Upaya Pengendalian OPT Tanaman Sayuran

96 pengelolaan ekosistem yang baik yaitu dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu PHT. Tabel 21 Perbandingan kumulatif luas serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009 Komoditas OPT Luas pengendalian ha Eradikasi Pestisida Cara lain Cabai Lalat buah 0,00 97,30 20,74 Kutu daun 0,00 54,57 0,15 Trips 7,78 963,98 8,58 Antraknosa 10,35 336,09 34,23 Virus 0,00 79,60 8,55 Virus kuning 8,93 499,88 178,94 Bercak daun 0,00 85,10 1,10 Fusarium 28,88 392,08 29,60 Bawang merah Ulat bawang 1.042,3 10.576,0 3.186 Penggorok daun 20 2.177,8 30,4 Phytophthora sp. 0,2 2.823,7 116,1 Bercak ungu 0 334,9 52,3 Antraknosa 0 46,2 25,4 Fusarium 0 369,4 2,5 Kubis Ulat daun 15,75 1.372,15 1,00 Ulat krop 0,00 644,20 2,30 Bercak daun 0,00 42,00 0,00 Layu bakteri 1,50 19,15 1,30 Akar gada 11,60 248,84 0,50 Busuk lunak 0,00 796,45 0,00 Kentang Penggorok daun 0,00 3.726,50 0,00 Nematoda 0,00 0,50 0,00 Phytophthora sp. 7,20 4.253,89 17,55 Layu bakteri 0,00 13,00 0,00 Jumlah 1.152,99 29.537,68 3.691,94 Persentase 3,35 85,91 10,74 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009 PHT adalah suatu cara pendekatan atau falsafah pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologis dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan egroekosistem yang bertanggungjawab. Tindakan pengendalian dengan menggunakan pestisida harus didasarkan pada nilai Ambang Ekonomi AE atau Ambang Pengendalian AP, namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida masih menjadi prioritas utama. Di Jawa Timur upaya pengendalian OPT tanaman sayuran terbesar tetap mengutamakan penggunaan pestisida sebagai 97 alternatif unggulan. Sebagaimana upaya pengendalian OPT pada tanaman cabai oleh serangan trips, virus kuning, antraknosa dan layu fusarium, tetapi karena agroklimat dan faktor pendukung cukup tinggi maka pengendlian belum efektif. Hal ini dapat terlihat dari luas pengendalian beberapa OPT cabai cukup tinggi selama tahun 2009. Tabel 21 Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penggunaan pestisida merupakan teknik pengandalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak digunakan oleh petani sayuran di Jawa Timur. Namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada petani-petani lain di Indonesia. Penggunaan pestisida ini yang perlu untuk dicermati adalah bagaimana para petani menggunakan pestisida ? Apakah para petani telah melakukan 5 lima tepat ? Sebagaimana aturan penggunaan pestisida yang telah ditetapkan, dinyatakan bahwa penggunaan pestisida adalah alternatif terakhir dalam pengendalian OPT tanaman. Penggunaan pestisida harus memenuhi ketentuan tepat jenis, tepat sasaran, tepat waktu tepat dosis dan tepat cara. Namun kenyataan di lapangan menggambarkan bahwa penggunaan pestisda sudah menjadi alternatif yang utama disamping penggunaannya tidak sesuai dengan kenetuan yang telah diatur dalam kemasan maupun peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang dikemukan oleh Wiyono et al. 2007 dalam Hidayat et al. 2010 hasil focus group discussion pada 35 petani cabai di Kecamatan Bumijawa pada Maret 2006 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman cabai dilakukan secara terjadwal yaitu setiap minggu sekali selama satu musim tanam 4 bulan atau mencapai 16 kali aplikasi pestisida. Demikian juga Sulistiyono 2003 mendapatkan dari hasil penelitian pada 90 sembilan puluh petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur bahwa untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan secara terjadwal 2 sampai 4 kali seminggu atau 22 sampai 44 kali selama satu musim tanam dan pada musim kemarau atau mencapai 3 sampai 5 kali seminggu atau 33 kali sampai 55 kali dalam satu musim tanam pada musim penghujan. Data yang berhasil dikumpulkan tentang penggunaan pestisida pada tanaman cabai, dengan pengambilan sampel petani di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri sebanyak 35 responden dan Kecamatan Krucil Probolingo sebanyak 21 responden 98 didapatkan bahwa seluruh petani tetap mengunakan pestisida sebagai alternatif utama dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Rerata volume penggunaan pestisida per hektar mencapai 66,88 liter cair dan 210,65 kg padat. Data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran yang dikelompokan berdassrkan petani SLPHT dan Non SLPHT di Jawa Timur tahun 2006. Komoditas Petani Penggunaan pestisida ha Total volume Kgha Rerata Ket. Cair ltr Padatan kg Cabai SLPHT 26,97 84,66 111,63 138,77 Asumsi : 1 ltr = 1 kg Rerata 102,3 kg ha Non SLPHT 39,91 125,99 165,9 Bawang merah SLPHT 15,35 16,25 31,6 31,9 Non SLPHT 15,49 16,71 32,2 Kubis SLPHT 48,85 21,53 70,38 78,04 Non SLPHT 55,86 29,83 85,69 Kentang SLPHT 56,73 77,66 134,39 160,62 Non SLPHT 71,69 115,15 186,84 Berdasarkan pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa volume penggunaan pestisida rerata mencapai 33,44 liter per hektar dan yang berbentuk padatan mencapai 105,33 kg per hektarnya. Jika diasumsikan bahwa 1 liter setara dengan 1 kg maka kebutuhan pestisida dalam satu hektarnya adalah 138,77 kg. Sebagaimana diketahui bahwa luas tanam cabai besar dan cabai rawit Jawa Timur Tahun 2009 tercatat seluas 44.426 ha maka kebutuhan pestisida dalam satu tahun mencapai 6,16 ton. Sebagaimana kaidah penggunaan pestisida bahwa selain pestisida memiliki nilai ekonomis yang artinya penggunaan pestisida dapat memberikan keuntungan tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian. Maka penggunaan pestisida secara bijaksana menjadi penting. Kaidah penggunaan pestisida yang dimaksud adalah penerapan prinsip 5 lima tepat yakni tepat sasaran, tepat jenis, dosis, waktu dan cara Dirjen Sarprastan 2010. Besaran volume penggunaan pestisida pada tanaman cabai dalam satu musim tanam didorong oleh variasi atau macam pestisida lebih dari 6 enam macam formulasi pestisida yang dipergunakan oleh petani SLPHT 64,29 dan 5-6 macam formulasi pestisida 28,57 pada petani Non SLPHT 67,86 serta 99 21,43 yang menggunakan 5-6 macam jenis Tabel. 23 macam pestisida.. Banyaknya formulasi yang dipergunakan oleh petani ini oleh karena variasinya OPT pada tanaman cabai mulai dari gulma, lalat buah, kutu daun, trips, antraknosa, virus, virus kuning dan bakteri. Sesuai dengan pendapat Kruniasih dan Paramita 2006 yang menyatakan bahwa pada budidaya tanaman sayuran penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman lebih dari 3 macam formulasi pestisida, hal ini sangat tergantung pada tingkat dan macam serangan OPT. Persentase tertinggi jenis yang paling banyak digunakan adalah lebih dari 6 macam pestisida dalam setiap musim tanam, bahkan ada yang mempergunakan hingga 15 macam. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney test kategori two independent diperoleh nilai x 2 hitung = 4.4857 dengan nilai x 2 tabel 16.919 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara petani SLPHT dan Non SLPHT dalam pengendalian OPT dengan pestisida jika dilihat dari jumlah jenis pestisida yang digunakan selama satu musim tanam. Tabel 23 Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Jumlah jenis pestisida yang digunakan Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai 1-2 macam - - - - ρ : 0,322 3-4 macam 2 7,14 3 10,71 5-6 macam 8 28,57 6 21,43 6 macam 18 64,29 19 67,86 Jumlah 28 100,00 28 100,00 Bawang merah 1-3 macam - - - - ρ : 0,002 4-6 macam 10 35,71 3 10,71 7-9 macam 17 60,71 18 64,29 9 macam 1 3,57 7 25,00 Jumlah 28 100,00 28 100,00 Kubis 1-2 macam - - - - ρ : 0,001 3-4 macam 3 10,71 2 7,14 5-6 macam 11 39,29 11 39,29 6 macam 14 50,00 15 53,57 Jumlah 28 100,00 28 100,00 Kentang 1-3 macam - - - - ρ : 0,007 4-6 macam 5 2,50 2 7,14 7-9 macam 15 53,57 18 64,29 9 macam 8 28,57 8 28,57 Jumlah 28 100,00 28 100,00 100 Pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang, baik pada petani SLPHT dan Non SLPHT macam pestisida yang paling banyak digunakan dalam satu musim tanam 6 macam formulasi. Bahkan pada budidaya tanaman bawang merah dan kentang formulasi yang digunakan antara 7-9 macam setiap musim tanam. Macam pestisida yang digunakan oleh petani pada umumnya adalah jenis herbisida minimal 1 macam, insektisida minimal 2 macam, fungisida minimal 2 mcam, perekat minimal 1 mcam dan ZPT. Adapun akarisida, bakterisida, molluskisida, rodentisida dan lainnya jarang digunakan. Pada tanaman bawang merah banyaknya jenis formulasi yang digunakan dipicu oleh ; 1 serangan OPT di musim kemarau ulat daun Spodoptera sp., Lyriomiza chinensis , dan Phytophthora sp. di musim penghujan, 2 Faktor lain adalah budaya petani melakukan pencampuran mixing pestisida untuk memperoleh formulasi baru agar pestisida yang akan digunakan memiliki daya racun yang lebih tinggi; dan 3 upaya preventif dari serangan OPT yang datang secara tiba-tiba. Petani melakukan pencarian formulasi lain dengan maksud untuk meningkatkan daya racun pestisida yang digunakan. Hal ini didasari oleh keyakinan para petani bahwa laju serangan OPT bersifat sporadis dan laju resistensi OPT lebih cepat dari pada teknologi formulasi pestisida yang diketahui oleh petani. Semakin beragam jenis OPT yang menyerang pada tanaman sayuran semakin banyak pula jenis formulasi pestisida yang digunakan untuk mengendalikan. Demikian juga semakin berat intensitas serangan atau semakin luas serangan OPT semakin banyak pula pestisida yang digunakan. Sebagaimana data pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang yang tertera pada Tabel 23 melalui uji statistik dengan bantuan software SPSS 16 for windows untuk menjustifikasi apakah kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT berbeda dalam penggunaan pestisida menurut macamnya. Pada ketiga komoditas antara dua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana pada bawang merah p : 0,002, kubis p : 0,001 dan kentang p: 0,007 yang bermakna bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT menggambarkan adanya perbedaan yang nyata. Jika dilihat dari nilai distribusi frekwensi terlihat bahwa petani SLPHT lebih sedikit dalam penggunaan macam pestisida jika dibandingkan pada petani Non SLPHT. 101 Tepat Dosis: Selain macam pestisida yang digunakan besaran volume penggunaan pestisida juga dipengaruhi oleh dosis yang dipergunakan. Secara definisi dosis adalah takaran atau ukuran dalan liter, gram atau kilogram pestisida yang digunakan untuk mengendalikan OPT per satuan luas tertentu. Penentuan dosis yang dicantumkan dalam label adalah hasil uji toksisitas terhadap OPT tertentu. Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan persentase penggunaan pestisida pada seluruh komoditas melebihi dosis yang telah ditetapkan. Pada komoditas cabai 60,71 SLPHT dan 82,154 Non SLPHT melebihi dosis yang tertera pada label kemasan. Tingginya dosis penggunaan pestisida ini disebabkan oleh tingginya tingkat serangan hama yakni lalat buah, kutu daun, dan trips, sedangkan kategori penyakit yakni virus, patek atau antracnosa oleh jamur Colletotrichum, virus kuning, bercak daun Cercospora sp. dan layu Fusarium. Lima tahun terakhir 2004-2009 yang mendorong volume penggunaan pestisida dengan dosis tinggi adalah serangan kutu daun Aphids sp., trips trips parvispinus, patekantracnosa Colletotricum sp., dan layu Fusarium, dengan jumlah kumulatif kenaikan luas serangan mencapai 415,67. Dengan menggunakan skala ordinal dan diuji statistik maka kedua kelompok petani menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p: 0,04. Perbedaan yang dimaksudkan adalah pada petani SLPHT penggunaan pestisida pada tanaman cabai dengan dosis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Tingginya penggunaan pestisida pada budidaya tanaman cabai disebabkan oleh kekawatiran para petani terjadi kerusakan tanaman yang parah oleh serangan OPT khususnya oleh trips dan virus. Disisi lain berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan di lapangan bahwa ada fakta yang membuktikan penggunaan pestisida yang disesuaikan dengan dosis kurang berpengaruh nyata terhadap pengendalian OPT. Para petani memprediksi bahwa hama dan penyakit tanaman sudah mengalami resistensi. Sehingga petani cenderung untuk menggunakan pestisida melebihi dosis anjuran yang tertera pada label kemasan. Pengaruh besarnya modal yang diinvestasikan dalam budidaya tanaman cabai sayuran yang besar menurut ukuran petani, dan modal itu bukan milik pribadi petani yang melainkan berasal dari berbagai sumber pendanaan baik modal sendiri 102 maupun dari pendanaan lainnya, menimbulkan kecemasan yang luar biasa pada diri petani sehingga mendorong petani melakukan penyemprotan secara terjadwal. Data yang berhasil dikumpulkan dari petani cabai penyemprotan dilakukan secara terjadwal mencapai 57,14 SLPHT dan 64,29 Non SLPHT. Tabel. 24 juga menggambarkan bahwa perilaku petani dalam menggunakan pestisida dalam mengendalikan OPT didahului dengan pengamatan terhadap tingkat serangan OPT dengan mempertimbangkan ambang pengendalian namun hal ini bukan menjadikan petani percayadiri sehingga selalu disertai dengan penyemprotan secara terjadwal 28,57 SLPHT dan 25,00 Non SLPHT. Tingginya dosis penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah di Jawa Timur karena serangan ulat bawang Spodoptera litura, penggorok daun L. chinensis , trips, Phytophthora dan Altenaria. OPT yang paling tinggi mempengaruhi dosis penggunaan pestisida yakni serangan ulat bawang Spodoptera sp., Pengorok daun L. chinensis dan Phytophthora, diketahui lima tahun terakhir 2004-2009 serangan OPT ini mengalami peningkatan secara signifikan yang mecapai sepuluh kali lipat 958,98 Tabel 24. Tabel 24 Ketepatan dosis pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan Dosis Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical Test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai Dosis 2 7,14 3 10,71 p: 0,040 = Dosis 9 32,14 2 7,14 Dosis 12 42,86 14 50,00 2 x Dosis 3 10,71 4 14,29 x Dosis 2 7,14 5 17,86 Jumlah 28 100 28 100 Bawang Merah Dosis - - - - p: 0,745 = Dosis - - - - Dosis 8 28,57 4 14,29 2 x Dosis 9 32,14 16 57,14 x Dosis 11 39,29 7 25,00 Jumlah 28 100 28 100 Kubis Dosis 3 10,71 1 3,57 p: 0,480 = Dosis 2 7,14 1 3,57 Dosis 13 46,43 16 57,14 2 x Dosis 7 25,00 9 32,14 x Dosis 1 3,57 1 3,57 Jumlah 28 100 28 100 Kentang Dosis - - - - = Dosis - - - - p: 0,061 Dosis 4 14,29 4 14,29 2 x Dosis 4 14,29 6 21,43 2 x Dosis 20 71,43 18 64,29 Jumlah 28 100 28 100 103 Di kabupaten Nganjuk dan Probolinggo yang menjadi sentra tanaman bawang merah, pengendalian OPT pada tanaman bawang merah khususnya ulat bawang dilakukan dengan beberapa teknik mulai penggunaan lampu perangkap, selambu dan cara manual petan = Jawa. Teknik terakhir ini yang paling banyak mengurangi penggunaan pestisida terutama pada petani-petani kecil atau penggarap tanah sewa pada luasan kurang dari 0,2 ha, sedangkan pada luasan lebih dari 0,2 ha hingga 1,6 ha lebih banyak menggantungkan penggunaan pestisida dengan dosis tinggi Di Jawa Timur lima tahun terakhir ini pada tanaman kubis khususnya varitas dataran tinggi sering mengalami serangan organisme pengganggu tanaman beberapa jenis OPT, jenis OPT yang menyerang dengan intensitas serangan luas ada 3 tiga jenis yaitu ulat daun P. xylostella, ulat krop C. pavonana dan akar gada Plasmodiophora brasicae. Serangan P. xyllostela dan P. brassicae pada waktu lima tahun terkahir mengalami penurunan -6,75 dan -17,42 , namun meskipun menurun luas serangan masih dikategorikan tinggi karena pada tahun 2009 ; P. xyllostela mencapai 402,27 ha dan P. brassicae seluas 126,50 ha. Namun tingkat serangan masih tetap bertahan, bahkan cenderung terjadi peningkatan luas serangan yaitu C. pavonana dengan luas serangan rerata 49,38 ha per tahunnya. Jenis hama yang paling dominan menyerang tanaman kubis per satuan luasnya adalah P. xylostella. Karena luas serangan P. xylostella paling besar maka penggunaan pestisida paling tinggi jika dibandingkan dengan hama lainnya. Distribusi frekwensi penggunaan pestisida paling tinggi dijumpai pada komoditas kentang adalah 2x dosis dengan jumlah rerata responden 67,86 dari seluruh responden. Penggunaan pestisida dosis tinggi ini banyak diaplikasikan untuk pengendalian P. infestans karena memiliki luas serangan paling tinggi jika dibandingkan dengan serangan OPT lainnya yang mencapai 578,73 ha Tabel 21. Selain pada itu dosis penggunaan pestisida oleh para petani dikategorikan tinggi karena serangan P. infestans sangat mengkawatirkan para petani. Pertimbangan lain petani menggunakan pestisida dosis tinggi pada tanaman kentang karena para petani dihantui oleh rasa kekawatiran yang sangat hebat bahkan sampai dengan kategori panik, mengingat nilai investasi yang tinggi. Kondisi yang demikian serangan organisme pengganggu tanaman ini mendorong petani untuk melakukan 104 upaya preventif dengan dosis yang tinggi. Selain itu petani juga berpendapat bahwa resistensi hama dan penyakit terus meningkat dengan bertambahnya waktu sehingga penggunaan dosis tinggi dianggap lebih efektif. Tepat Sasaran: Ketepatan sasaran penggunaan pestisida didasarkan pada ketepatan jenis komoditas tanaman serta jenis dan cara hidup OPT yang akan dikendalikan dengan aplikasi pestisida Direktorat Pupuk dan Pestisida Deptan 2011. Sebagaimana yang dimaksud dengan tepat sasaran adalah jika jenis insektisida diperuntukkan insekta, fungisida untuk golongan jamur, dan lain-lain. Data keterpatan sasaran dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Ketepatan sasaran penyemprotan pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan Sasaran Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistic Test Jumla h Persentas e Jumla h Persentas e Cabai Tepat 25 89,29 23 82,14 ρ: 0,853 Tidak Tepat 3 10,71 5 17,86 Jumlah 28 100 28 100 ρ: 0,530 Bawang Merah Tepat 24 87.71 22 78,57 Tidak Tepat 4 14,29 6 21,43 Jumlah 28 100 28 100 Kubis Tepat 27 96,43 24 85,71 ρ: 0,164 Tidak Tepat 1 3,57 4 14,29 Jumlah 28 100 28 100 Kentang Tepat 23 82,14 21 75,00 ρ: 0,583 Tidak Tepat 5 17,86 7 25,00 Jumlah 28 100 28 100 Sebagaimana data yang tertera pada Tabel 25 menggambarkan bahwa ketepatan sasaran penggunaan pestisida pada tanaman sayuan dikategorikan tepat. Hal ini ditunjukan dominansi persentase distribusi frekwensi tepat pada tanaman cabai dengan nilai rata-rata 85,72 SLPHT maupun Non SLPHT, bawang merah 83,14 , kubis 91,07 dan kentang 78,57. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dikategorikan tepat sasaran. Meskipun sebagian kecil petani sayuran dikategorikan tidak tepat sasaran dalam penggunaan pestisida dikarenakan para petani ada kecenderungan mencari formula baru dengan mencampur dua atau lebih pestisida untuk mengendalikan OPT tertentu. Hal ini dilakukan apabila serangan awal disebabkan OPT tertentu yang sulit dikendalikan dengan pestisida yang sudah biasa 105 digunakan oleh petani beberapa bulan yang lalu, sementara pestesida yang telah tersedia dipasaran telah dicoba untuk diaplikasikan dan belum membuahkan hasil yang memuaskan para petani. Oleh karena itu munculah inisiatif para petani untuk melakukan trial and error dengan mencampur beberapa pestisida yang menurut prediksi petani akan menghasilkan formulasi yang diharapkan oleh para petani. Proses uji coba ini berjalan secara terus menerus selama belum ada toksisitas pestisida sesuai harapan beberapa petani. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan pendekatan uji independent statistic test Mann Whitney diperoleh nilai ρ α dimana α = 0,05. Sehingga disimpulkan bahwa antara petani SLPHT dan Non SLPHT menunjukkan tidak ada perbedaan dalam penggunaan pestisida dilihat dari sisi ketepatan sasaran dalam pengunaan pestisida. Tepat Waktu Penyemprotan : Waktu penggunaan pestisida atau sering di sebut dengan waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pestisida. Waktu aplikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas pestisida yang digunakan. Jika dikaitkan dengan perkembangan hama maka dikenal dengan waktu aplikasi pestisida yaitu aplikasi preventif, sistem kalender dan apliaksi berdasarkan ambang kendali atau ambang ekonomi. Ketepatan waktu penggunaan pestisida pada tanaman didasarkan pada hasil pengamatan para petani terhadap populasi OPT tanaman, jika hasil perhitungan populasi OPT sudah dikategorikan akan mempengaruhi nilai ekonomi tanaman sayuran maka perlu dilakukan pengendalian OPT dengan aplikasi pestisida. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman pasal 19 yang dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan merupakan alternatif terakhir dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin. Data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa penggunaan pestisida menurut waktu penggunaannya bedasarkan pengaturan waktu atau dilaksanakan secara terjadwal. Pengertian terjadwal adalah penyemprotan pestisida yang bertujuan untuk mengendalikan OPT tanaman budidaya dilakukan secara periodik berdasarkan waktu tanpa didahului oleh pengamatan. Penyemprotan terjadwal ini 106 juga disebut sebagai sistem penggunaan pestisida secara kalender. Sistem ini merupakan salah satu dari aplikasi preventif yang lebih bersifat untung-untungan hama belum tentu datang, cenderung boros karena tidak ada hamapun disemprot, beresiko besar bagi pengguna, konsumen dan lingkungan maka sistem ini tidak diijinkan dalam sistem pengendalian hama tepadu. Pengumpulan data waktu aplikasi pestisida pada komoditas cabai, bawang merah, kubis dan kentang, yang dibedakan menjadi 3 tiga kategori yakni 1 aplikasi menurut ambang ekonomi AEambang pengendalian AP, 2 aplikasi yang didahului oleh pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan 3 aplikasi pestisida dengan sistem kalender atau terjadwal. Tabel 26 menunjukkan bahwa frekwensi tertinggi dlakukan secara terjadwal atau sistem kalender disusul aplikasi pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan terjadwal dan terakhir pengamatan menurut ambang ekonomi. Pada komoditas cabai rata-rata aplikasi secara terjadwal mencapai 55,36 , yang didahului pengamatan di awal aplikasi perdana 37,5 , sedangkan pengendalian OPT yang berorientasi pada nilai ambang ekonomi ditemukan pada petani SLPHT 14,29 . Tabel 26 Waktu penyemprotan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan waktu Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistic Test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai Ambang ekonomi 4 14,29 - - ρ: 0,031 Pengamatan dan terjadwal 12 42,86 9 32,14 Terjadwal 12 42,86 19 67,86 Jumlah 28 100 28 100 Bawang merah Ambang ekonomi 4 14,29 1 3,57 ρ: 0,078 Pengamatan dan terjadwal 9 32,14 10 35,71 Terjadwal 15 53,57 17 60,71 Jumlah 28 100 28 100 Kubis Ambang ekonomi 3 10,71 - - ρ: 0,112 Pengamatan dan terjadwal 9 32,145 7 25,00 Terjadwal 16 57,71 23 82,4 Jumlah 28 100 28 100 Kentang Ambang ekonomi 3 10.71 - - ρ: 0,036 Pengamatan dan terjadwal 11 39,29 7 25,00 Terjadwal 14 50,00 21 75,00 Jumlah 28 100 28 100 107 Pada komoditas bawang merah paling tinggi aplikasi pestisida juga dilakukan secara terjadwal dengan rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 57,14 , sedangkan aplikasi dengan pengamatan diawal dan dilanjutkan terjadwal mencapai 33,93 dan yang menarik perhatian pada data ini adalah bahwa aplikasi pestisida didahului dengan analisa ambang ekonomi pada petani Non SLPHT ada 1 responden atau 3,57 sedangkan pada petani SLPHT 14,29 . Hasil uji Statistik menunjukkan bahwa antara dua kelompok responden menunjukkan nulai p : 0,078, yang berarti bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda secara signifikan waktu aplikasi pestisida dalam pengendalian OPT. Pada komoditas kubis dengan mengambil data di wilayah Kabupaten Malang dan Probolinggo, persentase tertinggi dilakukan secara terjadwal atau sistem kalender dengan nilai rata-rata 56,87 , dan aplikasi terjadwal tetapi diawali dengan pengamatan sebesar 28,57 . Sedangkan hasil uji statistik diperoleh nilai p : 0,112 yang berarti lebih besar dari nilai α, dengan demikian disimpilkan bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT dalam waktu aplikasi pestisida untuk pengendalian OPT pada tanaman kubis kategori tidak berbeda signifikan. Demikian halnya pada komoditas kentang, waktu aplikasi pestisida pada tanaman sayuran mayoritas dilakukan secara terjadwal dengan nilai rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 62,5 sedangkan waktu aplikasi pestisida yang didahului dengan pengamatan awal kemudian terjadwal 32,15 . Pada kelompok petani SLPHT ditemukan waktu aplikasi pestisida dengan diawali dengan evaluasi serangan OPT dengan nilai ambang ekonomi AE sebanyak 3 responden dari 28 responden atau sebesar 10,71 . Berdasar data tersebut selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk membedakan perilaku penggunaan pestisida berdasarkan waktu aplikasi, diperoleh nilai p : 0,036 yang berarti lebih kecil dari nilai α, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang dignifikan antara kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT pada waktu aplikasi pestisida Tepat Cara Penggunaan : Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 pasal 15 yang menjelaskan bahwa penggunaan pestisida bertujuan untuk 108 mengendalikan OPT harus dilakukan secara tepat guna dan pasal 16 menjelaskan bahwa pestisida selain berperanan dalam pengendalian OPT juga mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia maka harus dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan demikian penggunaan pestisida selain berorientasi pada pengendalian organisme pengganggu tanaman juga harus memperhatikan cara aplikasinya dilapangan yang dapat dilakukan dengan 1 penaburan bentuk butiran pada pestisida yang bersifat sistemik dengan OPT sasaran yang hidup dalam jaringan tanaman atau di dalam tanah; 2 Penyemprotan apabila pestisida dalam bentuk emulsi, larutan dan suspensi; 3 cara penghembusan biasanya dilakukan terhadap pestisida formulasi tepung atau debu dust, sehingga alatnya disebut duster; 4 cara pengumpanan yaitu mencampur pestsida dengan makanan atau bahan-bahan tertentu yang disukai OPT sasaran dan 5 cara fumigasi apabila aplikasinya dalam bentuk gas fumigan dengan cara fumigasi, pada umumnya untuk mengendalikan hama gudang. Tabel 27 Cara penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan cara Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai Tepat 19 67,86 10 35,71 z: -2,385 Tidak Tepat 9 32,14 18 64,29 ρ: 0,017 Jumlah 28 100 28 100 Bawang merah Tepat 15 53,57 9 32,14 z: 1,606 Tidak Tepat 13 46,43 19 67,86 ρ: 0,108 Jumlah 28 100 28 100 Kubis Tepat 20 71,43 16 57,14 z: 1,106 Tidak Tepat 8 28,57 12 42,85 ρ: 0,269 Jumlah 28 100 28 100 Kentang Tepat 27 96,43 26 92,86 z: 0,558 Tidak Tepat 1 3,57 2 7,14 ρ: 0,556 Jumlah 28 100 28 100 Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran 94 dilakukan dengan cara penyemprotan, dikarenakan bahan yang digunakan dalam bentuk cair dan tepung yang diformulasikan menjadi suspensi, larutan atau emulsi, dan 6 dalam bentuk butiran. Penetapan ketepatan cara penggunaan pestisida selain indikator cara aplikasi juga memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga 109 penggunaan alat pelindung diri APD juga menjadi perhatian. Dengan demikian indikator ketepatan cara aplikasi pestisida didasarkan pada cara aplikasi menurut formulasi dan faktor kesehatan dan keselamatan kerja. Berdasarkan indikator tersebut maka cara aplikasi pestisida dibedakan menjadi dua macam yakni tepat dan tidak tepat. Tepat apabila cara aplikasi sesuai formulasi dan penggunaan alat pelindung diri APD yang lengkap. APD lengkap jika pengguna pestisida mengenakan baju lengan panjang yang berserat padat, pelindung tangan, kepala dan pernafasan. Dikategorikan tidak tepat apabila salah satu atau lebih aturan penggunaan tidak dilaksanakan. Tabel 27 menunjukkan bahwa cara aplikasi pestisida pada tanaman sayuran dikategorikan tepat banyak ditemui pada petani SLPHT dengan nilai rata-rata 72,32 . Pada petani Non SLPHT lebih banyak kategori tidak tepat 45,53 . Ketidaktepatan cara aplikasi pestisida 98 disebabkan oleh penggunaan alat pelindung diri yang tidak lengkap sedang 2 karena kesalahan aplikasi formulasinya. Keselahan formulasi ini banyak didorong oleh keinginan para petani untuk membuat formula baru yang diyakini oleh para petani bahwa akan lebih beracun. Tingginya nilai persentase pada petani SLPHT kategori tepat 72,32 jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT 45,53 disebabkan oleh pengetahuan tentang pestisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Sebagaimana substansi SLPHT di dalamnya mengandung muatan Tepat Jenis Sebelum pestisida digunakan oleh petani untuk pengendalian, yang harus dilakukan adalah analisis agroekosistem. Analisis agroekosistem bertujuan untuk menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan dan jenis hama atau penyakit yang menyerang. Penetapan jenis tanaman dan OPT yang menyerang sudah jelas maka tindakan lanjutan adalah menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan. Serangan OPT jenis serangga menggunakan insektisida, tikus dengan rodentisida dan seterusnya. Data hasil survey dan wawancara dengan petani sebagaimana tertera pada Tabel 28 menggambarkan bahwa petani pada umumya telah mengetahui jenis yang akan digunakan untuk mengendalikan OPT yang menyerang pada tanaman 110 yang dibudidayakan dengan nilai rata-rata 94,19 dinyatakan tepat jenis. Sebagian kecil dari petani tidak tepat jenis dalam pengunaaan pestisida 5,80 banyak disebabkan oleh kebingungan petani dalam menhadapi serangan OPT yang yang terjadi secara cepat dan belum ada formulasi pestisida yang mampu mengendalikannya. Sehingga langkah yang dilakukan oleh sebagian kecil petani ini untuk melakukan uji coba formulasi baru dengan mencampur beberapa pestisida yang telah ada. Sulistiyono 2002 yang menyatakan bahwa petani akan melakukan inovasi untuk memperoleh komposisi campuran 2 dua, 3 tiga atau lebih pestisida yang diharapkan mampu menanggulangi serangan OPT tertentu. Tabel 28 Ketepatan jenis penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan cara Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai Tepat 28 100 26 92,86 ρ: 0,154 Tidak Tepat 2 7,14 Jumlah 28 100 28 100 Bawang merah Tepat 26 92,86 24 85,71 ρ: 0,392 Tidak Tepat 2 7,14 4 14,29 Jumlah 28 100 28 100 Kubis Tepat 28 100 27 96,43 ρ: 0,317 Tidak Tepat - - 1 3,57 Jumlah 28 100 28 100 Kentang Tepat 27 96,43 25 89,29 ρ: 0,304 Tidak Tepat 1 3,57 3 10,71 Jumlah 28 100 28 100 Dilihat dari komposisi data pada Tabel 28 terlihat bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir sama dalam menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan dalam pengendalian OPT. Hasil uji statistik pada semua komoditas dihasilkan nilai p lebih rendah dari nilai α yang berarti bahwa pada petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda nyata menurut ketepatan jenis penggunaan pestisida. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakadanya perbedaan disebabkan oleh peran distributor, formulatorsales pestisida dan peran aktif petani untuk mencari informasi kepada sesama petani yang dipercaya memiliki kemampuan lebih dalam pengendalian OPT sejenis. 111 Pestisida yang sering digunakan oleh petani adalah golongan organofosfat 28,2, karbamat 23,2, piretroid 31,5, insect repellent zat penolak serangga, plant growth regulators dan jenis lainnya.

5.3. Persepsi Petani dalam Penggunaan Pestisida pada tanaman Sayuran

5.3.1.Karakteristik Responden Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pestisida telah dilakukan survei terhadap 224 responden atau petani di wilayah penelitian yakni Kabupaten Nganjuk, Kediri, Malang dan Probolinggo. Karakteristik responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah umur, lama bertani, pendidikan, dan tingkat pendapatan yang diterima. Distribusi karakteristik responden pada empat lokasi penelitian disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran karakteristik responden petani sayuran empat kabupaten di Jawa Timur tahun 2006 Karakteristik responden Kategori pengukuran Komoditas Total B. merah Cabai Kubis Kentang n n n n n Umur Muda 19 tahun 0 0 0 0 0 0 0 Dewasa 20–55 tahun 49 21,9 46 20,5 47 20,9 51 22,8 193 86,2 Tua 56 tahun 7 3,1 10 4,5 9 4,0 5 2,3 31 13,8 Total 56 25,0 56 25,0 56 24,9 56 25,1 224 100 Pendidikan Tidak tamat SD 2 0,9 4 1,8 2 0,9 3 1,3 11 4,9 Dasar SD-SLTP 31 13,8 32 14,3 18 8,0 32 14,3 113 50,5 Menengah SMU tamat 19 8,5 16 7,1 30 13,4 18 8,0 83 37,1 Tinggi D1- Sarjana 4 1,8 4 1,8 6 2,7 3 1,3 17 7,5 Total 56 56 56 56 224 100 Lama Bertani 5 th 3 1,3 6 2,6 4 1,8 6 2,6 19 8,5 5-10 th 8 3,6 13 5,8 19 8,5 11 4,9 51 22,7 10 th 45 20,1 37 16,5 33 14,7 39 17,4 154 68,8 Total 56 56 56 56 224 100 Pendapatan Rendah Rp 750.000,- 7 3,1 4 1,8 3 1,3 0 0 14 6,3 Sedang Rp 750.000-Rp 1.250.000 27 12,1 19 8,5 21 9,4 15 6,7 82 36,6 Tinggi Rp 1.250.0000,- 22 9,8 33 14,7 32 14,3 41 18,3 128 57,1 Total 56 56 56 56 224 100 112 Tabel 29 memperlihatkan bahwa responden di empat kabupaten paling banyak berumur dewasa 20-55 tahun sebanyak 86,2 dan sedikit berumur tua 55 tahun sebanyak 13,8 serta yang berumur kurang dari 20 tahun tidak ditemukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut berada pada usia kerja yang produktif. Memperhatikan proporsi umur paling banyak berumur lebih dari 20 tahun maka frekwensi lama bertani paling banyak lebih dari 10 sepuluh tahun yakni 68,8 dan yang paling sedikit kurang dari 5 lima tahun yakni 7,5 . Hal ini menggambarkan bahwa responden telah memiliki pengalaman yang cukup banyak di budidaya pertanian sayuran. Pendidikan petani empat komoditas dikategorikan berpendidikan rendah atau banyak yang berpendidikan dasar yakni tamat SD dan SLTP sebanyak 50,5 bahkan tidak tamat SD atau tidak sekolah sebanyak 4,9 , namun para petani ada yang berpendidikan lanjutan menengah SLTA sebanyak 37,1 . Sedikit sekali masyarakat yang berpendidikan tinggi tamat perguruan tinggi sarjana maupun diploma yakni 7,5 . Mayoritas responden berpendidikan dasar kebawah inilah yang mempengaruhi daya serap dan cerna informasi yang diterima oleh petani sehingga human resources menjadi rendah. Jika dilihat dari tingkat pendapatannya petani sayuran dikategorikan berpendapatan tinggi mencapai 57,1 , sedang berpendapatan sedang 36,6 dan rendah hanya 6,3 . Hal in tentunya dapat dimengerti bahwa usaha di bidang budidaya pertanian tanaman sayuran digolongkan usaha dengan nilai investasi tinggi mengingat input usaha yang besar. Sesuai dengan pendapat Setiawati 2006 yang menyatakan bahwa usaha budidaya tanaman sayuran memiliki prospek benefit yang tinggi namun pada kondisi tertentu dimana hight material supply terjadi penurunan yang sangat draktis. 5.3.2. Persepsi Petani tentang Pestisida Persepsi adalah pandangan atau pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal yang ditangkap melalui panca indra Notoadmojo 2003. Persepsi petani tentang pestisida dapat didefinisikan secara operasional adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani melalui panca indra tentang pestisida. Pengetahuan masyarakat petani sayuran mempunyai peranan yang penting dalam penggunaan pestisida dalam upaya pengendalian OPT tanaman sayuran. Oleh sebab itu, untuk