4. 3 Pengaruh Jarak Dari Tepi Hutan Terhadap Komunitas Serangga Penyerbuk

ketiga titik tersebut ialah jumlah individu spesies dominan Colletidae.002 yang tidak terlalu tertimpang jauh yaitu berkisar antara 10 – 12 individu Lampiran 16, dibandingkan dengan spesies-spesies non-dominan yang umum ditemukan 1 ekor. Dari sudut kuantitas spesies dominan tersebutlah yang menyebabkan ketiga titik pengamatan tersebut memiliki nilai kemerataan yang lebih tinggi dari titik-titik pengamatan lainnya, meskipun E Heip = 0,52 – 0,54 masih dikategorikan sebagai nilai kemerataan sedang. Nilai indeks kemerataan Heip terendah terdapat pada titik S03 dengan nilai indeks E Heip = 0,19 yang dapat dikategorikan sebagai nilai kemerataan sangat rendah atau tidak merata. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah kuatitas individu spesies dominan Colletidae.002 yang sangat jauh tertimpang yaitu 65 individu dibandingkan dengan individu spesies non-dominan yang umumnya berjumlah 1 individu. Perbedaan jumlah individu yang sangat mencolok tersebut dapat dilihat pada Lampiran 16

6. 4. 3 Pengaruh Jarak Dari Tepi Hutan Terhadap Komunitas Serangga Penyerbuk

Pada beberapa sub-bab sebelumnya telah dibahas tentang kekayaan dan kelimpahan jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kesamaan jenis, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perbedaan habitat telah memberikan pengaruh terhadap komunitas serangga penyerbuk di 15 titik pengamatan, maka pada sub-bab ini membahas lebih dalam tentang pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap jumlah jenis, jumlah individu, dan indeks-indeks keanekaragaman jenis serangga penyerbuk. Titik-titik pengamatan yang berada di habitat tepi hutan titik H12, H13, H14, dan H15 dihitung sebagai titik nol, dan Komunitas serangga penyerbuk pada titik-titik pengamatan tersebut menjadi titik-titik tolak pembanding dengan titik-titik pengamatan yang jauh dari tepi hutan. Jarak dari tepi hutan turut mempengaruhi jumlah spesies serangga penyerbuk pada titik-titik yang semakin menjauhi hutan. Gambar 8.a telah menunjukan penurunan jumlah spesies dimulai dari jarak 120 meter dari tepi hutan titik L10 dengan jumlah 13 spesies menurun hingga pada jarak 520 meter dari tepi hutan titik S06 dengan jumlah 6 spesies. Penurunan jumlah spesies ini erat kaitannya dengan semakin jauhnya jarak dari tepi hutan, karena habitat tepi hutan menjadi tempat ideal bagi beberapa jenis lebah sosial seperti Trigona sp.001, Apidae.004, Apis cerana, Apidae.003, Megachilidae.001, dan beberapa spesies dari famili Syrphidae ordo Diptera. Beberapa dari spesies-spesies tersebut memiliki penyebaran yang jauh sehingga faktor jarak akan sangat mempengaruhi jumlah spesies di titik-titik pengamatan disekitar tepi hutan karena spesies-spesies tersebut dapat menambah kekayaan spesies serangga penyerbuk. Setelah melewati batas jarak 520 meter titik S06, jumlah spesies kembali mengalami peningkatan secara berkala hingga mencapai jumlah spesies tertinggi yaitu 13 spesies serangga penyebuk pada jarak 850 meter dari tepi hutan titik S03, namun kembali mengalami penurunan jumlah spesies hingga pada titik terjauh titik P01 pada lokasi pemukiman penduduk yang berjarak 1100 meter dari tepi hutan, dengan jumlah 6 spesies. Peningkatan kembali jumlah spesies serangga penyerbuk seiring meningkatnya jarak dari tepi hutan dapat disebabkan oleh berkurangnya dominansi atau okupasi spesies-spesies lebah sosial yang berasal dari habitat tepi hutan sehingga spesies-spesies habitat lahan terbuka dapat mengisi kekosongan tersebut. Spesies-spesies yang menggantikan peran serangga penyerbuk hutan yang berkurang ialah; Fideliinae.001, Fideliinae.002, Colletidae.005, Colletidae.001, Xylocopa confusa, Syrphidae.002, Syrphidae.016, Ceratinini sp.004, dan Ceratinini sp.007. Berdasarkan perolehan hasil penelitian ini, terlihat adanya korelasi positif antar kelimpahan serangga penyerbuk dengan jumlah jenis serangga penyerbuk. Kelimpahan serangga penyerbuk di luar hutan juga mengalami jumlah yang naik- turun seiring jaraknya dari tepi hutan Gambar 8.b. kelimpahan serangga penyerbuk yang dimulai dari titik terdekat dengan jarak 110 meter dari tepi hutan titik L11 memiliki kelimpahan sebanyak 62 ekor serangga kemudian meningkat drastis menjadi 103 ekor serangga pada jarak 120 meter dari tepi hutan titik L10 yang sekaligus merupakan kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi dari keseluruhan 15 titik pengamatan. Peningkatan kelimpahan yang drastis ini tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya jumlah spesies pada jarak tersebut, namun juga pengaruh kelimpahan individu dan dominansi yang sangat besar dari spesies Apis cerana 30,10 atau 31 individu dan morfospesies Colletidae.002 39, 81 atau 41 individu pada titik pengamatan di L10 tersebut. Hal ini membuktikan kecenderungan bahwa habitat ekoton selalu menjadi tempat yang memiliki kelimpahan yang besar. Setelah melewati jarak 120 meter dari tepi hutan, jumlah jenis serangga penyerbuk mengalami penurunan drastis pada jarak 190 meter dari tepi hutan yaitu dengan jumlah 46 ekor serangga penyerbuk, dan hingga pada jarak 730 meter dari tepi hutan titik S05 kelimpahan tetap berfluktuatif antara 39-49 ekor serangga. Kelimpahan serangga penyerbuk kembali mengalami peningkatan menjadi 58 ekor serangga penyerbuk dimulai dari jarak 830 meter dari tepi hutan titik S04 yang kemudian meningkat drastis pada jarak 850 meter dari tepi hutan titik S03 dengan kelimpahan 91 ekor serangga, dan kelimpahan kembali dengan tajam hingga hanya ditemukan 17 ekor serangga penyerbuk pada jarak 1100 meter dari tepi hutan yaitu pada titik P01 di habitat pernukiman penduduk. Peningkatan kelimpahan yang drastis ini tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya jumlah spesies pada jarak tersebut, namun juga pengaruh kelimpahan dan dominansi yang luar biasa besar dari morfospesies Colletidae.002 dengan nilai dominansi sebesar 71,43 dan kelimpahan sebanyak 65 individu dari 91 ekor serangga pada titik pengamatan S03. Sedangkan merosotnya kelimpahan serangga penyerbuk hingga ke angka kelimpahan terkecil yaitu 17 ekor pada jarak 1100 meter dari tepi hutan diduga karena habitat permukiman penduduk bukanlah tempat yang biasa dikunjungi oleh serangga penyerbuk meskipun di habitat tersebut ditemukan 6 spesies serangga penyerbuk, yaitu jumlah spesies yang sama pada titik-titik pada jarak 400 meter dan 520 meter dari tepi hutan. Dengan jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang beragam, maka jarak dari tepi hutan sedikitnya juga memberi pengaruh terhadap indeks-indeks keragaman jenis seperti indeks Shannon-Wienner H’ dan indeks kemerataan E Heip . Lampiran 15 menunjukan pola yang fluktiatif sehingga tidak membentuk kecenderungan yang jelas atas bukti keberadaan hutan yang diasumsikan dapat mempengaruhi nilai keanekaragaman spesies di luar hutan. Namun pola fluktuasi pada Lampiran 15 masih dapat terlihat adanya penurunan sedikit demi sedikit pada indeks keanekaragaman yaitu yang dimulai dari jarak 110 meter titik L11 hingga 190 meter dari tepi hutan titik S09 dengan nilai H’=1,70 – 1,65, dan kemudian indeks keanekaragaman terus menurun dengan tajam hingga ke nilai terendah H’= 0,81 pada jarak 520 meter dari tepi hutan titik S06. Hubungan negatif antara semakin jauh jarak dari tepi hutan dengan nilai keanekaragaman spesies ini memperkuat pernyataan bahwa daerah ekoton atau peraduan dua habitat yang berbeda akan selalu memiliki nilai keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dari nilai keanekaragaman spesies pada habitat asal. Hal ini terbukti dari nilai keanekaragaman serangga penyerbuk di habitat ladang lebih tinggi dari nilai keanekaragaman pada habitat persawahan, dan juga bahkan lebih tinggi dari nilai keanekaragaman pada habitat dalam hutan itu sendiri. Penurunan nilai keanekaragaman seiring jaraknya dari tepi hutan ternyata tidak terus menurun hingga nol, karena setelah melewati jarak 520 meter dari tepi hutan nilai keanekaragaman secara fluktuatif kembali meningkat. Terjadi peningkatan indeks keanekaragman serangga penyerbuk yaitu H’= 0,81 – 1,68 pada kisaran jarak 520 – 830 meter dari tepi hutan, namun kemudian menurun menjadi H’= 1,19 pada jarak 850 meter dari tepi hutan titik S03. Pada jarak 940 meter dari tepi hutan indeks keanekaragaman mencapai nilai tertinggi H’= 1,74 dari keseluruhan 15 titik pengamatan, namun pada jarak 1100 meter dari tepi hutan nilai keanekaragaman kembali menurun menjadi H’= 1,28. Berbagai penyebab fluktuasi indeks keanekaragaman di beberapa titik yang jauh dari tepi hutan adalah ditemukannya serangga-serangga habitat terbuka yang memiliki penyebaran terbatas atau hanya dapat ditemukan pada titik pengataman tertentu saja, sehingga meningkatkan perolehan jumlah spesies pada titik pengamatan tersebut, namun faktor kelimpahan serangga penyerbuk serta kemerataan individu dari spesies-spesies di titik pengamatan tersebut menberi pengaruh terhadap penurunan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Kejanggalan ini dapat ditelusuri dengan melihat komposisi serangga penyerbuk penyusun komunitas di titik S03. Titik S03 ini yang memiliki jumlah spesies tertinggi dari keseluruhan 15 titik pengamatan yaitu 13 spesies, namum memiliki indeks Shannon-Wiener yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai indeks pada titik-titik sebelum dan sesudah S03. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan serangga penyerbuk yang tinggi yaitu 91 ekor serangga, namun nilai kemerataan E Heip terendah diantara 14 titik pengamatan lainnya. Tabel 16 menunjukan bahwa dominansi spesies-spesies serangga penyerbuk di titik S03 sangat tidak merata, yaitu didominasi oleh Colletidae 002 sebesar 71,43 atau sebanyak 65 individu, Ceratinini sp.007 sebanyak 8 individu, Colletidae 001 sebanyak 6 individu, A. cerana sebanyak 3 individu, serta 9 spesies lainnya hanya memiliki 1 individu. Kelimpahan serangga penyerbuk yang besar dan dominansi Colletidae 002 pada titik S03 itulah yang menyebabkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menurun cukup tajam disaat kecenderungan meningkatnya indeks keanekaragaman pada titik-titik yang semakin jauh dari tepi hutan. Jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu lokasi mengalami naik-turun seiring jaraknya dari tepi hutan, perubahan kelimpahan dan jumlah spesies tersebut dapat dilebur dalam satuan nilai kekayaan jenis, yang dalam penelitian ini digunakan indeks kekayaan jenis Margalef D mg . Indeks kekayaan jenis pada titik-titik pengamatan pada habitat hutan, yang dalam sub-bab ini dianggap sebagai titik nol, memiliki jumlah spesies dan kelimpahan yang berbeda-beda sehingga memiliki indeks kekayaan jenis yang berbeda-beda pula , yaitu mulai berkisar antara D mg = 1,25 – 2,08. Seiring menjauhi dari tepi hutan, indeks kekayaan jenis mengalami fluktuasi namun masi dapat terlihat pola penurunan dan penaikannya. Pada jarak 110 – 400 meter dari tepi hutan, indeks kekayaan jenis mengalami penurunan yaitu dimulai dari nilai D mg = 2,59 ingga D mg = 1,34. Penurunan indeks kekayaan jenis ini berkaitan erat dengan penurunan jumlah spesies pada titik-titik pengamatan di rentang jarak tersebut yaitu akibat dari menurunnya pengaruh okupasi dan penyebaran spesies-spesies serangga penyerbuk yang umum ditemukan di sekitar hutan seperti Trigona sp.001, Apidae.004, A. cerana, Apidae.003, Megachilidae.001, dan beberapa spesies dari famili Syrphidae ordo Diptera. Setelah melewati batas jarak 400 meter dari tepi hutan titik S07 hingga ke jarak 940 meter dari tepi hutan titik S02, indeks kekayaan jenis kembali mengalami peningkatan seiring meningkatnya jumlah spesies pada titik-titik pengamatan hingga mencapai indeks kekayaan jenis tertinggi yaitu D mg = 2,83 pada jarak 940 meter dari tepi hutan titik S02. Peningkatan ini juga berkaitan dengan semakin banyaknya jumlah spesies serangga penyerbuk yang ditemukan jauh dari tepi hutan akibat berkurangnya dominansi atau okupasi spesies-spesies lebah sosial yang berasal dari habitat tepi hutan sehingga spesies-spesies habitat lahan terbuka dapat mengisi kekosongan tersebut. Peningkatan indeks kekayaan jenis tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah spesies serangga penyrbuk yang ditemukan. Dari jarak 850 – 940 meter dari tepi hutan terjadi pengurangan jumlah spesies yang ditemukan, yaitu dari 13 spesies menjadi 10 spesies, namun indeks kekayaan jenis terus meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh cara penghitungan indeks kekayaan jenis Margalef D mg yang menjadikan variabel kelimpahan total individu menjadi faktor pembaginya, sehingga semakin kecil kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu lokasi, maka semakin besar nilai kekayaan jenis pada lokasi tersebut, dengan asumsi penurunan jumlah spesies yang ditemukan tidak terlalu besar. Dalam penelitian ini, penurunan jumlah spesies dari jarak 850 – 940 meter dari tepi hutan, yaitu dari 13 spesies menjadi 10 spesies diikuti dengan penurunan kelimpahan serangga penyerbuk yang sangat besar, yaitu dari 91 ekor menjadi 24 ekor serangga penyerbuk. Pada jarak 940 – 1100 meter dari tepi hutan, kembali terjadi penurunan yang sangat berarti pada indeks kekayaan jenis, yaitu dari D mg = 2,83 menjadi D mg = 1,76. Penurunan kekayaan jenis tersebut berkaitan dengan penurunan jumlah spesies yang ditemukan, meskipun kelimpahan pada jarak 1100 meter dari tepi hutan ini juga menurun dari 24 ekor menjadi 17 ekor serangga penyerbuk. Titik P01 yang berjarak 1100 dari tepi hutan ini adalah habitat yang tidak umum bagi serangga penyerbuk untuk mencari nektar, namun indeks kekayaan jenis telah menunjukan hal yang berlawanan karena meski berada pada jarak 1100 dari tepi hutan, namun kekayaan jenisnya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan titik-titik yang ada di habitat hutan H12, H13, dan H14. Kejanggalan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan kelimpahan pada titik P01 dengan titik H12. Kedua titik tersebut memiliki jumlah spesies yang sama yaitu 6 spesies, namun memiliki kelimpahan serangga penyerbuk yang jauh berbeda yaitu P01 memiliki 17 ekor sedangkan H12 memiliki 54 ekor, sehingga indeks kekayaan di hutan tidak lebih tinggi dari permukiman penduduk. 6. 5 Faktor Lain Terhadap Nilai Keanekaragaman Serangga Penyerbuk 6. 5. 1 Pengaruh Faktor Jumlah Pemekaran Bunga Terhadap Jumlah Spesies dan Kelimpahan Serangga Penyerbuk Hasil penelitian ini telah menunjukan bahwa jarak dari tepi hutan sedikit banyak telah mempengaruhi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk di berbagai titik pengamatan di empat macam habitat. Namun jarak dari tepi hutan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, karena faktor jumlah mekar bunga pada suatu lokasi juga dapat mempengaruhi kunjungan serangga penyerbuk Thompson 2001; Stout et al. 2004; Atmowidi 2008. Hasil penelitian ini pun telah menunjukan bukti yang memperkuat hasil penelitian Atmowidi 2008 seperti pada Gambar 10.a bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara hubungan banyaknya jumlah mekar bunga dengan jumlah spesies yang ditemukan dari total akumulasi keseluruhan hari pengamatan dan di seluruh titik pengamatan, meskipun Atmowidi 2008 menyatakan bahwa jumlah spesies serangga yang ditemukan tidak terlalu terpengaruh dengan banyaknya mekar bunga. Peningkatan jumlah spesies serangga penyerbuk terhadap meningkatnya jumlah mekar bunga ditandai dengan persamaan garis regresi y = 0,0007x+5,2807 berkorelasi positif dengan kemiringan 42,49 r 2 =0,4249 dan tingkat signifikan p = 0,0046 Lampiran 5. Korelasi yang positif dan signifikan juga terdapat pada hubungan antara peningkatan kelimpahan serangga penyerbuk terhadap meningkatnya jumlah mekar bunga dari total akumulasi keseluruhan hari pengamatan dan di seluruh titik pengamatan, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 10.b. Hubungan korelasi posotif tersebut ditandai dengan persamaan garis regresi y = 0,008x+13,046 dengan kemiringan sebesar 68,49 r 2 =0,6849 dan dengan tingkat signifikan p = 0,00004 Lampiran 6. Penanaman tanaman caisin pada titik pengamatan ditujukan agar menghasilkan petak hamparan mekar bunga berwarna kuning yang dapat menarik serangga penyerbuk untuk berkunjung. Pada penelitian ini, bunga-bunga caisin yang terdapat di seluruh titik penelitian terbukti berhasil menarik serangga penyerbuk, namun sangat disayangkan bunga-bunga yang mekar pada tiap-tiap titik pengamatan tidak sama jumlahnya, hal ini diduga sedikit banyak telah memberi pengaruh pada perberbedaan kemampuan petak hamparan di tiap-tiap titik dalam menarik serangga. Salah satu kendala yang dihadapi pada penelitian ini adalah ketidakmampuan peneliti untuk mengatur pertumbuh-kembangan tanaman caisin agar dapat mekar dengan serempak dan dengan jumlah yang sama di semua titik pengamatan, meskipun banyak upaya penyeragaman yang telah dilakukan saat penelitian pendahuluan untuk mengurangi ketimpangan tersebut, seperti penyeragaman asal induk benih caisin, proporsi pupuk organik dan bobot tanah yang seimbang, dan penyeragaman jumlah tanaman di tiap titik pengamatan. Jumlah akumulatif pemekaran bunga selama 17 hari pengamatan pada tiap-tiap titik pengamatan sangat bervariasi yaitu berkisar antara 3536 – 6923 kuntum, begitu juga dengan rata-rata jumlah pemekaran bunga yang berkisar antara 196,45 – 384,61 kuntum bunga per hari Tabel 5.. Bukti adanya pengaruh faktor jumlah mekar bunga terhadap jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk ditunjukan oleh Gambar 10 a dan b yang memperlihatkan hasil bahwa fluktuasi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, khususnya pada titik-titik pengamatan di luar hutan, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor jumlah pemekaran bunga caisin di masing-masing titik pengamatan tersebut. Fluktuasi kelimpahan serangga penyerbuk terus berlangsung mengikuti pola fluktuasi jumlah pemekaran bunga caisin pada titik-titik pengamatan, dari batas terdekat tepi hutan yaitu titik L11 110 meter dari tepi hutan hingga ke titik P01 1100 meter dari tepi hutan. Pada titik S03 850 meter dari tepi hutan terjadi peningkatan kelimpahan serangga penyerbuk yang sangat mencolok hingga 91 ekor, hal tersebut selain diduga terjadi akibat dominansi morfospesies Colletidae.002 hingga 71,43 yang disebabkan berkurangnya pengaruh dominansi lebah sosial dari habitat hutan, namun juga diduga akibat jumlah pemekaran bunga caisin yang sangat banyak yaitu 6034 mekar bunga, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pemekaran bunga yang terdapat di semua titik-titik diluar hutan. Meskipun jumlah pemekaran bunga caisin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelimpahan serangga penyerbuk, namun faktor jarak lokasi titik pengamatan dari tepi hutan juga memiliki andil yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dari Gambar 11. yaitu pada titik L10 120 meter dari tepi hutan yang menunjukan bahwa meskipun jumlah pemekaran bunga hanya berjumlah 5399 mekar bunga, namun kelimpahan serangga penyerbuk di jarak ini mencapai 103 ekor serangga, dengan dugaan kelimpahan ini disebabkan karena lokasinya yang terdapat pada daerah ekoton sehingga lokasi ini banyak mendapat kunjungan serangga penyerbuk dari habitat hutan dan non-hutan. selain itu, terdapat pula bukti bahwa jumlah mekar bunga tidak terlalu signifikan pada titik- titik pengamatan H15, H14, H13, dan H12, yang berada di habitat hutan yang memiliki persamaan yaitu sebagai titik 0 meter nol dari tepi hutan. Kelimpahan serangga penyerbuk pada keempat titik pengamatan di habitat hutan ini tidak terlalu mengikuti pola naik-turunnya jumlah pemekaran bunga yang terdapat di masing-masing titik pengamatan. Sehingga dalam penelitian ini, jumlah pemekaran bunga caisin memberikan pengaruh yang besar terhadap kelimpahan serangga penyerbuk di tiap-tiap titik pengamatan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah spesies serangga penyerbuk. Kelimpahan serangga penyerbuk per 1000 jumlah mekar bunga Lampiran 17 dianalisa untuk menyeragamkan kelimpahan serangga penyerbuk untuk mengurangi bias akan adanya pengaruh faktor jumlah mekar bunga. Namun pengaruh faktor jarak tetap tidak lebih besar dari pengaruh mekar bunga terhadap kelimpahan serangga penyerbuk.

6. 5. 2 Pengaruh Faktor Suhu Udara Sekitar Terhadap Jumlah Spesies dan Kelimpahan Serangga Penyerbuk