Pengujian Hipotesis Analisis data

diberikan dan mencari informasi tambahan sendiri di buku paket dan sumber belajar lainnya yang mereka punya. Hanya ada beberapa siswa yang masih kebingungan mengisi jawaban karena tidak masuk pada pertemuan yang pertama. Selanjutnya untuk pertemuan ketiga semua siswa sudah bisa bisa menyelesaikan LKS dan tepat waktu saat diminta untuk dikumpulkan. Siswa mulai antusias belajar dengan model collaborative problem solving. Hal ini sesuai dengan harapan peneliti. Tahapan ketiga, permasalahan diselesaikan secara berkelompok. Setelah waktu pengerjaan LKS habis, siswa berkumpul dengan teman kelompoknya masing-masing yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Kelompok kecil yang dibentuk terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang heterogen. Setiap kelompok diberi LKS sebagai bahan diskusi dan juga permasalahan tambahan yang lebih kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa. Pada tahapan ini, setiap siswa dapat mengembangkan pengetahuannya dengan bekal pemahaman dan pengetahuan awal yang sudah mereka peroleh dari pengerjaan LKS pada tahapan sebelumnya. Pada pertemuan pertama proses diskusi belum berjalan sebagaimana mestinya, sebagian kelompok hanya menggeser tempat duduk, melakukan pembagian tugas saja untuk masing-masing anggota kelompoknya, memilih ketua kelompok kemudian menuliskan kembali penyelesaian individu pada lembar LKS sesuai dengan tugasnya masing-masing yang sudah ditentukan tadi. Jadi, proses bertukar informasi yang diharapkan terjadi belum muncul pada pembelajaran ketika pertemuan pertama itu. Ketidaktahuan siswa mengenai apa yang sebenarnya harus mereka lakukan ketika proses diskusi berlangsung menjadi penyebab hal seperti itu terjadi. Di dalam kelompok, setiap siswa menyampaikan hasil kerjanya kepada anggota kelompok yang lainnya. Setiap siswa memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai permasalahan yang ada. Masing-masing kelompok berdiskusi dan mempertimbangkan berbagai pemahaman yang ada untuk memecahkan masalah secara bersama-sama dengan anggota kelompoknya, kemudian akan diperoleh solusi akhir permasalahan yang disepakati oleh semua anggota kelompok. Peneliti menjelaskan bagaimana seharusnya diskusi berlangsung, dan berusaha membiasakan siswa untuk berdiskusi melalui penerapan model pembelajaran collaborative problem solving ini. Pertemuan-pertemuan selanjutnya proses diskusi mulai berjalan kondusif. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, setiap kelompok mulai aktif, saling berbagi informasi dan bertukar pendapat dengan modal pengetahuan yang diperoleh dari pengerjaan LKS. Masing-masing anggota kelompok berkolaborasi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang paling tepat sebagai jawaban dari permasalahan yang diberikan. Jadi, penyelesaian kelompok merupakan hasil dari proses diskusi yang sebenarnya, tidak hanya sekedar memindahkan jawaban saja. Tahapan terakhir yaitu transfer hasil kerja. Pada tahapan ini, beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas, dan kelompok lainnya memberi tanggapan. Peneliti membimbing proses diskusi besar ini dengan memberikan tambahan informasi atau mengoreksi jika ada kekeliruan. Siswa dan guru saling berkolaborasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Jadi proses pembelajaran collaborative problem solving memang berpusat pada siswa, guru hanya berperan sebagai fasilitator yang mendukung proses pembelajaran berlangsung. Pada pertemuan pertama, proses presentasi kelompok ini belum berjalan maksimal. Suasana kelas gaduh, karena sebagian siswa yang tidak mendapat tugas presentasi kurang memperhatikan apa yang dipresentasikan di depan kelas. Jumlah siswa yang memberikan tanggapan selama diskusi kelas ini berlangsung juga hanya sedikit, padahal peneliti sudah berusaha untuk menstimulus siswa agar mengemukakan pendapatnya. Namun sebagian besar dari mereka belum berani mengemukakan gagasan-gagasannya secara terbuka ketika pembelajaran di kelas. Belum lagi alokasi waktu yang terbatas, sehingga ada satu permasalahan pada LKS yang belum terbahas. Penguasaan kelas dan manajemen waktu yang baik merupakan hal penting untuk dapat melaksanakan setiap tahapan dari pembelajaran collaborative problem solving ini dengan maksimal sehingga hasil yang diperoleh juga maksimal. Berbeda dengan pertemuan pertama, pertemuan-pertemuan berikutnya proses transfer hasil kerja berjalan lebih kondusif. Sebagian besar siswa mulai ada keinginan untuk terlibat dalam proses diskusi. Hal ini terlihat dari semakin bertambahnya siswa yang mengemukakan pendapatnya jika memiliki penyelesaian yang berbeda, menyanggah atau memperkuat gagasan yang sudah dikemukakan temannya, serta menanyakan hal yang kurang mereka pahami. Keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat mulai meningkat, karena pada setiap pertemuannya mereka terus menerus dibiasakan untuk memberikan tanggapan selama proses diskusi khususnya. Peneliti juga berusaha untuk membuat alokasi waktu seefektif mungkin, sehingga semua permasalahan bisa dibahas ketika pembelajaran berlangsung. Selama proses pembelajaran di kelas eksperimen berlangsung, peneliti menemukan bahwa ketika lingkungan pembelajaran memungkinkan siswa untuk