Cryptosporidium Interaksi Obat TINJAUAN PUSTAKA

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sama. Ibu juga harus diajarkan secara rutin untuk memberikan anak-anak mereka makanan yang kaya karoten; termasuk buah-buahan berwarna kuning atau oranye atau sayuran, dan sayuran yang berdaun hijau gelap. Jika memungkinkan, telur, hati, atau susu penuh lemak juga harus diberikan WHO, 2005.

7. Zinc

Zinc merupakan mikronutrien penting untuk kesehatan dan perkembangan anak. Zinc hilang dalam jumlah banyak selama diare. Penggantian zinc yang hilang ini penting untuk membantu kesembuhan anak dan menjaga anak tetap sehat di bulan-bulan berikutnya. Telah dibuktikan bahwa pemberian zinc selama episode diare, mengurangi lamanya tingkat keparahan episode diare dan menurunkan kejadian diare pada 2-3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini, semua anak dengan diare harus diberi zinc segera setelah anak tidak muntah WHO, 2009. Dosis pemberian Zinc pada anak: a. Umur 6 bulan: ½ tablet 10mg per hari selama 10 hari. b. Umur 6 bulan: 1 tablet 20mg per hari selama 10 hari. Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare Kemenkes RI, 2011.

8. Probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang menguntungkan terhadap kesehatan, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah dan mengobati kondisi patologik usus bila bakteri tersebut diberikan secara oral Firmansyah, 2001. Probiotik telah dibuktikan melalui penelitian efektif untuk pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai kelainan gastrointestinal, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya diare oleh karena pemakaian antibiotik yang berlebihan, diare oleh karena infeksi bakteri maupun virus, intoleransi laktosa dan traveller diarrhea Firmansyah,2001. Probiotik mempunyai keuntungan daam penyakit diare pada anak melalui stimulasi sistem imunitas terutama infeksi rotravirus pada bayi, dimana suplementasi probiotik mengurangi durasi penyebaran virus, meningkatkan sel yang mensekresi IgA antirotavirus, menurunkan peningkatan permeabilitas usus yang secara normal berhubungan dengan infeksi rotravirus dan mengurangi durasi diare dan lamanya perawatan di rumah sakit. Bakteri probiotik yang sering digunakan untuk memperpendek durasi diare adalah Lactobacillus GG, Lactobacillus acidophillus, Bifidobacterium bifidum dan Enterococcus faecium. Penggunaan bakteri probiotik untuk pencegahan diare oleh bakteri maupun virus tidak terlalu kuat bila dibandingkan penggunaannya untuk memperpendek diare. Mekanisme probiotik untuk meningkatkan ketahanan mukosa usus antara lain melalui stimulan imunitas mukosa usus, kompetisi untuk nutrien tertentu, mencegah adhesi mukosa dan epitel oleh bakteri patogen, mencegah invasi translokasi terhadap epitel usus dan produksi materi antimikrobial. Mekanisme kerja probiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam mukosa usus diduga dengan cara kompetisi untuk mengadakan perlekatan dengan enterosit, enterosit yang telah jenuh dengan bakteri probiotik tidak dapat lagi melakukan perlekatan dengan bakteri lain. Jadi dengan adanya bakteri probiotik didalam mukosa usus dapat mencegah kolonisasi bakteri patogen Simatupang, 2009. Lactobacillus banyak digunakan sebagai probiotik karena bakteri ini lebih stabil sehingga proses penyiapannya lebih mudah dan stabilitasnya selama penyimpanan lebih terjamin Hegar B,2007. Belum ada rekomendasi dari WHO tentang dosis dan lama suplementasi probiotik pada diare akut. Dosis yang digunakan berbagai penelitian berkisar 5.5-40 x 10 9 Lactobacillus GG, L. Sporogens atau Saccharomyces boulardii. Dosis yang secara signifikan memberikan efek adalah 5 x 10 9 colony UIN Syarif Hidayatullah Jakarta forming units CFU Johnston BC,2006. Lama pemberian untuk terapi rata-rata 5 hari dan untuk pencegahan diare diberikan minimal 6 hari.

9. Antibiotik

Antibiotik direkomendasikan untuk diare yang berhubungan dengan infeksi gastroenteritis. Keadaan yang dapat diberikan antibiotik empiris adalah apabila diare lebih dari 3 hari, demam lebih dari 38,5 o C 101,3 o F atau feses berdarah. Obat antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin Zein, 2004. Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah kemungkinan besar shigellosis, suspek kolera, dan infeksi berat lain yang tidak berhubungan dengan saluran pencernaan WHO, 2009. Tabel 2.6 Antibiotik yang digunakan untuk mengobati diare akut infeksi Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif Cholera Doxycyline Dewasa : 300 mg sekali atau Tetracycline Anak-anak : 12,5 mgkg 4 kali per hari x 3 hari. Dewasa : 500 mg 4 kali per hari x 3 hari Erythromycin Anak –anak : 12,5 mgkg 4 kali per hari selama 3 hari. Dewasa : 250 mg 4 kali per hari selama 3 hari E.coli Azithromycin Anak-anak: 10 mgkghari digunakan selama 3 hari. Cefixime Anak-anak: 8 mgkghari selama 5 hari. TrimetropanSulfametoxazole Anak-anak: 8 mgkghari Ciprofloxacin Anak-anak: 20-30 mg kghari diberikan secara oral. Shigella Ciprofloxacin Anak-anak : 15 mgkg 2 kali per hari x 3 hari. Pivmecillinam Anak-anak: 20 mgkg 4 kali per hari x 5 hari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Secara I.V : 20-30 mgkghari setiap 12 jam sehari. Dosis maksimum 800 mghari. Dewasa : 500 mg 2 kali per hari x 3hari. Dewasa : 400 mg 4 kali per hari x 5 hari. Ceftriaxone Anak-anak : 50-100 mgkg 1 kali per hari IM selama 2-5 hari Amoebiasis Metronidzole Anak-anak: 10 mgkg 3 kali per hari x 5 hari 10 hari pada kasus berat. Dewasa : 750 mg 3 kali per hari x 5 hari 10 hari pada kasus berat. Giardiasis Metronidazole Anak-anak: 5 mgkg 3 kali per hari x 5 hari Dewasa : 250 mg 3 kali per 5 hari. Champylobacter Azithromycin Anak-anak: 30 mgkg Dewasa : 500 mg 1 kali per hari x 3hari. Cryptosporidium Nitazoxanide Anak-anak: 100 mg 5ml untuk anak 1 sampai 4 tahun setiap 12 jam selama 3 hari atau 200 mg 10 ml setiap 12 jam selama 3 hari untuk anak usia 4 sampai 11 tahun. Sumber : World Gastroenterology Organisation Global Guidline,2012;Guarino Alfredo, Shai Ashkenazi dkk 2014. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 Drug Related Problems

Pharmaceutical Care Network Europe PCNE mendefinisikan DRPs adalah suatu kondisi kejadian terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan PCNE, 2010. DRPs dapat juga dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien Yusshiamanti, 2015.

2.2.1 Klasifikasi Drug Related Problems

Cipolle, R.J., dkk, dalam review Adusumili dan Adepu 2014 secara luas mengkategorikan DRPs kedalam 7 kelompok.

2.2.1.1 Butuh Tambahan Obat Need for additional therapy

Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat, Penderita diare akut bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh: a. Penderita mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat. b. Penderita memiliki penyakit kronis lain yang memerlukan keberlanjutan terapi obat c. Penderita mengalami gangguan medis yang memerlukan kombinasi farmakoterapi untuk menjaga efek sinergipotensiasi obat d. Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik. Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005.

2.2.1.2 Obat Tanpa Indikasi Unnecessary therapy

Obat yang berada dalam resep tidak sesuai dengan indikasi dengan indikasi keluhan pasien. Pemberian obat tanpa indikasi dapat terjadi ketika seseorang menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, meminum beberapa obat padahal hanya satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terapi obat yang diindikasikan, minum obat untuk mengobati efek samping, pasien mendapatan pengobatan polifarmasi untuk kondisi dimana dia seharusnya hanya mendapat terapi obat tunggal Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005.

2.2.1.3 Ketidaktepatan Pemilihan Obat Wrong Drugs

Ketidaktepatan pemilihan obat, merupakan pemilihan obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis Depkes, 2000. Terapi obat dapat menunjukan obat yang salah jika pasien tidak mengalami hasil yang memuaskan, adapun faktor-faktor keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan diagnosis akhir dari masalah medis pasien. Sebagai contoh dari ketidaktepatan pemilihan obat yaitu seperti pada pasien yang mempunyai alergi dengan obat-obat tertentu atau menerima terapi obat ketika ada kontraindikasi, serta obat efektif tetapi obat tersebut mahal. Hal-hal tersebut dapat menunjukan bahwa pasien telah menggunakan obat yang salah Cipolle et al.,1998. Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai sehingga penderita dirugikan.Penyebab lainnya, pada pemilihan obat yang tidak tepat dapat disebabkan oleh: a. Obat yang digunakan berkontraindikasi b. Penderita resisten dengan obat yang digunakan c. Penderita menolak terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk sediaan yang kurang tepat Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005.

2.2.1.4 Dosis kurang dari dosis terapi dosage is too low

Meskipun mendasar, bahwa prinsip dari homeopati dimana jika dosis terlalu sedikit suboptimal obat diklasifikasikan sebagai DRP,yaitu ketika hasil yang diinginkan pada pasien tidak tercapai yaitu, infeksi tidak merespon dengan pengobatan antibiotik yang suboptimal. Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya tanda-tanda dan gejala maka hal ini dapat dikatakan DRP. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terdapat parameter lainnya, jika terdapat dosis dibawah dosis terapi. Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat dilanjutkan cukup lama namun tidak mencapai efek yang diinginkan maka dapat dikatakan dosis dibawah dosis terapi.Strand, dkk., 1990. Pemberian obat dengan dosis subterapeutik mengakibatkan ketidakefektifan terapi obat. Hal ini dapat disebabkan oleh: a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang dikehendaki b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita berada di bawah rentang terapi yang dikehendaki c. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005.

2.2.1.5 Dosis melebihi dosis terapi Dose is too high

keadaan ini sama halnya dengan dosis terlalu rendah, dimana dosis melebihi dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan seharusnya. Keadaan dimana dosis ditingkatkan secara cepat dan peningkatan menyebabkan komplikasi lainnya maka hal ini dapat dikatakan adanya DRP. Hal ini juga memungkinkan adanya akumulasi obat dalam jangka yang panjang sehingga menyebabkan efek toksik pada pasien.Strand, dkk., 1990. Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh: a. Dosis obat terlalu tinggi untuk penderita b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi yang dikehendaki c. Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat d. Penderita mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005. Dapat disimpulkan bahwa, pasien yang mengalami atau berpotensi untuk mengalami keracunan yang ditimbulkan oleh dosis obat yang berlebih merupakan masalah umum yang terdapat pada praktek klinis. Pemantauan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta farmakokinetik dan penyesuaian dosis tidak bisa terlalu ditekankanterlalu cepat hal ini untuk mencegah terjadinya DRP.Strand, dkk., 1990.

2.2.1.6 Ketidakpatuhan Adherence problem

Ketidakpatuhan merupakan sikap dimana pasien tidak disiplin atau tidak maksimal dalam melaksanakan pengobatan yang telah diinstruksikan oleh dokter kepadanya. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang, dengan demikian pasien akan kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis yang digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada yang dimaksudkan. Masalah ini dapat berkembang misalnya seorang pasien mengetahui bahwa ia lupa suatu dosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk mengisinya Siregar,2006. Menurut Tambayong 2002 dan Siregar 2006, beberapa faktor ketidapatuhan pasien terhadap pengobatan antara lain : a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan Alasan utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika obat tidak digunakan. b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan. c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit

2.2.1.7 Reaksi Obat yang Merugikan Adverse Drug Reaction

Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik BPOM RI, 2012. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.3 Interaksi Obat

Drug Interaction Interaksi obat mewakili satu dari delapan kategori DRPs yang telah diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan dan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran suatu atau lebih zat yang berinteraksi.

1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obatt mempengaruhi absorpsi,distribusi,metabolisme dan eksresi ADME. Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe: a. interaksi pada absorpsi obat ketika obat diberikan secara oral maka akan terjadi penyerapan melalui membran mukosa dari saluran pencernaan dan sebagian besar interaksi terjadi pada penyerapan di usus. b. Interaksi pada distribusi obat Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat. c. Interaksi pada metabolisme obat Reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada saat tahap metabolisme,yaitu: yang pertama perubahan pada first pass metabolism adalah salah satu pada perubahan aliran darah ke hati dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga inhibisi enzim, keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi isoenzim CYP450. d. Interaksi pada eksresi obat Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin, pengecualian untuk obat anastesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat pada perubahan pH, perubahan aliran darah di ginjal, eksresi empedu dan eksresi tubulus ginjal Stockley,I.H.,2008. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Interaksi Farmakodinamik

Merupakan interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi yang paling aman terjadi sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama, sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat Aslam et al., 2003. Tingkat Keparahan Interaksi Obat Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkantingkatan keparahanan :minor, moderate, atau major. 1. Keparahan minor Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. 2. Keparahan moderate Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan pemantauan. 3. Keparahan major Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan, karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius.

2.4 Indikasi Tanpa Obat

Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika pasien mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat, pasien menderita penyakit kronis lain sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis, pasien berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaskis atau premedikasi Yusshiamanti, 2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5 Pediatri

Istilah Pediatri mula-mula dikenal berasal dari bahasa yunani yang berasal dari dua kata yaitu, pedos berartikan anak dan latrika berarti pengobatan. Jika dikaji menurut bahasa Indonesia pediatri berarti ilmu pengobatan untuk Anak. WHO atau nama lainnya World Health Organization merubah nama pediatri menjadi child health. Namun ditahun berikutnya, tepatnya tahun 1963 diubah menjadi ilmu kesehatan anak yaitu dikarenakan dalam ruang lingkup pediatri lebih luas cakupan ilmunya dari pada sebelumnya. Dulu ruang lingkup pediatri hanya mengobati anak-anak yang sakit namun sekarang juga mengarah ataupun mencakup hal-hal lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Menurut The British Pediatric Association BPA, kelompok anak dibagi dalam beberapa kategori menurut perubahan biologis yang terjadi yaitu: 1. Neonatus, adalah awal kelahiran usia 1 bulan. 2. Bayi, adalah usia 1 bulan sampai 2 tahun. 3. Anak-anak adalah usia 2 tahun sampai 12 tahun, dengan subseksi bahwa anak usia dibawah 6 tahun memerlukan bentuk sediaan yang sesuai. 4. Remaja, adalah usia 12 sampai 18 tahun Prest,2003. Menurut Ranuh GDE 2013 tahapan tumbuh kembang anak dibagi menjadi beberapa kategori: 1. Masa neonatus dini Early neonate adalah usia dari lahir sampai dengan 7 hari. 2. Masa neonatus lanjut Late neonate usia 7 hari -28 hari 3. Masa bayi Infant adalah usia 0-12 bulan. 4. Masa batita Toodler adalah usia 1-3 tahun. 5. Masa balita Under-five adalah usia 1-5 tahun. 6. Masa sekolah School-age adalah usia 6-15 tahun. 7. Masa pra-remaja Pre-adolescent adalah usia 10-15 tahun perempuan dan usia 12-15 tahun laki-laki. 8. Masa remaja Adolescent adalah usia 15-18 tahun. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6 Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Permenkes RI Nomor 340 Tahun 2010 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit juga merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif dan pemulihan rehabilitatif yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta berkesinambungan.

2.6.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340 Tahun 2010 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340 Tahun 2010 rumah sakit umum mempunyai fungsi: a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna. c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. enyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalamrangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6.2 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit 2.6.2.1 Jenis Rumah Sakit Secara Umum Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340 Tahun 2010 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya:

1. Berdasarkan jenis pelayanan

a. Rrumah sakit umum Memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. Rumah sakit khusus Memberikan pelayanan utama pada satubidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

2. Berdasarkan pengelolaan

a. Rumah sakit publik Dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Rumah sakit privat Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

2.6.2.2 Klasifikasi Rumah Sakit Secara Khusus

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340 Tahun 2010 tentang rumah sakit, rumah sakit umum diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit: a. Rumah sakit umum kelas A Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Rumah sakit umum kelas B Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik luas. c. Rumah sakit umum kelas C Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. d. Rumah sakit umum kelas D Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar Depkes RI 2009; Siregar, 2004.

2.7 Rekam Medik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.269MENKESPERIII2008 yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada paien. Suatu rekam medik yang lengkap mencakup data identifikasi dan sosiologis, sejarah famili pribadi, sejarah kesakitan yang sekarang, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus seperti: konsultasi, data laboratorium klinis, pemeriksaan sinar X dan pemeriksaan lain, diagnosis sementara, diagnosis kerja, penanganan medik atau bedah, patologi mikroskopik dan nyata, kondisi pada waktu pembebasan, tindak lanjut dan temuan otopsi Siregar, 2004. Kegunaan dari rekam medik : a Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan penderita. b Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita. c Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit. d Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.

Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENATALAKSANAAN PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015

8 57 111

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN 2015 Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

1 6 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

0 3 14

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X TAHUN 2015 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Gangguan Lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Ta

0 3 17

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Gangguan Lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2015.

0 2 12

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RS “Y” Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

4 37 21

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

0 7 13

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP Idenifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS "X" Tahun 2015.

1 9 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 Idenifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS "X" Tahun 2015.

0 3 13