yang secara fisik terlihat, antara lain, adalah berupa bangunan dan infrastruktur lainnya, sedangkan komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat berupa
kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Karakteristik masyarakat yang terdapat di kota adalah heterogen, bertingkat-tingkat, dan secara
umum memiliki kecenderungan individual dan materialistis yang tinggi. Menurut Karyono 2001, kota-kota besar di Indonesia menghadapi
permasalahan suhu yang tinggi. Suhu yang tinggi di kota-kota besar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor sosial. Faktor alami
tersebut, antara lain, bangunan-bangunan tinggi di kota-kota besar yang menghalangi kecepatan angin dan radiasi sinar matahari akibat minimnya jumlah
pepohonan di kota-kota besar, sedangkan faktor sosial, antara lain, peningkatan aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi peningkatan suhu kota dan
dibukanya lahan-lahan alami bervegetasi menjadi lahan terbangun. Faktor sosial lainnya, yaitu jumlah penduduk, penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, jumlah
kendaraan bermotor, jumlah bangunan, serta permukiman yang relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Saat ini bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa dan diperkeras, tetapi tanpa cukup diberi peneduh pohon sehingga tidak akan nyaman tanpa
pengkondisian udara. Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton, serta pembuangan
panas oleh mesin-mesin pengkondisian udara itu sendiri. Selain itu, suhu udara kian bertambah panas akibat kendaraan bermotor yang menggunakan AC.
Persoalan tersebut kemudian terakumulasi sehingga kebergantungan manusia yang tinggal di kota pada penggunaan energi semakin tinggi Karyono, 2001.
2.3 Pengertian Ekologi dan Desain Ekoarsitektur
Istilah “ekologi” pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel, ahli
ilmu hewan pada tahun 1869 sebagai ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya. Arti kata bahasa Yunani oikos adalah rumah tangga
atau cara bertempat tinggal, dan logos bersifat ilmu atau ilmiah. Jadi, ekologi berarti ilmu tentang rumah atau tempat tinggal makhluk hidup. Ekologi juga dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya Frick dan Suskiyatno, 2007.
Selanjutnya menurut Frick dan Suskiyatno 2007
, persoalan tentang wawasan lingkungan pada masa ini berkembang pada rasa tanggung jawab
terhadap lingkungan hidup dan mendorong kedudukan ekologi dari segi akademis menjadi perhatian umum. Hal ini mengakibatkan ekologi di samping menjadi
bidang keilmuan, juga ilmu lingkungan yang mengandung pengetahuan dan pengalaman kebutuhan masyarakat di bidang ekonomi dan politik.
Arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam maupun kepentingan
manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan
alamnya dinamakan ekoarsitektur atau arsitektur ekologis Frick dan Suskiyatno,
2007 .
Desain ekoarsitektur adalah desain yang memperkuat hubungan alam dan budaya manusia. Desain ekoarsitektur berhubungan dengan arsitektur dalam hal
dengan permasalahan struktur, bentuk, dan estetika serta segi teknik sipil dalam hal keamanan dan efisiensi. Aspek tersebut kemudian diolah menurut desain
ekoarsitektur, untuk kelangsungannya dalam jangka panjang demi kelestarian lingkungan dan makhluk hidup Van der Ryn dan Cowan, 1996. Dengan kata
lain, desain ekoarsitektur adalah setiap bentuk desain yang meminimalkan
dampak yang merusak lingkungan dengan mengintegrasikan diri dengan proses- proses hidup.
2.4 Atap Bertanaman sebagai Bagian dari Desain Ekoarsitektur
Perkembangan pembangunan fisik yang pesat di perkotaan telah menyebabkan perubahan wajah kota menjadi semakin kaku, tetapi secara
manusiawi manusia yang tinggal di dalamnya tetap mempunyai keinginan untuk senantiasa berdekatan dengan alam Branch, 1995. Menurut Ambarwati 2005,
dengan menghadirkan suasana alami di lingkungan sekitar tempat tinggal atau kerja, manusia akan senantiasa didorong berdekatan dengan alam sehingga akan
tercipta kondisi yang nyaman di lingkungan tempat tinggal atau kerja tersebut. Suasana udara yang nyaman serta pemandangan yang indah dapat memberikan
rasa tenang sehingga produktivitas kerja dapat meningkat. Dengan demikian, dari latar belakang tersebut, kemudian timbul suatu cabang lanskap yang dinamakan
roof landscape.
Menurut Pramukanto 2006, roof landscape atau lebih dikenal dengan
green roof, rooftop garden, atau roof garden merupakan salah satu pemberdayaan potensi ruang yang tidak termanfaatkan, yaitu pada atap bangunan menjadi sebuah
ruang hijau yang dapat memberikan banyak manfaat baik dalam skala mikro maupun skala kota.
Pengembangan ruang hijau vertikal ini mempunyai peran ekoarsitektur dalam meningkatkan keragaman biologis di perkotaan.
Green roof atau yang lebih dikenal dengan nama roof garden taman atap mempunyai pengertian ruang hijau di atas atap yang memanfaatkan vegetasi
hidup Voogt, 2004. Dengan kata lain, roof garden adalah taman yang berada di atap bangunan dengan semua unsur tanaman yang terdapat di dalam taman
tersebut diupayakan berada di atap. Pembentukan roof garden yang paling sederhana adalah berupa penambahan fasilitas bak tanaman yang dipasang di
tepian beranda dan ditanami dengan tanaman hias pot ataupun tanaman rambat. Menurut Apsari 2007, konsep taman atap telah menjadi inspirasi sejak
enam abad sebelum masehi, yaitu dibangunnya Taman Gantung Babylonia yang bertujuan menciptakan tiruan alam di istana. Salah satu dari tujuh keajaiban ini
dibangun oleh raja Kaldea, Nebupalassar, dan dilanjutkan oleh puteranya Nebuchadnezar. Taman ini berupa teras-teras bertingkat pada dinding kota seluas
dua hektar dengan 3500 kaki di atas permukaan laut. Pada abad ke 19 daerah perbukitan di Islandia menjadi sumber inspirasi
bentuk roof garden selanjutnya, disana para petani menanami atap rumahnya dengan rumput. Penghijauan atap era modern dimulai di Jerman, Swiss, Austria,
dan negara Skandinavia pada tahun 1960-an. Sampai tahun 1996 lebih dari 3.2 juta m
2
ruang hijau dibangun di atap bangunan-bangunan di Jerman. Setelah Eropa, Amerika dan Kanada juga mengembangkan roof garden. Begitu pula
dengan beberapa negara di Asia, seperti Singapura, Hongkong China, Jepang, dan Korea Sukaton et al., 2004; Pramukanto, 2006.
Menurut Paramukanto 2006, roof garden dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas lingkungan. Roof garden dapat berperan sebagai lingkungan
hidup yang menyediakan habitat untuk satwa liar terutama burung dan hewan kecil lainnya. Tanaman yang terdapat di roof garden dapat menjadi filter alami
untuk mengurangi polusi udara dan debu karena tanaman dapat meningkatkan kadar oksigen di udara sehingga akan mengurangi karbondioksida. Selain itu,