5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Simulasi Model
Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan
menggunakan model Ekonomi Keseimbangan UmumComputable General Equilibrium
CGE dari INDOWISATA yang berinduk pada INDOMINI sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pertumbuhan kepariwisataan
dimaksud adalah peningkatan pengeluaran wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara, investasi di bidang kepariwisataan serta
pengeluaran pemerintah untuk promosi pariwisata. Pengeluaran ini merupakan bagian dari permintaan akhir.
Penelitian ini menerapkan dua skenario utama dari sejumlah kebijakan yang sedang diupayakan pemerintah untuk bisa diimplementasikan. Skenario pertama
dimodelkan dengan menurunkan tarif bea masuk hingga 0 persen pada semua komoditas impor kecuali padi dan gula yang masuk dalam kategori Sensitive List
SL dan High Sensitive List HSL. Kebijakan tersebut dilakukan akibat adanya kesepakatan pemerintah Indonesia untuk menerapkan pengurangan tarif impor
secara bersama-sama dengan negara-negara mitra dagang, baik sebagai anggota AFTA, ACFTA, APEC maupun WTO. Skenario tersebut mengasumsikan bahwa
pemerintah akan mengurangi tarif impor tetapi tidak pada ekspor, karena adanya ketergantungan pada pendapatan dari sektor eksternal dan agar semua jenis
perpajakan dalam perekonomian domestik tetap terjaga. Pada skenario kedua diasumsikan terjadi pertumbuhan permintaan dari
kegiatan kepariwisataan di Indonesia sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Pengeluaran yang dilakukan oleh wisatawan dari kegiatannya di Indonesia
diperkirakan sekitar 15 persen per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 16. Namun, dalam menghadapi berbagai krisis global dan pelemahan pertumbuhan
ekonomi dunia serta peningkatan harga komoditas dunia, perkiraan ini mungkin terlalu optimis. Disamping itu, kondisi keamanan dalam negeri yang masih sering
terjadi gangguan dan teror juga dapat memengaruhi kunjungan wisatawan ke
80
Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan permintaan oleh wisatawan sebesar 10 persen mungkin lebih masuk akal untuk disimulasikan.
Tabel 16 Pertumbuhan permintaan pariwisata, 2006-2009
Uraian 2006
2007 2008
2009
Rata-rata
persen
Pariwisata 12,59
18,35 33,03
1,12 16,27
Wisatawan Nusantara 17,78
12,30 22,61
8,88 15,39
Wisatawan Mancanegara -4,79
25,51 59,78
-26,42 13,52
Investasi Pariwisata 22,86
26,28 28,11
18,81 24,02
Promosi Pariwisata 6,56
12,11 37,91
11,22 16,95
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b diolah.
Kedua skenario utama tersebut kemudian digabungkan dengan dua simulasi kebijakan makroekonomi lainnya. Pertama, diasumsikan bahwa pemerintah lebih
pro-bisnis serta agar terjadi keseimbangan secara eksternal. Skenario ini dilakukan melalui penghapusan tarif impor seperti pada skenario pertama yang digabungkan
dengan melakukan penghapusan distorsi pada pasar domestik yang digambarkan dengan menurunkan pajak tidak langsung sebesar 10 persen pada komoditas
domestik lihat Sugiyarto et al., 2003 dan Pendit, 2006. Namun dalam konteks tersebut, pemerintah akan terbebani karena masih adanya ketergantungan pada
pendapatan dari tarif impor dan pajak tak langsung. Pendapatan dari tarif impor dan pajak tak langsung masing-masing menyumbang sekitar 2,67 persen dan 7,82
persen dari total penerimaan pajak dalam APBN 2010 sebagaimana terlihat pada Tabel 17. Akan tetapi dengan melihat perkembangan hubungan internasional yang
semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impor dan pajak tak langsung lainnya dalam rangka
meningkatkan daya saing komoditas domestik di pasar dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun.
Tabel 17 Total penerimaan Pajak, Bea Masuk dan Pajak Tak Langsung dalam
APBN Indonesia, 2005-2010
Uraian APBN
triliun rupiah
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Penerimaan Perpajakan 347,03 409,20 490,99 658,70 725,84
729,17 Bea Masuk
14,92 12,14
16,70 22,76
19,16 19,50
Share 4,30
2,97 3,40
3,46 2,64
2,67 Pajak Tak Langsung
33,26 37,77
44,68 51,25
49,49 57,03
Share 9,58
9,23 9,10
7,78 6,82
7,82
Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2010 diolah.
81
Simulasi kedua dari kebijakan makroekonomi lainnya adalah dengan mengasumsikan terjadinya peningkatan efisiensi produksi. Hal ini disimulasikan
melalui peningkatan efisiensi produksi sebesar 5 persen pada sektor-sektor yang mempunyai kaitan sangat erat dengan pariwisata. Kondisi tersebut dimaksudkan
untuk memberikan beberapa kebijakan alternatif lainnya selain pengurangan pajak, karena pajak masih merupakan sumber penerimaan utama pemerintah.
Disamping itu, efisiensi produksi juga sangat dianjurkan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas domestik terhadap masuknya komoditas-
komoditas impor. Berdasarkan skenario tersebut diperoleh dugaan mengenai dampak yang
terjadi pada peubah-peubah ekonomi makro seperti PDB, ketenagakerjaan, inflasi, kinerja eksternal, konsumsi rumah tangga dan konsumsi wisatawan. Disamping
itu, disajikan juga dampak yang terjadi pada output dari beberapa industri yang menerima dampak cukup besar. Hasil dari simulasi tersebut dapat dilihat secara
lengkap pada Lampiran 4 hingga Lampiran 7. Nilai-nilai hasil simulasi tersebut merupakan perubahan persentase dari data benchmarkbaseline data dasar. Data
benchmark tersebut mengacu pada nilai-nilai keseimbangan dari peubah sebelum
dilakukan simulasi. Dalam kebanyakan kasus, nilai positif mencerminkan peningkatan dan nilai negatif menunjukkan penurunan. Namun perubahan
persentase dalam neraca perdagangan harus ditafsirkan secara hati-hati karena nilainya dapat beralih dari negatif ke positif padahal belum tentu menjadi defisit
atau surplus.
5.2 Dampak Liberalisasi Perdagangan