1.3 Tujuan Penelitian
1
Menganalisis kualitas detritus yang dimanfaatkan ikan belanak berdasarkan jenis mangrove yang dominan, dan
2
Mengevaluasi kontribusi detritus sebagai sumber makanan, berdasarkan aspek pertumbuhan ikan belanak Liza subviridis di ekosistem mangrove
pesisir utara Konawe Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan dan konservasi yang terkait dengan fungsi biologis dan ekologis hutan mangrove sebagai pemasok detritus
sumber materi dan energi untuk ikan pemakan detritus serta menunjang perikanan pantai secara umum.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan ikan belanak,
maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini: 1. Kualitas detritus yang dihasilkan dari suatu jenis mangrove dipengaruhi
karakteristik lingkungan perairan, dan 2. Aspek pertumbuhan ikan belanak akan dipengaruhi oleh kualitas detritus
yang dikonsumsi.
1.6 Kebaharuan Penelitian Novelty Penelitian
Detritus Rhizophora apiculata berkontribusi secara signifikan sebagai makanan dan sumber energi pada aspek pertumbuhan ikan belanak Liza
subviridis dibandingkan detritus Sonneratia alba di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Belanak Liza subviridis
Kingdom Animalia Filum Chordata
Class Actinopterygii Order Mugiliformes
Family Mugilidae Genus Liza
Spesies subviridis Valenciennes 1836.
Ikan belanak L. subviridis yang biasa dikenal dengan nama Greenback mullet, dicirikan dengan tubuh bagian atas berwarna putih kehijauan dan
cenderung abu-abu, sisi samping perutnya berwarna putih keperakan dengan sirip dada yang relatif pendek dan sirip ekornya berbentuk huruf V besar, kepala
bagian atas agak rata, bibir tipis serta lembut Gambar 2.
Gambar 2 Ikan belanak, Liza subviridis Valenciennes 1836. Ikan belanak, L. subviridis dari famili mugilidae penyebarannya luas dan
mampu bertoleransi pada kondisi yang ekstrim terhadap salinitas, suhu dan juga dapat menyesuaikan terhadap keadaan makanan di berbagi macam habitat,
tersebar di estuari dan perairan pantai tropik dan subtropik. Famili ini diperkirakan mempunyai 64 spesies Tomson 1964, diacu dalam Effendie 1984.
Di Indonesia terdapat 21 spesies Weber dan de Beaufort 1922, diacu dalam Effendie 1984.
Ikan belanak adalah sejenis ikan
yang banyak dijumpai di perairan laut tropik dan subtropik yang bentuknya hampir menyerupai
bandeng . Secara umum
bentuknya memanjang agak langsing dan gepeng. Sirip
punggung terdiri dari satu jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah. Sirip
dubur berwarna putih kotor terdiri
dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah. Bibir
bagian atas lebih tebal daripada bagian bawahnya ini berguna untuk mencari makan di dasar
organisme yang terbenam dalam
lumpur Kriswantoro dan Sunyoto 1986. Ciri lain dari ikan
belanak yaitu mempunyai gigi
yang amat kecil, tetapi kadang-kadang pada beberapa
spesies tidak ditemukan sama sekali.
Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Ikan belanak
setiap hari mengkonsumsi sisa tanaman yang mati, detritus, sedimen berpasir, memakan epifit dan epifauna dari padang lamun juga mencernakan buih
permukaan berisi microalgae. Jumlah kandungan pasir dan detritus dalam isi perut meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuhnya, menunjukkan lebih
banyak makanan dicernakkan dari dasar substrat ketika ikan menjadi dewasa. Carl Linnaeus, seorang naturalis berkebangsaan Swedia, mula-mula
menggambarkan ikan belanak mullet yang berbelang sebagai Mugil cephalus dalam tahun 1758. Disebut Mugil berasal dari bahasa Latin mugil artinya seekor
ikan, mungkin ikan mullet. Beberapa nama sinonim yang mengacu pada Liza subviridis antara lain : Chelon subviridis, Ceramensis liza, Liza ceramensis, Liza
dussumieri, Liza melinopterus, Liza parmatus, Liza parsia, Mugil alcocki, Mugil dussumieri, Mugil javanicus, Mugil jerdoni, Mugil melinopterus, Mugil stevensi,
Mugil subviridis, Mugil sundanensis, Mugil tadopsis. Beberapa nama yang umum digunakan dalam bahasa Inggeris yaitu striped
mullet, black mullet, black true mullet, bright mullet, bully mullet, callifaver mullet, common grey mullet, common mullet, flathead grey mullet, flathead
mullet, gray mullet, haarder, hardgut mullet, mangrove mullet, mullet, river mullet, sea mullet, dan springer.
2.1.1 Habitat dan daerah sebaran
Ikan Belanak adalah jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering kali masuk di perairan laguna, muara-muara dan air tawar. Sifatnya yang selalu hidup
bergerombol di perairan pantai yang dangkal untuk mencari makan. Makanannya berupa mikro alga, zooplankton dan material detritus. Ikan belanak juga
memakan pasir dan lumpur. Djajadiredja dan Purnomo 1974, diacu dalam Effendie 1984 mengemukakan bahwa jenis mugilidae yang dominan dijumpai
di perairan Indonesia adalah L. subviridis. Ikan belanak jenis ini juga banyak dijumpai di perairan Thailan, Filipina dan Malaysia Chan 1976.
Ikan belanak dewasa dan muda panjang dari 4 cm-7 cm memiliki toleransi pada kadar garam cukup lebarluas 0 ppt -35 ppt. Setelah besar akan
membentuk gerombolkelompok besar pada daerah permukaan pantai berlumpur, berpasir dan perairan yang berhutan mangrove. Ikan belanak dalam kelompok
yang besar akan beruaya ke lepas pantai untuk bertelur. Larvanya akan bergerak ke perairan pantai dangkal dan bervegetasi yang kaya akan makanan serta
menghindari predator. Ikan belanak seringkali melompat ke permukaan air diduga karena menghindar dari pemangsa, namun kemungkinan lainnya adalah
karena ikan ini waktunya lebih banyak dihabiskan pada daerah dengan kelarutan oksigen yang rendah.
Ikan belanak tersebar di perairan tropik dan subtropik FAO 1974, diacu dalam Adrim et al. 1988, ditemukan di air payau dan kadang-kadang di air
tawar. Tersebar di Indo-Pasifik dari Laut Merah sampai Samoa, ke utara menuju Jepang. Di kawasan Pasifik ikan belanak ditemukan di Fiji, Samoa, New
Caledonia dan Australia. Di Asia, banyak ditemukan di Indonesia, India, Philipina, Thailan, Malaysia dan Srilangka.
2.1.2 Ontogenetik makanan ikan belanak
Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak sangat erat kaitanya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan
hidupnya. Pada dasarnya pemanfaaan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan,
berpijah atau untuk berlindung dari predator. Namun demikian, ikan belanak
memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara perkembangan ontogenetik ikan belanak
dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat. Dalam pola pemanfaatan habitat, ikan yang berukuran kecil akan
membutuhkan kondisi yag lebih spesifik bila dibandingkan dengan ikan yang sudah besar Reichard et al. 2002. Misalnya ikan belanak yang berada pada
stadia larva maka kehadirannya di ekoistem mangrove lebih ditujukan untuk mendapatkan perlindungan dan kecocokan makanan sesuai dengan bukaan
mulutnya. Sementara pada ikan dewasa penempatan habitat lebih ditujukan untuk mencari makan, sehingga ekosistem mangrove yang dipilih merupakan
habitat dengan ketersediaan makanan yang melimpah. Diketahui ikan belanak adalah suatu jenis ikan yang hidup di perairan
pantai, sering masuk di perairan muara dan air tawar. Dalam siklus hidup ikan belanak berbagai variasi strategi telah dikembangkan dan seringkali
menunjukkan fleksibilitas fenotipik dalam merespon pola dan proses faktor - faktor abiotik dan biotik. Strategi yang digunakan menggambarkan pola
perpindahan ikan belanak berdasarkan ruang dan waktu misalnya migrasi pemijahan dari daerah laut lepas menuju habitat pengasuhan di daerah pantai.
Ikan belanak saat juvenil kebiasaan makanannya berbeda dengan ikan belanak yang dewasa. Perubahan ontogenetik dalam variasi makanan yang
terjadi berhubungan dengan habitatnya di estuari, saat juvenil ke remaja atau dewasa meninggalkan daerah estuari yang berhubungan dengan perubahan
morfologi rahang atau gigi atau ukuran. Ikan pemakan makro dan mikrobentik dan detritus seperti ikan belanak,
akan mengalami perubahan pada jenis makanannya selama proses pertumbuhan, hal ini disebabkan : 1 perubahan ukuran mulut, ukuran bukaan mulut akan
berubah sejalan dengan perubahan ukuran ikan, dengan demikian ukuran yang dapat dimakan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut, 2 selera serta kebutuhan
ikan, dan 3 kemampuan dalam mencerna suatu material makanan. Bertambahnya umur ikan serta makin sempurnanya organ-organ tubuh maka ikan
akan merubah makanannya sesuai dengan kebutuhan, yang berarti bahwa kebiasaan makanan ikan akan mengalami perubahan komposisi sesuai dengan
tingkat pertumbuhannya atau kelompok ukuran, dan 4 ketersediaan makanan di dalam perairan, ditentukan oleh kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe
makanan tertentu. Blaber 1997 mengemukakan bahwa juvenil ikan belanak mengalami
perubahan ontogenetik antara ukuran 10 dan 50 mm dan setelah dewasa makanannya tidak lagi mengalami perubahan. Di estuari makanannya
mengalami perubahan; ukuran 10-15 mm dari pemakan zooplankton menjadi pemakan bentik zooplankton, ukuran 10-20 mm pemakan meiobentos, ukuran
15-25 mm pemakan meiobentos pada partikel pasir dan mikrobentik. Setelah berukuran 40 mm, makanannya tidak lagi mengalami perubahan yaitu hanya
mengkonsumsi mikrobentik namun pada saat matang gonad pada ukuran 23 cm makanannya didominasi oleh detritus.
Ikan belanak sebagai pemakan detritus dari tanaman, cara mengambil makanannya sangat khas. Ikan belanak yang berukuran sampai 30 mm sebagai
pemakan larva nyamuk, copepoda dan zooplankton. Effendie 1997 mengemukakan bahwa ikan belanak pada ukuran dewasa mengambil makanannya
atau memilih makanannya dengan tiga cara yaitu: 1. Menghisap lapisan atas permukaan air dengan menonjolkan mulutnya untuk
memakan mikro alga, 2. Sambil berenang melakukan penghisapan bagian atas permukaan lumpur, dan
3. Untuk makan butiran pasir, ikan menukikan tubuh dan kepalanya membentuk sudut 15
–20 derajat sambil menonjolkan premaxilla. Spesialisasi kebiasaan makanan ikan tidak terlepas dari kualitas dan
kuantitas makanan yang akan dimakan serta bagaimana cara pengambilan makanan tersebut di dalam perairan. Hal tersebut disebabkan kebiasaan atau
kesukaan ikan terhadap macam-macam makanan yang ada di perairan berhubungan dengan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang dan alat
pencernaan makanan suatu jenis ikan yang merupakan faktor pembatas dari kebiasaan makan yang timbul selama masa pertumbuhan ikan.
Proses pencernaan di lambung dilakukan pada ikan ada yang kimiawi dan ada pula pencernaan secara mekanik juga dilakukan di lambung. Pada ikan
hebivora contohnya ikan ini menggerus makanan pada lambung, lambung tersebut
sering disebut gizzard atau lambung khusus Fujaya 2004. Ikan belanak sebagai pemakan detritus yang banyak berasal dari serasah mangrove yang memiliki
kandungan selulosa yang tinggi dan sulit dicerna. Pada
ikan belanak
bagian pylorus
dan lambung
membesar menggelembung dan menebal akibat terjadi penebalan otot melingkarnya dan
pada bagian epitelumnya sering terdapat lapisan yang mengeras seperti zat tanduk. Untuk memudahkan pencernaan, lambung ikan belanak bermodifikasi
menjadi alat penggiling, yang disebut gizzard. G izzard yang
dindingnya tebal dan berotot
berfungsi untuk menggerus makanan. Dalam proses penggiligan makanan dalam gizz
ard menggunakan pasir. Pasir dalam lambung bertindak sebagai “gigi”
untuk memotong dan menggiling makanan dengan demikian sangat membantu pencernaan.
Affandi et al. 2009 mengemukakan bahwa pada bagian gizzard tidak terdapat kelenjar macam apapun, sehingga gizzard benar benar berfungsi untuk
menggerus makanan pencernaan secara fisik. Gizzard merupakan kompensasi ketidaksempurnaan atau ketidak beradaan gigi pada rongga mulut. Gizzard ini
dianggap sebagai lambung khusus pada golongan ikan mikrofagus makanannya berukuran kecil.
2.2 Ekosistem Mangrove
Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai seperti : tepi pantai,
muara laguna dan tepi sungai yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut.
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.
Snedaker 1978 mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Aksornkoe 1993
mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi yang hidup disepanjang
areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Nybakken 1992 mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang hidupnya berkembang baik pada temperatur dari 19
o
C sampai 40
o
C, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10
o
C. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut,
merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan.
Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada
berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak.
Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia,
amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma
nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Melalui kelenjar garamnya, beberapa spesies mangrove menghasilkan
sistem yang memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam tinggi. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegalitis dapat mengontrol
keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar tersebut Tomlinson 1986. Sebagian kelenjar garam terdapat dipermukaan daun yang
tampak berkristal dan mudah diamati. Spesies lain seperti Rhizopora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Sonneratia spp. dan Lumnitzera spp. dapat
mengontrol keseimbangan garam dengan menggugurkan daun tua yang mengandung garam yang terakumulasi, atau dengan melakukan tekanan osmotic
akar. Struktur, fungsi ekosistem, komposisi dan distribusi spesies dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan
diantaranya; Fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombangarus, salinitas, oksigen terlarut, tanah, nutrient dan proteksi.
2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove
Chapman 1975 mengemukakan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia. Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman
jenis yang lebih tinggi 63 jenis dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian Barat 43 jenis. Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari
Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.
Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah semi-
diurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang campuran. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, akar tunjang dari
Rhizophora spp. tumbuh lebih tinggi, sedangkan di daerah yang rentangnya sempit memiliki akar yang lebih rendah. Aegialites rotundifolia dan Sonneratia
spp. menunjukkan perilaku perakaran yang pneumatoforanya besar, kuat dan panjang di atas permukaan tanah di zona peralihan pasang.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus Bengen 2000.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jneis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati true mangrove dan mangrove ikutan asociate Khazali et al. 1999. Tomlinson
1984 membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu : a Kelompok mayor
Komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam
agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan
mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
b Kelompok minor tumbuhan pantai Dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh
– tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang
berbentuk tegakan murni. c Kelompok asosiasi mangrove
Dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan
dalam tumbuh – tumbuhan darat.
Komponen mayor dan minor spesies mangrove tumbuh dengan baik tanpa dipengaruhi oleh kadar garam air. Namun jika air terlalu asin maka pohon
mangrove tidak dapat tumbuh terlalu tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa species mangrove dapat tumbuh lebih cepat pada air tawar daripada air yang
mengandung garam asin.
2.2.2 Manfaat dan fungsi hutan mangrove
Melana et al. 2000 mengemukakan bahwa fungsi hutan mangrove adalah:
1. Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi,
2. Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik,
3. sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan,
4. sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan penyerapan dan penjerapan,
5. sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya,
6. sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan,
7. tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan, dan 8. sebagai bahan obat-obatan dan alcohol.
Bengen dan dutton 2004 mengemukakn bahwa hutan mangrove memiliki fungsi :
1. Peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, dan
2. Penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan bagi pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan oleh bakteri menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.
Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi
nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien
baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan
lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembang-biakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut “tidak ada
mangrove tidak ada udang” Macnae 1968.
Turner 1977 mengemukakan bahwa disamping fungsi hutan mangrove sebagai waste land juga berfungsi sebagai kesatuan fungsi dari ekosistem estuari
yang bersifat: Sebagai daerah yang menyediakan habitat untuk ikan dan udang muda serta biota air lainnya dalam suatu daerah dangkal yang kaya akan makanan
dengan predator yang sangat jarang. Sebagai tumbuhan halofita, mangrove merupakan pusat penghisapan zat-zat hara dari dalam tanah, memberikan bahan
organik pada ekosistem perairan. Merupakan proses yang penting dimana tumbuhan
menjadi seimbang
dengan tekanan
garam di
akar dan
mengeluarkannya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus atau bahan organik dalam jumlah yang besar dan bermanfaat bagi mikroba dan dapat langsung
dimakan oleh biota yang lebih tinggi tingkat. Pentingnya detritus food web sangat berguna dilingkungannya.
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan
mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi
ikan, kerang dan lainnya. Nilai produktivitas primer hutan mangrove adalah 20 kali lebih besar dari pada produktivitas laut dalam dan 5 kali lebih besar pula
berbanding dengan kawasan perairan pantai Soeroyo 1988. Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan
unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawinpemijahan, dan lain-lain. Sumber
makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik detritus yang dihasilkan dari dekomposisi serasah
mangrove seperti daun, ranting dan bunga. Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat
kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen
primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator
besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis
komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.
Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Berbagai biota pesisir dan laut ikan, udang, kerang, dan lain-lain menjadikan
kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahanbertelur spawning ground. Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung nursery ground untuk tumbuh
dan berkembangnya berbagai biota. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat
menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground.
Jaringan sistem akar memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan, juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. Sebagai
gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai berbakau ini, dikatakan bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah bakau di pantai utara Queensland
Australia mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas bakteri tertinggi di dunia.
Peran terpenting dari pohon mangrove adalah serasah daun yang jatuh ke dalam air. Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam
rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton hatahun. Sumber kesuburan
di sekitar hutan mangrove tergantung pada serasahnya. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih NPB, yakni biomassa 62.9
– 398.8 tonha, guguran serasah 5.8
– 25.8 tonhatahun, pada hutan tanaman mangrove umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer pada hutan mangrove cukup berarti bagi
penggerak rantai pangan kehidupan jenis organisme akuatik di pesisir. Dalam satu kilometer bujur sangkar, hutan mangrove menyumbangkan kurang lebih
600 ton material tanaman setiap tahun ke dalam rantai makanan di perairan estuari.
Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu diterapkan serta digalakkan prinsip save it lindungi, study it pelajari, dan use it
manfaatkan. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari.
2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove
Supriharyono 2000 mengemukakan bahwa ada 7 tujuh faktor penting yang menentukan produktifitas tumbuhan mangrove, yang selanjutnya dibagi atas
dua kelompok utama, yakni: A. Fluktuasi pasang, terdiri dari empat faktor:
1 Transpor oksigen sistem perakaran, 2 Air tanah dan jumlah pertukaran air yang digunakan untuk menghalau
zat racun sulfit, 3 Arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap deposisi dan erosi substrat
dasar, dan 4 Fluktuasi air yang berkaitan dengan keberadaan unsur hara di daerah
hutan mangrove.
B. Kimia air, terdiri dari tiga faktor: 1 Kandungan garam salinitas pada substrat dasar dan kemampuan daun-
daun bertahan, 2 Kandungan unsur hara makro makro nutrien dalam tanah, dan
3 Jumlah aliran permukaan surface run-off yang membawa unsur hara makro dari tanah.
Eong et al. 1983, diacu dalam Hilmi 2003 mengemukakan bahwa produktivitas primer adalah produktivitas primer bersih ditambah respirasi.
Produktivitas primer perairan dinyatakan sebagai berat dari fiksasi karbonunit volume atau perunit luas permukaanwaktu. Pada produktivitas primer proses
fotosintesis merupakan suatu proses yang sangat efisien yang dapat mengabsorbsi energi sekitar 95 - 99 . Energi yang disimpan akan membentuk biomassa.
Sedangkan produktivitas primer bersih adalah nilai total energi yang disimpan perunit luas per waktu.
Komponen-komponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ utama tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selain itu, tumbuhan epifit
seperti alga pada pneumatofor, dasar pohon dan permukaan tanah juga memberikan sumbangan kepada produksi primer bersih Nirwani 1999.
Clough 1986, diacu dalam Nirwani 1999 mengemukakan bahwa produksi primer bersih mangrove berupa materi yang tergabung dalam biomassa
tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai serasah atau dikonsumsi oleh organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan sebagai akumulasi materi
organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan dari respirasi yang biasanya dinyatakan dalam berat kering materi organik.
Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus
materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah Head 1969, diacu dalam Nirwani 1999. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove
dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas Chapman 1976.
Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai-hutan daun, ranting dan alat reproduksi. Produksi serasah adalah berat
dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu.
Brown 1984 mengemukakan bahwa serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress, faktor
mekanik misalnya angin, ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim hujan dan angin. Produksi
serasah diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya
mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi. Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman 1976
sebagai bobot materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Produksi serasah dapat diketahui dengan
memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui
tahapan-tahapan dekomposisi yang selanjutnya menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer.
Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting. Melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi
dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain lain Alrasjid 1988. Sebagian serasah terdekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi zat hara nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses
fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah detritus dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya Bengen 2002.
Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama. Cracc 1964 mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gugur
mangrove adalah sebagai berikut: 1 Iklim, 2 Ketinggian tempat, 3 Kesuburan tanah, 4 Kelembaban tanah, 5 Kerapatan pohon dan bidang dasar, 6 Pengaruh
waktu musim, 7 Variasi tahunan, dan 8 Umur pohon.
Besarnya produktivitas serasah pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh 1 besarnya diameter pohon, 2 produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari
salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut, dan 3 keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal Kusmana et al. 2000.
Snedaker 1974, diacu dalam Nirwani 1999 mengemukakan bahwa produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban
tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis
penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal
dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam ekosistem perairan Mason 1977.
Lear dan Turner 1977 mengemukakan bahwa bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahan-
bahan tersebut mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari hewan- hewan laut. Bagian partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri
dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil detritus dan
akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari
serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.
Sediadi dan Pamudji 1987 mengemukakan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Mangrove dengan
tegakan tua akan menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak, dan tegakan Rhizophora spp. menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan tegakan
Avicennia spp. Jumlah jatuhan serasah Rhizophora spp. meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada
usia 10 tahun.
Pelepasan nutrisi selama dekomposisi serasah sangat penting dalam mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam. Dengan
terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan makrofita dapat berlangsung secara lestari. Produksi hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting
bagi produksi makrofita, akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada perairan pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove.
Odum 1971 menggambarkan peranan serasah daun mangrove dalam rantai makanan di daerah Florida Selatan seperti disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan Odum 1971.
Brown 1984 mengemukakan bahwa ada perbedaan antara serasah pada suatu waktu litter-layer dan serasah yang dihasilkan dalam jangka waktu
tertentu litter-fall yaitu : 1. Standing crop atau litter-layer serasah di lantai hutan merupakan serasah yang
ada pada suatu waktu pada wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan gramm
2
, kcalhatahun, dan 2. Produksi litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalan jangka waktu
tertentu gramm
2
hari, kcalhatahun.
Turnover rate rata-rata perputaran unsur hara dinyatakan sebagai tingkat total dari sejumlah zat yang dilepas atau yang dimasukkan dalam suatu bagian
untuk suatu periode misal, gramha. Konsep turnover rate berguna membandingkan tingkatnilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu
ekosistem. Odum 1971 mendefinisikan Turnover rate sebagai rasio dari kandungan yang ada misal rasio produksi serasah terhadap standing crop atau
litter-layer. Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen baik untuk ekosistem hutan itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya.
2.2.4 Proses Dekomposisi Serasah
Serasah dari dedaunan mangrove menyumbang unsur hara ke perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat
terdekomposisi daripada serasah yang mengandung sedikit unsur hara. Residu tumbuhan yang mempunyai kandungan dinding sel yang tinggi memiliki konsentrasi
unsur hara yang rendah.
Satchell 1974 dan Hornby et al. 1987, diacu dalam Yunasfi 2006 mengemukakan bahwa dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian,
pemisahan bahan-bahan organik atau resolusi dan sesuatu menjadi bagian- bagian kecil; hancuran; busuk. Dekomposisi bisa berarti mekanisme
penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi
bentuk yang hancur. Mason 1977 membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu
pelindihan leaching, penghawaan weathering dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme
hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor
fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan-pecahan
detritus bahan organik secara bertahap oleh mahluk hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer, pengurai atau saproba.
Dengan dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah menjadi molekul-molekul organik. Molekul-molekul ini antara lain
seperti polisakarida, asam organik, lignin, senyawa aromatik dan hidrokarbon alifatik, gula, alkohol, purin, asam amino, lipid protein dan asam nukleat yang
merupakan ciri dari kehidupan Landecker 1996. Keefektifan bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari cepat atau
lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Air dan CO2 merupakan senyawa sederhana yang mudah dihasilkan melalui dekomposisi.
Proses dekomposisi serasah mangrove menghasilkan unsur hara yang diserap kembali oleh tumbuhan dan sebagian larut terbawa oleh air surut ke
perairan sekitarnya. Penguraian serasah mangrove dalam perairan pantai menghasilkan unsur hara seperti nitrogen organik dan senyawa fosfat. Di
Victoria, Australia materi yang berasal dari mangrove api-api A. marina ternyata sangat kaya unsur hara tersebut, terutama senyawa fosfat. Peranan mangrove
begitu aktif dan penting dalam proses daur unsur hara.
2.2.5 Rantai makanan Detritus
Hasil dekomposisi mangrove menghasilkan detritus, yang didefinisikan sebagai bahan organik yang masih dalam proses dekomposisi yang kaya akan
energi karena mengandung populasi mikroba yang besar Odum dan Heald 1975; Bano et al. 1997. Selain bakteri dan jamur, organisme lain juga berkontribusi
untuk pembentukan detritus DCroz et al. 1989. Penulis menyimpulkan bahwa, detritus adalah semua sisa-sisa materi partikel bahan organik yang dihuni oleh
organisme dekomposer seperti jamur, bakteri, protozoa dan mikroalga. Aktivitas jamur yang mengurai serasah bakau mengluarkan pektinase, protease, dan amilase
untuk menurunkan senyawa lignoselulosa Findlay et al. 1986.. Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi dan merupakan dasar dari jaring
makanan yang luas untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersil. Melimpahnya material tanaman yang dihasilkan oleh mangrove adalah merupakan
sumber makanan untuk organisme estuari. Namun demikian, umumnya biota tersebut tidak secara langsung memanfaatkan tetapi dimanfaatkan dalam bentuk
detritus. Detritus mangrove menunjang populasi ikan setelah terbawa arus sepanjang pantai.
Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Rantai makanan detritus detritus food chain berawal dari
proses dekomposisi luruhan daun dan ranting mangrove bahan organik yang telah mati yang dipecah oleh mikroorganisme bakteri dan fungi menghasilkan
detritus. Detritus kemudian dimakan oleh hewan pemakan detritus, kemudian dimakan predatornya. Rantai makanan detritus adalah rantai memakan selalu
lebih pendek dari rantai makanan penggembalaan secara umum. Dalam beberapa perkiraan, sebanyak 10 kali lebih banyak energi mengalir melalui rantai makanan
detritus sebagai rantai makanan merumput. Rantai detritus, kurang energi yang hilang secara signifikan pada setiap tingkat piramida pada setiap transfer energi
dari mangsa konsumen. Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat
kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta.
Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil
yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur dan menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik detritus ini menjadi bahan makanan penting
nutrien bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Bengen 2002 mengemukakan bahwa sebagian serasah mangrove
didekomposisi oleh bakteri dan fungi dan selanjutnya mengalami mineralisasi menjadi nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton,
algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah detritus dimanfaatkan oleh ikan sebagai
makanannya. Bakteri dan fungi yang berperan dalam proses dekomposisi serasah
mangrove akan melepas zat hara nutrien anorganik terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae, ataupun tumbuhan mangrove
sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah detritus dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan
memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jalarantai makanan Bengen dan Dutton 2004.
Hamid 2006 mengemukakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara gugur serasah yang dihasilkan maupun pengaruh musim dengan hasil ikan. Hasil
analisis menunjukkan adanya interaksi antar faktor musim dan faktor lokasi, yaitu musim timur mempunyai jumlah individu dan biomassa ikan lebih banyak
dibanding dengan yang lainnya. Kontribusi antara satu subsistem terhadap subsistem lainnya dalam rantai
makanan menghasilkan pola aliran energi yang membentuk hubungan matematis antara satu subsistem dan subsistem lainnya. Hubungan-hubungan inilah yang
menjadi dasar terbentuknya model aliran energi pada ekosistem mangrove. Beberapa jenis ikan, udang dan hewan air lain dimanfaatkan oleh hewan
terestrial yang bermukim di atas daratan dan udara seperti burung, reptil dan lain lain. Sebagai dasar sumber makanan adalah daun bakau yang jatuh dilepaskan dari
pohon ditambah dengan kulit pohon yang terkelupas, bagian akar, ranting yang patah, guano dari burung yang datang, dan sisa-sisa bahan organik dari hewan
yang mati dan material yang terperangkap. Detritus menjadi sumber makanan bagi hewan yang hidup di sekitar
kawasan perairan hutan bakau dan juga kadar nitrogen yang dilepas dari pada penguraian sarasah akan diambil kembali oleh pohon bakau dan sebahagian lagi
digunakan oleh mikro organisma Sabri 1997 dan Mulyadi 1998. Semua ini diurai oleh bakteri dan jamur menjadi detritus yang dapat dimakan oleh hewan
laut kecil, yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat bakau.
2.2.6 Komunitas Iktiofauna di Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem yang produktif di dunia, baik dalam produktivitas primer maupun produktivitas serasah. Produktivitas mangrove yang
tinggi ini secara langsung terkait dengan rantai makanan melalui aliran energi yang tertumpu atau di dasarkan pada jatuhan seresah dan detritus. Ekosistem
mangrove merupakan daerah mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non-ekonomis Chong et al. 1990.
Komunitas ikan di perairan mangrove didominasi oleh beberapa spesies, ikan yang tertangkap relatif banyak, dan pada umumnya masih berukuran juvenil.
Uji coba penangkapan berbagai spesies ikan di perairan mangrove Selangor, Malaysia, memperoleh 119 spesies. Di perairan mangrove Trinity, Quensland
Utara, Australia diperoleh 55 spesies ikan, di Tudor Creek Kenya diperoleh 83 spesies ikan, dan di Puerto Rico 59 spesies ikan Gunarto 2004.
Berdasarkan hasil pemantauan tangkapan ikan di perairan mangrove Tongke-Tongke, Sulawesi Selatan, dengan alat tangkap sero yang memiliki
panjang 300−400 m yang dipasang di dataran lumpur 10 m di belakang hutan bakau, jumlah spesies ikan yang tertangkap meliputi 27 spesies dengan jumlah
individu terbanyak dari famili Mullidae. Jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di antaranya adalah Lates calcarifer, Siganus guttatus, dan S.
vermiculatus Pirzan et al. 2001. Pemantauan hasil tangkapan sero di perairan muara Sungai Lamuru, Kabupaten Bone dengan kondisi mangrove yang sudah
sangat berkurang mendapatkan 17 spesies ikan Pirzan et al. 1999. Badrudin et al. 2001 mengemukakan bahwa ada 25 spesies ikan berhasil
ditangkap di perairan pasang surut Indragiri Hilir, Riau. Diduga berbagai jenis ikan yang masuk ke mangrove pada saat air pasang dan kembali ke laut setelah air
surut. Daerah dataran lumpur yang terdapat di sebelah luar mangrove dan langsung menghadap ke laut merupakan habitat berbagai komunitas nekton dan
jumlahnya sangat melimpah. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari produksi primer dan sekunder yang tinggi
serta adanya impor bahan organik dari laut dan mangrove. Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur yaitu ikan manyung
Osteogeneiosus militaris, ikan keting Arius caelatus, ikan sembilang Plotosus canius, ikan belanak Liza argentez, ikan gulameh Pennahia argentata, ikan
tiga waja Protonibea diacanthus, ikan teri Stolephorus macroleptus, dan ikan cucut Hemiscyllium indicum.
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei 2010 sampai Bulan Oktober 2010 di perairan pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara Gambar 4, meliputi perairan Muara Landipo dan Tanjung Tiram. Kegiatan ini diawali dengan persiapan bahan dan alat, kegiatan survey lapangan
hingga analisis laboratorium.
3.2 Alat dan Metode
Parameter serta alatmetode yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Parameter fisika-kimia dan biologi yang diukur dan alatmetode yang digunakan
No Parameter
Satuan AlatMetode
1
2
Suhu TSS
C mgl
Thermometer terbalik Filtrasi
3 4
5 6
7
8
pH Oksigen terlarut
Salinitas Nitrat NO
3
-N Fosfat P-PO
4
Bahan Organik sedimen -
ppm ppt
mgl mgl
pH-meter DO meter
Hand refraktometer Colorimeter
Colorimeter Pipa paralon
9 10
11 12
13
Komunitas Mangrove Fitoplankton
Serasah Mangrove Ikan belanak
Makanan ikan Indm
2
Indl gm
2
bln Individu
jenis Transect Line Plots
Plankton net mikroskop Jala Penampung
Jaring insang Pembedahan mikroskop
Gambar 4 Lokasi penelitian, pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
3.3 Komunitas mangrove 3.3.1 Analisis Kerapatan
Pengumpulan data komunitas mangrove di setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan Transect Line Plots dengan ukuran transek 10 m x 10 m untuk
pohon dan 5 m x 5 m untuk anakan Bengen 2001. Posisi petak contoh untuk tiap stasiun sama dengan posisi stasiun pengambilan sampel serasah mangrove.
Tiap petak pengamatan diidentifikasi jenis mangrovenya, kemudian dihitung jumlah individunya untuk tiap kategori. Metoda ini memberi gambaran mengenai
struktur dan komposisi vegetasi mangrove yang terdapat dalam satu plot vegetasi English et al. 1994.
Penempatan stasiun dan sub-stasiun pengamatan disesuaikan dengan kondisi kawasan agar memberikan keterwakilan dari hutan mangrove tersebut. Profil
penempatan stasiun dan sub-stasiun untuk lokasi Tanjung Tiram ditampilkan pada Gambar 5 dan lokasi muara Sungai Landipo ditampilkan pada Gambar 6. Jarak
antara stasiun tiap lokasi adalah 200 meter dan jarak antara sub stasiun adalah 25 meter atau disesuaiakn dengan ketebalan hutan mangrove dari laut ke darat.
3.3.2 Pengukuran Produksi Serasah
Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses
dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong
kehidupan berbagai organisme akuatik Zamroni dan Rohyani 2008.
Mengumpulkan guguran serasah dalam waktu tertentu litter-fall dengan menggunakan jaring perangkap serasah. Perangkap serasah terbuat dari jaring
halus dengan ukuran mata jaring 1.50 mm x 1.50 mm. Perangkap sarasah yang digunakan berukuran 100 cm x 100 cm Proctor 1983; Brown 1984. Tipe jaring
perangkap serasah ditampilkan pada Gambar 7.
Daratan Daratan
Perairan Tanjung Tiram
Daratan Daratan
TT1
TT2
TT3 TT1
TT2
TT3 TT 1
TT2
TT3
Sub-Stasiun Sub-Stasiun
Sub-Stasiun
Gambar 5 Stasiun pengambilan sampel lokasi Tanjung Tiram.
ML1 ML2
ML3
L
Sub-Stasiun 2
Muara Sungai Landipo
ML1 ML2
ML3
Sub-Stasiun 3
ML1 ML2
ML3
Sub-Stasiun 1
Gambar 6 Stasiun pengambilan sampel di sekitar Muara Landipo.