47
Showing yang
dimaksud adalah
pelatih atau
pembina memperlihatkan suatu objek yang dapat memberikan penjelasan materi
secara detail, baik berupa teknik, instrument, dan segala sesuatu yang membutuhkan peragaan dan pameran.
88
Imitation atau imitasi adalah meniru suatu objek sama seperti objek aslinya. Kegiatan imitasi biasanya dilakukan setelah mengamati
suatu objek. Peran pembina dalam hal ini tidak ubahnya menirukan teknik-teknik penulisan, menirukan contoh tulisan kaligrafi dengan
detil, jelas, praktis dan seketika itu juga santri melakukan aktifitas pengamatan observing. Kedua asas diatas antara ustad dan santri
terjadi secara
simultan, dan
pada akhirnya
santri mampu
mempraktikkan apa yang telah ia amati dan ia tirukan.
89
Practicing adalah mempraktekkan suatu kerja atau karya setelah melakukan imitasi, yaitu peniruan teknik, atau karya sang
expert.
90
Setelah pembina expert of calligraphy memperlihatkan dan menirukan teknik penulisan kaligrafi tersebut, selanjutnya santri
mempraktekkan apa
yang telah
dilakukan pembina.
Dengan mengimitasi dan mempraktekkan teknik menulis atau karya sang
expert, diharapkan minat peserta pelatihan meningkat, merasa tertantang, sehingga tertanam kesan yang mendalam dan kesenangan
yang begitu berarti. Ketika program pelatihan usai, ia tetap memiliki minat yang tinggi, dan tetap semangat untuk latihan kaligrafi secara
mandiri. Jika pembina mampu menerapkan ketiga asas diatas, maka setiap individu boleh jadi semangat latihan, sehingga memungkinkan
88
Peter Newsam, “Training and Trainee: The Principles and Methods in Transforming Skills”,....
89
Peter Newsam, “Training and Trainee: The Principles and Methods in Transforming Skills”,....
90
Peter Newsam, “Training and Trainee: The Principles and Methods in Transforming Skills”,....
Draft Only
48
terjadinya lingkungan latihan belajar yang sudah terkontrol. Inilah yang disebut adapting.
91
Sebagai tambahan, Stone Neilsen menawarkan dalam pelatihan sebaiknya menggunakan asas pengulangan repeatition.
Asas pengulangan ini memelihara usaha-usaha mandiri murid atau santri dalam belajar mandiri, dan mengontrol kelas. Dapat dikatakan
asas ini adalah lanjutan dari asas adapting. Gunanya adalah memicu aspek afektif maksudnya minat dan memotivasi. Dengan adanya asas
kelima ini, akan terciptanya timbal balik antara santri dengan pembina, santri dengan program pelatihan, santri dengan praktek dan karyanya.
Lebih lanjut, Stone Neilsen menjelaskan bahwa asas pengulangan akan membuka peluang tercapainya tujuan pelatihan dengan tepat, dan
minat semakin meningkat.
92
Jika disesuaikan
dengan asas-asas
diatas, Syaharuddin
menentukan ada 8 metode yang seusai diterapkan dalam pelatihan ini. Diantaranya adalah metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab,
permainan, drill, SAS, pemberian tugas, dan karya wisata. Penulis berpendapat, ustad tidak mungkin melakukan semuanya. Oleh karena
itu metode yang memiliki relevansi kuat adalah metode demonstrasi, SAS, tanya jawab, dan metode ceramah.
93
Pertama, metode demonstrasi merupakan pilihan pertama yang
membantu transformasi pengetahuan dan skill dengan efektif, sebab sangat membantu santri mengamati suatu proses atau peristiwa
tertentu. Sesuai dengan asas observing diatas, seorang ustad hendaknya menyajikan materi dengan memperagakan dan menirukan teknik atau
cara-cara menulis dengan baik dan benar. Dalam penerapannya, terkadang metode ini membutuhkan
seorang ustad sebagai pembina utama yang memperagakan di depan,
91
David R. Stone Elwin C. Neilsen, Educational Psychology: The Developpment of Teaching Skills, New York: Harper Row Publisher, 1982, h. 286.
92
Stone Neilsen, Educational Psychology,..., h. 286.
93
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 43.
Draft Only
49
serta dibantu oleh dua atau tiga orang asisten yang keliling memberikan bimbingan persuasif tiap-tiap santri yang masih dirasa
perlu diperhatikan. Metode ini kerapkali diselingi dengan metode ceramah yang membutuhkan penjelasan secara
verbal.
94
Kalau memperagakan
menstimulir mata
atau pandangan,
penjelasan menstimulir
pendengaran, semakin
efektif dan
baiknya guru
menerapkan dua metode tadi maka semakin utuhnya perhatian interest attention santri.
Proses transformasi materi diatas terbagi atas 2 tahap, sebagaimana berikut:
1 pengenalan hakikat khat, yang terdiri dari gaya, kaidah penulisan, dan
teknik penulisan
yang muktabar,
sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syekh Syamsuddin al-Afkani dalam kitabnya Irsyâd Al-Qasyîd bab “Hasyr al-‘Ulûm” mengutip dari Sirojuddin,
yaitu:
“khat adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara-cara merangkaikannya menjadi
sebuah tulisan yang tersusun, atau huruf apa saja yang ditulis diatas garis, bagaimana cara mengolahnya menulisnya dan menentukan apa
saja yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana menggubahnya.”
2 Menunjukkan dan menguraikan secara detail poin-poin yang termaktub dalam definisi diatas, diantranya adalah:
a. khat sebagai ilmu atau sains yang memiliki ukuran-ukuran yang matematis bermetode, oleh karena itu tidak boleh asal
gores tanpa menerapkan kaidah atau aturan penulisan yang diakui.
b. Pengenalan huruf tunggal secara detail, lalu beralih pada huruf sambung dengan menggunakan standar alif, titik belah ketupat,
dan lingkaran rumusan Ibnu Muqlah. c. Sistem tata letak lay out yang menentukan kelayakan huruf-
huruf diposisikan pada tempatnya.
94
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 46-47.
Draft Only
50
d. Tata susun atau komposisi yang membentuk harmoni rangkaian khat yang tersusun secara proporsional.
e. Penggunaan garis sebagai pedoman mana huruf yang berada diatas garis, dan meluncur ke bawah menabrak garis.
f. Cara menggorekan huruf, yang dibarengi penjelasan. Misalnya
cara menuliskan huruf ‘ain mulai dari kepalanya yang berbentuk alis atau bulan sabit—sebagai ilustrasi—dan cara
menggerakkan tangan dan ujung kalam, dan sebagainya. g. Menentukan beberapa larangan dalam penulisan, misalnya
larangan mencampur-baurkan kaidah khat naskhi atas khat sulus, nibrah naskhi ditulis dengan khat sulus, dan sebagainya.
Oleh karenanya, ustad harus membimbing bagaimana presisi dan penentuan hak huruf sesuai dengan kaidah dan gaya khat
masing-masing, karena semua gaya khat itu memiliki karakter tersendiri.
h. Teknik penguasaan menggubah huruf dengan matang, misalnya penulisan variasi huruf mim atau jim baik di awal, tengah, atau
akhir. 3 Mengingatkan
kembali prinsip-prinsip
pembinaan huruf
sebagaimana hadis Rasulullah ketika membina Abdullah dengan mengutip
dari Sirojuddin
yang artinya
“wahai Abdullah,
renggangkan jarak spasi, susunlah huruf dalam komposisi, peliharalah proporsi dalam bentuk-bentuknya, dan berilah hak-
hak setiap huruf.”
95
Kedua, metode tanya jawab. Metode ini menekankan aspek
umpan balik dua arah antara santri dengan ustadnya secara aktif. Tradisi dalam pembelajaran pada umumnya murid bertanya lalu guru
menjawab.
96
Santri yang perhatiannya fokus terhadap demonstrasi dan penjelasan ustad diatas biasanya berperan lebih aktif dan kritis,
95
Sirojuddin, Pelatihan Kaligrafi Menyongsong MTQ, Jakarta:Studio Lemka, tt, h. 1-4.
96
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 48.
Draft Only
51
sehingga persepsi dan perkembangan kognisinya dapat terukur. Metode ini membantu santri untuk mengatasi kekurangan-kekurangan
atas ketidakpahaman dan kelemahannya dalam teknik menggores secara deatil.
Ketiga, metode SAS, yaitu Struktur Analisa dan Sintesa. SAS
merupakan aktifitas yang harus ditanamkan kepada santri agar mereka mampu 1, menganalisa penguasaan huruf secara detail setelah
demonstrasi, penjelasan,
dan tanya
jawab dengan
ustad, 2,
menerapkan teori dengan menghubungkan konsep, 3, menggunakan kaidah penulisan baik format susunan, menggubahnya, menyusunnya
kembali analyze, construct, syntheza. Manfaatnya adalah agar santri mampu mencoba bentuk-bentuk sehingga mengarahkan mereka dalam
menemukan gaya baru dan teknik baru.
97
Dalam penerapannya, guru harus melakukan struktur, menganalisa, dan menyusunnya kembali,
kemudian santri dituntut untuk lebih mandiri menerapkan cara-cara diatas. Boleh jadi ustad menginstruksikan santri mencontohkan
goresan di hadapan santri lain, kemudian menganalisis, menggubah, merekonstruksi dalam berbagai format yang ia sukai. Model seperti ini
lebih cocok diterapkan bagaimana santri seolah-olah mengajar di depan teman-temannya teaching simulation.
Keempat, metode ceramah, walau pun metode ini banyak
kekurangan akan tetapi metode ini merupakan pengantar atau penyeling ketiga metode diatas. Metode ceramah sangat umum
dipakai, oleh karena itu penguasaan bahasa harus sesuai dengan audiens agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman. Keunggulan metode
ini adalah 1, materi dapat disampaikan dalam relatif waktu yang singkat, 2, penguasaan kelas jangkauannya luas, 3 waktunya
fleksibel. Kekuragannya adalah sebagian santri boleh jadi pasif sebab ustad tidak mengkombinasikan ketiga metode seperti diatas.
98
97
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 49.
98
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 45.
Draft Only
52
b. Motivasi: Internalisasi Kepribadian Santri
Motivasi sangat dibutuhkan dalam belajar, sebab seseorang yang tidak memiliki motivasi dalam belajar tidak akan mungkin
melakukan aktifitas belajar. Dan segala sesuatu yang menarik minat orang lain belum tentu menarik minat kita selama sesuatu itu tidak
bersentuhan dengan kebutuhan kita. Seseorang yang melakukan aktivitas belajar tanpa adanya motivasi dari luar dirinya maka motivasi
intristik merupakan faktor yang sangat penting dalam aktifitas belajar, dorongan dari luar dirinya, merupakan faktor ekstrinsik yang
diharapkan. Oleh karena itu motivasi ekstrinsik diperlukan jika motivasi instrinsik tidak ada dalam diri seseorang.
99
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah minat bisa menjadi motivasi? Bisa. Alisuf Sabri menjelaskan bahwa minat
menjadi pendorong timbulnya tingkah laku dan tingkah laku itu terjadi secara simultan. Motivasi sebenarnya terbagi dua, 1, intrinsik dan
2, ekstrinsik. Minat intrinsik erat hubungannya dengan tujuan individu
mempelajari sesuatu, misalnya ingin mengetahui, ingin memahami, ingin memperoleh, ingin menguasai, ingin mencoba, ingin melakukan,
dan sebagainya. Berarti, minat itu adalah salah satu motivasi yang ada dari dalam individu, dan pengaruhnya sangat besar dalam belajar
sebagai “motivating force”.
100
Adapun motivasi yang berasal dari luar diri individu, disebut motivasi eksterinsik. Motivasi ini tidak ada hubungannya dengan
kecenderungan individu minat sebab ia berasal dari luar.
101
Faktor- faktor yang berasal dari luar individu merupakan organisme yang
saling mempengaruhi antara satu dan yang lainnya terhadap minat
99
Syaiful Bahri, Psikologi Belajar,..., h. 115
100
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 39
101
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 85.
Draft Only
53
motivasi intrinsik. Jadi, kedua motivasi ini mempengaruhi minat belajar atau latihan santri.
102
Mengenai motivasi terhadap minat ini, Skinner mengatakan bahwa untuk memperkuat hubungan S – R dengan menciptakan
operant atau reinforcement, yaitu stimulus yang dapat memberikan penguatan baik berupa hadiah, pujian, atau sejenisnya untuk sikap
pembelajaran yang baik. Adapun hukuman—sesuai dengan etika— sebagai ganjaran untuk sikap yang negatif. Oleh karena itu, dalam
literatur psikologi teori ini penting dikembangkan dengan tujuan untuk membentuk
sikap belajarlatihan
yang positif
behavioral modification.
103
Ini telah lama diterapkan dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam al-Quran dinyatakan bahwa siapa saja yang
melakukan kebaikan akan diberi ganjaran yang baik, dan siapa saja yang melakukan tindakan negatif akan diberikan ganjaran yang tidak
baik.
104
Hal senada sebenarnya telah diperkuat Rasulullah SAW, bahwa dengan mempelajari kaligrafi mudah-mudahan kita memperoleh
kehidupan yang baik, dan dosa-dosa diampuni. Inilah prinsip metafisika yang diajarkan Rasulullah dengan sabdanya mengutip dari
Tim 7 Lemka yang artinnya:“Barang siapa yang menulis ‘Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm’ dengan tulisan indah kaligrafi maka ia berhak
masuk surga”.
105
Yang tak kalah pentingnya adalah seorang guru atau ustad melakukan internalisasi kepada santri sebagai motivasi yang tepat
sesuai ideologi asas didaktik dan metodik yang telah diungkapkan tadi.
106
Ada tiga tahapan proses internalisasi dalam pendidikan dan
102
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 86.
103
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,..., h. 92-98.
104
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 65.
105
Dikutip dari Tim 7 Lemka, Pak Didin Menabur Ombak Kaligrafi, ....., h. 52
106
Kata internalisasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu “internalization”, yang berarti
penghayatan. Kata penghayatan peng+hayat+an dalam kamus elektronik Indonesia-Inggris dan
Draft Only
54
pelatihan, yaitu 1, transformasi nilai, 2, transaksi nilai, 3, transinternalisasi.
107
Secara sederhana dapat penulis simpulkan bahwa internalisasi atau penghayatan adalah proses penanaman nilai-nilai berupa sikap
dan tingkah laku secara alamiah oleh seorang guru atau pembina kaligrafi terhadap santri yang terjadi dalam proses pembinaan kaligrafi
al-Quran baik berupa gagasan, kepribadian, dan kultur yang berlaku di sekitarnya,
yang pada
akhirnya timbul
kesadaran untuk
menghayatinya. Berikut ini penulis uraikan tahapan internalisasi kepribadian ustad
Pertama, transformasi
nilai adalah
penanaman dan
memahamkan kepada santri akan nilai-nilai baik buruk, indah jelek, berharga atau tidak, terpuji dan tercelanya suatu objek.
108
Dengan mengadopsi
diklat kaligrafi,
seorang pembina
hendaknya mencerminkan kepribadian yang baik menurut tata etika sebagai
seorang guru, menunjukkan karyanya yang indah sebagai bukti bahwa ia ahli, menjelaskan betapa berharganya belajar dan latihan kaligrafi
bagi kehidupan murid, atau terpujinya orang yang senang memuliakan kalam Allah.
Secara alami, santri akan termotivasi untuk tetap semangat latihan, semakin banyak yang latihan mandiri, maka semakin
terciptanya lingkungan belajar yang kondusif.
109
Kedua, transaksi nilai adalah penanaman nilai-nilai diatas
secara dua arah direct current antara pembina dan santri dengan mengharapkan adanya timbal balik feed back sebagai konsekwensi
Inggris-Indonesia berarti 1, “understanding, comprehencion, experiencing oneself”, 2, dan atau penghayatan. Dan dalam kamus The New Oxford Dictionary of English, “internalization” berarti:
[verb+obj] internalize make attitudes or behaviour part of ones nature by learning or unconscious assimilation, incorporate costs as part of.
107
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan standar Kompetensi Guru,..., h. 163.
108
Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan standar Kompetensi Guru,..., h. 163.
109
Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan standar Kompetensi Guru,..., h. 163.
Draft Only
55
atas program yang ditekuni. Penekanan setelah teknik transformasi diatas lebih memantapkan minat santri untuk latihan menulis kaligrafi
al-Quran. Dalam hal ini, seorang santri dapat berinteraksi dengan pembinanya secara pribadi, atau pembina berinisiatif memberikan
arahan dan penanaman nilai-nilai tersebut. Teknik belajar seperti ini dalam lingkungan pesantren dikenal dengan “musâfahah”.
Ketiga, transinternalisasi merupakan penanaman nilai-nilai
pokok dan menjadi tujuan utama dalam memupuk minat santri secara emosi. Transinternalisasi adalah hasil sintesa antara transformasi dan
transaksi nilai
yang disebutkan
diatas.
110
Contohnya dengan
menyusupkan ilmu-ilmu hikmah mengapa kaligrafi penting dipelajari, adab seorang khattat, kepribadian guru, dan sekaligus memotivasi dan
mengarahkan santri agar menjadi seorang khattat yang ulung, cerdas, berakhlak baik, dan mandiri dalam kehidupan dan ekonomi.
Dengan adanya internalisasi dalam program latihan kaligrafi al-Quran, santri mampu memahami kaligrafi secara komprehensif, sehingga
menjadi pengalaman tersendiri yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Pada tahap inilah motivasi seorang pembina berperan. Dengan
transinternalisasi, seorang santri diklat kaligrafi merasa bangga dan senang atas bakat yang dimilikinya. Dengan internalisasi ini,
diharapkan mampu
membentuk sikap
pembelajaran yang
mandiri,kepribadian santri yang matang, jiwa yang tenang, dan prestasi yang gemilang.
Dapat penulis simpulkan, bahwa motivasi itu berfungsi sebagai:
a membentuk sikap yang pasti untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b mendorong orang untuk berbuat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
110
Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan standar Kompetensi Guru,..., h. 164.
Draft Only
56
c penentu arah atau perbuatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
d Menyeleksi tindakan
atau usaha
atas tujuan
yang telah
ditetapkan.
111
2. Pesantren: Penerapan Metode Belajar di Pesantren
“Bagaimana cara belajar kaligrafi dalam lingkungan pesantren kaligrafi al-Quran Lemka?”
112
Pertanyaan ini kerap kali penulis dengar ketika seseorang bertanya tentang pengalaman belajar kaligrafi di
pesantren tersebut, atau ketika open dialoge pada perhelatan MTQ baik tingkat I ataupun Nasional. Dalam buku “Mengenal Pesantren
Kaligrafi al-Quran Lemka Sukabumi, Jawa Barat: Mengaji dan Berkreasi di Kampus Seniman Muslim” dirincikan bahwa cara atau
penerapan metode belajar kaligrafi yang berlaku adalah: a. Pengajaran diberikan dalam bentuk bimbingan dan pengarahan.
b. Kegiatan harian terfokus pada tugas-tugas mandiri c. Menguasai seluruh aliran dan gaya kaligrafi secara bertahap.
d. Bimbingan penguasaan huruf diberikan kepada santri yang memiliki modal dasar atau nol, dan bimbingan pendalaman dan
kreatifitas pengolahan karya kepada santri yang sudah memiliki dasar kuat.
e. Belajar dan praktik menulis dan melukis di berbagai media. f.
Praktik mengajar melalui latihan pembinaan pelatihan dan mengajar orang lain.
111
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 86.
112
Dalam penelitian Cliffort Geertz disimpulkan bahwa kata santri memiliki arti yang sempit dan luas. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut
pondok pesantren atau pesantren. Oleh sebab itu perkataan pesantren diambil dari kata santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah populasi penduduk Jawa yang
memeluk Islam dengan benar, sholat ke masjid, dan berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Jadi, seseorang yang menimba ilmu di pesantren kaligrafi al-Quran Lemka disebut santri Lemka,
sedangkan pesantrennya disebut pesantren Lemka oleh masyarakat luas. Untuk definisi pesantren lebih lengkap lihat, Cliffort Geertz, Abangan Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, penerjemah
Aswab Mahasin [judul asli: The Relegion of Java, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983], cet.ke-2, h. 256.
Draft Only
57
g. Mengikuti aneka lomba kaligrafi di pelbagai instansi dan kesempatan.
h. Latihan mengembangkan wawasan dan apresiasi. i.
Mengikuti program ekstravaganza dan safari seni. j.
Latihan kesanggaran. k. Membuat karya-karya master untuk program pameran dan
pemasaran.
113
Menurut teori
ilmu jiwa
asosiasi, belajar
hakikatnya memperkuat hubungan stimulus dengan respon, dengan rumus S-R =
Bond, yang
dikenal dengan
dua macam
teori, yaitu
1, Connectionisme theory oleh Thorndike, 2, Conditioning Theory.
Conditioning theory juga terbagi tiga, antara lain 1, classical conditioning theory oleh Pavlov, 2, Operant Conditioning Theory
oleh Skinner, dan Conditioning Theory oleh Guthrie. Pada intinya semua teori diatas sama-sama memperkuat hubungan stimulus atas
respon, perbedaannya
hanya terletak
bagaimana cara
menerapkannya.
114
Khusus diklat kaligrafi manapun, hubungan stimulus dan respon dalam situasi pembelajaran
menurut connectionisme theory menekankan Law of Exercise atau Law of Use and Disuse, yaitu
memperbanyak latihan, ulangan dan pembiasaan untuk meningkatkan kecakapan
motorik menulis
kalligrafi, yang
pada akhirnya
meningkatkan kualitas karya.
115
Secara umum penulis kelompokkan penerapan gaya belajar diatas menjadi tiga bagian, 1, latihan mandiri, 2, pemberian tugas,
3, karya wisata.
113
Departemen Informatika dan Kontak Kelembagaan Lemka, Mengenal Pesantren Kaligrafi al-Quran Lemka sukabumi, Jawa Barat: Mengaji, dan Berkreasi di Kampus Seniman
Muslim, Jakarta: Studio lemka, 2002, h. 16.
114
James E.Mazur, Learning. Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008. Artikel diakses pada 30 Oktober 2009 dari Microsoft ® Encarta ®
2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.
115
Alisuf, Psikologi Pendidikan,..., h. 64-65.
Draft Only
58
Pertama, metode latihan mandiri adalah metode yang paling
tepat. Latihan mandiri menggunakan perangkat yang sesuai dengan kebutuhannya lebih banyak melibatkan santri dengan cara mengulang-
ulang terus apa yang telah diperoleh dari ustad ketika penyampaian materi.
116
Metode ini sangat cocok sekali diterapkan pada tiap pribadi santri agar mereka memiliki kecakapan psikomotorik. Meminjam
istilah John E. Colman, latihan mandiri disebut juga “the self activity and sense realism method”, yaitu kegiatan mengekspresikan atau
mengalirkan energi emosi positif agar seseorang memperoleh pelatihan yang sempurna, dan anjuran-anjuran teknisnya.
117
Oleh karenanya, gaya belajar pola ini menekankan keseriusan dan berusaha menguasai
materi secara
mendalam, serta
memikirkan bagaimana
cara mengaplikasikannya.
Pendekatan gaya belajar yang cocok diterapkan dalam metode latihan mandiri ini adalah achieving, yang pada umumnya dilandasi
oleh faktor ekstrinsik yang berciri khusus dengan menekankan ego enhancement. “Ego enhancement” adalah ambisi pribadi yang besar
dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar ini lebih serius lagi, sebab
faktor intrinsik sebagai pengaruh kuat yang mampu membentuk dynamic force seseorang atau penggerak segala daya yang ada pada
diri individu.
118
Pendekatan metode
belajar ini
harus diciptakan
dalam lingkungan atau situasi belajar, sebab lingkungan yang memiliki ragam
minat dalam beberapa faktor yang mempengaruhi menjadi suatu sistem kekuatan dinamika antara beberapa individu terhadap individu
lainnya.
119
Sistem ini akan membentuk kebiasaan dalam tingkah laku
116
Syaharuddin, Kaligrafi al-Quran dan Metodologi Pengajarannya,..., h. 49.
117
John E. Colman, The Master Teaching and the Art of Teaching, USA: Pitman Publishing Corp., 1967, h. 86
118
Muhibbin, Psikologi Belajar,..., h. 139.
119
Muhibbin, Psikologi Belajar,..., h. 140.
Draft Only