Dari belum ada di dunia kemudian kamu ada ke dunia ini dengan cara dilahirkan. Di ciptakan dari mani dalam
Şulbi ayah mu dan dari tarâib
ibu mu, berasal dari darah, dan darah tersebut berasal dari makanan hormon, kalori dan vitamin. Kemudian kamu ada dalam
rahim ibumu, dikandung ibumu berbulan-bulan dan setelahnya kamu diberi akal. Kamupun lahir ke bumi dan kamu pun bekerja untuk
mencukupi keperluan-keperluan hidup kamu dan kemudian Dia pula yang mematikanmu. Dia cabut nyawamu dan dipisahkan dari
badanmu. Badan pun dihantarkan kembali kepada asalnya. Datang dari tanah dan kembali ke tanah.
42
Demikian juga yang terdapat dalam tafsir al-Maragi, bahwasanya ayat ini juga berkaitan dengan kejadian manusia, bahwasanya
manusia pada mulanya adalah mati dan kemudian Allah menghidupkannya dan memberikan akal untuk berfikir dan
memahami akan berbagai hal. Kemudian Allah mematikan kembali dengan mencabut nyawa manusia ketika ajal sudah tiba. Dan setelah
mati Allah kembali menghidupkan manusia untuk kedua kalinya. Kehidupan ini jauh lebih tinggi dan sempurna. Tapi kehidupan ini
hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berjiwa bersih dan beramal shalih ketika di dunia. Dan di tempat itupulalah amal
manusia dibalas dan dihitung. Hal ini menunjukkan bahwasanya Allah Maha Kuasa akan segala nikmat-nikmatnya. Hal ini juga
merupakan sebuah kejelasan bagi mereka yang mengingkari dan tidak mau beriman kepada Allah.
43
Ayat ini merupakan peringatan dari Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman tentang beberapa hal,
yaitu: a.
Allah maha menghidupkan dan mematikan, kemudian membangkitkannya kembali setelah mati. Hanya kepa-Nyalah
semua makhluk kembali.
42
Hamka, Tafsir Al-Azhar,Jakarta, Pustaka Panjimas, 2001, juz. 1, h. 194
43
Ahmad Musthafa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, Semarang, Toha Putra Semarang, 1974 juz.30, h. 127-128
b. Hendaknya manusia tidak hanya mementingkan duniawi saja.
Karna hidup yang sebenarnya adalah di akhirat nanti. Hidup didunia merupakan hidup untuk mempersiapkan hidup yang lebih
baik lagi nanti. c.
Allah lah yang menentukan ukuran, dan batas waktu kehidupan makhluk, seperti kapan suatu makhluk harus ada, bagaimana
keadaannya, kapan akhir adanya dan sebagainya.
44
Kaifa disini merupakan bagian dari adawâtul istifhâm yang mana
lazimnya digunakan untuk menanyakan tentang keadaan seseorang. Namun dalam ayat ini penggunaan istifhâm digunakan untuk
ta’ajjub yaitu keheranan atau kagum. Dalam hal ini Allah ingin membuat
orang yang ingkar terebut menjadi ta ’ajjub kepada Rasul dan
mengakuinya. Pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan epistimologi.
Epistimologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Yaitu bermaksud membecirakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam
tentang dirinya sendiri. Sementara itu, ada juga yang menyebut epistimologi sebagai filsafat ilmu. Karena itu, epistimologi
berkecenderungan berdiri sendiri, yaitu yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa
epistimologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mengetahui metode dan sumber untuk mendapatkan
pengetahuan itu.
45
Contoh, “Bagaimana kamu dapat pengetahuan tentang itu?”.
4. Tafsir Surat At-Takwîr Ayat 26-27
a. Teks dan Terjemaham Surat At-Takwîr ayat 26-27
44
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Lentera Abadi, 2010, Edisi
Revisi, jil. 1, h. 70
45
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, AR-Ruz Media, 2014, h. 31
۞ ۞
:ريوكتلا ةروس ٧٦
- ٢٧
Artinya: Maka ke manakah kamu akan pergi - al Qur’ân itu tiada lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam
d. Kosakata Ayat
Kata يا memiliki arti “mana?”. Dalam kaidah nahwu huruf يا
merupakan huruf istifhâm yang digunakan untuk menanyakan ا م
yaitu tempat.
46
Dalam hal menanyakan tempat, dalam bahasa Indonesia ada dua kata tanya yaitu kemana dan dimana. Adapun kata
يا pada ayat ini memiliki arti kemana. Dalam kamus Munjid dikatakan bahwa
يا merupakan isim ťaraf dan digunakan untuk menanyakan tempat.
47
Kata żikrun memiliki arti mengingat, nama baik, dan zikir.
48
Dalam Lisâ nul ‘Arabi karya Imam Jamaluddin Abul Fadhil
menyatakan bahwa żikrun adalah hafal akan sesuatu yang di ingatnya,
dan żikrun juga memiliki arti sesuatu yang ditetapkan oleh perkataan
artinya żikir adalah menetapkan sesuatu dalam perkataan.
49
e. Tafsir Surat At-Takwîr
Munâsabah Ayat
Pada ayat-ayat yang sebelumnya yaitu surat At-Takwîr ayat 1- 13, Allah menjelaskan kedahsyatan hari kiamat, kemudia
menerangkan bahwa manusia ketika itu melihat amal perbuatannya di dunia sebaga suatu fakta kenyataan dan dapat membedakan mana
amal perbuatan yang diterima dan mana yang ditolak. Pada ayat-ayat berikutnya, Allah menjelaskan bahwa apa-apa yang disampaikan oleh
46
Mamat Zaenudin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung, Refika Auditama, 2007, h. 109
47
Al-Munjid , Bairut, Maktabah Asy-Syarqiyyati, 1987, h. 23
48
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indoensia, Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2013, h. 134
49
Abu Fadhil Jamaluddin, Lisanul ‘arobi, Beirut, Daarush Shodir, 1997, jil. 4, h. 308
Muhammad yaitu al- Qur’ân yang diturunkan kepadanya, adalah ayat-
ayat yang jelas yang memberikan petunjuk kepada jalan kebahagiaan. Apa-apa yang dituduhkan oleh orang-orang musyrik yang
mengatakan bahwa Muhammad itu hanya seorang tukang sihir, orang gila, pendusta, atau penyair, adalah dusta yang timbul karena rasa
permusuhan, kedengkian dan kedewasaan mereka.
Tafsir Ayat
Awal kata pada ayat di atas adalah kata tanya dengan menggunakan aina. Al-Maraghi mengartikan makna
“aina tażhabun” yaitu jalan manakah yang hendak kalian tempuh edang bukti
kebenaran telah membuktikan bahwa mereka bersalah
50
. Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa pada ayat ini
merupakan sebuah peringatan kepada manusia, bahwa kemana ia akan pergi? Maksudnya kemana akal kalian akan pergi ketika kalian
mendustakan al-Quran ini. Yang mana al- Qur’ân ini sudah benar-
benar nyata akan kebenarannya. Adapun Qatadah mengatakan bahwa “aina tażhabûn” yaitu pergi dari kitab Allah artinya mereka tidak lagi
ta’at kepada Allah.
51
Ayat ini mengarah kepada orang-orang yang ingkar akan utusan Allan dan menolak wahyu Allah. Maka mereka
dikecam dengan ayat ini dengan firman Allah “maka kemanakah kamu akan pergi?” yakni jalan apa yang kamu akan kamu tuju
sehingga kamu memberikan tuduhan yang tidak benar dan berpaling
darinya? Atau mau kemana kamu akan pergi, padahal al- Qur’ân
adalah petunjuk karna tidak ada jalan keselamatan selain darinya.
52
Allah menerangkan bahwa orang-orang Quraisy telah sesat, dan jauh dari jalan kebenaran, serta tidak mengetahui jalan yang benar.
50
Ahmad Musthafa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, Semarang, Toha Putra Semarang, 1974 juz.30, h. 111
51
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Semarang, Kariyath Futiran, ttt,Juz. 4, h. 480
52
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Ciputat Lentera Hati, 2002, Juz 15, h. 112
Sehingga Allah bertanya kepada mereka “maka kemanakah kamu akan pergi?” maksudnya ialah setelah dijelaskannya bahwa al-Qur’ân
itu benar-benar diturunkan oleh Allah dan al-
Qur’ân benar-benar merupakan petunjuk, bimbingan, pedoman hidup dan di dalamnya
terdapat pelajaran dan petunjuk. Maka pertanyaan dalam firman ini, “jalan manakah yang kamu akan kamu tempuh lagi? Merupakan
peringatan kepada orang kafir
53
Sedangkan “żikrun lil ‘âlamîn” yakni al-Qu’an ini merupakan peringatan bagi seluruh manusia dengan kata lain al-
Qur’ân ini merupakan pelajan dan nasihat untuk seluruh manusia.
54
Namun demikian, jika itu kehendak kamu silakan saja karena al-
Qur’ân itu tidak lain hanyalah peringatan dan bahan pelajaran bagi semesta alam,
yaitu bagi siapa diantara kamu yang hendak menempuh jalan yang lurus dan menemukan kebenaran dan kebahagiaan.
55
Dan pada ayat selanjutnya Allah menyatakan bahwa al- Qur’ân
ini tidak lain hanya peringatan bagi alam semesta, bagi mereka yang mempunyai hati cenderung kepada kebaikan. Namun demikian tidak
semua manusia dalam mengambil manfaat dari al- Qur’ân ini.
56
Al- Qur’ân juga merupakan petunjuk bagi semua makhluk yang
mengingatkan mereka kepada apa yang telah tertanam dalam tabi’at mereka tentang kecintaan kepada kebaikan. Adapun penyebab
kelalaian mereka dalam mengingat hal itu tidak lain karena kebiasaan buruk telah mewarnai mereka.
57
Kalimat tanya pada ayat ini merupakan merupakan pertanyaan yang berupa peringatan. Allah memeperingatkan mereka melalui
53
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Lentera Abadi, 2010, Edisi
Revisi, jil. 10, h. 571
54
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Semarang, Kariyath Futiran, ttt,Juz. 4, h. 480
55
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Ciputat Lentera Hati, 2002, Juz 15, h. 112-113
56
Departemen RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya Jakarta, Lentera Hati 2010, jil. 10, h. 571
57
Ahmad Mustafa Al-Maroghi, Terjemah Tafsir Al-Maroghi, Semarang, Toha Putra Semarang, 1974, juz. 30, h. 111
pertanyaan “Kemana kamu akan pergi?”. Dalam hal ini Allah sudah memberikan petunjuk kepada Manusia melalui kitab al-
Qur’ân, petunjuk yang nyata dan benar tapi manusia justru mereka malah
ingkar terhadap al- Qur’ân yang telah diturunkan oleh Allah.
Pertanyaan ayna digunakan untuk menanyakan tempat, sebagaimana pada ayat ini “mau kemana kamu akan pergi?” dengan
demikian jawaban dari pada pertanyaan tersebut tentulah tempat yaitu
tempat yang akan mereka tuju atau tempat mereka akan pergi.
5. Tafsir Surat Ar-Rahmân ayat 13
a. Teks dan Terjemahan surat Ar-Rahmân ayat 13
Artinya: Maka nikmat Tuhan kamu yang mana kah yang kamu dustakan?
b. Kosakata Ayat
Kata ّا memiliki arti “sesuatu apa”. Ayyun bisa menjadi syarat
jâ zimah fi’layni contoh: ayyan tađrib ađrib dan bisa juga menjadi
istifhâm contoh: ayyukum atâ? Dan menjadi maushul contoh: sallim
‘alâ ayyuhum afđol, dan seterusnya.
58
Kata ayyun dalam ayat ini menjadi adatul istifhâm karena ayyun dalam ayat ini meminta
pengkhususan akan suatu hal yang didustakan. Dalam kaidah ilmu nahwu
“ayyun” merupakan kata yang digunakan untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah satu dari
dua hal yang berkaitan.
59
Selanjutnya ءاا merupakan bentuk jama’ dari kata يلاا, ataupun
يلاا, ataupun ّاا yang memiliki arti sebagai ة عِّلا yakni nikmat.
60
58
Al-Munjid, Bairut, Maktabah Asy-Syarqiyyati, 1987, 22
59
Mamat Zaenudin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung, Refika Auditama, 2007, h. 109
60
Al-Munjid, Loc. Cit., h. 17