat pada diagram batang gambar 4.2.

Gambar 4.2

Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas Kontrol Berdasarkan uraian mengenai kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelas eksperimen dan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelas kontrol dapat terlihat adanya perbedaan. Untuk lebih memperjelas perbedaan kemampuan pemahaman konsep antara kelas eksperimen yaitu kelas yang diajarkan dengan menggunakan model collaborative problem solving dengan kelas kontrol yaitu kelas yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel berikut:


(1)

Lampiran 21

Hasil Uji T Menggunakan SPSS

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

NILAI

Equal variances assumed .230 .634 3.122 39 .003 9.200 2.947 3.240 15.160

Equal variances not assumed


(2)

143 Lampiran 22

PERSENTASE KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PERINDIKATOR

Kelas Eksperimen

Indikator Skor

Ideal

Nomor

soal Rata-rata

Persentase (%)

Translasi 4 1 3,72 93

4 3 3,5 87,5

Jumlah 8 7,22 90,25

Interpretasi

4 4 3,5 87,5

4 5 3,22 80,5

4 6 2,67 66,75

Jumlah 12 9,39 78,25

Ekstrapolasi 4 7 2,33 58.25

Jumlah 4 2,33 58.25

Keseluruhan

Indikator 24 18.88 75,58

Kelas Kontrol

Indikator Skor

Ideal

Nomor

soal Rata-rata

Persentase (%)

Translasi 4 1 3,5 87,5

4 3 3,33 83,25

Jumlah 8 6,83 85,38

Interpretasi

4 4 3.17 79,25

4 5 2,61 65,25

4 6 2.28 57

Jumlah 12 8,06 67,17

Ekstrapolasi 4 7 1,72 43

Jumlah 4 1,72 43

Keseluruhan


(3)

(4)

(5)

(6)