tidak memerlukan biaya transportasi karena murid-murid biasa berjalan kaki menuju ke sekolah. Pengeluaran untuk pendidikan sebagian besar digunakan
untuk keperluan jajan anak dan sebagian kecil untuk membeli buku atau biaya hidup jika anak petani bersekolah di jenjang yang lebih tinggi dari SMP dan
lokasinya jauh dari rumah. Dari semua alokasi pengeluaran, yang terkecil adalah untuk pemenuhan
kebutuhan kesehatan. Pengeluaran terbesar petani Desa Tambi yaitu pada strata II 0,95 dan petani Desa Watukumpul pada strata III 0,41. Menurut petani,
mereka jarang menderita sakit. Kalaupun sakit biasanya mereka mengandalkan obat yang dijual di warung, kecuali untuk responden yang memiliki penyakit
seperti epilepsi yang harus diobati secara rutin. Alokasi belanja petani Desa Tambi untuk listrik, pajak dan BBM terbesar
pada strata III 20,13. Alokasi belanja petani Desa Watukumpul terbesar pada strata I 17,30. Alokasi belanja kebutuhan lain adalah untuk peralatan rumah
tangga, biaya telekomunikasi atau biaya pakan ternak untuk petani yang memiliki ternak.
Untuk keseluruhan perhitungan yang dilakukan diketahui bahwa pendapatan beberapa petani belum mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
Defisit pendapatan tersebut biasanya dipenuhi dengan cara meminjam atau berhutang dengan tetangga atau keluarga. Adapula beberapa petani yang
kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh anak mereka yang telah berkeluarga.
Berdasarkan tabel pendapatan rumah tangga petani dapat diketahui kontribusi pendapatan glagah arjuna terhadap pendapatan total responden paling
besar ada pada responden petani Desa Tambi strata I 15,47 dan pada petani Desa Watukumpul strata I 13,36. Sedangkan pada petani strata II Desa Tambi
maupun Desa Watukumpul sama-sama mendapatkan kontribusi 10,35 dan petani strata III Desa Tambi dan Desa Watukumpul sama-sama mendapatkan
kontribusi 6,81. Dapat dilihat bahwa kontribusi paling besar dirasakan oleh petani strata I 0,5 Ha. Hal ini membuktikan bahwa kemitraan glagah arjuna
sangat penting bagi petani strata I walaupun jumlahnya masih tergolong kecil. Hal ini sejalan dengan White 1976 dalam Kartasubrata 1986 yang menyatakan
bahwa rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan produksi meskipun kecil.
Natalia 2005 dalam penelitiannya yang berjudul kajian kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani melalui program pengelolaan hutan bersama
masyarakat, pada kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan anggota Kelompok Tani Hutan
Mandiri dengan rata-rata Rp 866.667,-tahun atau Rp 72.222,25,-bulan atau 12,80 dari pendapatan total petani.
Permana 2007 juga melakukan penelitian tentang kajian kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani melalui program pengelolaan hutan bersama
masyarakat di Desa Protomulyo dan Desa Magelung, RPH Mungas, BKPH Mangkang, KPH Kendal, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Kontribusi
PHBM terhadap pendapatan total petani yaitu sebesar Rp 1.289.225,-tahun atau 16,80.
Penelitian tentang kemitraan antara petani dengan perusahaan lokal dilakukan oleh Barus 2005 yaitu kemitraan pola PIR antara petani Mitra dengan
PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Petani Mitra sebagai plasma menyediakan lahan, mengeluarkan biaya pengadaan alat dan
pajak lahan, sedangkan biaya pembangunan HTR PIR menjadi tanggungjawab pihak perusahaan inti. Pihak plasma terbagi menjadi 2 yaitu Plasma A dan Plasma
B. Plasma A adalah plasma yang ikut sebagai tenaga kerja harian pada lahannya, sedangkan Plasma B adalah plasma yang tidak ikut sebagai tenaga kerja harian
dan menyerahkan pengelolaan HTI PIR sepenuhnya kepada pihak perusahaan inti. Pendapatan bersih plasma A adalah Rp 6.632.897,80,-Hadaur, sedangkan
pendapatan bersih Plasma B sebsar Rp 3.491.250,-Hadaur dengan asumsi 1 tahun adalah 10 bulan dan 1 daur 7 tahun. Petani plasma yang ikut mengerjakan
lahan PIRnya akan memperoleh keuntungan lebih besar daripada petani plasma yang tidak ikut mengelola lahannya.
Lestari 2011 dalam penelitiannya tentang analisis pola dan kelayakan kemitraan antara petani hutan rakyat dengan PT Bina Kayu Lestari Group di
Tasikmalaya Jawa barat menyimpulkan bahwa pendapatan rumah tangga petani dari hutan rakyat berasal dari penjualan kayu sengon dan tumpangsari. Penelitian
dilakukan di tiga desakelurahan, yaitu Desa Mekarjaya, Kelurahan Urug dan Desa Leuwibudah. Pendapatan dari hutan rakyat untuk petani di Desa Mekarjaya
adalah Rp 598.087,-tahun, petani di Kelurahan Urug sebesar Rp 1.587.507,- tahun , sedangkan pendapatan petani di Desa Leuwibudah adalah sebesar Rp
3.854.996,-tahun. Pendapatan responden di Desa Leuwibudah lebih tinggi karena umumnya mereka mempunyai lahan yang lebih luas dibandingkan kedua desa
lainnya dan merupakan lahan milik pribadi. Suryono 2004 meneliti sistem pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan di
Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Petani hutan rakyat bermitra dengan Koperasi Industri Kecil KOPIK. Pendapatan petani dari hutan
rakyat saat penelitian dilakukan hanya diperoleh dari tanaman pengisi yang ditanam secara tumpangsari yaitu Rp 100.000,-tahun untuk petani strata 1 0,5
Ha, Rp 171.177,-tahun untuk petani strata II 0,5 – 1 Ha dan Rp 137.778,-
tahun 1 Ha atau dengan rata-rata sebesar Rp 317.103,-tahun. Kontribusi hutan rakyat dari tanaman pokok berupa kayu jati Tectona grandis dihitung
dengan menggunakan pendekatan Net Present Value NPV pada tingkat suku bunga 12. Hasil perhitungan menunjukkan proyeksi kontribusi tanaman jati
sebesar Rp 623.894,-tahun untuk petani strata 1 0,5 Ha, Rp 1.710.705,-tahun untuk petani strata II 0,5
– 1 Ha dan Rp 4.115.756,-tahun untuk petani strata III 1 Ha.
Petani umumnya hanya memiliki asset sumberdaya alam lahan dan selalu dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan, khususnya keterbatasan skala
usaha, manajemen usaha, modal, teknologi, keterampilan usaha, dan pemasaran produksi. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan maka
dapat diambil kesimpulan bahwa adanya suatu kemitraan memberikan manfaat besar, khususnya kepada petani mitra. Pada kasus kemitraan antara Perum
Perhutani dan petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul meskipun hasilnya belum dapat menutupi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
rumah tangga petani, namun sejauh ini kemitraan sudah memberikan manfaat yang besar bagi petani mengingat dalam pelaksanaan kemitraan petani tidak
mengeluarkan biaya untuk menyewa lahan. Perum Perhutani memiliki rencana untuk melanjutkan kemitraan dengan membuat perjanjian kerjasama secara
tertulis dan bagi hasil yang jelas serta hak dan kewajiban yang jelas antara para pihak yang bermitra.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemitraan budidaya glagah arjuna memberikan peningkatan terhadap pendapatan petani. Terutama untuk petani
yang tidak memiliki lahan. Selain itu masyarakat menjadi lebih tenang dalam bekerja karena sudah mendapatkan aspek legalitas dari kemitraan. Sementara itu,
manfaat yang dirasakan pihak Perum Perhutani yaitu dengan adanya masyarakat yang menggarap lahan hutan akan mencegah terjadinya tindak pencurian di hutan.
Selain itu masyarakat juga sudah lebih sejahtera setelah adanya program kemitraan sehingga masyarakat lebih menjaga hutan.
5.2.1.6. Pola Kemitraan
Kemitraan budidaya glagah arjuna antara Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur dan petani Desa Tambi maupun Desa Watukumpul merupakan bentuk
kemitraan pola bapak angkat. Menurut Departemen Pertanian 2003 pola bapak angkat adalah refleksi kesediaan pihak yang mampu besar untuk membantu
pihak lain yang kurang mampu kecil yang memang memerlukan pembinaan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pola pendekatan tersebut adalah cermin atau
wujud rasa kepedulian pihak yang besar terhadap yang kecil. Pola bapak angkat dalam kemitraan pengembangan UMK umumnya banyak dilakukan BUMN
dengan Usaha Mikro dan Kecil. Dalam hal ini Usaha Mikro dan Kecil yaitu petani sedangkan BUMN yaitu Perum Perhutani dimana Perum Perhutani menyediakan
lahan garapan dan juga memberikan pembinaan kepada petani. Perum Perhutani sebagai penyedia lahan menyediakan lahan garapan untuk
ditanami glagah arjuna oleh petani seluas 164,1 Ha. Sedangkan petani memberikan tenaga kerja. Seluruh biaya mulai dari penanaman, pemeliharaan
hingga pemanenan ditanggung oleh petani. Itulah sebabnya perjanjian kerjasama ini dinamakan perjanjian kerjasama swadaya masyarakat. Jika terjadi resiko
kerugian di kemudian hari, maka akan ditanggung oleh pihak petani saja. Proporsi hasil bagi yaitu 80 untuk petani yang diwakili oleh LMDH,
sedangkan 20 untuk Perum Perhutani. Cara perhitungan bagi hasil adalah berdasarkan hasil penjualan dikurangi biaya pemanenan, kemudian hasilnya
dibagi sesuai proporsi yang telah disepakati.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan glagah arjuna di bawah tegakan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan
peran dan tanggungjawabnya. Saat dilakukan penelitian ini, perjanjian kerjasama belum ada secara tertulis, tetapi hanya kesepakatan secara lisan antara Perum
Perhutani dan petani yaitu Perum Perhutani mengijinkan petani menggarap glagah arjuna di bawah tegakan pinus dengan syarat larikan tanaman harus teratur supaya
tidak boleh menyulitkan proses penyadapan pinus. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka Perum Perhutani akan memberikan sanksi. Tidak ada pembagian hasil dari
kesepakatan secara lisan ini. Namun kemudian pada 16 Juli 2012 telah resmi perjanjian kerjasama tertulis antara Perum Perhutani dan LMDH Tumpangsari
Lampiran 9. Ringkasan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat ada pada Tabel 13.
Tabel 13 Hak dan kewajiban para pihak yang bermitra dalam kemitraan budidaya glagah arjuna
Para Pihak Kewajiban
Hak Perum
Perhutani a. Memberikan pembinaan kepada
LMDH dalam mendorong proses optimalisasi kegiatan kemitraan
b. Memberikan hasil sharing kepada LMDH
c. Bersama-sama dengan LMDH mengadakan kegiatan untuk menjaga
keamanan lokasi obyek perjanjian. a. Memperoleh manfaat berupa
sharingbagi hasil berupa uang tunai dari penjualan glagah arjuna
b. Bersama-sama LMDH melaksanakan kegiatan memanen
glagah arjuna yang menjadi obyek kerjasama sesuai aturan yang
berlaku
c. Bersama-sama menetapkan harga jual dasar sebagai dasar
perhitungan nilai sharing. d. Memperoleh dukungan
masyarakat desa hutan LMDH
Tumpangsari a. Bersama-sama dengan Perhutani
mengadakan kegiatan untuk menjaga keamanan lokasi obyek perjanjian
b. Kerjasama dengan masyarakat desa hutan dalam pengamanan terhadap
areal tanamantegakan yang ada di lokasi perjanjian
c. Mengikuti petunjuk aturan teknis pelaksanaan kemitraan maupun aturan
lainnya yang berlaku di Perum Perhutani.
a. Memperoleh manfaat berupa sharingbagi hasil berupa uang
tunai dari penjualan glagah arjuna b. Bersama-sama LMDH
melaksanakan kegiatan memanen glagah arjuna yang menjadi obyek
kerjasama sesuai aturan yang berlaku
c. Bersama-sama menetapkan harga jual dasar sebagai dasar
perhitungan nilai sharing. d. Bersama Perhutani menyusun
melaksanakan rencana, mengadakan evaluasi pelaksanaan
kegiatan perjanjian ini.
Berikut ini dipaparkan pola kemitraan beberapa penelitian sebelumnya tentang kemitraan. Natalia 2005 dalam penelitianya yang berjudul Kajian
Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani Melalui Program Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat Studi Kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang,
BKPH Leuwiliang, KPH Bogor menyimpulkan bahwa dalam kemitraan tersebut Perum Perhutani menanggung biaya persiapan lapangan, pengadaan sarana dan
prasarana serta pelaksanaan. Sedangkan petani memberikan korbanan tenaga kerja. Sharing hasil dari tanaman tumpang sari sebesar 75 untuk petani dan 25
untuk Perum Perhutani. Permana 2007 melakukan penelitian yang sama di Desa Protomulyo dan Desa Magelung, RPH Mugas, BKPH Mangkang, KPH Kendal,
Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa Perum Perhutani sebagai pemilik lahan menanggung biaya untuk penanaman jati,
sedangkan petani berkewajiban melakukan pengamanan kawasan hutan dan mengelola hutan secara bersama-sama. Proporsi bagi hasil panen kayu jati adalah
20 untuk petani, 75 untuk Perum Perhutani dan 5 untuk Pemerintah Desa. Sedangkan hasil panen dari hasil tumpang sari yang ditanam petani di lahan
garapan semuanya merupakan milik petani. Menurut Lestari 2011 yang melakukan penelitian tentang analisis pola dan
kelayakan kemitraan antara petani hutan rakyat dengan PT Bina Kayu Lestari Group di Tasikmalaya Jawa Barat. Penelitian dilakukan di tiga desa dengan pola
kemitraan yang berbeda. Di Desa Mekarjaya, KPH Tasikmalaya menanggung 50 biaya pengelolaan hutan, PT BKL Group menanggung 50 biaya
penyediaan dan pengangkutan bibit serta 50 biaya pengelolaan hutan, sedangkan petani menanggung biaya pengolahan lahan sampai penanaman dan
pemeliharaan pada tahun ke-dua dan ke-tiga. Sharing hasil sebesar 50 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk PT BKL Group dan 20 untuk petani. Di
Kelurahan Urug komposisi pembagian biaya hampir sama dengan pola kemitraan di Desa Mekarjaya, hanya saja berbeda di biaya perlindungan hutan. Sharing hasil
sebesar 48 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk PT BKL Group, 20 untuk petani dan 2 untuk LMDH. Sedangkan di Desa Leuwibudah PT BKL Group
menanggung biaya
penyediaan dan
pengangkutan bibit
dan pupuk, mengorganisasi petani, biaya bimbingan teknis, pengawasan, 50 biaya panen
dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan petani menyediakan lahan, menanggung biaya persiapan dan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan
dan 50 biaya panen. Sharing hasil sebesar 75 untuk petani dan 25 untuk PT BKL Group.
Kemitraan tidak hanya bisa dilakukan dengan perusahaan besar, Suryono 2004 meneliti tentang Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Desa
Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Dalam kasus ini Petani hutan rakyat bermitra dengan Koperasi Industri Kecil KOPIK. KOPIK
menanggung biaya pengadaan bibit, pemupukan dan transportasi, sedangkan petani menyediakan lahan dan tenaga dalam pengelolaan hutan rakyat. Hasil dari
hutan rakyat dipasarkan oleh KOPIK dengan pembagian hasil sebesar 40 untuk KOPIK dan 60 untuk petani.
Paparan penelitian sebelumnya di atas menunjukkan bahwa pola kemitraan di berbagai tempat berbeda sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak yang
bermitra. Besarnya bagi hasil disesuaikan dengan besarnya biaya atau pengorbanan yang diberikan masing-masing mitra. Dalam penelitian ini LMDH
atau petani memperoleh proporsi bagi hasil terbesar, yaitu sebesar 80 karena petani menanggung seluruh biaya budidaya glagah arjuna yang meliputi biaya
penanaman, biaya pemeliharaan dan pemanenan. Perum Perhutani hanya mendapat proporsi 20 karena hanya menyediakan lahan dan juga karena Perum
Perhutani tidak berorientasi pada profit tetapi pada pengamanan hutan.
5.2.1.7. Analisis Kemitraan
A. Tingkat Hubungan Kemitraan Budidaya Glagah Arjuna
Perhitungan tingkat kemitraan dilakukan dengan cara kategorisasi yang didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944KptsOT.2101097
tanggal 13 Oktober 1997 mengenai Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian. Terdapat dua aspek yang dinilai dalam penentuan
kategori tingkat hubungan kemitraan berdasarkan pendapat dari Perum Perhutani dan petani yaitu aspek proses manajemen dan aspek manfaat.
Tabel 14 Nilai tingkat hubungan kemitraan antara Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul
No Faktor yang dinilai
Nilai rata-rata Jml rata-rata
Nilai Pihak
Pihak Pihak
Pihak max
I II
III I dan II
I dan III I
ASPEK PROSES MANAJEMEN PERUSAHAAN 1
Perencanaan 150
A. Perencanaan kemitraan 100
100 100
100,0 100,0
B. Kelengkapan perencanaan 25
25 25
25,0 25,0
2 Pengorganisasian
150 A. Bidang khusus
25 12,5
12,5 B. Kontak kerjasama
10 10
10 10,0
10,0 3
Pelaksanaan dan efektivitas kerjasama 200
A. Pelaksanaan kerjasama 10
10 10
10,0 10,0
B. Efektivitas kerjasama 25
25 25
25,0 25,0
Jumlah nilai aspek proses manajemen kemitraan
500 195
170 170
182,5 182,5
II ASPEK MANFAAT
1 Ekonomi
300 A. Pendapatan
100 100
100 100,0
100,0 B. Harga di tingkat petani
25 25
25 25,0
25,0 C. Produktivitas
0,0 0,0
D. Resiko usaha 20
20 20
20,0 20,0
2 Teknis
100 A. Mutu
25 25
25 25,0
25,0 B. Penguasaan teknologi
25 25
25 25,0
25,0 3
Sosial 100
A. Keinginan kontinuitas kerjasama 50
50 50
50,0 50,0
B. Pelestarian lingkungan 50
25,0 25,0
Jumlah nilai aspek manfaat 500
295 245
245 270,0
270,0 Jumlah nilai rata-rata aspek proses
manajemen kemitraan + jumlah aspek manfaat
1000 490
415 415
452,5 452,5
Keterangan: Pihak I : perum perhutani
Pihak II : petani Tambi Pihak III : petani Watukumpul
Analisis tingkat hubungan kemitraan ditinjau dari aspek proses manajemen kemitraan berdasarkan pendapat Perum Perhutani mendapat skor 195 dari nilai
maksimum 500, dan petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul mendapat skor yang sama yaitu 170 dari nilai maksimum 500. Sedangkan ditinjau dari aspek
manfaat menurut pendapat Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan petani Desa Watukumpul masing-masing mendapat skor sebesar 295 dan 245 dari nilai
maksimum 500. Sehingga nilai total aspek proses manajemen dan aspek manfaat
menurut pendapat Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan petani Desa Watukumpul masing-masing 490 dan 415 dari nilai maksimum 1000. Perbedaan
jumlah nilai ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan kerja atau kegiatan kerjasama di lapangan belum sesuai dengan prosedur atau perjanjian yang telah
ditetapkan. Nilai rata-rata kedua aspek tersebut menurut pendapat dari Perum Perhutani
dengan petani Desa Tambi maupun Perum Perhutani dengan petani Desa Watukumpul adalah 452,50 dari nilai maksimum 1000. Berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 944KptsOT.2101097 tanggal 13 Oktober 1997 maka kerjasama ini termasuk level Kemitraan Prima Lampiran 1, berarti hubungan
tingkat kemitraan usaha ini masih perlu dijalin lebih baik lagi dan perlu adanya kontrak kerjasama secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban kedua belah
pihak dengan jelas dan transparan.
B. Proses Manajemen Kemitraan a. Aspek Proses Manajemen
Aspek proses manajemen kemitraan terdiri dari tiga indikator, yaitu perencanaan, pengorganisasian serta pelaksanaan dan efektivitas kerjasama.
a.1 Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan titik awal dilaksanakannya suatu kegiatan karena pada tahap ini dilakukan beberapa persiapan berkaitan dengan hal
–hal yang akan ditetapkan atau dilaksanakan dalam kegiatan tersebut. Faktor yang
dinilai dari indikator perencanaan terdiri atas perencanaan kemitraan dan kelengkapan perencanaan.
a.1.1 Perencanaan Kemitraan
Dalam perencanaan kemitraan ini, Perum Perhutani, petani Desa Tambi Desa Watukumpul berpendapat bahwa penyusunan rencana dilakukan bersama-
sama sehingga nilai rata-rata perencanaan kemitraan sebesar 100 dari nilai maksimum 150.
a.1.2 Kelengkapan Perencanaan
Kelengkapan perencanaan mempunyai nilai rata-rata sebesar 25. Nilai rata- rata tersebut berdasarkan pendapat Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa
Watukumpul yang sama-sama menyatakan bahwa lingkup perencanaan hanya mencakup 1 aspek yaitu permodalan.
a.2 Pengorganisasian
Nilai indikator pengorganisasian merupakan penjumlahan dari nilai rata-rata bidang khusus dan kontrak kerjasama. Pengorganisasian dalam kerjasama ini
menurut Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul mempunyai nilai sebesar 22,50 dari nilai maksimum 150. Nilai ini sangat kecil karena
kerjasama ini belum memiliki perjanjian secara tertulis. Kesepakatan yang ada antara petani dengan Perum Perhutani hanya berupa kesepakatan secara lisan
sehingga isi kesepakatannya pun tidak lengkap dan tidak memuat hak dan kewajiban para pihak yang bermitra secara jelas.
a.2.1 Bidang Khusus
Bidang khusus mempunyai nilai rata-rata sebesar 12,50 menurut pendapat Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan pendapat antara Perum Perhutani dengan petani. Perum perhutani berpendapat bahwa terdapat bidang khusus yang menangani kegiatan
kemitraan yaitu Bagian PKBL Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, sedangkan petani menyatakan belum ada bidang khusus yang menangani
kemitraan.
a.2.2 Kontrak Kerjasama
Dalam kontrak kerjasama terdapat tiga faktor yang dinilai, yaitu keberadaan, isi dan bentuk kontrak kerjasama. Nilai kontrak kerjasama merupakan
penjumlahan dari ketiga faktor tersebut. Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul memiliki pendapat yang sama sehingga nilai aspek kontrak
kerjasama adalah sebesar 10 yang meliputi nilai 10 untuk keberadaan kontrak kerjasama yang hanya secara lisan, nilai 0 untuk isi kontrak kerjasama lisan yang
tidak meliputi sebagian besar dari kedelapan aspek kemitraan dan nilai 0 untuk bentuk kontrak kerjasama yang dibuat tidak lengkap serta tidak memuat hak dan
kewajiban dengan jelas. Pihak Perum Perhutani hanya mengatakan bahwa petani boleh menggarap lahan Perum Perhutani untuk budidaya glagah arjuna tetapi
larikannya jangan sampai mengganggu atau menyulitkan proses penyadapan pinus.
Delapan aspek kemitraan yang seharusnya ada yaitu : kualitas, produktivitas, kontinuitas hasil, harga, sistem pembayaran, saprodi, permodalan
dan sanksi. Namun dalam kesepakatan secara lisan antara Perum Perhutani dengan petani hanya ada satu aspek yaitu sanksi. Sanksi diberikan apabila petani
menanam glagah arjuna dengan larikan yang mengganggu atau menyulitkan proses penyadapan pinus.
a.3 Pelaksanaan dan Efektivitas Kerjasama a.3.1 Pelaksanaan Kerjasama
Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul mempunyai pendapat yang sama untuk pelaksanaan kerjasama sebesar 10. Menurut Perum
Perhutani, petani seringkali menanam glagah arjuna dengan larikan yang terlalu rapat sehingga menyulitkan proses penyadapan pinus. Perum Perhutani menyadari
petani melakukan itu supaya meningkatkan hasil produktivitas glagah arjuna sehingga sanksi yang diberikan hanya berupa teguran saja.
a.3.2 Efektivitas Kerjasama
Efektivitas kerjasama merupakan kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat dan menjalankan pekerjaan kerjasama dengan benar. Efektivitas kerjasama
meliputi 6 aspek yaitu aspek kejelasan peran, kontinuitas suplai, kualitas suplai, sistem pembayaran, cara pembayaran dan penentuan harga. Hasil penjumlahan
nilai rata-rata masing-masing aspek diperoleh nilai efektivitas kerjasama sebesar 25.
1.
Kejelasan peran. Hasil penelitian menunjukkan Perum Perhutani, petani
Desa Tambi dan Desa Watukumpul berpendapat bahwa terdapat kejelasan peranan masing-masing pihak yang bermitra yaitu Perum Perhutani sebagai
pemilik lahan dan petani sebagai penggarap lahan. 2.
Kontinuitas suplai. Dalam aspek kontinuitas suplai Perum Perhutani dan
petani sama-sama berpendapat ada kontinuitas hasil dari budidaya glagah arjuna, tetapi hasil itu sepenuhnya dimiliki oleh petani karena belum ada bagi
hasil dalam kesepakatan kerjasama. Oleh karena itu aspek kualitas suplai, sistem pembayaran, cara pembayaran dan penentuan harga pun tidak ada.
Jumlah nilai untuk aspek proses manajemen dari Perum Perhutani adalah 195, dan dari petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul 170 sehingga nilai rata-
rata aspek proses manajemen adalah sebesar 182,50.
b. Aspek Manfaat b.1 Ekonomi
Ada empat faktor yang dinilai untuk indikator ekonomi, yaitu pendapatan, harga pasar, produktivitas dan resiko usaha. Nilai untuk indikator ekonomi
berdasarkan hasil penjumlahan keempat faktor tersebut adalah 145. 1.
Pendapatan. Nilai rata-rata untuk pendapatan adalah sebesar 100. Perum
Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul berpendapat bahwa pendapatan petani dari komoditi yang dimitrakan meningkat dibandingkan
dari yang sebelumnya. Peningkatan pendapatan petani berasal dari hasil penjualan glagah arjuna yang digarap di lahan Perum Perhutani.
2.
Harga pasar. Tingkat harga glagah arjuna sama dengan harga pasar karena
petani menjual glagah arjunanya ke tengkulak. Belum ada lembaga dari Perum Perhutani yang khusus menampung glagah arjuna hasil kerjasama.
Oleh karena itu Perum Perhutani dan petani menilai sebesar 25 untuk faktor tingkat harga.
3.
Produktivitas. Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul
berpendapat bahwa produktivitas melalui kemitraan sama dibandingkan dengan sebelum adanya kemitraan. Hal ini disebabkan kemitraan yang belum
ada kontrak secara tertulis ini belum ada pembinaan dari Perum Perhutani kepada petani untuk meningkatkan produktivitasnya.
4.
Resiko usaha. Nilai rata-rata resiko usaha adalah 20. Menurut Perum
Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul jika terjadi masalah atau resiko dalam usaha budidaya glagah arjuna maka ditanggung
sepenuhnya oleh petani.
b.2 Teknis
Indikator teknis meliputi dua faktor penilaian, yaitu faktor mutu dan penguasaan teknologi. Nilai untuk indikator teknis sebesar 50 yang merupakan
penjumlahan dari nilai rata-rata faktor mutu dan penguasaan teknologi. 1.
Mutu. Nilai rata-rata faktor mutu adalah 25. Nilai ini berdasarkan pendapat
Perum Perhutani, petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul yang menyatakan bahwa mutu produksi kemitraan sama saja dibandingkan dengan
sebelum kemitraan. Hal ini karena kurangnya pembinaanpelatihan dari Perum Perhutani baik secara teknis, manajemen dan pemasaran.
2.
Penguasaan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan Perum Perhutani,
petani Desa Tambi dan Desa Watukumpul berpendapat bahwa keterampilan petani mengenai komoditi yang dimitrakan sama saja dengan sebelum
kemitraan. Perum Perhutani belum memberikan pembinaan kepada petani sehingga nilai rata-rata untuk penguasaan teknologi adalah 25. Menurut
Perum Perhutani, bimbingan teknispelatihan dan pembinaan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sedang direncanakan untuk diadakan sekaligus
menyusun perjanjian kerjasama secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban para pihak yang bermitra secara jelas.
b.3 Sosial
Nilai indikator sosial sebesar 75 diperoleh dari penjumlahan nilai rata-rata kontinuitas kerjasama sebesar 50 dan pelestarian lingkungan hidup sebesar 25
menurut pendapat dari Perum Perhutani, petani Tambi dan Watukumpul.
b.3.1 Kontinuitas Kerjasama
Perum Perhutani, petani Tambi dan Watukumpul berpendapat bahwa ada kemungkinan untuk meneruskan kerjasama. Menurut Perum Perhutani,
kontinuitas kerjasama harus dilakukan karena budidaya glagah arjuna ini meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Bahkan tahun 2012 sudah
direncanakan kerjasama ini dengan lebih baik lagi yaitu memiliki kontrak tertulis yang memuat hak dan kewajiban para pihak yang bemitra secara jelas, kemudian
memuat aspek-aspek kemitraan secara lengkap dan jangka panjang.
b.3.2 Pelestarian Lingkungan
Perum Perhutani berpendapat telah melakukan kegiatan konservasi tanah, air, lingkungan pertanian dan penanganan limbah sesuai dengan pedoman teknis
dan kaidah konservasiperaturan yang berlaku. Kegiatan konservasi yang telah dilakukan diantaranya adalah penanaman bambu di lokasi yang rawan longsor dan
penempatan papan larangan pada lokasi rawan kebakaran. Penanganan limbah produksi hampir tidak diperlukan karena budidaya glagah arjuna tidak
menghasilkan limbah apapun. Tidak seperti tanaman-tanaman lainnya yang ada limbah plastik polybag. Sedangkan petani Tambi dan Watukumpul berpendapat
bahwa tidak dilakukan kegiatan konservasi dan penanganan limbah.