2 Teknis HASIL DAN PEMBAHASAN

memberi penyuluhan kepada petani juga dirasakan oleh Perum Perhutani karena ada beberapa petani yang tidak mau ikut serta dalam program kemitraan. Selain itu juga karena kurangnya penyuluhan dari Perum Perhutani. Kendala yang dirasakan petani yaitu harga glagah arjuna yang masih dapat dipermainkan oleh tengkulak sehingga petani mendapatkan harga jual yang rendah. Solusi yang dapat diberikan untuk masalah ini yaitu sebaiknya perum perhutani membentuk lembaga yang dapat menampung glagah arjuna dari petani yang dapat memberikan harga yang layak sekaligus dapat menjadi tempat simpan pinjam untuk memfasilitasi petani yang membutuhkan biaya. Lembaga ini seharusnya dapat difasilitasi oleh LMDH yang ada.

5.2.2. Kemitraan Kerajinan Sapu Glagah Arjuna

5.2.2.1. Sejarah Kemitraan Kerajinan Sapu Glagah Arjuna di Desa Tambi

Menurut hasil wawancara, sebagian besar masyarakat di Desa Tambi menambah sumber penghasilan mereka dengan menjadi pengrajin sapu yang dibuat dari bunga glagah arjuna. Namun para pengrajin ini tidak membudidayakan sendiri glagah arjunanya. Pengrajin membeli bahan baku dari petani atau tengkulak lalu membuatnya menjadi sapu. Rata-rata pengrajin membuat sapu dalam skala kecil sehingga hanya memanfaatkan anggota keluarganya saja untuk mengerjakan tugas membuat sapu. Namun ada dua usaha pembuatan sapu yang lebih besar daripada pengrajin umumnya di Desa Tambi, yaitu : UMK Berkah Restu dan UMK Wana Lestari. Karena skala usahanya lebih besar, kedua UMK ini mengambil tenaga kerja dari masyarakat desa yang menganggur. Bedanya adalah UMK Wana Lestari mendapat dana pinjaman modal usaha dari Perum Perhutani, sedangkan UMK Berkah Restu mendapat dana pinjaman modal usaha dari Bank BRI. Berdasarkan hasil wawancara terlihat perbedaan antara UMK Wana Lestari atau UMK Berkah Restu dengan pengrajin lainnya. Pendapatan yang diperoleh UMK Wana Lestari dan UMK Berkah Restu lebih besar daripada pengrajin lainnya. Perbedaan ini disebabkan dari cara pengrajin membuat sapu. UMK Wana Lestari menjalin kemitraan dengan Perum Perhutani menggunakan jaminan BPKB motor. Sapu yang diproduksi UMK Wana Lestari dijual dengan harga Rp 5000,- per sapu untuk jenis sapu biasa, dan Rp 10.000,- per sapu untuk jenis sapu modern. UMK Wana Lestari memiliki cukup modal dari dana pinjaman PKBL sehingga usahanya mampu terus berkembang dan mensejahterakan karyawannya. UMK Wana Lestari sudah memiliki lokasi-lokasi yang siap memasarkan sapunya seperti di Kota Jakarta, Semarang dan Bandung. Hal ini disebabkan mereka sering diikutsertakan dalam pameran-pameran yang difasilitasi oleh Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur. Pada pengrajin skala kecil mereka membuat sapu menggunakan tenaga kerja hanya dari anggota keluarga sendiri sehingga tidak memerlukan upah tetapi tidak bisa mengerjakan dalam jumlah banyak. Selain itu mereka membuat sapu hanya dalam jumlah sedikit karena keterbatasan modal. Biasanya mereka hanya mampu membeli bahan baku 0,5 - 1 kwintal saja. Mereka juga menjual sapu nya dengan harga yang sangat murah yaitu sekitar Rp 2.500,- saja sehingga laba yang mereka dapatkan juga tidak terlalu besar. Sapu yang dihasilkannya pun tidak dimodifikasi menjadi berbagai jenis sapu modern yang menarik. Hal ini disebabkan kurangnya keterampilan dan kreativitas dari pengrajin skala kecil, serta tidak adanya pembinaan atau pelatihan dari pihak manapun. Oleh karena itu, mereka hanya mendapatkan laba sedikit karena kurangnya modal dan keterampilan yang mereka miliki. Dengan hasil sapu yang sederhana mereka tidak bisa menjual sapunya dengan harga mahal, apalagi untuk memasuki pasar luar negeri. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang lokasi pemasaran yang bagus, sehingga mereka hanya menjualnya di Desa Tambi saja atau hanya berjualan keliling di Kota Tegal atau Cirebon saja. Hasil penelitian menunjukkan hampir separuh pengrajin 46,66 mengetahui bahwa mereka bisa mengajukan proposal peminjaman dana PKBL seperti yang dilakukan UMK Wana Lestari, tetapi tidak mengajukan karena khawatir tidak bisa melunasi angsuran pinjaman tepat waktu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kesiapan diri dan komitmen untuk melakukan kerjasama dengan pihak Perum Perhutani. Kemudian hampir separuh pengrajin pula 46,66 tidak tahu bahwa mereka dapat mengajukan proposal peminjaman modal dalam program PKBL Perhutani. Hasil penelitian menunjukkan pihak Perum Perhutani sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat supaya mereka mengajukan proposal pinjaman modal usaha kepada