Produksi dan Kontribusi Serasah

Dibandingkan dengan beberapa penelitian yang sama, pada beberapa lokasi yang berbeda, produksi serasah di pesisir Utara Konawe Selatan masih relatif lebih tinggi. Penelitian di ekosistem mangrove pantai Utara Kabupaten Subang sebesar 4 tonhatahun dengan kerapatan 200-300 individuha Kawaroe et al. 2001. Di hutan mangrove Teluk Sepi, Lombok didapatkan sebesar 9,9 tonhatahun dengan kerapatan vegetasi 480 pohonhektar. Komposisi jenis terdiri dari Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra, Bruguiera sp., Sonneratia alba dan Aegiceras corniculatum Zamroni dan Rohyani 2008. Produksi serasah sangat tinggi dijumpai di kawasan sungai dan tambak di hutan payau Tritih Cilacap sebesar 16.44 tonhatahun dan 13.37 tonhatahun Affandi 1996. Perbedaan produksi serasah pada setiap lokasi berbeda, dapat disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain lingkungan iklim dan derajat lintang, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan vegetasi Soerojo 1986. Selain faktor tersebut di atas ketipisan tajuk dan Morfologi daun juga ikut menentukan besar kecilnya jumlah serasah yang dihasilkan. Serasah daun sangat penting dalam menjaga rantai makanan yang berbasis detritus. Produksi serasah yang telah mengalami proses dekomposisi dapat dihubungkan dengan keberadaan ikan yang memanfaatkan kawasan mangrove. Serasah daun yang gugur dan berjatuhan ke dalam air merupakan sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem pesisir. Serasah daun mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan di kawasan pesisir yang dapat mencapai 7 sampai 8 tonha Nontji 1993. Bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Bagian partikel daun yang mengalami dekomposisi berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil detritus yang kaya akan protein dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan Soeroyo 1988. Hutan mangrove juga mampu menghasilkan bahan organik, salah satu penghasil bahan organik di kawasan mangrove adalah guguran serasah. Kontribusi serasah mangrove di daerah Muara Landipo sebesar 0.56 tonhabulan atau 6.70 tonhatahun, dengan tingkat kerapatan vegetasi 2 804 pohonha dimana kerapatan jenis tertinggi adalah R. apiculata. Hasil analisis serasah R. apiculata diperoleh kadar abu 14.48 dan kadar air 16.55. Jika produksi serasah 55.76 gramm 2 bulan atau 0.56 tonhabulan akan menghasilkan bahan organik sebanyak 0.40 tonhabulan atau setara dengan 4.78 tonhatahun. Daerah Tanjung Tiram kerapatannya sebesar 2 300 pohonha, dimana jenis Sonneratia alba memiliki kerapatan jenis tertinggi, produksi serasah sebesar 36.68 gramm 2 bulan atau 0.36 tonhabulan atau setara dengan 4.40 tonhatahun. Dari hasil analisis serasah diperoleh kadar abu 10.92 dan kadar air 24.05, maka dengan produksi serasah sebayak 0.24 tonhabulan akan menghasilkan bahan organik sebanyak 0.24 tonhabulan atau sama dengan 2.98 tonhatahun. Mohammad et al. 2008 mengemukakan bahwa dari gugur serasah jenis Rhizophora sebanyak 1119.16 kgha menyumbangkan nutrien kedalam perairan sebesar 507.35 kg N per tahun, 21.90 kg P per tahun dan 25121.52 kg C per tahun. Namun demikian tidak semua bahan organik yang dihasilkan akan dimanfaatkan pada perairan mangrove itu sendiri tapi sebagian lagi akan di ekspor ke perairan sekitarnya. Besarnya bahan organik diekspor dari kawasan mangrove tergantung pada proses geofisika: ukuran ekosistem mangrove, frekuensi dan durasi pasang, ukuran saluran pengeringan, frekuensi dan besarnya hujan, dan aliran air segar. Semua faktor ini bervariasi dari satu ekosistem mangrove dengan ekosistem mangrove lainnya Alongi et al. 1993. Holguin et al. 2001 mengemukakan bahwa diperkirakan sampai dengan 46 persen produktivitas primer ekosistem mangrove diekspor ke perairan pesisir sebagai partikulat bahan organik.

5.3 Laju Dekomposisi Serasah dan produksi detritus

Rata-rata jumlah serasah yang hilang dari kantong serasah selama 75 hari mengalami dekomposisi, memperlihatkan serasah R. apiculta di Muara Landipo mengalami proses dekomposisi lebih cepat dari serasah S. alba yang berasal dari vegetasi mangrove di perairan Tanjung Tiram. Pada awal pengamatan di perairan Muara Landopo, setelah 15 hari perendaman serasah yang tersisa sebesar 67.28 kemudian menurun pada pengamatan kedua 30 hari yaitu 41.49; pada hari ke 45 tersisa 28.77 sedangkan pada hari ke 60 yaitu 16.54 dan pada hari ke 75, serasah yang tersisa sebesar 1.62. Nirwani 1999 mengemukakan bahwa serasah mangrove mengalami dekomposisi sempurna antara hari ke 60 sampai hari ke 75. Untuk perairan Tanjung Tiram laju dekomposisi pada 15 hari pertama sebesar 27.82, pada hari ke 30 tersisa 52.17 sedang pada hari ke 45, hari ke 60 dan hari ke 70 berturut turut adalah 35.03, 18.22, dan 7.44. Tingginya laju penghancuran serasah pada tahap awal diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan-bahan anorganik dan organik yang mudah larut atau leaching. Perbedaan laju dekomposisi daun mangrove pada perairan Muara Landopo dan Tanjung Tiram sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan. Kondisi salinitas Muara Landipo yang lebih rendah 30 ppt memungkinkan proses perombakan lebih cepat melalui aktivitas mikroba decomposer bakteri dan fungi dengan populasi lebih banyak. Keberadaan mikroorganisme sangat berperan dalam perombakan beberapa zat yang dikandung oleh serasah daun mangrove. Chale 1993 mengemukakan bahwa di dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove di perairan, kehadiran bakteri dan fungi juga menyebabkan proses pencucian berlangsung cepat . Semakin tinggi tingkat salinitas maka semakin sedikit mikroorganisme yang mampu beradaptasi dan dapat bertahan hidup, dengan demikian proses penyusutan serasahnya lambat, seperti di Tanjung Tiram. Nga et al. 2006 mengemukakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih tinggi pada salinitas rendah 15-30 ppt dibandingkan dengan air tawar 0 ppt atau pada salinitas tinggi 30- 35 ppt. Keefektifan bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari cepat atau lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Proses dekomposisi serasah di pesisir Utara Konawe Selatan tidak berbeda jauh dengan basil penelitian dari Sediadi dan Pamudji 1986 di Teluk Ambon mengalami penghancuran serasah sempuma 100 selama 182 hari tetapi dengan jumlah berat kering serasah yang berbeda 20 gramkantong. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh makrobentos menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakeri dan fungi untuk menguraikan partkel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein dan karbohidrat. Affandi 1996 mengemukakan bahwa 50 karbon hilang dari serasah daun Rhizophora dalam waktu 6 - 15 minggu di lapangan dan sebanding dengan studi mikrokosmos di laboratorium. Kehadiran fungi pada tahap awal proses mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehilangan bahan-bahan organik dan anorganik secara leaching. Serasah yang j atuh akan mengal ami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Hasil pengamatan mikroskopis pada daun mangrove yang terdekomposisi, mengungkapkan sebuah komunitas kompleks yang terdiri dari jamur, bakteri, protozoa, dan mikroalga Odum and Heald 1975. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan khususnya detritifor yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaring jaring makanan. Lugo Snedaker 1974 dan Ridd et al. 1990 mengemukakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan sebagi habitat biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif.