DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai
dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi Pasaribu 1999. Pelaksanaan pengelolaan DAS pada umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu:
1 pengelolaan tanah melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas; 2 pengelolaan sumberdaya air melalui usaha pengembangan sumberdaya air; 3
pengelolaan hutan; dan 4 pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan Syahrir 2002.
1 Pengelolaan air di Hulu DAS
Konservasi secara natural dan artifisial mutlak dilakukan di seluruh wilayah permukaan DAS. Terdapat dua tuntutan untuk wilayah hulu dalam hal penyediaan
air yaitu untuk mensuplai kebutuhan pertanian dan untuk memasok air di wilayah hilir. Masalahnya untuk wilayah ini adalah akses terhadap infrastruktur, teknologi
dan dana yang diterima sangat terbatas, dibandingkan wilayah hilir. Perlu dicari formula untuk meningkatkan penyediaan air tanah melalui pengembangan panen
hujan dan aliran permukaan dengan teknologi sederhana, murah dan dampaknya dapat dinikmati langsung oleh orang yang melakukannya sehingga mudah
disosialisasikan kepada masyarakat. Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air
di DAS adalah dengan pembuatan dam parit linier dalam kaskade dipilih sebagai model untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air DAS baik yang berasal dari
aliran permukaan maupun aliran dasar. Pengembangan konsep penggunaan kembali sumberdaya air diperlukan untuk memaksimalkan nilai tambah air
sekaligus meminimalkan resiko pertanian. Pada saluran utama, air yang terdapat di wilayah hulu akan ditampung oleh “reservoir” dam parit di wilayah hulu, air
tersebut digunakan untuk irigasi di petakan di bawahnya. Kemudian air yang keluar dari “outlet” petakan dan limpasan dari “spillway” dam parit di wilayah
hulu akan ditampung untuk mengisi recharge damp parit berikutnya yang terdapat di saluran utama di hilir untuk kemudian dengan mekanisme yang sama
didistribusikan ke petakan reuse di bawahnya dan seterusnya.
Berdasarkan estimasi curah hujan dan aliran permukaan yang dapat dipanen dan jumlah defisit air untuk kondisi wilayah tersebut, maka dimensi dam parit
ditetapkan berdasarkan volume atau daya tampung sungai dan tinggi genangannya. Posisi dam parit ditetapkan dengan memperhitungkan tiga hal: 1 kapasitas
tampung air maksimalnya, 2 kemudahan distribusi air untuk suplemen irigasi, dan 3 biaya yang paling efisien. Berdasarkan informasi luas dan letak derah
irigasi yang direncanakan, maka dapat dihitung total kebutuhan irigasi wilayah tersebut, sehingga bisa ditentukan luas mikro DAS dan jumlah serta lokasi dam
parit yang akan dibangun Gambar 4.
Gambar 4 Konsep recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS Sumber: Irianto 2002
2 Pengelolaan air di Hilir DAS
Menekan banjir di wilayah hilir dapat dilakukan melalui dua cara: 1 mengurangi volume aliran permukaan dari hulu dan tengah melalui panen hujan
dan aliran permukaan; dan 2 membangun saluran drainase yang cukup memadai di hilir untuk mengalirkan kelebihan aliran permukaan ke laut. Konsep ini
termasuk didalamnya transfer air dari DAS basah ke DAS yang relatif kering. Sedangkan penanggulangan kekeringan dapat difokuskan melalui peningkatan
penambahan cadangan air tanah pada musim hujan untuk menambah pasokan air pada musim kemarau melalui irigasi suplemeter.
Keterangan: Reservoir
Outlet
Penelitian tentang DAS yang terdapat kaitannya dengan permukiman telah dilakukan oleh Da Costa, dan Cintra 1999, Basso, et al. 2000, Basnyat,F. et al.
2000, dan Frint, H. et al. 2003 dengan metode overlay menggunakan GIS. Beberapa penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa: 1 kehadiran
permukiman berdampak pada distribusi dan kelimpahan spesies liar, serta penyumbang kuat dari konsentrasi nitrat pada aliran sungai; 2 peta-peta
penggunaan lahan; 3 peta drainase; 4 peta erosi; 5 peta kemiringan; dan 6 peta potensi fisik.
2.5 Kebijakan 2.5.1 Kebijakan Perumahan dan Permukiman
Beberapa landasan awal yang dijadikan pedoman dalam menyusun kebijakan perumahan dan permukiman adalah Undang-Undang Pokok Agraria
No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup, Undang-Undang No.24 tahun 1992
tentang penataan ruang dan Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan pada dasarnya adalah bagian integral
dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah
didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian
dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah. Aturan tentang pembangunan perumahan dan permukiman selanjutnya diatur dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1982 yang memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman,
sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis,
ekologis, dan administratif. Guna melaksanakan pembangunan tersebut terdapat tiga isu yang harus
dihadapi, yaitu: 1 isu kesenjangan, baik kesenjangan antar unit perumahan antar
kota, antar kota dan perdesaam, antar pulau, antar kelompok masyarakat, maupun antar individu; 2 isu lingkungan, terjadi sebagai akibat pembangunan perumahan
yang kurang terencana sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan seperti banjir, penurunan muka tanah, meningkatnya suhu udara, penyempitan daerah
resapan, hubungan sosial yang tidak harmonis; dan 3 isu manajemen pembangunan, yaitu adanya kesepakatan dalam agenda 21, hasil KTT bumi Rio
de Janeiro dan rekomendasi serta hasil Konperensi Habitat II tahun 1996 yang menekankan perlunya pertimbangan keterbatasan sumberdaya alam,
pembangunan berkesinambungan, kelestarian lingkungan dan dorongan untuk menerapkan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat Departeman
Kimpraswil 2000. Kebijakan perumahan yang akan ditetapkan didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut: 1 Pembangunan perumahan dan permukiman diprioritaskan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar bagi golongan terbesar masyarakat; 2 Perumahan dan permukiman pada dasarnya adalah tanggungjawab masyarakat,
namun pemenuhannya menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah; dan
3 Pembangunan perumahan dan permukiman harus mengacu kepada prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan, melalui rencana tata ruang wilayah yang
dinamis, responsif dan transparan serta penata-gunaan tanah, air dan udara untuk mencapai kelayakan sebagai hunian baik diperkotaan maupun perdesaan
Departeman Kimpraswil, 2000. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat enam kebijakan perumahan dan
permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, yaitu: 1 pembangunan perumahan
dan permukiman yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat dengan mengutamakan masyarakat berpenghasilan rendah; 2 pembangunan
perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dalam rangka pembangunan perkotaan dan perdesaan yang seimbang menuju
terbentuknya sistem permukiman nasional yang mantap; 3 pemberdayaan masyarakat dan peningkatan peran serta para petaruh dalam pembangunan