Kontribusi energi isi lambung terhadap Hepato Somatik Indeks

Jumlah energi detritus dalam isi lambung tertinggi di Muara Landipo yaitu 1.03 kcalg, sedang di Tanjung Tiram sebesar 0.99 kcalg. Kandungan energi non detritus di Muara Landipo 2.70 kcalg dan Tanjung Tiram sebesar 2.51 kcalg. Tingginya total energi pada isi lambung ikan belanak Muara Landipo, sangat erat hubungannyan kontribusi detritus hutan mangrove di kawasan Muara Landipo yang terkait dengan kerapatannya yang tinggi. Dari aspek proses dekomposisi serasah, di Muara Landipo jauh lebih cepat prosesnya dari Tanjung Tiram, hal ini karena nilai salinitas yang lebi rendah 30 ppt dan Tanjung Tiram 30 ppt. Nga et al. 2006 mengemukakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih tinggi pada salinitas rendah 15-30 ppt dibandingkan dengan air tawar 0 ppt atau pada salinitas tinggi 30- 35 ppt. Rendahnya salinitas ini mendukung populasi decomposer dalam proses penguraian serasah mangrove, sehingga detritus pada Muara Landipo mengandung lebih banyak mikroorganisme yang tentunya akan meningkatkan nilai gizi dari detritus tersebut yang menjadi makanan ikan belanak . Hasil pengukuran Hepato Somatik Indeks HSI ikan belanak muara sungai Landipo yaitu sebesar 0.88 persen, di Tanjung Tiram sebesar 0.81 persen. Kontribusi detritus yang dimakan oleh ikan sebagai sumber energi akan berpengaruh terhadap kualitas HSI ikan belanak. Ini memberikan indikasi status cadangan energi ikan belanak di muara Landipo lebih memadai dibandingkan ikan belanak di tanjung Tiram yang HSI lebih kecil. Hal ini berkaitan dengan lingkungan perairan yang miskin atau kurang hara makanan, ikan biasanya memiliki hati yang lebih kecil dengan energi yang lebih sedikit dicadangkan dalam hati. 6 KESIMPULAN Ekosistem mangrove di pesisir utara Konawe Selatan berkontribusi dalam produksi detritus sebesar 10.5 – 15.9 tontahun, dengan estimasi nilai energi setara dengan 5.040 – 11.788 kilokalori. Isi lambung ikan belanak, Liza subviridis memperlihatkan komponen detritus sebagi sumbangan hutan mangrove sebesar 55.51 – 62.17, dengan estimasi nilai energi setara dengan 0.99-1.03 kilokalori. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan mangrove memberikan sumbangan detritus yang sangat potensial sebagai sumber makanan dan energi untuk ikan belanak baik langsung maupun tidak langsung melalui rantai pangan detritus. Kontribusi hutan mangrove sebagai pemasok detritus ditentukan oleh jenis mangrove dan kondisi lingkungan perairan. Kontribusi jenis Rhizophora apiculata sebagai pemasok detritus lebih tinggi dari pada Sonneratia alba sebagai sumber makanan potensial untuk ikan belanak Liza subviridis di pesisir utara Konawe Selatan. Detritus yang dihasilkan oleh jenis Rhizophora apiculata memiliki kandungan gizi dan energi lebih tinggi dari pada detritus jenis Sonneratia alba di perairan pesisir Utara Konawe Selatan. Kontribusi detritus jenis Rhizophora apiculata dalam Faktor Kondisi, Gonado Somatik Indeks dan Hepato Somatik Indeks ikan belanak Liza subviridis lebih baik dibanding detritus jenis Sonneratia alba di pesisir utara Konawe Selatan. DAFTAR PUSTAKA Abowei JFN, Davies OA, Eli AA. 2009. Study of the length –weight relationship and condition factor of five fish species from Nkoro River, Niger Delta, Nigeria. Current Research. Journal of Biological Sciences 13: 94-98. Adrim M, Hutagalung HP, Effendi L. 1988. Ikan tambak dan habitatnya. Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi – LIPI. Jakarta. Affandi M. 1996. Produksi dan laju penghancuran serasah mangrove di hutan alami dan binaan Cilacap, Jawa Tengah [tesis]. Bandung. Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung. Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan. Pencernaan dan penyerapan makanan. IPB Press. Ahmad DS, Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo W. 2005. potensi eutrofikasi kandungan nutrien pada sedimen tanah mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 1: 12-17. Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok, Thailand. Alongi DM, Christoffersen P, Tirendi F. 1993. The influence of forest type on microbial-nutrient relationships in tropical mangrove sediments. J Exp Mar Biol Ecol 171:201 –223. Alongi DM. 1996. The dynamics of benthic nutrient pools and fluxes in tropical mangrove forests. J Mar Res 54:123 –148. Alrasjid H. 1988. Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove pamanukan, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan No.475. American Public Health Association APHA. 1980. Standard methods for the examination of water and wastewater. 15. Aufl. Washington. Ananda K, Sridhar KR, Raviraja NS, Baerlocher F. 2007. Breakdown of fresh and dried Rhizophora mucronata leaves in a mangrove of Southwest India. Original Paper: Wetlands Ecol Manage. 112: 73-81 Anderson JM, Ingram JSI. 1993. Tropical soil biology and fertility. A Handbook Method. CAB International, Wallingford, UK. Badrudin B, Samiono, Murtoyo TS. 2001. Species composition and diversity of tidal trap net catches in the waters of Indragiri Hilir, Riau, Indonesia. Indon. Fish. Res. J. 7: 47 –52. Bano N, Nisa MU, Khan N, Saleem M, Harrison PJ, Ahmed SI, Azam F. 1997. Significance of bacteria in the flux of organic matter in the tidal creeks of the mangrove ecosystem of the Indus river delta, Pakistan. Mar Ecol Prog Ser 157:1 –12 Bengen DG, R Dahuri, Y Wardiatno. 1994. Pengaruh Buangan Lumpur Kolam Pelabuhan Tanjung Priok terhadap Perairan Pantai Muara Gembong, Bekasi. PPLH, Lembaga Penelitian IPB, Bogor. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2001. Sinopsis Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen DG, Dutton LM. 2004. Interaction : mangrove, fisheries and forestry management in Indonesia. Fishes and forestry.worldwide watershed interaction and management. Edit by T.G. Northcote and G.F. Hartman. Blackwell Publishing company. Berg B, McClaugherty C. 2008. Plant Litter; decomposition, humus formation, carbon sequestration. Springer, Berlin. Blaber SJM. 1997. Fish and fisheries of tropical estuary. Chapman and Hall. London. Boto KG, Wellington JT. 1984. Soil characteristics and nutrient status in NorthrnAuatralian mangrove forest. Estuaries. 7:61-69. Boonruang P. 1984. The rate of degradation of mangrove leaves, Rhizophora apiculata BL and Avicenia marina FORSK Viere at Phuket Island, Western Peninsula of Thailand.In E. Soepadmo, AN Rao dan DJ Macibthos. Proceeding of Asian Symposium on man grove Environment Research and Management. Kualalumpur, June 1984. Brotonegoro S, Abdulkadir S. 1978. Penelitian pendahuluan tentang kecepatan gugur daun dan penguraiannya dalam hutan bakau pulau Rambut. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove. Brown SM. 1984. Mangrove litter production and dynamics in Snedaker, C.S and Snedaker, G.J. 1984. The Mangrove Ecosystem: Research Methods. On behalf of The UnsecoSCOR, Working Group 60 on Mangrove Ecology. Chale FMM. 1993. Degradation of Mangrove Leaf Litter Under Aerobic Conditions. Hydrobiologia. 257: 177 - 183. Chan EH. 1976. Some aspects to the biology and fishery on the gray Mullet Liza Subviridis Valenciennes, 1836 [tesis]. Univ. Sains Malaysia. Chan EH, Chua TE. 1979. the food and feeding habits of greenback grey mullet, Liza subviridis Valenciennes, from different habitats and at various stages of growth. Journal of Fish Biology. 15 2:165 –171. Chapman VJ. 1976. Mangrove vegetation. J. Cramer Ed., Auckland University, New zealand. Chong VC. Sesakumar A, Leh MUC, Cruz RD. 1990. The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mudflats and inshore water. Estuarine Coastal and Shelf Science. 31:703−722. Clough BF, Boto, Attiwill. 1983. Mangrove and sewage: a re-evaluation, 188. In Hj Teas dan W Junk, eds. Biology and Ecology of mangrove, the hague. Dahuri R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002 D’Croz L, Del Rosario J, Holness R. 1989. Degradation of red mangrove Rhizophora mangle L. leaves in the Bay of Panama. Rev Biol Trop 37:101 –104 Effendie MI. 1984. Penilaian perkembangan gonad ikan belanak, Liza subviridis Valenciennes, Di perairan muara sungai Cimanuk, Indramayu, bagi usaha pengadaan benih. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science.Townsville. Findlay RH, Fell JW, Coleman NK, Vestal JR. 1986. Biochemical indicators of the role of fungi and thraustochytrids in mangrove detrital systems. In: Moss ST ed The biology of marine fungi. Cambridge University Press, Cambridge, pp 91 –104. Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan. Dasar PengembanganTehnik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Ghobashy AE. 2009. Ecological and biological assessment of a wild mullet fish frycollection station at the Egyptian Mediterranean Water. World Journal of Fish and Marine Sciences 1 4: 268-277. Gonza´lez, GD Agu ¨ ero, C Aguero. 2004. Length –weight relationships of fish species caught in a mangrove swamp in the Gulf of California Mexico. J Appl. Ichthyol. 20:105 –155. Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumberhayati perikanan pantai. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian. 231. Hamid N. 2006. Dinamika produktivitas ekosisitem mangrove pada Laguna Tasilaha Sulawesi Tengah [tesis]. Bandung. Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung. Hardjamulia A. 1987. Beberapa aspek pengaruh penundaan dan frekuwensi pemijahan terhadap potensi produksi induk ikan mas Cyprinus carpo L [disertasi]. Bogor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hilmi E. 2003. Model penduga kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. dalam tegakan hutan mangrove studi kasus di Indragiri Hilir Riau [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Holguin G, Vazquez P, Bashan Y. 2001. The role of sediment microorganisms in the productivity, conservation, and rehabilitation of the mangrove ecosystems: an overview. Biol Fertil Soils 33:265-278 Holmer M, Annemarie BO. 2002. Role of decomposition of mangrove and seagrass detritus in sediment carbon and nitrogen cycling in a tropical mangrove forest. Marine Ecology. 230: 87 –101. James. 1979. The value of biological indicators in relation to other parameters of water quality in biological indicators of water quality. John Willey and Sons. Great Britain. Khazali M, Noor Y, Suryadiputra N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Wetlands International Indonesia Programme, Jakarta Kawaroe M. Bengen DG, Eidman M, Boer M. 2001. Kontribusi ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Laut 3 3: 13-26. KepMen LH. 2004a. Kriteria Baku Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004. Jakarta. KepMen LH. 2004b. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 51Tahun 2004. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. Harper Coolins Publ. inc, New York. Kriswantoro M, Sunyoto YA. 1986. Mengenal ikan laut. Penerbit BP. Karya Bani, Jakarta. Kusmana C, Pradyatmika P, Husin YA, Shea G dan Martindale D. 2000. Mangrove litter-fall studies at the Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia. Indon J Trop Agric. 93:39-47. Landecker EM. 1996. Fundamentals of the Fungi. Benjamin-Cummings Pub Co. United States. Laegdsgaard P, Johnson C. 2001. Why do juvenile fish utilise mangrove habitats?. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 257:229 –253. Lee SY. 1995. Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia 295: 203 –212. Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. Lin HJ, Kao WY, Wang YT. 2007. Analyses of stomach contents and stable isotopes reveal food sources of estuarine detritivorous fish in tropicalsubtropical Taiwan. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 73:527- 537. Lugendo BR, Nagelkerken I, van der Veld G, Mgaya YD. 2006. The importance of mangroves, mud and sand flats, and seagrass beds as feeding areas for juvenile fishes in Chwaka Bay, Zanzibar: gut content and stable isotope analyses. Journal of Fish Biology.69:1639 –1661. Lugo AE, SC Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 5: 39-64. Lukman A, Santoso B, Fauzi R, Rosidah. 2006. Kondisi Fisik Biologi Pesisir Moramo, Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Limnotey 82: 12 – 20. Mason CF. 1977. Decomposition. Studies in Biology no.74.The Edward Arnold Publ Ltd. Southmpton. London. Macnae W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Adv. Mar. Biol. 6: 73-270. Melana DM, Atchue III J, Yao CE, Edwards R, Melana EE, Gonzales HI. 2000. Mangrove Management Handbook. Departemen of Environment and Natural Resources, manila, Philippines through the Coastal Resource Management Project, Cebu Citu, Philippines. Mintardjo K, Sunaryanto A, Hermiyaningsih. 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Dinas Perikanan. BBAP Jepara Mohammad M, Soewardi K, Kusmana C, Hartrisari H, Damar A. 2008. Laju dekomposisi serasah mangrove dan kontribusinya terhadap nutrient di hutan mangrove reboisasi. Jurnal penelitian perikanan. 21:19-25. Mulyadi A. 1998. Keragaman jenis gastropoda hutan mangrove perairan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau. Proseding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru, 15-18 September 1998: 238-242. Musfiroh I, Wiwiek I, Muchtaridi, Yudhi S. 2007. Analisis - karoten dalam proksimat dan penetapan kadar selai lembaran terung belanda cyphomandra betacea sendtn. dengan metode spektrofotometri sinar tampak. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. Nga BT, Roijackers R, Scheffer M. 2006. Effects of decomposition and nutrient release of Rhizophora apiculata leaves on the mangrove-shrimp systems in the Camau Province Vietnam. International Symposium On Southeast Asian Water Environment. Vol. 4, 2006. Nirwani S. 1999. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dan hubungannya dengan struktur komunitas mangrove di Kaliuntu Kabupaten Rembang Jawa Tengah [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Alih Bahasa oleh Eidman M, Koesobiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Odum WE. 1970. Utilization of the direct grazing and plant detritus food chains by the striped mullet Mugil cephalus. In J.H. Steele ed.. Marine food chains. Oliver and Boyd, Edinburg. Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan Oleh T. Samingan. Gadjah mada University press. Yogyakarta. Odum WE, Heald EJ. 1975. The detritus-based food web of an estuarine mangrove community. In: Ronin LT ed Estuarine research. Academic Press, New York. Patricia SR. 2002. Stomach content analysis of Mugil cephalus and Mugil curema Mugiliformes: Mugilidae with emphasis on diatoms in the Tamiahua lagoon, México. Rev Biol Trop. 501:245-252. Pirzan AM, Gunarto, Daud R, Utoyo, Kabangnga N. 1999. Pemantapan budi daya kepiting bakau untuk mengantisipasi dampak penangkapan di perairan Sungai Lamuru, Kabupaten Bone. Laporan Penelitian Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Pirzan AM, Rohama, Utojo, Burhanuddin, Suharyanto, Gunarto, Padda H. 2001. Telaah biodiversitas di kawasan tambak dan mangrove. Laporan Akhir Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Perikanan Pesisir. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Prapaporn W, Premcharoen S, Janekitkarn S, Maneepitaksanti W. 1998. Food items and feeding habits of the greenback mullet, Liza subviridis Valenciennes, 1836, in the mangrove areas surrounding Thachin estuary, Changwat Samut Sakhon. Congress on Science and Technology of Thailand, Bangkok Thailand, 19-21 Oct 1998. Proctor J. 1984. Tropical forest litter fall: 2. The Data Set. Tropical Rain Forest: Ecology and Management S. L. Sutton, T. C. Whitmore A. C. Chadwick eds., pp. 83-113. Blackwell Scientific Publication, Oxford. Rahana AJ. 2005. Biomass litterfall and the composition rates for the fringed Rhizophora forest lining the bon accord lagoon. Tobago. Revista biology tropical. 531. Ramakrishnaiah CR, Sadashivaiah C, Ranggana G. 2009. Assesment of water quality indekx for the groundwater in Tumkur Taluk, karnata state, India. E-Journal of chemistry. 62:113 –118. Reichard M, Jurajda, Simkova, Matejusova I. 2002. Size-related habitat use by bitterling Rhodeussericeus in a regulated lowland river. Ecology of Freshwater Fish 11:112 –122. Ricker WE. 1975. Computation and Intrepetation of Biologycal Statistic of Fish Population. Bull Fish Res. Board. Chan. Ridd PV, Wolanski E, Mazda Y. 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks. Estuarine Coastal and Shelf Science 31:541-544. Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi laut : ilmu pengetahuan tentang biota laut. Djambatan. Jakarta. Sabri Y. 1997. Produksi serasah dan biomas hutan mangrove di desa Teluk Betung, Kabupaten Pesisir Selata [tesis]. Padang. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Sediadi A, Pamudji. 1987. Penelitian kecepatan gugur mangrove dan penguraiannya dalam hutan bakau di Teluk Ambon. Prosiding Seminar III Ekosistem Hutan Mangrove, 1986: hal 115-120. Sediatama AD. 1987. Gizi. Dian Rakyat, Jakarta. Sesakumar A, Chong VC, Leh MU, Cruz RD. 1992. Mangrove as habitat for fish and prawns. Hydrobiologia 247:195−207. Snedaker SC. 1978. Mangroves: Their Value and Perpetuation. Nature and Resources 14 1: 6-13. Soerojo. 1986. Struktur dan gugur serasah hutan mangrove di Kembang Kuning Cilacap. Prosiding Seminar III Ekosistim Hutan Mangrove, Lon-LIPI Jakarta. Soeroyo. 1988. Faktor iklim terhadap produksi serasah mangrove. Meningkatkan prakiraan dan pemanfaatan iklim untuk mendukung pengembangan pertanian tahun 2000. Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Sukardjo S. 1994. Soils in the Mangrove Forest of the Apar Nature Reserve East Kalimantan. Indonesia. South East Asian Studies Vol. 32 No. 3 Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Valk VD, Attiwill. 1984. Decomposition of leaf and root litter of Avecenia marina at water port Bay, Victoria, Australia. Aquatic Botany 18:205-221. Tanti SRH, Djamali A, 2005. Pertumbuhan ikan terbang Hirundichthys oxycephalus di perairan Binuangeun, Banten. Jurnal Iktiologi Indonesia 52. Tomlinson PB. 1986. The botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge. Turner RE. 1977. Intertidal vegetation and commercial yields of penaeid shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106, 411 –416. Yunasfi. 2006. Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh bakteri dan fungi pada berbagai tingkat salinitas [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wada K. 1999. Mangrove and its’ conflict paper submitting to The Australian National university, Canberra . Wickstead JH. 1965. An introduction to the study of tropical plankton Hutchinson Tropical monografhs, Hutchinson and Co ltd London. Zamroni, Rohyani. 2008. Produksi serasah hutan mangrove di perairan pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas 94:284-287. Lampiran 1 Indeks Nilai Penting jenis vegetasi di setiap stasiun pengamatan Muara Landipo Stasiun Jenis INP ML 1 Rhizophora stylosa 97.512 Rhizophora apiculata 151.523 Avicennia marina 50.965 ML 2 Rhizophora apiculata 172.551 Bruguiera gymnorhiza 75.870 Lumnitzera sp 51.580 ML 3 Rhizophora apiculata 192.522 Rhizophora stylosa 107.478 Tanjung Tiram Stasiun Jenis INP TT 1 Bruguiera gymnorhiza 59.821 Rhizophora apiculata 56.288 Sonneratia alba 183.891 TT 2 Sonneratia alba 157.485 Rhizophora Stylosa 64.820 Bruguiera gymnorhiza 77.695 TT 3 Sonneratia alba 177.044 Bruguiera gymnorhiza 65.722 Rhizophora apiculata 57.234 Lampiran 2 Kondisi hutan mangrove Muara Landipo yang didominasi jenis Rhizophora apiculta. Lampiran 3 Kondisi hutan mangrove Tanjung Tiram yang didominasi jenis Sonneratia alba. Lampiran 4 Produksi serasah tiap bulan pengamatan Muara Landipo Stasiun Jala Bulan Pengambilan Rata rata gm 2 Mei Juni Juli Agustus September Oktober Serasah Detritus ML1 1 53.15 65.62 35.93 62.38 51.68 49.26 2 49.53 47.15 61.54 47.45 60.34 69.15 3 55.35 67.95 49.65 58.83 35.47 45.67 rata rata 52.68 60.24 49.04 56.22 49.16 54.69 53.67 5.10 ML2 1 61.25 97.32 60.45 48.87 68.44 51.49 2 49.86 61.13 71.75 61.73 75.36 52.41 3 35.65 60.25 55.75 57.44 43.22 47.16 rata rata 48.92 72.9 62.65 56.01 62.34 50.35 58.86 5.59 ML3 1 50.62 69.32 49.45 52.95 73.61 62.36 2 45.41 53.63 57.15 61.44 37.41 56.41 3 58.46 47.75 46.23 47.05 48.15 68.13 rata rata 51.50 56.90 50.94 53.81 53.06 62.30 54.75 5.30 Tanjung Tiram Stasiun Jala Bulan Pengambilan Rata rata gramm 2 Mei Juni Juli Agustus September Oktober Serasah Detritus TT1 1 33.25 35.21 35.65 42.32 41.28 29.28 2 25.52 32.35 51.23 42.46 20.14 43.17 3 35.32 45.35 46.75 37.27 45.22 35.72 rata rata 31.36 37.64 44.54 40.68 35.55 36.06 37.64 3.58 TT2 1 30.22 42.12 32.15 42.28 43.43 30.33 2 29.34 31.43 41.05 40.23 28.38 25.12 3 37.88 40.27 47.27 32.56 32.42 34.26 rata rata 32.48 37.94 40.16 38.36 34.74 29.90 35.60 3.38 TT3 1 40.32 25.35 29.12 43.75 37.64 45.27 2 37.45 32.68 30.31 42.8 39.49 31.54 3 28.69 37.22 37.48 22.25 52.75 48.25 rata rata 35.49 31.75 32.30 36.27 43.29 41.69 36.80 3.50 Lampiran 5 Laju dekomposisi 10 gram berat kering serasah di lokasi penelitian Muara Landipo Stasiun H a r i ke - 15 30 45 60 75 M 1 10 g 6.77 4.15 2.87 1.59 0.17 32.32 58.47 71.29 84.14 98.32 M 2 10 g 6.54 4.08 2.79 1.75 0.17 34.58 59.19 72.07 82.48 98.28 M 3 10 g 6.87 4.21 2.97 1.62 0.15 31.26 57.88 70.34 83.76 98.54 Rata- Rata g 6.73 4.15 2.88 1.65 0.16 32.72 58.51 71.23 83.46 98.38 Tanjung Tiram Stasiun H a r i ke - 15 30 45 60 75 T 1 10 g 7.49 5.27 3.63 1.90 0.74 25.08 47.29 63.75 81.05 92.58 T 2 10 g 7.29 5.40 3.40 1.73 0.80 27.14 45.97 66.04 82.73 92.02 T 3 10 g 6.88 4.98 3.49 1.84 0.69 31.23 50.24 65.13 81.57 93.09 Rata- rata g 7.23 5.26 3.50 1.82 0.74 27.82 47.83 64.93 81.73 92.53 Lampiran 6 Hasil pengukuran kualitas air dan sedimen di lokasi penelitian Muara Landipo Stasiun Suhu o C pH Salinitas ppt O 2 mgl Nitrat mgl Fosfat mgl BO sedimen MP tersuspensi mgl ML 1 27.92 7.10 26.50 6.77 0.0043 0.0369 2.81 202.33 ML 2 27.92 7.20 25.80 7.03 0.0049 0.0371 2.81 206.00 ML 3 28.50 7.30 25.70 6.87 0.0045 0.0370 2.81 203.83 Rataan 28.11 7.20 26.00 6.89 0.0046 0.0370 2.81 204.05 Tanjung Tiram Stasiun Suhu o C pH Salinitas ppt O2 mgl Nitrat mgl Fosfat mgl BO sedimen MP tersuspensi mgl TT 1 29.33 7.50 31.50 5.52 0.0034 0.0313 1.536 101.00 TT 2 29.83 7.50 31.33 5.70 0.0035 0.0314 1.536 105.00 TT 3 29.33 7.50 31.50 5.52 0.0033 0.0313 1.537 103.33 Rata rata 29.50 7.50 31.44 5.58 0.0034 0.0313 1.536 103.11 Lampiran 7 Kelimpahan fitoplankton Individuliter setiap bulan pengamatan Lokasi Stasiun Bulan Pengamatan rata rata Mei Juni Juli Agustus September Oktober Muara Landipo ML 1 21103.2 21433.6 32109.2 19283.5 31502.7 35641.3 26845.6 ML 2 27735.7 31167.3 27352.9 26261.2 26367.1 25883.2 27461.2 ML 3 24852.2 20872.5 21425.6 30371.6 19691.4 24272.9 23581.0 Rata rata 24563.7 24491.1 26962.6 25305.4 25853.7 28599.1 25962.6 Tanjung Tiram TT 1 18686.8 20884.3 22964.2 23351.7 20522.1 19442.7 20975.3 TT 2 18441.3 12962.5 18297.4 21156.2 19732.1 20634.2 18537.3 TT 3 12981.6 19952.6 20729.2 19387.3 24362.2 16173.5 18931.1 Rata rata 16703.2 17933.1 20663.6 21298.4 21538.8 18750.1 19481.2 Lampiran 8 Rata rata nilai Faktor Kondisi FK dan jumlah ikan sampel yang diukur Muara Landipo Bulan n Kisaran Rata rata Mei 44 0.725 5.210 2.965± 0.946 Juni 40 2.526 12.922 4.134± 1.867 Juli 45 1.858 5.508 3.093± 0.796 Agustus 54 1.200 6.334 7.374± 0.939 September 32 2.321 6.572 3.854± 0.930 Oktober 40 1.094 5.919 3.498± 0.983 Tanjung Tiram Bulan n Kisaran Rata rata Mei 41 1.095 1.393 1.248 ± 0.071 Juni 22 1.372 1.955 1.542 ± 0.172 Juli 37 0.917 1.814 1.303 ± 0.161 Agustus 28 1.226 1.557 1.364 ± 0.081 September 28 1.027 1.612 1.414 ± 0.116 Oktober 23 2.038 5.806 3.270 ± 0.904 Lampiran 9 Data distribusi panjang ikan yang tertangkap selama penelitian Muara Landipo interval kelas cm Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Jumlah 8.3 8.3 1 1 1 3 10.2 10.2 12.1 12.1 11 9 12 13 8 15 68 14 14.0 21 20 27 31 17 16 132 15.9 15.9 7 8 6 7 5 6 39 17.8 17.8 4 3 2 2 2 3 16 19.7 19.7 21.6 21.6 1 1 23.5 23.5 1 1 Total 44 42 47 54 32 41 260 Tanjung Tiram interval kelas cm Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Jumlah 8.3 10.2 3 1 4 10.3 12.2 1 1 3 1 6 12.3 14.2 12 4 21 7 13 15 72 14.3 16.2 20 9 9 16 8 5 67 16.3 18.2 8 2 1 5 3 2 21 18.3 20.2 6 1 7 20.3 22.2 1 1 22.3 24.2 1 1 2 N 41 22 37 29 28 23 180 Lampiran 10 Komposisi makanan ikan belanak Liza subviridis di lokasi penelitian Komposisi Makanan Oi Vi Oi x Vi IP ML TT ML TT ML TT ML TL Detritus 34.2 29.39 46.13 43.98 1577.4 1292.6 62.17 55.51 Foraminifera 5.65 8.73 1.06 4.26 6 37.2 0.24 1.6 Alga 15.31 16.5 3.83 4.33 58.6 71.5 2.31 3.07 Diatom 20.92 19.02 2.25 2.64 47.1 50.2 1.85 2.16 Copepoda 1.29 1.35 0.77 0.43 1 0.6 0.04 0.02 Pasir 21.54 22.59 38.98 38.13 839.5 861.3 33.09 36.99 Moluska 1.11 2.43 6.99 6.23 7.7 15.1 0.3 0.65 Keterangan : ML : Muara Landipo TT : Tanjung Tiram Oi : Presentase frekuensi kejadian 1 macam makanan Vi : Persentase volume satu macam makanan IP : Index of Propederance Indeks bagian terbesar Lampiran 11 Nilai rata rata variable lingkungan perairan pada setiap stasiun yang digunakan dalam Analisis Komponen Utama Stasiun Suhu o C pH Salinitas ppt O2 mgl Nitrat mgl Fosfat mgl BO MPT Fitoplankton indl KM indm 2 Serasah gm 2 bln Detritus gm 2 bln ML 1 28.00 7.10 26.00 6.770 0.0043 0.0369 2.81 202.33 26845.60 0.16 53.67 4.20 ML 2 28.00 7.20 25.00 7.030 0.0049 0.0371 2.81 206.00 27461.20 0.14 58.86 4.70 ML 3 29.00 7.30 25.00 6.870 0.0045 0.0370 2.81 203.83 23581.00 0.14 54.75 4.30 TT 1 20.00 7.50 31.00 5.520 0.0034 0.0313 1.54 101.00 20975.30 0.12 37.64 3.00 TT 2 30.00 7.50 31.00 5.700 0.0035 0.0314 1.54 105.00 18537.30 0.15 35.60 2.80 TT 3 30.00 7.50 32.00 5.520 0.0033 0.0313 1.54 103.33 18931.10 0.13 36.80 2.90 ML = Muara Landipo TT = Tanjung Tiram Lampiran 12 Indeks kualitas lingkungan IKL, parameter Fisika, kimia dan biologi perairan Lokasi Penelitian Variabel Satuan Bobot wi Si Wi=wi∑wi Ci qi = Ci Six100 SIi=Wi x qi ML TT ML TT ML TT FISIKA suhu air °C 5 29 0.05 28.11 29.5 97 102 4.85 5.09 MPT ppm 5 80 0.05 204.05 103.11 704 355.55 35.181 17.778 KIMIA Salinitas o 7.5 28 0.075 26 31.44 90 108 6.724 8.131 BO m 7.5 2.800 0.075 2.812 1.536 9.697 5.297 0.727 0.397 Nitrat ppm 7.5 0.008 0.075 0.0046 0.0034 0.0159 0.0117 0.0012 0.0009 Fosfat ppm 7.5 0,015 0.075 0.037 0.0313 0.128 0.108 0.010 0.008 DO 7.5 5 0.075 6.89 5.58 23.76 19.241 1.782 1.443 pH - 7.5 7 0.075 7.2 7.5 24.8 25.8 1.9 1.9 BIOLOGI Vegetasi indm 2 15 0.15 0.15 0.15 0.10 0.52 0.34 0.08 0.05 Serasah gm 2 15 208 0.15 55.76 36.68 192.28 126.48 28.84 18.97 Plankton indl 15 25962.6 0.15 25962.6 19481.2 100 100 15 15 Jumlah 100 IKL =∑SI 95.05 68.80 Keterangan : ML, Muara Landopo. TT, Tanjung Tiram. Ci, nilai parameter. Si, standar nilai parameter optimum. Wi, Bobot relative. Wi, bobot masing-masing parameter. qi, skala kualitas. Sii, Subindeks. IKL, Indeks Kualitas Lingkungan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 5 1 Tahun 2004. Tentang : Baku Mutu Air Laut. 2004. 11 hal. Soerojo 1986 Kepmen LH Nomor : 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove Lampiran 13 Hasil Analisis Komponen Utama Karakteristik Lingkungan Perairan A. Semi maktiks korelasi antar variable B. Akar ciri dan persentase ragam pada lima sumbu utama F1 – F5 C. Korelasi antar variavel dan lima sumbu utama F1 – F5 D. Kualitas representasi kosinus kuadrat dari setiap stasiun penelitian pada lima sumbu utama F1 – F5 A Suhu pH Salinitas O2 Nitrat Fosfat BO MPT Plankton KM Serasah Detritus Suhu 1 pH 0.988 1 Salinitas 0.900 0.921 1 O2 -0.912 -0.933 -0.992 1 Nitrat -0.890 -0.892 -0.974 0.983 1 Fosfat -0.935 -0.957 -0.990 0.992 0.959 1 BO -0.939 -0.961 -0.988 0.989 0.953 1.000 1 MPT -0.934 -0.957 -0.989 0.993 0.959 1.000 1.000 1 Plankton -0.978 -0.969 -0.900 0.905 0.902 0.915 0.916 0.912 1 KM -0.406 -0.528 -0.468 0.523 0.422 0.515 0.516 0.522 0.414 1 Serasah -0.950 -0.950 -0.984 0.987 0.982 0.987 0.985 0.986 0.939 0.411 1 Detritus -0.948 -0.943 -0.980 0.983 0.984 0.980 0.977 0.979 0.941 0.387 0.999 1 B F1 F2 F3 F4 F5 Akar ciri 10.833 0.799 0.272 0.074 0.021 Varians 90.279 6.661 2.268 0.620 0.172 C F1 F2 F3 F4 F5 Suhu 0.917 0.010 0.068 0.001 0.003 pH 0.945 0.001 0.050 0.004 0.000 Salinitas 0.967 0.001 0.024 0.000 0.007 O2 0.981 0.001 0.018 0.000 0.000 Nitrat 0.938 0.008 0.027 0.026 0.001 Fosfat 0.989 0.000 0.004 0.007 0.000 BO 0.987 0.000 0.003 0.010 0.000 MPT 0.988 0.001 0.005 0.006 0.000 Plankton 0.901 0.009 0.068 0.017 0.006 KM 0.260 0.738 0.000 0.002 0.000 Serasah 0.985 0.012 0.002 0.000 0.001 Detritus 0.976 0.019 0.002 0.002 0.001 D SumbuKomponen Utama Stasiun F1 F2 F3 F4 F5 ML 1 0.861 0.093 0.044 0.002 0.000 ML 2 0.957 0.031 0.000 0.011 0.001 ML 3 0.884 0.014 0.086 0.016 0.000 TT 1 0.877 0.109 0.010 0.000 0.004 TT 2 0.839 0.136 0.019 0.005 0.000 TT 3 0.980 0.005 0.005 0.004 0.005 Lampiran 14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden antara produksi detritus dengan stasiun A. Tabel akar ciri dan prosentase varians ragam dari 5 sumbu F1 F2 F3 F4 F5 Akar ciri λ 0.00038 0.00004 0.00000 0.00000 0.00000 Varians 90.547 9.015 0.367 0.061 0.008 B. Tabel kualitas refresentase kosinus kuadrat dan kontribusi relatif untuk stasiun dari 2 sumbu utama disajikan pada kolom 1 dan 2 dari setiap sumbu Variabel F1 F2 Suhu 0.735 8.05 0.263 28.96 pH 0.740 1.94 0.258 6.81 Salinitas 0.856 18.76 0.142 31.21 O2 0.139 0.06 0.834 3.36 Nitrat 0.036 0.00 0.636 0.00 Fosfat 0.343 0.00 0.655 0.02 BO 0.947 0.64 0.049 0.33 MPT 0.968 67.44 0.031 21.84 Fitoplankton 0.708 0.23 0.292 0.95 KM 0.330 0.01 0.391 0.14 Serasah 0.745 2.67 0.167 6.02 Detritus 0.730 0.20 0.130 0.36 Lampiran 15 Karakteristik ikan belanak yang tertangkap di perairan Muara Landipo Lampiran 16 Karakteristik ikan belanak yang tertangkap di perairan Tanjung Tiram ABSTRACT MUHAMMAD RAMLI. Contribution of Mangrove Ecosystems as Food Suppliers of Greenback mullet Liza subviridis on the north coast Waters of South Konawe, Southeast Sulawesi. Supervised by DIETRIECH G BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI and RIDWAN AFFANDI. The most important ecological functions of mangrove forests are nutrient cycles and energy flows. Mangrove litter fall in the water decomposed by microorganisms that produce nutrients partly in the form of particles of litter detritus are utilized by fish, shrimp and crabs as food Bengen 2000; Bengen and Dutton 2004. Mangrove leaf is the largest part of litter primary production available to consumers contributed significantly to the food chain in the coastal fishery resources Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg and McClaugherty 2008. The amount and quality of the mangrove detritus are based on the dominant mangrove species in the ecosystem. A kind of fish that make use of detritus in a mangrove ecosystem as a food source energy is the Greenback mullet L.subviridis from mugilidae family. This study aims to determine the contribution of mangrove forests as a detritus supplier served as food and energy sources of mullet L. subviridis on the north coast of South Konawe. The research was carried out for six months from May - October 2011 on the north coast of South Konawe Southeast Sulawesi, covering Landipo Estuaryne waters and Oyster Cape. Data collection of mangrove species at each stationwas was done using Line transect plots with a size of 10 mx 10 m for tree and 5m x 5m for the pups Bengen 2001. Production of detritus derived from mangrove litter was carried out by inserting as many as 10 grams of leaf litter in litter bags measuring 20 cm x 30 cm made of nylon with a mesh size of 2 mm. Then, the bags were put into other plastic bags with small holes in some parts so the waste products of decomposition in the bag will not go out making calsulation easy. The fish were collected using varying mesh size of monofilament gill nets. Biological parameters measured were feeding habits, condition factor, hepto and Gonado somatic index. Macronutrients of the detritus were determined by proximate analysis. Variations in water chemistry and physics variables were analyzed using Principal Component Analysis PCA. Distribution of detritus production between stations were analyzed using Correspondent Analysis CA Lagendre and Lagendre 1983; Bengen 2000. The results showed that the total energy generated by Rhizophora apiculata detritus was greater than Sonneratia alba detritus. Detritus of Rhizophora apiculata contribute better to the condition factor, Gonado and Hepato-Somatic Index of mullet fish Liza subviridis than detritus of Sonneratia alba on the north coast of South Konawe. Key word : Mangrove ecosystem, vegetation, detritus, food, mullet.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alongi et al. 1993 dan Alongi 1996 mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan daerah hutan pantai yang produktif, asosiasi rantai makan dan siklus nutriennya berhubungan erat dengan perairan pantai sekitarnya. Hutan ini dapat dianggap sebagai penghubung antara eksosistem darat dan ekosistem laut Holmer dan Annemarie 2002. Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan mati. Daun mangrove yang gugur sebagai serasah memegang peran penting dan merupakan sumber nutrisi sebagai awal rantai makanan. Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg dan McClaugherty 2008. Parameter fisika-kimia air dan substrat di ekosistem mangrove juga mempengaruhi pengaturan hara secara umum Clough et al. 1983; Boto dan Wellington 1984. Serasah mangrove yang jatuh di perairan didekomposisi oleh mikroorganisme dan selanjutnya akan melepaskan zat hara nutrient, dan sebagian lagi tersisa berupa partikel serasah atau detritus. Detritus inilah yang dimanfaatkan oleh berbagai juvenile ikan, udang dan kepiting serta kerang sebagai sumber makanan dan energi Bengen 2000; Bengen dan Dutton 2004. Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Hancuran bahan organik detritus ini menjadi bahan makanan penting nutrien bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi dan merupakan dasar dari jaring makanan yang luas untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersil. Laegdsgaard dan Johnson 2001 mengemukakan bahwa ada tiga dugaan utama yang menyebabkan ekosistem mangrove dijadikan sebagai habitat, yaitu : 1 ikan tertarik karena keragaman struktur ekosistem mangrove, 2 sedikitnya jumlah predator karena kompleksitas struktur ekosistemnya tinggi seperti kerapatan vegetasi, dan 3 ketersediaan makanan di ekosistem mangrove lebih banyak dibandingkan ekosistem lainnya. Wada 1999 mengemukakan bahwa sekitar 90 jenis ikan laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya di daerah pesisir berhutan. Ikan muda sering menempati ekosistem mangrove sebagai habitat Lugendo et al. 2006. Di Florida, hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik 90, dari partikel organik yang ada di dalam air dan berasal dari pohon-pohon mangrove, 35-60 bersumber dari guguran daun Brown 1984. Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan makanan bagi makrobentos dan menyokong rantai makanan di hutan mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur hara bagi perairan sekitarnya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan Valk dan Attiwill 1984. Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan energi adalah ikan belanak Liza subviridis dari famili mugilidae. Ikan belanak memakan detritus dan mikro algae, selain itu juga mengambil atau menelan butiran pasir dalam sedimen yang berfungsi untuk membantu menggiling makanan di dalam lambung. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Diduga, jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada jenis mangrove. Jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ikan belanak.

1.2 Rumusan Masalah

Dari hasil penelusuran literatur, banyak dijumpai penelitian terkait ekosistem mangrove terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas ikan Chong et al. 1990; Sesakumar et al. 1992; Laegdsgaard dan Johnson 2001; Kawaroe et al. 2001; Bengen dan Dutton 2004. Ekosistem mangrove sebagai daerah untuk mencari makan, dan keterkaitan kondisi hutan bakau dengan hasil tangkapan ikan dan udang Lugendo et al. 2006. Kebiasan makan ikan belanak di ekositem mangrove Chan dan Chua 1979, Prapaporn et al.1998, dan Lin et al. 2007. Pada penelitian ini akan dilakukan kajian ilmiah untuk mengetahui kontribusi jenis mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan makanan dan sumber energi ikan belanak Liza subviridis. Kontribusi ekosistem mangrove didasarkan pada jenis mangrove dominan dan kondisi lingkungan perairan di pesisir utara Konawe Selatan. Kerangka pikir penelitian, disajikan pada Gambar 1. Dari pernyataan diatas dan latar belakang penelitian maka dirumuskan permasalahan dengan memunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1 Berapa banyak detritus yang dihasilkan oleh jenis mangrove di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan, 2 Berapa persen porsi detritus yang dimanfaatkan ikan belanak sebagai sumber makanannya di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan, dan 3 Seberapa besar pengaruh detritus sebagai sumber makanan terhadap pertumbuhan ikan belanak di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan.