Pengertian Model Pembelajaran Experiential Learning

4 Abstrak-Aktif, merupakan kombinasi dari AC dan AE. Pada gaya ini pembelajar aktif mengaplikasikan ide-ide abstraknya dan mengembangkan strategi-strategi individualnya. Knisley menginterpetasikan gaya belajar Kolb sebagai gaya belajar matematika. Korespondensi antara gaya belajar Kolb dan aktivitas pembelajar dalam matematika sebagai berikut. Tabel 2.2 Gaya Belajar Kolb dalam Pembelajaran Matematika 37 Kolb’s Learning Styles Equivalent Mathematical Style Concrete, Replective Concrete, Active Abstract, Reflective Abstract, Active Allegorizers Integrators Analyzers Synthesizers Gaya belajar concrete-replective berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar allegorizers. Pada saat berperan sebagai allegorizers, siswa membentuk konsep baru berdasarkan apa yang sudah diketahui sebelumnya. Gaya belajar concrete-active berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar integrators. Pada saat berperan sebagai integrators siswa melakukan kegiatan eksplorasi terhadap konsep baru dengan melakukan serangkaian kegiatan percobaan untuk mengetahui karakteristik terhadap konsep baru sehingga terjadi pembaruan konsep lama. Gaya belajar abstract-reflective berkorespondensi dengan gaya pembelajar analyzers, yaitu siswa menganalisis pengalaman pada kegiatan percobaan untuk membentuk konsep baru yang abstrak beserta karakteristiknya. Gaya belajar abstract-active berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar synthesizers, yaitu siswa telah memperoleh serangkaian pengalaman yang utuh dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan konsep baru. Model experiential learning memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, 37 Ibid. keterampilan-keterampilan apa yang ingin mereka kembangkan, dan bagaimana membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami tersebut. Hal ini berbeda dengan pendekatan belajar tradisional dimana peserta didik menjadi pendengar pasif dan hanya guru yang mengendalikan proses belajar tanpa melibatkan peserta didik. Tabel 2.3 Perbedaan Experiential Learning dengan Pembelajaran Tradisional 38 Experiential Learning Pembelajaran Tradisional Siswa bersifat aktif. Siswa bersifat pasif. Bersumber pada penemuan siswa. Berdasar pada keahlian mengajar guru. Partisipatif, berbagai arah. Otokratis, satu arah. Dinamis dan belajar dari melakukan. Belajar dengan struktur dan mendengar. Bersifat terbuka. Bersifat terbatas pada sesuatu yang baku Mendorong untuk melakukan sesuatu. Terfokus pa da tujuan belajar yang khusus. Berdasarkan Tabel 2.2, experiential learning mampu mengaktifkan siswa karena siswa belajar dari berbagai arah dan mampu mendorong siswa melakukan sesutatu, tidak hanya menerima materi pembelajaran dari guru. Apabila metode experiential learning dilakukan dengan baik dan benar, maka ada beberapa keuntungan yang akan didapat, antara lain: 1. Mengembangkan atmosfer pembelajaran yang kondusif dan suportif; 2. Memunculkan kegembiraan dalam pengerjaan tugas pembelajaran; 3. Mendorong berpikir kreatif; 4. Membantu para peserta melihat dari perspektif yang berbeda; 5. Meningkatkan kesadaran akan perlunya berubah; 6. Meningkatkan kesadaran diri. 39 38 I. R. S Munif dan Mos ik, “Penerapan Metode Experiential Learning pada Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 5 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, 2009 Juli 2009: h. 80.

b. Langkah-Langkah Pembelajaran Experiential Learning

Model pembelajaran knisley berhubungan erat dengan gaya belajar Kolb. Adapun langkah-langkah pembelajaran mengacu pada istilah yang digunakan Felder. 1. Konkrit-Reflektif: siswa bertindak sebagai allegorizers. Suatu konsep baru dideskripsikan dengan cara pengibaratan ke dalam konsep-konsep yang telah diketahui dengan baik. 2. Konkrit-Aktif: siswa bertindak sebagai integrators. Siswa melakukan percobaan matematika yang sifatnya mengeksplorasi konsep baru untuk dapat membedakan dan mengaitkan konsep lama dengan konsep baru sehingga didapatkan pemahaman sempurna. 3. Abstrak-Reflektif: siswa bertindak sebagai annalizers. Setelah siswa melakukan serangkaian aktifitas percobaan, siswa mengabstraksikan pengalamannya, dengan inilah siswa dapat menghubungkan dan membedakan konsep baru dengan konsep yang sudah diketahuinya untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari pengalamannya. 4. Abstrak-Aktif: siswa bertindak sebagai synthesizers. Pada tahap ini, siswa telah menguasai konsep dan dapat menggunakannya untuk memcahkan masalah dan mengembangkan strategi. Siswa menjadikan konsep baru yang telah didapatkan sebagai suatu alat memecahkan masalah. Sementara peranan guru dalam setiap gaya belajar Kolb sedikitnya meliputi empat peranan matematika. Pada tahap konkret-reflektif, peranan guru sebagai storyteller pencerita, yaitu menjelaskan konsep baru secara figuratif dalam konteks yang telah diketahui siswa untuk membentuk konsep baru. Pada tahap konkret-aktif, peranan guru sebagi pembimbing dan pemberi motivasi, guru memberikan arahan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Pada tahap abstrak-reflektif, guru berperan sebagai sumber 39 Rahayu S. Purnami dan Rohayati, “Implementasi Model Experiential Learning dalam Pengembangan Softskills Mahasiswa yang Menunjang Integrasi Teknologi, Manajemen dan Bisnis,” Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 14 No. 1 April 2013 : h. 101. informasi, yaitu mengarahkan konsep baru siswa yang abstrak kepada konsep yang benar, sedangkan pada tahap abstrak-aktif, peran guru adalah sebagai pelatih, yaitu melatih pemahaman baru siswa untuk menyelesaikan soal dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan konsep baru yang baru mereka peroleh. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan model pembelajaran experiential learning yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tahap konkrit-reflektif, guru menjelaskan konsep dalam konteks yang sudah diketahui siswa dan bersama siswa mengumpulkan informasi penting yang dibutuhkan, pada tahap ini siswa mengemukakan gagasan sebanyak-banyaknya yang dibutuhkan dalam membentuk konsep baru berdasarkan pengetahuan siswa sebelumnya. b. Tahap konkrit-aktif, siswa mengadakan percobaan matematika yang menuntun siswa dalam membentuk konsep baru. Pada tahap ini siswa mengeluarkan gagasannya untuk menyelesaikan percobaan matematika bagaimana konsep baru tersebut dapat terbentuk. c. Tahap abstrak-reflektif, siswa merefleksikan hasil percobaan matematika ke dalam konsep baru yang abstrak. Pada tahap ini siswa terlatih lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam merefleksikan hasil percobaan matematika dan menguraikan secara detail dari percobaan matematika hingga terbentuk konsep baru yang abstrak berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan. d. Tahap abstrak-aktif, siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah menggunakan konsep-konsep yang telah dibentuk pada tahap-tahap sebelumnya. Siswa mengerjakan latihan-latihan soal matematika yang melatih siswa dalam mengemukakan banyak kemungkinan jawaban dari suatu masalah dan menyelesaikannya dengan langkah-langkah yang detail atau terperinci.

3. Teori belajar konstruktivisme

Belajar menurut paham konstruktivisme adalah suatu perubahan konseptual, yang dapat berupa pengkonstruksian ide baru atau merekonstruksi ide yang sudah ada sebelumnya. 40 Hal penting dalam pembelajaran konstruktivisme adalah dalam proses pembelajaran, pembelajar harus mendapatkan penekanan, merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan orang lain. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. 41 Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja dalam memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya dan guru dapat memberikan kemudahan dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajarkan siswa untuk sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah nonobjective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. 42 Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif, dan 40 Azhari, “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa Melalui Pendekatan Konstruktivisme di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama SMP Negeri Banyuasin III,” Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sriwijaya Volume VII, no. 2 Juli 2013 : h. 3. 41 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Ed. 1 Cet. 1, h. 28. 42 Nurochim, Perencanaan Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, Cet. 1, h. 25. refleksi serta interpretasi, sedangkan mengajar berarti aktivitas menata lingkungan agar pembelajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan, dengan demikian pembelajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivistik sebagai berikut: adaptasi adaptation, konsep pada lingkungan the concept of environment, dan pembentukan makna the construction of meaning. Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. 43 Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya, sedangkan akomodasi dilakukan jika pengalaman baru itu tidak cocok dengan skema yang telah ada. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antarindividual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. 44 Artinya, pengetahuan itu dikonstruksi oleh masing-masing pembelajar, tidak didapatkan secara mentah-mentah langsung dari guru, pembelajar mengalami serangkaian proses pembelajaran yang pada akhirnya pengetahuan tersebut didapatkan, peranan guru dalam konstruktivisme hanya sebagai fasilitator. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan dan pengalaman, oleh karena itu untuk mendapatkan pengetahuan yang bermakna, keaktifan siswa dalam pembelajaran konstruktivis sangat diperlukan. 43 Ibid. 44 Ibid h.26.