Evaluasi Model Struktural Inner Model

Nurmayanti H, Bambang W Pemodelan Structural Equation M-238 pelayanan kesehatan dengan derajat kesehatan. Nilai negatif pada koefisien parameter artinya adalah semakin baik pelayanan kesehatan maka pengukur derajat kesehatan yaitu pada angka kematian bayi AKB akan menurun. Berdasarkan koefisien-koefisien parameter jalur yang diperoleh pada tabel 3.3 maka model persamaan struktural yang terbentuk adalah sebagai berikut : Derajat Kesehatan = - 0.213 Lingkungan - 0.098 Perilaku - 0.362 Pelayanan Kesehatan Tabel 3.4 Nilai R-Square R 2 Variabel Nilai R-Square R 2 Derajat Kesehatan 0.269 Sumber : Data Olahan SmartPLS Dari hasil model persamaan diatas diperoleh nilai R 2 untuk variabel derajat kesehatan sebesar 0.269, yang artinya nilai tersebut mengindikasikan bahwa variasi derajat kesehatan dapat dijelaskan oleh variabel konstruk lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan hanya sebesar 26.9 sedangkan sisanya yaitu sebesar 73.1 dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model penelitian. Seperti yang diketahui dalam indikator sehat 2010 faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan tidak hanya variabel konstruk lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Akan tetapi terdapat faktor lain yaitu seperti akses dan mutu pelayanan kesehatan, sumberdaya kesehatan, manajemen kesehatan, dan kontribusi sektor yang terkait. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel konstruk lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan hanya mampu menjelaskan 26.9 sebagai faktor terhadap derajat kesehatan, sedangkan 73.1 nya dijelaskan oleh variabel akses dan mutu pelayanan kesehatan, sumberdaya kesehatan, manajemen kesehatan, dan kontribusi sektor yang terkait. SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Estimasi parameter dari Structural Equation Modeling SEM berbasis varians dengan pendekatan Partial Least Squre PLS  Estimasi bobot yang diperoleh melalui mode A dan mode B Bobot pada mode A diperoleh melalui turunan pertama dari koefisien regresi sederhana dari Z j yaitu = , , sedangkan mode B diperoleh melalui turunan pertama dari vektor koefisien regresi berganda X jh yaitu =  Estimasi jalur yang diperoleh melalui estimasi inner model dan estimasi outer model yaitu diperoleh melalui skema centroid yaitu : = [ ] , skema faktor yaitu : = , dan skema jalur yang merupakan koefisien regresi berganda Y i dari Y j dan .  Estimasi rata-rata yang diperoleh yaitu = ∑ dan estimasi lokasi parameternya adalah konstanta untuk variabel laten endogen dan rata-rata untuk variabel laten eksogen. 2. Sedangkan Model fit dari Structural Equation Modeling SEM berbasis varians dengan pendekatan Partial Least Squre PLS terhadap derajat kesehatan didapatkan sebagai berikut : Model persamaan yang terbentuk yaitu : Derajat Kesehatan = - 0.213 Lingkungan - 0.098 Perilaku - 0.362 Pelayanan Kesehatan  Terdapat pengaruh antara kondisi lingkungan dengan indikator yang berpengaruh yaitu persentase keluarga yang memilki akses air bersih dan persentase keluarga yang memiliki Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-239 pengelolaan limbah terhadap derajat kesehatan sebesar -0.213 yang artinya semakin baik kondisi lingkungan maka pengukur derajat kesehatan dengan indikator yang berpengaruh yaitu AKB akan menurun sebesar 0.213 atau 21.3 dan sebaliknya.  Terdapat pengaruh antara perilaku hidup sehat dengan indikator yang berpengaruh yaitu persentase peran aktif masyarakat dalam posyandu dan persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif terhadap derajat kesehatan sebesar -0.098 yang artinya semakin baik kondisi perilaku maka pengukur derajat kesehatan dengan indikator yang berpengaruh yaitu AKB akan menurun sebesar 0.098 atau 9.8 dan sebaliknya.  Terdapat pengaruh antara pelayanan kesehatan dengan indikator yang berpengaruh yaitu persentase pertolongan persalinan dengan tenaga kesehatan dan persentase deteksi tumbuh kembang anak balita terhadap derajat kesehatan sebesar -0.362 yang artinya semakin baik kondisi pelayanan kesehatan maka pengukur derajat kesehatan dengan indikator yang berpengaruh yaitu AKB akan menurun sebesar 0.362 atau 36.2 dan sebaliknya. Saran Dalam penelitian ini masalah yang dikaji masih terbatas, oleh karena itu saran yang dapat diberikan untuk peneliti selanjutnya agar mengembangkan lagi model yang terbentuk misal, yang pertama dengan menggali lebih luas variabel-variabel yang dapat berpengaruh terhadap derajat kesehatan sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih baik terhadap perkembangan pembangunan di Jawa Timur, yang kedua dengan melakukan perbandingan metode SEM berbasis varians yang lain dengan data yang sama untuk melihat model yang paling fit, dan yang terahkir perlu di coba dengan skala data campuran untuk melihat sejauh mana tingkat kehandalan parameter PLS dalam mengatasai kasus dengan tipe data yang berbeda-beda. DAFTAR PUSTAKA Bollen K.A. 1989. Structural Equation with Laten Variabels. Departement of Sociology, John Wiley Sons, New York. Chin, W. 1998. The Partial Least Square Approach for Structural Equation Modeling. Cleveland. Ohio. Fornell, C. and Bookstein, F. 1982. Two Structural Equation Models: LISREL and PLS Applied to Consumer Exit-Voice Theory. Journal of Marketing Research.19. 440-452. Geisser,S. 1975. The Predictive Sample Reuse Method With Application. Journal of The American Statistical Association. Vol.70, 320-328. Ghozali dan Fuad, 2005, Structural Equation Modeling; Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.54, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Hair et al, 2006. Multivariate Data Analysis, Sixth Edition. New Jersey : Prentice Hall, Upper Saddle River. Kaslang, Ronny. J. 2010. Hukum Kesehatan: Dalam Perspektif Pelayanan Kesehatan Masyarakat Modern. Artikel dipublikasikan oleh Indonesian Legal Information. Juanda dan Wasrin 2001. Analisis hubungan antara tiga variabel konstruk yaitu meneliti variabel sumber daya manusia SDM yang dapat mempengaruhi pencapain ekonomi dan akhirnya nanti akan mempengaruhi kualitas hidup. Program Magister Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Surabaya. Jihan, S. 2010. Pemodelan persamaan structural pada derajat kesehatan dengan moderasai infrastruktur studi kasus di Provinsi Jawa Timur, SUSENAS 2007. Tugas Akhir Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Surabaya. Meilany, A.M.2009. Analisis Structural Equation Model SEM untuk Mengetahui Faktor yang mempengaruhi Derajat Kesehatan. Program Magister Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Skrondal dan Hesketh, 2005. Structural Equation Modeling Categorical Variable, Departemen of Statistics London School Economies and Political Science LSE, Graduate School of Education, Graduate Group in Biostatistics University of California. Nurmayanti H, Bambang W Pemodelan Structural Equation M-240 Talangko, L. 2009. Pemodelan persamaan structural dengan maximum likelihood dan bootstrap pada derajat kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan. Program Magister Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Surabaya. Wold, H. 1985. Partial Least Square. In S Kotz N.L.Johnson Eds. Encyclopedia of Statistical Sciences. Vol 8 pp. 587-599. New York. Wiley. Wijono, D. 2006. Indikator Statistik Vital Kependudukan Dan Kesehatan. Surabaya: CV. Duta Prima Airlangga. Wijayanto, 2008. Konsep dan Tutorial Structural Equation Modelling dengan LISRELL 8.8. Graha Ilmu, Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-241 ANALISA STABILITAS MODEL INFEKSI HTLV-I PADA SEL CD4 + T DENGAN LAJU INFEKSI NONLINIER DAN RESPON IMUN CTL YANG TERTUNDA Nur Aini S., Subiono Pascasarjana Matematika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya, Indonesia e-mail: aini10mhs.matematika.its.ac.id Abstrak Human T-cell Lymphotropic Virus type I HTLV-I merupakan anggota retrovirus yang menyebabkan penyakit Adult T-cell Leukemia ATL dan dapat menyerang susunan syaraf pusat yang menimbulkan penyakit “Tropical Spastic Paraparesis” TSP atau “HTLV-I Associated Myelopathy” HAM. HTLV-I menyerang sel CD4 + T yang merupakan salah satu komponen sistem imun sehingga menyebabkan terjadinya respon imun yang kuat dari sel CD8 + T atau Cytotoxic T-Lymphocyte CTL. Stimulus antigen yang membangkitkan CTL membutuhkan periode waktu yaitu respon CTL pada waktu t bergantung pada populasi antigen pada waktu sebelumnya yaitu − . Dalam makalah ini dibahas analisa stabilitas dari model infeksi HTLV-I pada sel CD4 + T dengan respon imun CTL yang tertunda. Pada model ini diasumsikan laju infeksi antara sel CD4 + T yang sehat dan yang terinfeksi adalah nonlinier, yaitu pada saat jumlah individu yang terinfeksi sangat banyak atau mencapai titik jenuh maka laju infeksi semakin menurun. Hal ini disebabkan karena adanya suatu tindakan perlindungan terhadap individu yang terinfeksi. Parameter waktu tunda dan parameter tindakan perlindungan terhadap individu yang terinfeksi menyebabkan terjadinya bifurkasi. Kata kunci : bifurkasi, HTLV-I, model infeksi virus, respon imun CTL, waktu tunda. PENDAHULUAN Human T-cell Lymphotropic Virus type I HTLV-I merupakan anggota retrovirus yang menyebabkan penyakit “Adult T-cell Leukemia” ATL dan dapat menyerang susunan saraf pusat serta menimbulkan penyakit “Tropical Spastic Paraparesis” TSP atau “HTLV-I Associated Myelopathy” HAM Kumala W, 1999. Virus HTLV-I terutama menginfeksi sel CD4 + T walaupun sel CD8 + T juga bisa digunakan sebagai sel inang Mylonas I, 2010. Pada penelitian Kumala W 1999 telah ditemukan daerah endemik virus HTLV-I di Indonesia yaitu pada suku Bisman Asmat di Irian Jaya. Sebagian besar individu yang terinfeksi HTLV-I akan terus membawa virus tersebut selama hidupnya Lang J, 2011. Penyakit yang disebabkan oleh virus HTLV-I dengan tingkat keganasan tinggi memberikan kesulitan dalam hal pengobatan. Beberapa pengobatan kemoterapi atau pemakaian obat antiviral ternyata tidak efektif dan hasilnya kurang memuaskan. Mengenai pemberian vaksin, masih dalam penjajakan pembuatannya, karena pengembangan pembuatan vaksin untuk infeksi retrovirus sangat sulit Kumala W, 1999. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah model matematika infeksi virus HTLV-I sehingga dapat membantu dalam pengembangan terapi obat antiviral. Banyak peneliti yang mengkaji tentang model infeksi HTLV-I. Katri P 2004 meneliti sifat-sifat dinamik infeksi HTLV-I pada sel CD4 + T. Cai L 2011 meneliti tentang analisis dinamik model matematika infeksi HTLV-I pada sel CD4 + T. Lang J 2011 meneliti tentang kestabilan dan osilasi periodik transien dari model matematika respon CTL pada infeksi HTLV-I. Y.Li M 2012 meneliti tentang sifat-sifat dinamik model infeksi HTLV-I pada sel CD4 + T dengan respon imun CTL yang tertunda. Pada penelitian Katri P, Lang J dan Y.Li M diasumsikan laju infeksi antara sel CD4 + T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah bilinier. Sedangkan pada penelitian Cai L diasumsikan laju infeksi antara sel CD4 + T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah nonlinier. Nur Aini, Subiono Analisa Stabilitas Model M-242 Ada beberapa proses transmisi suatu penyakit. Pertama adalah laju infeksi bilinier , S dan I masing-masing adalah jumlah individu yang susceptible dan individu yang terinfeksi dalam suatu populasi. Laju infeksi bilinier sering digunakan dalam penelitian-penelitian model epidemi Enatsu Y dkk, 2011. Kedua adalah laju infeksi nonlinier atau , , adalah efek dari faktor kejenuhan atau crowded, yaitu pada saat jumlah individu yang terinfeksi sangat banyak atau mencapai titik jenuh maka laju infeksi semakin menurun. Hal ini disebabkan karena adanya suatu tindakan pencegahan terhadap individu yang susceptible atau tindakan perlindungan terhadap individu yang terinfeksi Kaddar A, 2009. Wang Z 2012 melakukan penelitian tentang stabilitas dan bifurkasi model infeksi virus dengan laju infeksi nonlinier dan respon imun yang tertunda. Waktu tunda memiliki peran yang penting dalam sifat model dinamik respon imun. Dalam penelitian Wang KF dkk 2007 menyatakan bahwa stimulus antigen yang membangkitkan CTL mungkin membutuhkan periode waktu yaitu respon CTL pada waktu t mungkin bergantung pada populasi antigen pada waktu sebelumnya yaitu − . Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, akan diusulkan suatu penelitian tentang analisa stabilitas model infeksi HTLV-I pada sel CD4 + T. Model yang digunakan adalah pengembangan dari model Y.Li M 2012 dengan asumsi laju infeksi antara sel CD4 + T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah nonlinier dan respon imun CTL bergantung pada waktu tunda. Model ini berbentuk persamaan diferensial tundaan. Untuk menganalisa kestabilannya digunakan pendekatan ruang kompleks dan teorema dari Forde, JE 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat atau perilaku dinamik khususnya kestabilan dari model infeksi virus HTLV-I pada sel CD4 + T dengan laju infeksi nonlinier dan respon imun yang tertunda sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan terapi obat antiviral. PEMBAHASAN Model Infeksi Virus HTLV-I Pada bagian ini akan dibahas model infeksi virus HTLV-I pada sel CD4 + T. Model matematika diambil dari penelitian Y.Li M 2012 dengan memodifikasi laju infeksi pada sel CD4 + T. Model infeksi virus ini terdiri dari tiga variabel yaitu populasi sel CD4 + T yang sehat, populasi sel CD4 + T yang terinfeksi virus HTLV-I dan populasi sel CTL yang masing-masing dinotasikan dengan , dan . dengan dan masing-masing adalah laju produksi sel CD4 + T dan sel CTL. Parameter , dan masing-masing merepresentasikan laju kematian alami pada sel CD4 + T yang sehat, sel CD4 + T yang terinfeksi dan sel CTL. adalah laju kontak antara sel CD4 + T yang sehat dan yang terinfeksi dan adalah laju kematian yang diakibatkan oleh sel CTL pada sel CD4 + T yang terinfeksi. Pada penelitian Y.Li M 2012 laju infeksi antara sel CD4 + T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah bilinier yaitu . Sedangkan pada penelitian ini diasumsikan laju infeksi antara sel CD4 + T yang susceptible dan yang terinfeksi adalah non linier yaitu dengan merepresentasikan faktor tindakan yang dilakukan terhadap sel CD4 + T yang terinfeksi. Diasumsikan semua parameter , , , , , , dan adalah konstanta positip. Syarat awal dari 1 didefinisikan di ruang Banach berikut ini: dengan dan adalah ruang Banach fungsi kontinu dari interval ke . Kemudian norma dari didefinisikan sebagai untuk setiap .           t y t y t x t x d t x        1 1                t z t y t y d t y t y t x t y        2 1          t z d t z t y t z 3           3 2 1 , ,                          , , , , : , , 3 2 1 3                        z y x R C C     , , : , , 3      z y x z y x R     3 , ,   R C    ,   3  R         sup     C   1 Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-243 Teorema 1.1 Solusi dari 1 terbatas dan berada di dalam domain . dengan dan . Bukti: Dari persamaan pertama pada 1 yaitu ̇ = − − maka diperoleh sehingga dan . Selanjutnya dengan menambahkan persamaan pertama dan kedua pada 1 yaitu maka diperoleh dengan sehingga dan . Jika seluruh persamaan pada 1 dijumlahkan maka didapat dengan sehingga dan untuk maka diperoleh . Sistem persamaan 1 memiliki sebuah titik setimbang bebas penyakit yaitu , 0,0 dan dua buah titik setimbang endemik yaitu ̅ , ,0 dan ∗ , ∗ , ∗ dengan , , , , , Titik setimbang , 0,0 merepresentasikan suatu kondisi dimana semua populasi sel CD4 + T adalah sehat atau tidak ada sel CD4 + T yang terinfeksi = 0 sehingga tidak menyebabkan adanya pertumbuhan sel CTL = 0 . Titik setimbang ̅ , , 0 merepresentasikan suatu keadaan dimana terdapat populasi sel CD4 + T yang terinfeksi ≠ namun sel CTL belum sempat diproduksi = 0 . Sedangkan titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ merepresentasikan suatu keadaan semua populasi sel CD4 + T yang sehat, sel CD4 + T yang terinfeksi dan sel CTL ada di dalam sistem. Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa: 1. Jika ≤ 1 maka terdapat satu titik setimbang yaitu , 0,0 . 2. Jika ≤ 1 maka terdapat satu titik setimbang yaitu ̅ , ,0 . 3. Jika 1 maka terdapat satu titik setimbang yaitu ∗ , ∗ , ∗ . Selanjutnya disebut sebagai Angka Reproduksi Dasar Basic Reproduction Number untuk infeksi virus yaitu angka yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam populasi. Sedangkan disebut sebagai Angka Reproduksi Dasar Basic Reproduction Number untuk respon CTL yaitu angka yang menyebabkan terjadinya respon CTL. Kestabilan Lokal Sistem persamaan 1 merupakan sistem persamaan diferensial tundaan nonlinier sehingga untuk menganalisa kestabilan maka sistem 1 dilinierisasi dengan menggunakan deret Taylor di                    d z y x d y x d x R z y x       ; ~ ; : , , 1 3   2 1 , min ~ d d d    3 2 1 , , min d d d d       t x d t x 1       1 1 d t Ce d t x       1 sup lim d t x t                 t z t y t y d t x d t y t x        2 1             t y t x d t y t x     ~      2 1 , min ~ d d d      d t Ce d t y t x ~ ~          d t y t x t ~ sup lim                                                      t z t y t x d t z d t y d t x d t z t y t x     3 2 1   3 2 1 , , min d d d d         d t Ce d t z t y t x                t       d t z t y t x t            sup lim       1 2 d d x              1 1 2 2 1 2 1 1 d R d d d d d d y 2 1 d d R           3 1 1 3 3 d d d d d x      3 d y    1 1 2   R d z        3 1 1 3 2 1 d d d d d R    R 1 R Nur Aini, Subiono Analisa Stabilitas Model M-244 sekitar titik setimbang . Misalkan , maka didapat sistem yang linier yaitu dengan adalah matriks Jacobian untuk parameter non delay dan adalah matriks Jacobian untuk parameter delay dan didapatkan: 2 3 Selanjutnya untuk menentukan kestabilan titik setimbang, maka akan dicari persamaan karakteristik dari sistem persamaan 1. Persamaan karakteristik diperoleh dari dengan adalah matriks identitas berukuran 3x3. Kestabilan pada Titik Setimbang , , Secara biologi, jika 1 maka virus tidak akan menyebar. Hal ini dikarenakan suatu kondisi dimana tidak terdapat sel CD4 + T yang terinfeksi sehingga mengakibatkan titik setimbang , 0,0 stabil. Teorema 1.2 Diketahui titik setimbang , 0,0 . i. Jika ≤ 1 maka , 0,0 stabil untuk setiap ≥ . ii. Jika 1 maka , 0,0 tidak stabil untuk setiap ≥ . Bukti: Diketahui titik setimbang pada saat sel CD4 + T belum terinfeksi adalah , 0,0 sehingga dari persamaan 2 dan persamaan 3 diperoleh matriks Jacobian yaitu dan dengan persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristiknya adalah:   , , z y x ; ; y y v x x u     z z w                                                t w t v t u J w v u J w v u    J  J       , , 3 2 2 2 1 1 1 1 1 z y x d y z d y x y y y x y y d J                                           , , z y x y z J               3       s e J J I s 3 I                        3 2 1 1 1 d d d d d J               J     3 2 1 1            d s d d s d s  1 1    d s Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-245 Nilai eigen dapat bernilai positip atau negatip bergantung pada nilai . Jika maka bernilai positip sehingga titik setimbang tidak stabil untuk setiap . Sebaliknya jika maka bernilai tak positip sehingga titik setimbang stabil untuk setiap . Jadi titik setimbang stabil jika dan hanya jika untuk setiap . Hal ini menginterpretasikan bahwa adanya waktu tunda tidak mempengaruhi kestabilan dari . Hal ini terjadi karena pada titik setimbang ini tidak terdapat populasi sel CTL yang membutuhkan waktu tunda dalam proses produksinya. Kestabilan pada Titik Setimbang , , Dari teorema 1.2 yaitu jika maka , 0,0 menjadi tidak stabil dan pada saat yang sama kestabilan akan cenderung pada titik setimbang ̅ , , 0 . Selanjutnya 1 merepresentasikan suatu keadaan dimana tidak terjadi respon CTL sehingga mengakibatkan titik setimbang ̅ , , 0 stabil dalam domain Ω. Teorema 1.3 Titik setimbang ̅ , , 0 stabil untuk setiap ≥ jika dan hanya jika ≤ 1 . Bukti: Diketahui titik setimbang endemik namun belum tidak ada respon CTL yaitu ̅ , ,0 dengan dan sehingga dari persamaan 2 dan persamaan 3 diperoleh matriks Jacobian yaitu: dan dengan persamaan karakteristik 4 Jika tidak ada waktu tunda = 0 maka persamaan 4 menjadi Akar-akarnya adalah 5 Dari persamaan 5 didapat bahwa jika maka bernilai negatip dan jika maka bernilai positip. Selanjutnya dua akar-akar karakteristik yang lainnya yaitu dan diberikan oleh persamaan berikut: 6 dengan   1 1 2 2 1 2 2 1 2             R d d d d d d s   3 3    d s 2 s R 1  R 2 s P   1  R 2 s P   P 1  R   P 1  R       1 2 d d x              1 1 2 2 1 2 1 1 d R d d d d d d y                                  3 2 2 2 1 1 1 1 1 d y d y x y y y x y y d J                     y J         1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 3                                      d d y d y y d x s d d y y y x s e y d s s                 1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 3                                     d d y d y y d x s d d y y y x s y d s            1 1 1 1 3 3 1 3 1         R d d d d d y d s       1 1  R 1 s 1 1  R 1 s 2 s 3 s 2 1 2    A s A s Nur Aini, Subiono Analisa Stabilitas Model M-246 dan Selanjutnya dengan menggunakan aturan Routh-Hurwitz maka diperoleh: dengan sehingga . Karena memenuhi kriteria Routh-Hurwitz sehingga persamaan 6 memiliki akar-akar yang bertanda negatip pada bagian realnya. Oleh karena itu titik setimbang ̅ , ,0 adalah stabil untuk = 0 jika dan hanya jika ≤ 1 . Selanjutnya untuk ≠ persamaan karakteristiknya adalah 7 Persamaan 7 ekivalen dengan 8 atau 9 Persamaan 9 telah diselesaikan dengan persamaan 6 yaitu jika maka persamaan 9 memiliki akar-akar yang bertanda negatip pada bagian realnya. Sedangkan pada persamaan 8 memiliki banyak akar-akar karakteristik. Telah dibahas bahwa untuk = 0 jika maka akar polinomial 8 adalah real negatip. Sedangkan untuk nilai yang bervariasi maka terjadi perubahan tanda bagian real pada akar karakteristik. Misalkan persamaan karakteristik 8 memiliki akar imajiner murni = . Untuk , jika adalah akar dari persamaan 8 maka Dengan memisahkan antara bagian real dan bagian imajiner maka diperoleh 10 11 Persamaan 10 dan 11 masing-masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan diperoleh 12 Jika atau ekivalen dengan maka persamaan 12 memiliki akar imajiner murni. Akibatnya, persamaan 8 memiliki akar real negatip untuk sehingga tidak terjadi perubahan tanda pada bagian realnya atau tidak terjadi bifurkasi. Dengan kata lain titik setimbang ̅ , , 0 stabil untuk jika dan . Hal ini menginterpretasikan bahwa adanya waktu tunda juga tidak mempengaruhi kestabilan dari . Waktu tunda dibutuhkan untuk memproduksi sel CTL. Sedangkan pada titik setimbang , sel CTL tidak diproduksi walaupun terdapat sel CD4 + T yang terinfeksi sehingga titik setimbang akan tetap stabil untuk setiap ≥ jika ≤ 1 .   2 1 2 1 1 1 d d y y y x A              2 1 2 2 1 2 1 1 d d y d y y d x A             1 1 2 1 1       y d y d d A       1 2 1 2     y y d d A           1 1 1 d R d y 1  R       1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 3                                      d d y d y y d x s d d y y y x s e y d s s           3       s e y d s     1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2                           d d y d y y d x s d d y y y x s         1  R 1 1  R 3        i e y d i       sin cos 3         i y d i     cos 3 y d       sin y   2 2 2 3 2    y d   2 3 2 2 d y     2 3 2 2   d y  The image part w ith relationship I D rI d3198 w as not found in the file. 1 1  R The image part w ith relationship I D rI d3200 w as not found in the f… 1 P 1 P Th e im ag Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-247 Kestabilan pada Titik Setimbang ∗ , ∗ , ∗ Teorema 1.4 Forde, JE, 2005 Titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ stabil untuk = 0 dan menjadi tidak stabil untuk jika dan hanya jika , dan semuanya tak positip dan : 1 : atau , dan dengan , dan Bukti: Diketahui titik setimbang endemik yaitu ∗ , ∗ , ∗ dengan , , sehingga dari persamaan 2 dan persamaan 3 diperoleh matriks Jacobian dan . Persamaan karakteristiknya diberikan oleh 13 dengan Jika tidak ada waktu tunda = 0 maka persamaan 13 menjadi 14 Selanjutnya dengan menggunakan aturan Routh-Hurwitz maka diperoleh: 15 16 dengan sehingga pertidaksamaan 16 terpenuhi jika dan hanya jika 1 . Kemudian dapat dibuktikan bahwa .  C  C 3 2   B A      9 3 3 4 2 2 2      AB C B A AC B 2 2 1 2 1 2A B A A    3 1 1 3 2 2 2 2 2 2 B B A A B A B     2 3 2 3 B A C           3 1 1 3 3 d d d d d x      3 d y    1 1 2   R d z                                    3 2 2 2 1 1 1 1 1 d y z d y x y y y x y y d J                      y z J      3 2 2 1 3 2 2 1 3          s e B s B s B A s A s A s   1 2 2 3 1 1 1 y y d z d y x d A                  2 3 1 2 1 2 1 3 1 3 3 2 2 3 2 1 1 1 1 1 y z y y d y y d y z d d d y d x d d z d d d y d x A                                3 3 2 3 1 3 2 1 2 3 1 3 1 1 1 y z y d y y d d z d d d d d y d d x A                 1 y B      1 2 2 2 2 1 1 d y y y d y y y x B               2 2 2 1 2 1 3 1 1 y y d d d y y y x d B                 3 3 2 2 2 1 1 3        B A s B A s B A s   1 1 2 1 1 1         y d y z d d B A         1 3 1 1 3 3 3       y z y d d d d B A        1 1 2   R d z       3 3 2 2 1 1      B A B A B A Nur Aini, Subiono Analisa Stabilitas Model M-248 17 Dari pertidaksamaan 15, 16 dan 17, maka persamaan karakteristik 14 memenuhi kriteria Routh-Hurwitz jika dan hanya jika 1 . Jadi jika 1 saat = 0 , maka titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ stabil. Hal ini terjadi karena saat = 0 semua akar-akar karakteristik 13 berada di sebelah kiri sumbu imajiner. Perubahan kestabilan hanya dapat terjadi saat akar-akar karakteristik 13 melewati sumbu imajiner dan selanjutnya berada di sebelah kanan sumbu imajiner. Misalkan persamaan 13 memiliki akar imajiner murni yaitu = . Untuk , jika adalah akar dari persamaan 13 maka Dengan memisahkan antara bagian real dan bagian imajiner maka diperoleh 18 19 Persamaan 18 dan 19 masing-masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan diperoleh 20 Misalkan , , dan Maka persamaan 20 dapat ditulis sebagai berikut: 21 Jika adalah akar imajiner murni dari persamaan 13, maka persamaan 21 harus memiliki akar real positip . Persamaan 21 adalah persamaan polinomial derajat tiga dan mempunyai akar-akar bilangan real positif jika atau , dan . Dengan demikian adalah akar imajiner murni dari persamaan 13. Dengan kata lain, terdapat nilai kritis sehingga persamaan 13 memiliki akar imajiner murni. Untuk maka sebuah akar berada di sebelah kanan sumbu imajiner yang menyebabkan titik setimbang tidak stabil. Selanjutnya akan ditentukan nilai yang menyebabkan terjadinya perubahan kestabilan pada titik setimbang yaitu ; Nilai yang terkecil merupakan suatu nilai yang menyebabkan perubahan kestabilan titik setimbang sehingga didapatkan Jadi jika memenuhi – maka titik setimbang stabil untuk ∈ [0, , pada saat = terjadi bifurkasi dan untuk titik setimbang tidak stabil. Hal ini menginterpretasikan bahwa kestabilan sistem pada titik setimbang dipengaruhi oleh keberadaan waktu tunda. Artinya bahwa jumlah sel CTL pada waktu sekarang yang dipengaruhi jumlah CTL dan sel yang terinfeksi sebelum waktu satuan waktu dapat merubah sifat atau perilaku sistem.             z y d y d y d y B A B A B A 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 1                   2 3 1 2 z y d d z d                    1 2 1 2 2 2 1 2 1 2         y d d d d y z d d d d d                      3 2 2 1 3 2 2 1 3               i e B i B i B A i A i A i         sin cos 3 2 2 1 3 2 2 1 3                  i B iB B A iA A i       sin cos 2 3 2 1 3 2 1            B B B A A             cos sin 2 3 2 1 2 3 B B B A             2 2 2 2 3 2 3 2 3 1 1 3 2 2 2 2 4 2 2 1 2 1 6           B A B B A A B A A B A    2    2 2 1 2 1 2A B A A    3 1 1 3 2 2 2 2 2 2 B B A A B A B     2 3 2 3 B A C   2 3     C B A    2     C  C 3 2   B A      9 3 3 4 2 2 2      AB C B A AC B                  k B B B A B A A B B arc 2 cos 1 2 2 2 2 3 2 1 2 3 2 3 3 1 3 2 1                   ,... 2 , 1 ,  k                          2 2 2 2 3 2 1 2 3 2 3 3 1 3 2 1 cos 1          B B B A B A A B B arc c Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-249 KESIMPULAN Dari analisa yang dilakukan pada sistem model infeksi HTLV-I maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Model infeksi HTLV-I pada selCD4 + T dengan laju infeksi non linier dan respon imun CTL yang tertunda memiliki tiga titik setimbang yaitu , 0,0 , ̅ , ,0 dan ∗ , ∗ , ∗ . 2. = dan = masing-masing adalah angka reproduksi dasar untuk infeksi virus HTLV-I dan respon CTL. Jika ≤ 1 maka virus tidak menyebar sehingga hanya terdapat sebuah titik setimbang bebas penyakit yaitu , 0,0 . Jika 1 maka virus mulai menginfeksi sel CD4 + T yang sehat sehingga terdapat dua titik setimbang endemik yaitu ̅ , , 0 dan ∗ , ∗ , ∗ . Jika ≤ 1 maka sel CTL tidak diproduksi sehingga hanya terdapat satu titik setimbang endemik yaitu ̅ , , 0 . Jika 1 maka sel CTL mulai diproduksi dan dapat mengembangkan responnya untuk melawan virus HTLV-I sehingga terdapat satu titik setimbang endemik yaitu ∗ , ∗ , ∗ . 3. Kestabilan sistem pada titik setimbang , 0,0 dan ̅ , ,0 tidak dipengaruhi oleh waktu tunda sehingga kedua titik setimbang ini stabil untuk setiap ≥ . Hal ini dikarenakan waktu tunda hanya diperlukan untuk memproduksi sel CTL, sedangkan kedua titik setimbang ini merepresentasikan suatu keadaan dimana tidak terdapat sel CTL. 4. Adanya waktu tunda mempengaruhi kestabilan sistem pada titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ yaitu titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ stabil untuk ∈ [0, dan terjadi bifurkasi pada saat = . Sedangkan saat titik setimbang ∗ , ∗ , ∗ menjadi tidak stabil dan terjadi osilasi periodik. DAFTAR PUSTAKA Cai L, Li X, Ghosh M. 2011, “Global Dynamics of A Mathematical Model for HTLV-I Infection of CD4 + T-Cells”, Journal of Applied Mathematical Modelling, 35. 3587-3595. Enatsu Y, dkk. 2011, “Global Stability of SIRS Epidemic Models With A Class of Nonlinear Incidence Rates And Distributed Delays”, J.Acta Mathematica Scientia. Forde JE. 2005, Delay Differential Equation Models in Mathematical Biology, Dissertation Ph.D, University of Michigan. Kaddar A. 2009, “On The Dynamics of A Delayed SIR Epidemic Model With A Modified Saturated Incidence Rate”, Electronic Journal of Differential Equations. Vol. 2009. No. 133, pp. 1-7. Katri P, Ruan S. 2004, “Dynamics of Human T-cell Lymphotropic Virus I HTLV-I Infection of CD4 + T-cells”, Biological Modelling, 327, 1009-1016. Kumala, W. 1999, “Epidemiologi dan Penanganan Infeksi Human T-cell Leukemia”. Jurnal Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2. Lang J, Y.Li M. 2011, “Stable and Transient Periodic Oscillations in A Mathematical Model for CTL Response to HTLV-I Infection”, J.Mathematical Biology. Mylonas I, dkk. 2010. “HTLV Infection and Its Implication in Gynaecology And Obstetrics”, Arch Gynecol Obstet 282:493-501. Y.Li M, Shu H. 2012, “Global Dynamics of Mathematical Model for HTLV-I Infection of CD4 + T cells With Delayed CTL Response”, Nonlinear Analysis, 13. 1080-1092. Wang KF. 2007, “Complex Dynamic Behavior in A Viral Model With Delayed Immune Response”, Physica D, 226. 197-208. Wang Z., Xu R. 2012, “Stability and Hopf Bifurcation in A Viral Infection Model With Nonlinear Incidence Rate and Delayed Immune Response”, Communications in Nonlinear Science Numerical Simulation, 17. 964-978. Nur Aini, Subiono Analisa Stabilitas Model M-250 Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-251 PEMILIHAN ALGORITMA HEURISTIK TERBAIK UNTUK SUATU MASALAH GRAF BERDASARKAN SIFATKARAKTERISTIKNYA INSTANCE FEATURES Nur Insani, M.Sc Jurdik Matematika FMIPA UNY Abstrak Masalah pewarnaan simpul vertex coloring problem pada suatu graf merupakan suatu masalah mewarnai setiap simpul pada graf sehingga simpul-simpul yang bertetanggaan berhubungan tidak memiliki warna yang sama dan jumlah warna yang digunakan minimal. Telah banyak algoritma yang dikembangkan untuk menyelesaikan masalah ini, baik secara exact maupun secara heuristik heuristic. Meskipun algoritma heuristik dapat memberikan solusi yang mendekati optimal near optimal solution lebih cepat, namun pemilihan algoritma heuristik yang terbaik untuk setiap masalah graf instance tertentu tetaplah penting karena tidak ada suatu algoritma yang dapat memberikan solusi optimal untuk semua masalah. Namun, akan sangat menyita waktu apabila kita mencoba satu per satu semua algoritma yang tersedia untuk memilih algoritma terbaik untuk suatu masalah instance. Sifat-sifat atau karakteristik masalah instance features dapat membantu untuk menentukan algoritma heuristik yang terbaik untuk suatu kelas masalah tertentu. Penelitian ini mengeksplorasi sifatkarakteristik masalah instance untuk memilih algoritma heuristik: DSATUR dan Tabu, yang dapat memberikan solusi terbaik untuk suatu masalah tertentu. Kata kunci : pewarnaan simpul, heuristik, instance features. PENDAHULUAN Pewarnaan simpul pada suatu graf merupakan pemberian warna pada setiap simpul ∈ pada graf dimana tidak ada dua simpul yang bertetangga mempunyai warna yang sama. Jumlah warna terkecil optimal yang dibutuhkan untuk mewarnai seluruh simpul tersebut dinamakan bilangan kromatik chromatics number, dan dilambangkan dengan . Mencari jumlah warna yang optimal pada pewarnaan simpul merupakan suatu masalah yang menantang. Masalah ini termasuk suatu masalah NP-hard, dimana masalah ini tidak mempunyai solusi polinomial yang diketahui. Oleh sebab itu, telah banyak ilmuwan yang berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan beberapa algoritma, baik secara eksak maupun heuristik. Meskipun heuristik mampu memberikan solusi yang mendekati optimal lebih cepat dibandingkan dengan algoritma eksak, namun masih ada variasi yang siginifikan yang hanya dapat dijelaskan oleh fakta bahwa beberapa fitur atau struktur pada graf mungkin akan lebih cocok untuk beberapa heuristik dibanding dengan algoritma lainnya. Kebutuhan untuk memahami bagaimana algoritma heuristik yang terbaik untuk tipekelas graf yang bergantung pada fitur graf merupakan suatu masalah yang penting. Dengan demikian kita dapat meminimalkan waktu dan kompleksitas tanpa harus mencoba satu per satu algoritma yang ada trial and error. Penelitian ini mengeksplorasi beberapa fitur graf yang dapat membantu kita untuk memilih algoritma heuristik yang paling baik untuk suatu graf tertentu. Seluruh fitur yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kompleksitas polinomial. Graf Bipartit Sebuah graf bipartit adalah sebuah graf yang simpul-simpulnya dapat dibagi ke dalam dua himpunan bagian yang saling asing, U dan V, dimana simpul-simpul di setiap himpunan tersebut tidak bertetanggaan. Setiap busur menghubungkan suatu simpul dari himpunan U ke himpunan V. Karena simpul-simpul pada U dan V saling bertetangga, maka pada setiap himpunan bagian U dan V dapat diwarnai secara berbeda. Dengan demikian, bilangan kromatik pada graf bipartit adalah 2. Nur Insani Pemilihan Algoritma Heuristik M-252 Penyeleseksian Algoritma Untuk memahami hubungan antara fiturkarakteristik graf dengan kinerja suatu algortima, penelitian ini menggunakan algorithm performance framework yang diusulkan oleh Rice [11] dan diintepretasikan oleh Kate Smith-Miles [12], yaitu:  Ruang masalah P: terdiri dari berbagai tipe input graf.  Ruang fitur F: memuat seluruh perhitungan fitur dari input graf.  Ruang algoritma A: memuat seluruh algoritma yang akan digunakan: DSATUR dan TABU  Ruang kinerja Y: memuat perhitungan dari kinerja algortima. Koleksi dari seluruh data diatas {P, F, A, Y} dikenal sebagai meta-data. FiturKarakteristik Instance Features Graf Fitur-fitur graf merupakan properti dari suatu graf yang bergantung pada struktur abstraknya. Didalam penelitian ini, fitur graf memainkan peranan penting dimana fitur tersebut mempunyai hubungan dengan kinerja pada algoritma pewarnaan simpul. Adapun fitur-fitur tersebut yaitu:  Diameter graf: jarak terbesar diantara sepasang simpul. Untuk mencari diameter suatu graf, kita harus mencari lintasan terpendek diantara setiap pasang simpul dan ambil jarak terjauh daru lintasan-lintasan tersebut.  Kepadatan graf: Rasio jumlah busur terhadap jumlah busur yang mungkin.  Rata-rata panjang lintasan average path length: rata-rata jumlah step pada lintasan terpendek untuk seluruh pasangan simpul. Fitur ini digunakan untuk mengukur efisiensi perjalanan diantara simpul.  Girth: pajang dari sikel cycle terpendek dari suatu graf. Jika suatu graf mempunyai girth sama dengan 3, maka graf tersebut tidak mungkin suatu graf bipartite.  Derajat simpul: jumlah keterikatan suatu simpul dengan simpul yang lain. Fitur ini dapat menjelaskan bagaimana suatu graf terhubungkan.  Koefisien kluster clustering coefficient: merupakan ukuran sejauh mana node dalam grafik cenderung mengelompok bersama.  Sentralitas keantaraan betweeness centrality: ukuran seberapa pusat simpul-simpul di suatu graf. Graf yang mempunyai simpul-simpul yang terkumpul mengelompok bersama, akan mempunyai sentralitas keantaraan yang tinggi, sementara graf yang mempunyai simpul-simpul yang berpencar akan mempunyai sentralitas keantaraan yang rendah.  Sentralitas vektor eigen eigenvector centrality: ukuran seberapa penting suatu simpul didalam suatu jaringan. Google menggunakan metode ini pada algoritma perangkingan halaman mereka.  Konektivitas aljabar algebraic connectivity: nilai eigen yang terkecil kedua dari matrik Laplacian [9]. Fitur ini mencerminkan seberapa baik suatu graf terhubungkan.  Spektrum: himpunan nilai-nilai eigen dari matrik ikatan. Nilai ini bersifat simetrik, yaitu untuk setiap terdapat – , untuk graf bipartit. Algoritma Heuristik Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sampel algoritma heuristik yang telah dikenal secara umum, yaitu DSATUR dan Tabu. 1. DSATUR Algortima heuristik “degree of saturation” DSATUR merupakan suatu algoritma pewarnaan sekuensial yang secara dinamik merubah urutan simpul-simpul berdasarkan derajat saturasi saturasion saat itu. Derajat saturasi suatu simpul didefinisikan sebagai jumlah warna yang berbeda dimana simpul tersebut terhubung dengan simpul yang lain [2]. Algoritma DSATUR menjadi algoritma eksak untuk graf bipartit. Spektrum dari graf bersifat simetrik jika dan hanya jika graf tersebut merupakan graf bipartit. Graf tidak berarah mempunyai matrik ikatan adjancency matrix yang simetrik dan karena itu mempunyai nilai eigen yang riil. 2. TABU Algoritma TABU [7] membagi simpul-simpul graf menjadi beberapa partisi warna awal. Pewarnaan awal mungkin akan mempunyai konflik atau menjadi suatu soluti layak yang tidak Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-253 optimal. Algortima ini kemudian mencoba untuk mengurangi jumlah warna yang ilegal dan mengoptimalkan solusi dengan cara memindahkan simpul-simpul dari satu partisi ke partisi yang lainnya. Setelah suatu simpul dipindahkan, maka akan ditambahkan pada daftar “tabu”. Setiap simpul pada daftar ini tidak dapat dipindahkan ke warna sebelumnya untuk iterasi n. Input Graf Untuk mempelajari fiturkarakteristik suatu graf, penelitian ini menggunakan graf-graf sampel acak yang dibangkitkan menggunakan perangkat lunak yang disediakan oleh Joseph Culberson [4]. Himpunan meta-data yang dihasilkan diambil dari Brandon Wreford [15]. Himpunan tersebut terdiri dari 2400 graf sampel yang terdiri atas 100, 500, dan 1000 simpul. Dengan cara ini, peneliti dapat mengambil jumlah simpul-simpul ini sebagai salah satu fitur graf, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal sangatlah penting mengingat bahwa untuk jaringan yang besar graf besar, algoritma Tabu lebih unggul memberikan warna lebih sedikit dibandingkan algortima DSATUR. Adapun struktur dari graf-graf tersebut dijelaskan sebagai berikut [15]:  IID Graphs - After choosing the number of vertices in the graph, each pair of vertices are assigned an edge with an independent identical probability p.  Girth and Degree Inhibited - Each graph is assigned a probability p, girth limit g; and a degree limit. The girth limit indicates that no cycle will be created with girth less than g. Hence if an edge v;w is being considered as a new edge, every pair of vertices x; y which will have a distance of less than g after the addition is blocked, and will never be selected as a possible new edge. p is the probability that a possible edge will be used. is a hard limit on the difference between the average node degree and the maximum degree of any vertex.  Geometric [8] - These graphs are generated by choosing a radius r and uniformly distributing n pairs of numbers x; y in the range of 0 x; y 1. Vertices in the graph Un; r correspond to the points x; y in the plane. The vertices are joined by an edge when the distance between a pair of vertices is less than the radius r.  Clique Driven Graphs - This generator creates cliques of a given size. Each clique is generated by randomly creating h color partitions, then randomly selecting one of the vertices in each partition and joining every pair by an edge. Each clique is generated independently.  Cycle Driven Graphs - Similar to the clique driven graphs, this generator creates cycles of a specified length. h color partitions are created, the algorithm then generates a cycle by randomly generating a path with each vertex from a different color partition than the last. PEMBAHASAN Untuk menghitung fitur-fitur yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini memanfaatkan data yang telah diambil pada penelitian terakhir [14], dimana perhitungan fitur diformulasi dengan menggunakan interface Python yang dikenal dengan igraph dan scientific tools yang dikenal dengan SciPy [6]. Perangkat lunak ini menyediakan metode yang fleksibel untuk mengevaluasi ribuan graf sampel dengan mudah dan cepat. Adapun output yang diberikan juga bersifat fleksibel dimana data tersebut dapat diimpor ke dalam bentuk excel. Adapun pencarian solusi layak untuk pewarnaan input graf, penelitian ini menggunakan dua algoritma, DSATUR dan TABU, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Adapun kedua algoritma tersebut juga dijalankan menggunakan interface Python dan output yang dihasilkan diimpor ke dalam bentuk excel. Seperti yang diketahui, disetiap kasus pewarnaan graf menggunakan kedua algoritma diatas, khususnya untuk graf dengan derajat besar, algoritma Tabu memberikan solusi yang lebih baik warna lebih kecil dibanding dengan algortima DSATUR. Untuk tujuan penelitian, peneliti menformulasi DSATURWins = T – D, dimana T adalah jumlah warna yang digunakan oleh algoritma Tabu dan D adalah jumlah warna yang digunakan oleh algortima DSATUR. Setelah dilakukan seluruh perhitungan seluruh fitur pada seluarh graf pada meta-data, kemudian diperoleh beberapa hasil yang menarik. Salah satu fitur yang memberikan hasil yang menarik yaitu koefisien kluster clustering coefficient. Apabila fitur ini diplot terhadap DSATUR Wins, maka diperoleh pola yang cukup menarik seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini. Nur Insani Pemilihan Algoritma Heuristik M-254 Untuk koefiesin kluster yang bernilai kecil, maka algoritma DSATUR memberikan solusi yang lebih baik warna yang lebih sedikit dibandingkan dengan algortima TABU. Seiring dengan naiknya nilai koefisien kluster, kedua algortima memberikan performa yang seimbang. Akan tetapi jika kita perhatikan dengan lebih seksama, algoritma Tabu memberikan solusi yang lebih baik karena mempunyai margin yang lebih besar. Ketika nilai koefisien kluster membesar lagi, khususnya ketika nilai tersebut lebih dari 0,7, perfoma kedua algortima masih tetap seimbang, walau dengan margin yang serupa. Dengan kata lain, peneliti tidak dapat menarik kesimpulan algoritma mana yang lebih menang atau kalah. Setelah fase ini, graf-graf yang tersisa terhubung clustered dengan baik, sehingga tidak ada dari kedua algoritma yang dapat memberikan performa luar biasa dibanding dengan yang lain. Gambar 1. Plot antara Koefisin Kluster vs DSATURWins. Gambar 2. Plot antara Koefisin Kluster vs DSATURWins Kalah atau Menang. Diketahu bahwa heuristik DSATUR menjadi algortima eksak untuk graf bipartit. Dari definisi graf bipartit, graf tersebut tidak dapat mempunyai tripletstriangles yang tertutup. Sedemikian sehingga nilai koefisien kluster graf tersebut menjadi 0. Seiring dengan meningkatnya nilai koefisien kluster, algoritma heuristik DSATUR menjadi tidak eksak. Hal ini mengiring penelitian ini untuk mengambil kesimpulan bahwa untuk graf dengan nilai koefisien kluster yang kecil, maka graf tersebut dekat untuk menjadi graf bipartit dan algortima DSATUR akan memberikan solusi yang terbaik. Hasil lain yang menarik yaitu dari fitur spektrum dari graf. Jika fitur spektrum diplotkan dengan DSATURWins, maka akan dihasilkan pola yang menarik seoerti yang terlihat pada Gambar Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-255 3. Spektrum dari setiap graf bipartit bersifat simetrik [5]. Dari pernyataan ini, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan menarik antara nilai eigen dari graf dan DSATURWins. Gambar 3. Plot antara Spektrum vs DSATURWins. Dari Gambar 3 diatas terlihat bahwa algoritma DSATUR tampaknya memberikan solusi yang lebih baik untuk nilai spektrum yang kecil, akan tetapi ketika algoritma TABU menang memberikan warna lebih sedikit, algoritma ini memberikan memberikan jumlah warna jauh lebih baik daripada DSATUR. Ketika algoritma DSATUR menang, algortima ini hanya memberikan jumlah warna yang berbeda sedikit dengan algoritma Tabu. Semakin jauh suatu graf dari bipartit, menjadi suatu graf yang lebih besar, algoritma Tabu lebih mungkin untuk menang dari algortima DSATUR. Karena diketahui algortima DSATUR merupakan algoritma eksak untuk graf bipartit [2], hal ini membuat masuk akal untuk mengeksplorasi perilaku graf yang semakin menjauh dari bipartit. Dari hasil diatas, dapat simpulkan bahwa semakin besar nilai koefisin kulster dan nilai spektrum yang dimiliki oleh suatu graf, maka algoritma TABU akan lebih sering memberika performa yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma DSATUR. KESIMPULAN Dari penelitian ini, peneliti telah mengeksplorasi beberapa macam fiturkarakteristik dari graf yang dapat membantu untuk menjelaskan tentang graf itu sendiri dan seberapa baik graf tersebut akan performa pada suatu algoritma heuristik, dalam hal ini DSATUR dan Tabu. Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa koefisien kluster dan spektrum dapat merepresentasikan seberapa jauh graf menjadi graf bipartit, dan menentukan kapan algoritma DSATUR harus digunakan. Dari penelitian ini, peneliti juga telah mengeksplorasi bagaimana algoritma TABU dapat memberikan solusi yang lebih baik dengan beberapa kondisi tertentu. DAFTAR PUSTAKA [1] N. Biggs. Algebraic graph theory. Cambridge Univ Pr, 1993. [2] Daniel Brélaz. New methods to color the vertices of a graph. Communications of the ACM, 224:251–256, April 1979. [3] G Csárdi and T Nepusz. The igraph software package for complex network research. InterJournal Complex Systems, 1695:2006, 2006. [4] Joseph Culberson. Graph Coloring Programs. [5] D.M. Cvetkovic, M. Doob, and H. Sachs. Spectra of graphs. Deutscher Verlag der Wissenschaften, 1980. Nur Insani Pemilihan Algoritma Heuristik M-256 [6] Jones Eric, Travis Oliphant, Pearu Peterson, and Others. SciPy: Open source scientific tools for Python. [7] A. Hertz and D. Werra. Using tabu search techniques for graph coloring. Computing, 394:345–351, 1987. [8] DS Johnson, CR Aragon, LA McGeoch, and C Schevon. Optimization by simulated annealing: an experimental evaluation; part II, graph coloring and number partitioning. Operations research, 1991. [9] B. Mohar. The Laplacian spectrum of graphs. Graph theory, combinatorics, and applications, 2:871–898, 1991. [10] R Development Core Team. R: A Language and Environment for Statistical Computing. R Foundation for Statistical Computing, 2010. [11] JR Rice. The Algorithm Selection Problem. Advances in computers, 1976. [12] K. Smith-Miles, R. James, J.W. Giffin, and Y. Tu. Understanding the Relationship between Scheduling Problem Structure and Heuristic Performance using Knowledge Discovery, LNCS. Learning and Intelligent OptimizatioN, LION, 3, 2009. [13]K. Smith-Miles, R. James, J. Gi-n, and Y. Tu, Understanding the relationship between scheduling problem structure and heuristic performance using knowledge discovery, lncs, Learning and Intelligent OptimizatioN, LION, vol. 3, 2009. [14] W. B. L. L. Smith-Miles, K. and N. Insani, Predicting metaheuristic performance on a graph coloring problems using data mining, in Hybrid Metaheuristics, E.-G. Talbi, Ed. Springer, 2012, p. in press. [15]W. Brendan. The Impact of Graph Features on the Performance of Graph Colouring Heuristics. , unpublished project, 2010. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-257 SISTEM KENDALI RKX-200 LAPAN DENGAN PENGONTROL PID OPTIMAL Putra S. B 1 , Moh. Rifa’i 2 , Nur Marisa Dewi 3 , Ahmad Nur Shofa 4 , Mohamad Mufti Setiawan 5 1 Jurusan Matematika ITS, Surabaya. e-mail: sentosaputragmail.com 2 Jurusan Matematika ITS, Surabaya. e-mail: rifaimatematika.its.ac.id 3 Jurusan Matematika ITS, Surabaya. e-mail: nurmarisadewirocketmail.com 4 Jurusan Teknik Mesin ITS, Surabaya. e-mail: shofa259yahoo.com 5 Jurusan Teknik Mesin ITS, Surabaya. e-mail: mohamadmuftisetiawanrocketmail.com Abstrak Roket Kendali Eksperimen 200 RKX-200 LAPAN merupakan wahana terbang tidak berawak yang dapat bergerak melintasi ruang dan mempunyai cara untuk mengendalikan jalur lintasannya sendiri. Roket ini mempunyai dua stage, yaitu boosting stage dan sustaining stage. Boosting stage terjadi ketika roket dilontarkan sampai mencapai ketinggian tertentu. Setelah itu akan terjadi proses separasi, setelah separasi ini motor roket akan dinyalakan. Pada saat motor roket dinyalakan setelah separasi ini, dinamakan sustaining stage. Pada sustaining stage ini dilakukan pengendalian roket untuk menuju sasaran tertentu. Secara umum gerak roket kendali terdiri dari matra longitudinal dan matra lateral, gerak ini dipengaruhi oleh sirip-sirip roket kendali yaitu sirip kendali elevator, sirip kendali rudder dan sirip kendali aileron. Pada penelitian ini, perancangan sistem kendali ditujukan pada sirip-sirip RKX-200 LAPAN. Sistem kendali ini disimulasikan dengan perangkat lunak Matlab. Model persamaan gerak dilinerisasikan menggunakan teori small disturbance. Pengendali yang digunakan pada penelitian ini adalah pengendali PID optimal, dengan parameter-parameternya diperoleh dengan menggunakan metode Particle Swarm Optimization PSO. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengendali PID optimal memiliki kinerja yang baik. Kata kunci: teori small disturbance, matra longitudinal, matra lateral- directional, PID optimal, Particle Swarm Optimization PSO. PENDAHULUAN Roket RKX-200 merupakan wahana terbang yang dibuat oleh para peneliti Lembaga Penerbangan dan Antarikasa Nasional LAPAN. Roket ini dirancang untuk dijadikan roket kendali guided missile yang dapat digunakan pada berbagai misi untuk kepentingan ilmiah dan pertahanan wilayah, yang mempunyai gaya dorong, sistem pengendalian, dan sistem penargetan. Gerak roket RKX-200 dapat dibedakan menjadi matra longitudinal dan matra lateral- directional. Kedua matra ini dipengaruhi oleh sirip-sirip roket kendali yaitu sirip kendali elevator, sirip kendali rudder dan sirip kendali aileron. Matra longitudinal mempunyai vektor gerak pitch dan matra lateral-directional mempunyai vektor gerak yaw dan roll. Hal ini menyebabkan roket RKX-200 memiliki enam derajat kebebasan dalam pergerakannnya 6 DOF, sehingga mengakibatkan jalur terbang dari roket tidak stabil Pada tugas akhir ini, penulis akan merancang sistem kendali gerak pada roket RKX-200 LAPAN menggunakan sistem kendali PID optimal dengan parameter-parameternya diperoleh meggunakan metode kontrol optimal Particle Swarm Optimization PSO. Sehingga diharapakan roket kendali tersebut dapat stabil melintasi jalur terbangnya untuk menuju target dengan tepat sasaran. Putra, M Rifai, Nur M, Ahmad, M Mufti Sistem Kendali RKK M-258 TINJAUAN PUSTAKA Roket RKX-200 LAPAN merupakan sebuah roket kendali, dimana sistem pengendalinya menggunakan empat buah servo motor sebagai aktuator pada empat sirip dua sirip horizontal dan dua sirip vertikal yang teletak pada ekor roket. Pergerakan roket RKX-200 LAPAN ini ditentukan oleh sudut pergerakan sirip-sirip tersebut. Sirip-sirip ini dibagi kedalam 3 jenis yaitu sirip kendali elevator, sirip kendali rudder dan sirip kendali aileron. Pada matra longitudinal pengendalian dilakukan melaui sudut sirip kendali elevator dua sirip horizontal. Sirip kendali elevator merupakan kendali yang mengatur gerak angguk naik turun roket dengan derajat tertentu perubahan sudut pitch. Dimana ketika sirip elevator bergerak ke bawah maka gerak roket akan turun. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya gaya angkat pada ekor roket ketika sirip elevator bergerak ke bawah. Sedangkan pada matra lateral-directional, pengendalian dilakukan sirip kendali rudder dua sirip vertical dan sirip kendali aileron kombinasi dua sirip horizontal dan dua sirip vertikal. Kendali sirip rudder merupakan kendali yang dapat membelokkan hidung roket ke kiri dan ke kanan atau yang disebut dengan gerak yaw. Sedangkan kendali aileron merupakan kendali permukaan yang dapat mengontrol gerak roll roket. Pergerakan roket kendali selama masa terbang jelajahnya dipengaruhi oleh sirip-sirip roket. Untuk itulah sistem kendali pada sirip-sirip roket menjadi perhatian yang penting, agar didapatkan performansi yang optimal pada roket selama masa terbang jelajahnya. Linearisasi Persamaan Gerak Roket Model persamaan gerak roket merupakan model persamaan nonlinear. Persamaan gerak roket terdiri dari persamaan gaya dan momentum. Seperti yang dijelaskan pada bab 2, model persamaan gerak roket merupakan persamaan nonlinear sebagai berikut : = ̇ + − + = ̇ + − − = ̇ + − − 4.1 = ̇− ̇ + + − = ̇ + − + − = ̇ − ̇ + − − 4.2 = ̇ − ̇ = ̇ cos + ̇ cos = − ̇ sin + ̇ 4.3 Persamaan nonlinear gerak roket ini termasuk persamaan yang rumit, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan untuk kepentingan analisa. Dalam hal ini, persamaan nonlinear akan dilinearisasi menggunakan teori gangguan kecil dititik kesetimbangannya. Teori gangguan kecil ini mengasumsikan bahwa gerak roket terdiri dari pergeseran kecil dari kondisi terbang stabil. Dengan kata lain, semua variabel dari persamaan gerak roket diganti dengan nilai kesetimbangan ditambah dengan gangguan, seperti berikut ini : = + Δ = + Δ = + Δ = + Δ = + Δ = + Δ = + Δ θ = θ + Δθ = + Δ = + Δ = + Δ = + Δ Semua variabel yang berindeks nol merupakan nilai kesetimbangan, sedangkan Δ merupakan nilai perubahan kecil gangguan terhadap titik kesetimbangannya. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-259 Dengan mensubtitusikan variabel gerak diatas ke persamaan 4.1, 4.2, 4.3 maka persamaan gerak roket menjadi : + = [ ̇ + Δ ̇ + + + − + + + + ] + = [ ̇ + Δ ̇ + + + − + + Δ − + + ] + = [ ̇ + Δ ̇ + + + − + + − + + ] 4.4 + = ̇ + Δ ̇ − ̇ + Δ ̇ + + + − − + + + = ̇ + Δ ̇ + + + − + [ + − + ] + = ̇ + Δ ̇ − ̇ + Δ ̇ + + + − − + + 4.5 + Δ = ̇ + Δ ̇ − ̇ + Δ ̇ sin + + Δ = ̇ + Δ ̇ cos + Δ + ̇ + Δ ̇ cos + Δ sin + Δ + Δ = − ̇ + Δ ̇ sin + Δ + ̇ + Δ ̇ cos + Δ cos + Δ 4.6 Ketika gangguan dari kondisi rata-rata adalah dianggap sangat kecil, maka dipenuhi asumsi berikut [5]: a. perkalian product antar gangguan dapat dianggap nol. b. sinus dari sudut gangguan dapat dianggap sama dengan sudut gangguan, sedangkan cosinus dari sudut gangguan dianggap sama dengan satu. Dengan melakukan operasi matematika sederhana serta menguraikan sinus dan cosinus, maka persamaan 4.4,4.5,4.6 berubah menjadi berikut : + Δ = [ ̇ + Δ ̇ + + Δ q + q Δ − − ∆ − ∆ + + Δ + Δ Y = [ ̇ + Δ ̇ + + ∆ + ∆ − − ∆ − ∆ − + Δ − Δ ] + Δ = [ ̇ + Δ ̇ + + ∆ + ∆ − − ∆ − ∆ − − Δ − Δ 4.7 + = ̇ + Δ ̇ − ̇ + Δ ̇ + + ∆ + ∆ − − + ∆ + ∆ + = ̇ + Δ ̇ + + ∆ + ∆ − + + 2 ∆ − − 2 ∆ + = − ̇ + Δ ̇ + ̇ + Δ ̇ + + ∆ + ∆ − + + ∆ + ∆ 4.8 + Δ = ̇ + Δ ̇ − ̇ + Δ − Δ ̇ Putra, M Rifai, Nur M, Ahmad, M Mufti Sistem Kendali RKK M-260 + Δ = ̇ − Δ + Δ ̇ + ̇ cos + Δ − ̇ Δ + Δ ̇ cos sin + Δ = − ̇ sin + Δ − Δ ̇ sin + ̇ cos − Δ − ̇ cos Δ + Δ ̇ cos cos 4.9 Persamaan 4.7, 4.8, 4.9 merupakan persamaan gerak roket yang terdiri persamaan pada kondisi trim setimbang dan persamaan gangguan. Kemudian dengan mengelompokkan persamaan gerak roket menjadi suku-suku trim dan suku-suku gangguan, persamaan 4.7, 4.8, 4.9 dapat ditulis sebagai berikut : − [ ̇ + − + ] = [ Δ ̇ + Δ q + q Δ − ∆ − ∆ + Δ ] − Δ − [ ̇ + − − ] = [ Δ ̇ + ∆ + ∆ − ∆ − ∆ − Δ + Δ − Δ Y] − [ ̇ + − − ] = [ Δ ̇ + ∆ + ∆ − ∆ − ∆ + Δ + Δ − Δ ] 4.10 − ̇ + ̇ − − + = Δ ̇ − Δ ̇ + ∆ + ∆ − − ∆ + ∆ − − ̇ − − − − = Δ ̇ + ∆ + ∆ − + 2 ∆ − 2 ∆ − + ̇ − ̇ − − − = − Δ ̇ + Δ ̇ + ∆ + ∆ − + ∆ + ∆ − 4.11 − ̇ + ̇ sin = Δ ̇ − ̇ cos Δ − Δ ̇ sin − Δ − ̇ cos − ̇ cos = − ̇ Δ + Δ ̇ cos + Δ ̇ cos + ̇ cos Δ − sin Δ − Δ + ̇ sin − ̇ cos = − ̇ Δ − Δ ̇ + Δ ̇ cos cos − ̇ cos Δ + cos Δ − Δ 4.12 Apabila komponen persamaan gerak dalam kondisi trim setimbang dihilangkan, hal ini berakibat berkurangnya komponen persamaan gaya dan momen yang bekerja pada roket, sehingga persamaan 4.10,4.11,4.12 menjadi : Δ = [ Δ ̇ + Δ q + q Δ − ∆ − ∆ + Δ ] Δ Y = [ Δ ̇ + ∆ + ∆ − ∆ − ∆ − Δ + Δ ] Δ = [ Δ ̇ + ∆ + ∆ − ∆ − ∆ + Δ + Δ ] 4.13 = Δ ̇ − Δ ̇ + ∆ + ∆ − − ∆ + ∆ = Δ ̇ + ∆ + ∆ − + 2 ∆ − 2 ∆ = Δ ̇− Δ ̇ + ∆ + ∆ − + ∆ + ∆ 4.14 Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-261 Δ = Δ ̇ − ̇ cos Δ − Δ ̇ sin Δ = − ̇ Δ + Δ ̇ cos + Δ ̇ cos + ̇ Δ − sin Δ Δ = − ̇ Δ − Δ ̇ + Δ ̇ cos cos − ̇ cos Δ + cos Δ 4.15 Persamaan 4.13,4.14,4.15 merupakan persamaan gerak roket terlinearisasi dengan menghilangkan komponen persamaan gerak pada kondisi trim. Dalam analisa lebih lanjut perlu dipertimbangkan kasus-kasus penerbangan roket dengan kondisi sederhana. Misalnya, kondisi roket dalam terbang lurus, terbang simertis, serta terbang dengan sayap mendatar. Maka harus dipenuhi asumsi asumsi sebagai berikut [3] : a. kondisi terbang lurus staight menyebabkan ̇ = 0 b. kondisi terbang symetric menyebabkan = = 0 c. kondisi terbang dengan sayap mendatar menyebabkan = 0 d. kondisi terbang setimbang trimmed diasumsikan = = = 0 hal ini berakibat juga ̇ = ̇ = ̇ = 0 Asumsi diatas adalah asumsi pada analisa pesawat udara konvensional. Meskipun demikian, Blakelock dalam bukunya ”Automatic control of Aircraft and Missile ” juga memberikan asumsi yang sama pada analisa gerak roket. Akibatnya, persamaan 4.12,4.13,4.14 menjadi : Δ = [ Δ ̇ + Δ q + Δ ] Δ Y = [ Δ ̇ + ∆ − ∆ − Δ ] Δ = [ Δ ̇ − ∆ + Δ ] 4.16 Δ = Δ ̇ − Δ ̇ Δ = Δ ̇ Δ = Δ ̇− Δ ̇ 4.17 Δ = Δ ̇ − Δ ̇ sin Δ = Δ ̇ Δ = Δ ̇ cos 4.18 Persamaan 4.16 dan 4.17 merupakan persamaan gerak untuk perubahan kecil disekitar nilai kesetimbangannya atau disebut persamaan gangguan dari gaya dan momen. Gangguan dalam analisa gerak roket sangat berpengaruh pada gaya dan momen roket. Gangguan-gangguan ini secara tidak langsung ditransformasi ke dalam bentuk fungsi gangguan. Fungsi gangguan dalam gerak roket terdiri dari fungsi perubahan kecepatan, percepatan dan sudut defleksi sirip atau sayap roket. Adapun fungsi gangguan dalam analisa gerak roket adalah sebagai berikut [5] : Δ , Δ , Δ , Δ , ∆ , Δ , ∆ ̇ , ∆ ̇ , ∆ ̇ , ∆ ̇ , ∆ ̇ , ∆ ̇ , Δ , Δ , Δ , ∆ ̇ Dalam hal ini, fungsi gangguan terdapat pada gaya dan momen masing-masing sumbu koordinat tata acuan sumbu badan roket. Berikut ini adalah fungsi-fungsi gangguan yang paling dominan pada gaya dan momen roket [1] : Δ = Δ , Δ , Δ Δ = Δ , Δ , Δ , Δ Δ = Δ , Δ , ∆ ̇ , ∆ , Δ Δ = Δ , Δ , Δ , Δ , Δ Putra, M Rifai, Nur M, Ahmad, M Mufti Sistem Kendali RKK M-262 Δ = Δ , Δ , ∆ ̇ , ∆ , Δ Δ = Δ , Δ , Δ , Δ , Δ Kemudian, fungsi gangguan pada gaya dan momen tersebut dideretkan dengan menggunakan ekspansi deret Taylor sebagai berikut : Δ = Δ u + Δ w + ∆ Δ = Δ v + Δ p + Δ r + Δ Δ = Δ u + Δ w + ̇ Δ w ̇ + ∆ + ∆ 4.19 Δ = Δ v + Δ p + Δ r + Δ + Δ Δ = Δ u + Δ w + ̇ Δ w ̇ + ∆ + ∆ Δ = Δ v + Δ p + Δ r + Δ + Δ 4.20 Dengan menyamakan persamaan 4.16, 4.17 dengan persamaan 4.19 , 4.20 maka persamaan gerak roket menjadi : Δ u + Δ w + ∆ = [ Δ ̇ + Δ q + Δ ] Δ v + Δ p + Δ r + Δ = [ Δ ̇ + ∆ − ∆ − Δ ] Δ u + Δ w + ̇ Δ w ̇ + ∆ + ∆ = [ Δ ̇ − ∆ + Δ ] 4.21 Δ v + Δ p + Δ r + Δ + Δ = Δ ̇ − Δ ̇ Δ u + Δ w + ̇ Δ w ̇ + ∆ + ∆ = Δ ̇ Δ v + Δ p + Δ r + Δ + Δ = Δ ̇− Δ ̇ 4.22 Jika masing-masing komponen persamaan 4.21 dibagi dengan massa , sedangkan komponen pada persamaan 4.22 dibagi dengan inersia , maka dengan mengikuti definisi dibawah ini [5] = = = = = = menyebabkan persamaan gerak roket 4.21 dan 4.22 berubah menjadi seperti berikut : X Δ + X Δ + X Δ = Δ ̇ + Δ + Δ Y Δ + Y Δ + Y Δ + Y Δ = Δ ̇ + ∆ − ∆ − Δ Z Δ + Z Δ + Z ̇ Δ ̇ + Z Δ + Z Δ = Δ ̇ − ∆ + Δ 4.23 L Δ + L Δ + L Δ + L Δ + L Δ = ∆ ̇ − ∆ ̇ Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-263 M Δ + M Δ + M ̇ Δ ̇ + M Δ + M Δ = ∆ ̇ N Δ + N Δ + N Δ + N Δ + N Δ = ∆ ̇ − ∆ ̇ 4.24 Jika persamaan 4.23 dan 4.24 ditulis dalam bentuk persamaan diferensial orde pertama, maka persamaan gerak roket menjadi : Δ ̇ = Δ + X Δ − Δ − Δ + X Δ Δ ̇ = Δ + Y Δ + Y Δ − ∆ + ∆ + Δ + Y Δ Δ ̇ = Z Δ + Z Δ + Z ̇ ∆ ̇ + Z ∆ + ∆ − Δ + Δ 4.25 ∆ ̇ = L Δ + L Δ + L Δ + ∆ ̇ + L Δ + L Δ ∆ ̇ = M Δ + M Δ + M ̇ Δ ̇ + M Δ + M Δ ∆ ̇ = N Δ + N Δ + N Δ + ∆ ̇ + N Δ + N Δ 4.26 dengan X , Y ,Z , L ,M ,N adalah parameter terbang roket atau dalam beberapa literatur dipakai istilah parameter turunan stabilitas stabilty derivatives. Pembentukan Matriks State Space Setelah proses linearisasi dilakukan, maka pada sub bab ini dibahas tentang pembentukan matriks state space sistem persamaan gerak roket tipe RKX-200 LAPAN. Pembentukan matriks state space ini dilakukan pada masing-masing gerak roket, yaitu gerak longitudinal dan gerak lateral directional. 1. State Space Persamaan Gerak Longitudinal Gerak longitudinal merupakan gerakan yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang bekerja pada bidang simetris XZ . Gerak ini melibatkan kecepatan linear ke depan, ke atas, laju sudut angguk pitch rate dan titik sudut angguk pitch attitude . Sehingga persamaan gerak longitudinalnya adalah sebagai berikut: Δ ̇ = Δ u + X Δ w − Δ q − Δ + X Δ Δ ̇ = Z Δ u + Z Δ w + Z ̇ ∆ w ̇ + Z ∆ q + ∆ − Δ + Δ ∆ ̇ = M Δ u + M Δ w + M ̇ Δ w ̇ + M Δ q + M Δ Δ ̇ = Δ 4.27 Dari sejumlah data terbang aerodinamika, tidak semua parameter terbang berpengaruh secara signifikan. Dalam analisa kestabilan ada beberapa parameter terbang yang perlu diabaikan, hal ini dikarenakan parameter tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap respon gerak roket. Pada gerak longitudinal ini parameter yang diabaikan adalah Z , Z ̇ [5]. Dengan menggunakan sumbu kestabilan keseimbangan roket, dapat dianggap nol. Sedangkan sama dengan sudut jalur terbang jika sudut serang diasumsikan nol. Sudut serang disini adalah sudut yang diukur antara vektor kecepatan dan sayap roket [3]. Gambar 4.1 sumbu keseimbangan roket [5] Putra, M Rifai, Nur M, Ahmad, M Mufti Sistem Kendali RKK M-264 Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa sumbu OX adalah sumbu longitudinal dari roket, sumbu ini segaris dengan arah vektor kecepatan dari roket, akibatnya = 0 . Sedangkan , , adalah sumbu keseimbangan roket. Pada gambar juga dijelaskan bahwa adalah sudut angguk pitch angle, sedangkan adalah sudut lintas terbang flight path angle. Sudut lintas terbang flight path angle didefinisikan sebagai sudut yang diukur diantara bidang vertikal dan horizontal serta vektor kecepatan roket. Oleh karena itu, sistem persamaan gerak longitudinal pada persamaan 4.27 berubah menjadi : Δ ̇ = Δ u + X Δ w − Δ + X Δ Δ ̇ = Z Δ u + Z Δ w + ∆ − Δ + Δ ∆ ̇ = M Δ u + M Δ w + M ̇ Δ w ̇ + M Δ q + M Δ Δ ̇ = Δ 4.28 Dalam kasus ini sudut lintas terbang dianggap nol, dengan alasan agar roket bergerak pada lintasan jalur terbang yang lurus. Sehingga persamaan 4.28 menjadi : Δ ̇ = Δ u + X Δ w − Δ + X Δ 4.29 a Δ ̇ = Z Δ u + Z Δ w + ∆ + Δ 4.29 b ∆ ̇ = M Δ u + M Δ w + M ̇ Δ w ̇ + M Δ q + M Δ 4.29 c Δ ̇ = Δ 4.29 d kemudian dengan mensubtitusikan persamaan 4.29 b pada persamaan 4.29 c, maka persamaan gerak longitudinal roket menjadi : Δ ̇ = Δ u + X Δ w − Δ + X Δ Δ ̇ = Z Δ u + Z Δ w + ∆ + Δ ∆ ̇ = M + M ̇ Z Δ u + M + M ̇ Z Δ w + M + M ̇ Δ q + M δ + M ̇ Z δ Δ Δ ̇ = Δ 4.30 Persamaan 4.30 merupakan persamaan roket untuk gerak longitudinal. Jika persamaan 4.30 dibentuk menjadi matriks ruang keadaan state space ̇ = + , maka : ̇ = ̇ ̇ ̇ ̇ , = [ ] = X − Z Z M M M 1 , = ⎣ ⎢ ⎢ ⎡ X Z δ + M ̇ Z δ ⎦ ⎥ ⎥ ⎤ dengan : M = M + M ̇ Z M = M + M ̇ Z M = M + M ̇ Dari matriks state space diatas, terlihat bahwa variabel keadaannya terdiri dari kecepatan linear , kecepatan linear , laju sudut angguk , sudut angguk . input dari sistem tersebut adalah defleksi sirip elevator . Sedangkan matriks dan adalah parameter terbang dari roket. Pada analisa kestabilan gerak longitudinal ini output yang diharapakan ada empat, yaitu kecepatan linear sumbu-x , kecepatan linear sumbu-z , laju sudut angguk , dan sudut angguk . Berikut ini adalah matriks output = dari masing-masing output-an yang diharapkan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 M-265 Tabel 4.1 Matriks output pada gerak Longitudinal Nilai parameter matriks dan dari persamaan gerak longitudinal diatas, didapat melalui output dari missile DATCOM yang dianalisa dengan berbagai macam sudut serang dan kecepatan yang bervariasi.

2. State Space Persamaan Gerak Roket Lateral Directional

Gerak Lateral directional adalah gerakan roket yang melibatkan kecepatan linear ke samping , laju sudut rool , laju sudut yaw , sudut rool , sudut yaw . Dalam kasus ini sudut yaw diabaikan untuk mereduksi bentuk matriks. Pengabaian ini tidak berpengaruh terhadap gerak roket lateral-directional [6]. Sehingga persamaaan gerak yang terlibat dalam gerak lateral directional adalah sebagai berikut: Δ ̇ = Δ v + Y Δ p + Y Δ r − ∆ + ∆ + Δ + Y Δ ∆ ̇ = L Δ v + L Δ p + L Δ r + ∆ ̇ + L Δ + L Δ ∆ ̇ = N Δ v + N Δ p + N Δ r + ∆ ̇ + N Δ + N Δ ̇ = + 4.31 Pada gerak lateral directional, parameter terbang yang sering diabaikan dalam analisa gerak roket adalah Y ,Y [5]. Hal ini, dikarenakan parameter tersebut tidak berpengaruh besar terhadap respon gerak roket. Disamping itu = 0, seperti yang dijelaskan pada sub bab 4.21. Sehingga persamaan 4.31 menjadi : Δ ̇ = Δ v − ∆ + Δ + Y Δ 4.32 a ∆ ̇ = L Δ v + L Δ p + L Δ r + ∆ ̇ + L Δ + L Δ 4.32 b ∆ ̇ = N Δ v + N Δ p + N Δ r + ∆ ̇ + N Δ + N Δ 4.32 c Δ ̇ = Δ + Δ 4.32 d dengan memisalkan = dan = , kemudian mensubstitusikan persamaan 4.32 b ke persamaan 4.32 c dan sebaliknya, maka persamaan gerak roket lateral directional menjadi : Δ ̇ = Δ − ∆ + Δ + Y Δ ∆ ̇ = Δ + Δ + Δ + Δ + Δ ∆ ̇ = Δ + Δ + Δ + Δ + Δ ̇ = Δ + Δ 4.33 dengan : = N + L = L + N = N + L = L + N = N + L = L + N = N + L = L + N = N + L = L + N No. Output Matriks output 1. ≜ [ 1 ] 2. ≜ [ 1 ] 3. ≜ [ 1 ] 4. ≜ [ 1 ] Putra, M Rifai, Nur M, Ahmad, M Mufti Sistem Kendali RKK M-266 Dalam analisa kestabilan sideslip angels sering digunakan sebagai state variabel dari pada sideslip velocity , sehingga untuk sudut serang yang sangat kecil dipenuhi kondisi ∆ = ∆ atau ∆ = ∆ [5]. Akibatnya, persamaan gerak lateral directional 4.33 menjadi : ∆ ̇ = ∆ + ∆ − ∆ + Y ∆ ∆ ̇ = ∆ + ∆ + ∆ + ∆ + ∆ ∆ ̇ = ∆ + ∆ + ∆ + ∆ + ∆ ∆ ̇ = ∆ + ∆ 4.34 dengan : = = seperti pada sub bab 4.21 dijelaskan bahwa sudut angguk sama dengan untuk jalur sudut lintas path flight angle . Dalam kasus ini = 0 , agar gerak roket melintas pada jalur lurus. Maka persamaan 4.34 menjadi : ∆ ̇ = ∆ + ∆ − ∆ + Y ∆ ∆ ̇ = ∆ + ∆ + ∆ + ∆ + ∆ ∆ ̇ = ∆ + ∆ + ∆ + ∆ + ∆ ∆ ̇ = ∆ 4.35 kemudian persamaan 4.35 dibentuk menjadi matriks state space ̇ = + dengan ̇ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎡ ̇ ̇ ̇ ̇⎦ ⎥ ⎥ ⎤ , = = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ 1 − 1 ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ , = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ Pada matriks state space di atas, terlihat bahwa yang menjadi variabel state adalah sideslip angles , laju sudut yaw , laju sudut roll , serta sudut yaw . Input dari sistem tersebut adalah defleksi sirip rudder dan aileron. Sedangkan matriks dan merupakan parameter terbang roket. Pada analisa kestabilan gerak lateral directional ini output yang diharapakan ada empat, yaitu sideslip angles , laju sudut rool p, laju sudut yaw r, dan sudut rool . Berikut ini adalah matriks output = dari masing-masing outputan yang diharapkan. Tabel 4.2 Matriks output pada gerak lateral-directional Nilai parameter terbang dari persamaan gerak Lateral directional diatas, didapat dari hasil output missile DATCOM yang dianalisa dengan berbagai macam sudut serang dan kecepatan yang bervariasi. No. Output Matriks output 1. ≜ [ 1 ] 2. ≜ [ 1 ] 3. ≜ [ 1 ] 4. ≜ [ 1 ]