Saran SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Lampiran 26 Lanjutan dengan ∑Mm = Total bobot material dari bahan selain beton kg Mm x = Bobot material kg ρ x = Bobot jenis material kgm 2 L = Luas material m 2 Bobot Mati Material Selain Beton pada Lantai 1 dan lantai 2 Nama Material L m 2 ρ x kgm 2 Mm x kg Plafon 69,56 11 765,16 Penggantung 69,56 7 486,92 Plumbing 15,67 10 156,7 Spesi 1,043 21 43,82 Bobot tembok setengah bata 45 250 11.250 ∑Mm = 12.702,6 Bobot mati total lantai 1 dan 2 ∑M bm1 ∑M bm1 = ∑Mb x + ∑Mm = 118.103,52 kg + 12.702,6 kg = 130.806,12 D. Lantai Atap Data perencanaan 1. Luas daerah yang dipikul satu kolom = 34,78 m 2 2. Tebal pelat = 0,56 m Lampiran 26 Lanjutan 3. Massa jenis pelat = 2400 kgm 3 4. Bobot penggantung = 7 kgm 2 5. Bobot plafon = 11 kgm 2 6. Bobot jenis balok = 2400 kgm 3 7. Bobot spesi = 21 kgm 2 8. Bobot aspal = 14 kgm 2 9. Ukuran balok induk memanjang = 30 x 45 cm 10. Ukuran balok induk melintang bentang 4,5 m = 30 x 40 cm 11. Ukuran balok induk melintang bentang 9 m = 50 x 70 cm 12. Ukuran balok anak melintang bentang 9 m = 40 x 50 cm 13. Ukuran balok anak memanjang bentang 5 m = 20 x 30 cm 14. Massa jenis aspal = 1400 kgm 3 Bobot Mati Material Beton pada Lantai Atap Nama Material L m 2 t m ρ kgm 3 n Mb x kg Pelat 34,78 0,56 2400 1 46.744,32 Balok induk memanjang 0.135 2,5 2400 2 1.620 Balok induk melintang 2 0.35 4,25 2400 1 3.570 Balok induk memanjang 0.12 2,25 2400 1 648 Balok anak melintang 0.2 0,75 2400 2 720 Balok anak melintang 0.06 2,5 2400 2 720 Aspal cair 34.78 0,02 1400 1 973.84 ∑ Mb = 54.996,2 Lampiran 26 Lanjutan E. Bobot Mati Material Selain Beton Pada lantai atap Rumus yang digunakan menghitung bobot material selain beton adalah : ∑Mm = Mm1 + Mm2 + Mm3 +………Mm n Mm x = L x M x dengan ∑Mm = Total bobot material dari bahan selain beton kg Mm x = Bobot material kg ρ x = Bobot jenis material kgm 2 L = Luas material m 2 Bobot Mati Material Selain Beton pada Lantai Atap Nama Material L m 2 ρ x kgm 2 Mm x kg Plafon 34,78 11 382,58 Penggantung 34,78 7 243,46 Plumbing 16,72 10 167,2 Spesi 1,043 21 21,90 Aspal 0.7 1400 980 ∑Mm = 1.795,14 Bobot mati total pada atap ∑M bm2 = ∑Mb x + ∑Mm 54.996,2 kg + 1.795,14 kg = 56.791,34 kg F. Bobot Vertical Landscape Data Perencanaan 1. Massa jenis pasir non organik ρ pn = 2650 kgm 3 2. Massa jenis bahan organic ρ bo = 670 kgm 3 3. Volum planter box untuk Bouhinia kockkiana vb = 0,1144 m 3 4. Jumlah planter box untuk Bouhinia kockkiana nb = 154 5. Volum planter box untuk Thunbergia sp. vt = 0,06125 m 3 Lampiran 26 Lanjutan 6. Jumlah planter box untuk Thunbergia sp. nt = 154 7. Volume media tanam untuk Bouhinia kockkiana V mb vb x nb = 0,1144 m 3 x 154 = 17,62 m 3 8. Volume media tanam untuk Thunbergia sp. V mt vt x nt = 0,06125 m 3 x 154 = 9,4325 m 3 9. Luas media tanam untuk rumput L mr = 298,69 m 2 10. Tebal media tanam rumput T mr = 0.3 m 11. Volume media tanam untuk rumput V mr L mr x T mr = 298,69 m 2 x 0,3 m = 89,6 m 3 12. Volum planter box untuk Phoenix robelinii vp = 0,43 m 3 13. Jumlah planter box untuk Phoenix robelinii np = 8 14. Volume media tanam untuk Phoenix robelinii V mp Vp x np = 0,43 m 3 x 8 pohon = 3,44 m 3 Volume total media tanam ∑Vt = V mb + V mt + V mr + V mp = 17,62 m 3 + 9,4325 m 3 + 89,6 m 3 + 3,44 m 3 = 120 m 3 15. Massa jenis beton ρ b = 2400 kgm 3 16. Jumlah sekat beton besar n sb = 154 17. Volume sekat beton besar V sb = 0,02125 m 3 18. Bobot sekat beton besar M sb ρ b x V sb = 2400 kgm 3 x 0,02125 m 3 = 51 kg 19. Total bobot sekat beton besar ∑M sb n sb x M sb = 154 x 51 = 7854 kg 20. Volume sekat beton kecil V sk = 0,013125 m 3 21. Jumlah sekat beton kecil n sk = 154 22. Bobot sekat beton besar M sk ρ b x V sk = 2400 kgm 3 x 0,013125 m 3 = 31,5 kg 23. Total bobot sekat beton kecil ∑M sk n sk x M sk = 154 x 31,5 kg = 4851kg 24. Bobot versicell M v = 2,5 kgm 2 Lampiran 26 Lanjutan 25. Luas area penggunaan versicell L v = 476,78 m 2 26. Bobot total vercicell ∑M v M v x L v = 2,5 kgm 2 x 476,78 m 2 = 191,94 kg 27. Volume bak beton untuk pohon Vp = 0,146 m 3 28. Jumlah bak beton untuk pohon np = 8 29. Bobot bak beton untuk pohon Mp ρb x Vp = 2400 kgm 3 x 0,146 m 3 = 350,4 kg 30. Bobot total bak beton untuk pohon ∑Mp np x Mp = 8 x 350,4 kg = 2803,2 kg 31. Jumlah tanaman Thunbergia sp nt = 154 polibag 32. Bobot Thunbergia sp M t = 3 kg polibag 33. Bobot total Thunbergia sp ∑M t nt x M t = 154 polibag x 3 kg polibag = 462 kg 34. Jumlah tanaman Bouhinia kockkiana nb = 154 polibag 35. Bobot Bouhinia kockkiana M b = 4 kg polibag 36. Bobot total Bouhinia kockkiana ∑M b nb x M b = 4 kg polibag x 154 polibag = 616 kg 37. Jumlah Phoenix robelinii n pr = 8 pohon 38. Bobot Phoenix robelinii M pr = 20 kg pohon 39. Bobot total Phoenix robelinii ∑M pr n pr x M pr = 20 kg pohon x 8 pohon = 160 kg 40. Bobot rumput M r = 3 kgm 2 41. Bobot total rumput ∑M r M r x L mr = 3 kgm 2 x 298,7 m 2 = 896,1 kg Untuk menghitung bobot media tanam untuk keperluan taman atap digunakan rumus Mmt = Mpa + Mbo M pa = 60 x ∑Vt x ρ pn M bo = 40 x ∑Vt x ρ bo Dengan M mt = bobot media tanam kg M pa = bobot pasir nonorganik kg Lampiran 26 Lanjutan M bo = bobot bahan organik kg ∑Vt = volume total media tanam m 3 ρ pn = Masa jenis pasir nonorganik 2.650 kgm 3 ρ bo = Masa jenis bahan organik 670 kgm 3 42. Bobot pasir M pa = 60 x 120 m 3 x 2650 kgm 3 = 190.800 kg 43. Bobot bahan organik M bo = 40 x 120 m 3 x 670 kgm 3 = 32.160 kg Total bobot untuk vertical landscape ∑M vl ∑M vl = ∑M sb + ∑M sk + ∑M v + ∑Mp + ∑M t + ∑M b + ∑M pr +∑M r + M pa + M bo = 7.854 kg + 4.851kg + 191,94 kg + 2.803,2 kg + 462 kg + 616 kg + 160 kg + 896,1 kg + 190.800 kg + 32.160 kg = 240.793,84 kg Maka total bobot atap Mta = ∑M bm + ∑M vl = 56.791,34 kg + 240.793,84 kg = 297.585,18 kg G. Bobot Hidup 1. Atap : 34,78 x 100 kgm 2 = 3478 kg 2. Lantai : 34,78 x 250 kgm 2 x 2 lantai = 16875 kg Beban hidup total = 20.868 kg Koefisien reduksi beban hidup : 0,90 Jadi, total beban untuk beban hidup LL : LL=0,90 x 20868 kg = 18781,2 H. Pengukuran Kelayakan Kekuatan Kolom Menahan Beban Bobot lantai 1 dan lantai 2 W 1,2 = 1,2 x ∑M bm1 + 1.6 x LL W 1,2 =1,2x130.806,12 kg +1,6 x 18.781,2 kg W 1,2 = 156.976.34 kg + 30.049.92 kg = 187.026,26 kg Lampiran 26 Lanjutan Bobot lantai 1 W 1 = 187.026,26 kg 2 = 93.513,13 Bobot lantai 2 W 2 = 93.513,13 Bobot atap W atap = 1,2 x Mta + 1,6 x 3.478 kg W atap = 1,2 x 297.585,18 kg + 1,6 x 3.478 kg W atap = 357.102,217 kg + 5.564,8 kg W atap = 362.667 kg Jadi berat total yang digunakan adalah U = 1.4 x DL dengan U = kuat perlu DL = total beban mati dari tiap lantai U 1 = 1,4 x 130.806,12 kg + 297.585,18 kg = 599.747,82 kg U 2 = 1,2 x DL + 1,6 x LL + 0,5 x A SNI 03-2847-2002 Psl.11.2.5 Dengan U = kuat perlu Dl = total beban mati setiap lantai LL = total beban hidup dari setiap lantai A = beban atap U 2 = 1,2 x130.806,12 kg + 297.585,18 kg + 1,6 x 18781,2 + 0.5 x 3.478 = 545.858,48 U1 U2 sehingga beban yang digunakan untuk menghitung kolom adalah U = 599.747,82 kg Untuk komponen struktur dengan tulangan spiral maupun sengkang ikat, maka ф = 0,7, tetapi ф tersebut hanya memperhitungkan akibat gaya aksial saja. Maka agar kolom juga mampu menahan gaya momen diambil ф = 0,3 Mutu beton yang digunakan : 35 Mpa = 350 kg cm 2 1 Mpa = 10kgcm 2 Dimensi : Lampiran 26 Lanjutan sehingga b 2 = cm 2 b = 75,6 cm b ≈ 76 cm Dimensi kolom minimum yang dapat digunakan adalah 7676 cm Diketahui bahwa dimensi kolom dalam rencana perancangan masjid adalah 8585 cm Simpulan : Vertical landscape dapat diterapkan pada masjid karena dimensi kolom pada masjid lebih besar dibandingkan dengan dimensi kolom minimum.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Meningkatnya pembangunan yang pesat khususnya di perkotaan, selain memberikan dampak positif dari segi perekonomian, juga memberikan dampak negatif, yaitu penurunan kualitas lingkungan di perkotaan. Pembangunan fisik kota cenderung mengarah pada dominasi struktur bangunan sehingga seringkali menggeser ruang terbuka hijau RTH. Aktivitas manusia pada pembangunan, perekonomian, sosial, dan politik dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Buruknya kualitas lingkungan hidup di perkotaan berakibat pula pada penurunan kualitas hidup masyarakat perkotaan dan sering mengakibatkan berbagai bencana yang berakibat jatuhnya korban jiwa seperti banjir, pohon dan reklame yang tumbang, kadar karbondioksida yang tinggi pada udara yang dihirup, serta pemanasan global dalam skala yang lebih luas. Daerah perkotaan pada umumnya mempunyai suhu udara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Fenomena ini seringkali dinamakan fenomena pulau pemanasan perkotaan urban heat island UHI. Efek pemanasan perkotaan ini terutama disebabkan oleh proses penyerapan radiasi panas matahari oleh gedung atau bahan bangunan lainnya yang terdapat di area perkotaan dan juga dipengaruhi oleh proses radiasi baliknya ke lingkungan sekelilingnya. Perkotaan juga biasanya mempunyai vegetasi tanaman yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan daerah tepian kota, sebagai hasilnya proses pendinginan dengan cara penguapan evaporatif cooling juga lebih sedikit di daerah perkotaan. Semua faktor di atas turut membawa pengaruh pada efek pulau pemanasan perkotaan. Naiknya suhu udara diperburuk oleh adanya pencemaran udara polusi yang dapat menyebabkan terjadinya lingkungan yang tidak sehat, yang tidak hanya merusak keseimbangan alam, tetapi juga sangat membahayakan kesehatan manusia sebagai penghuni kota. Di sisi lain, perkotaan sering miskin penghijauan dan keanekaragaman hayati bio-diversity, tetapi dengan konsep desain ekoarsitektur pada fisik bangunan, kekurangan tersebut dapat diatasi sebagian. Kebijakan untuk mendirikan ruang terbuka hijau secara khusus dengan menggeser struktur bangunanan yang sudah ada juga akan menimbulkan konsekuensi tersendiri yang membuat hal tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan perkotaan tersebut diperlukan adanya solusi pembangunan yang sejalan atau bersinergi antara kebutuhan pembangunan di perkotaan dengan kelestarian lingkungan kota itu sendiri. Solusi tersebut meliputi aturan pemerintah yang tegas mengenai kebijakan tata ruang perkotaan dan desain fisik bangunan yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan sehingga antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan tidak saling mengalahkan satu dengan lainnya. Desain fisik bangunan dengan konsep ekoarsitektur adalah salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Dalam hal ini, Masjid Raya Bogor menjadi contoh desain bangunan dengan konsep ekoarsitektur. Tidak hanya manusia saja yang dapat menikmati bangunan dengan konsep ekoarsitektur, tetapi konsep ekoarsitektur pada bangunan dapat meningkatkan kekayaan alam dengan memberi ruang hidup satwa di perkotaan yang terancam punah di pedesaan, yaitu burung yang mengeram dan sebagainya. Dengan semakin besarnya kesadaran masyarakat mengenai perlunya menjaga kelestarian alam agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari, desain bangunan dengan konsep ekoarsitektur telah menjadi sebuah kecenderungan trend dalam bidang arsitektur untuk mengatasi berbagai isu lingkungan belakangan ini.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan merancang Kompleks Masjid Raya Bogor menjadi suatu kawasan yang berbasis ekoarsitektur sebagai kawasan hijau yang selaras antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan dengan bangunan masjidnya yang menjadi objek utama sebagai landmark daerah Baranangsiang, Bogor. Melalui pengaturan tata ruang, perencanaan, aktivitas beribadat, aktivitas rekreasi, jaringan sirkulasi, penataan tata hijau, serta pengadaan fasilitas pendukung, diharapkan konsep rancangan ekoarsitektur pada Masjid Raya Bogor dapat menjadi acuan dalam pembanguan pada bangunan lainnya, khususnya bangunan di perkotaan, guna mengurangi berbagai dampak negatif yang merugikan lingkungan yang mengganggu ekosistem perkotaan.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pihak-pihak berikut: 1 pemerintah Kota Bogor yang akan melakukan pembangunan dan pengembangan areal Kompleks Masjid Raya Bogor; 2 perusahaan kontraktor dalam menyediakan sarana dan membangun Masjid Raya Bogor; 3 peneliti dan masyarakat agar mempertimbangkan rancangan Kompleks Masjid Raya Bogor sebagai desain acuan lanskap dan bangunan ditinjau dari sisi ekoarsitektur di kota Bogor dan kota besar lainnya.

1.4 Kerangka Pikir

Penyusunan kerangka pikir dibuat berdasarkan teori ilmiah dan variabel yang akan diteliti, kerangka pikir dibuat dalam bentuk bagan yang disusun secara sistematis dan logis sebagai acuan dalam penyusunan skripsi. Variabel yang diteliti berupa kondisi dan permasalahan pada tapak yang harus dibuat solusinya. Pada Kompleks Masjid Raya Bogor variabel yang diteliti adalah kondisi fisik bangunan, kondisi lanskap, dan aspek sosial. Variabel- variabel ini didapatkan berdasarkan survei tapak, dan konsep ekoarsitektur menjadi teori pendukung dalam penyusunan skripsi ini. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pikir tersebut. ` Gambar 1 Kerangka Pikir Lanskap Masjid Raya Bogor Kondisi Fisik Bangunan Karakter Arsitektur Bangunan Aspek Sosial 1. Land Use 2. Intensitas Pengunjung Kondisi Lanskap 1. Tata Guna Lahan 2. Iklim 3. Kondisi Fisik 4. Tata Hijau 5. Kualitas Lingkungan Prinsip Ekoarsitektur 1. Sinergi dengan Alam 2. Efisien dalam Penggunaan Energi 3. Kelestarian Lingkungan 4. Teknologi Tepat Guna Analisis Sintesis Konsep Ekoarsitektur Desain Taman Masjid Raya Bogor untuk Mendukung Ekoarsitektur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Desain dan Perancangan

Van Dyke 1990 mengemukakan bahwa desain atau perancangan merupakan suatu bentuk pemecahan masalah dengan beberapa tahapan dan mengacu pada ide-ide desain yang direncanakan. Desain yang baik harus dapat memecahkan masalah dengan konsep yang baik dan merupakan hasil dari proses yang saling berhubungan dari tahapan desain. Selain itu, desain juga berfungsi untuk mengambil keputusan yang berorientasi pada kepentingan masa yang akan datang, serta menciptakan hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yang bersifat dinamis, berkelanjutan, dan fleksibel. Perancangan adalah sebuah proses kreatif yang mengintegrasikan aspek teknologi, sosial, ekonomi, dan biologi, serta efek psikologis dan fisik yang ditimbulkan dari bentuk, bahan, warna, ruang, dan hasil pemikiran yang saling berhubungan Simonds, 1983. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perancangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, antara lain perancangan dapat mengakomodasi sarana yang kuno dengan yang baru. Perancangan merupakan kombinasi ilmu dan seni yang berfokus pada penggabungan manusia dengan aktivitas di ruang luar Booth, 1983.

2.2 Kota dan Permasalahannya

Kota adalah pusat dari suatu daerah karena kota merupakan pusat informasi dan infrastruktur yang terdapat di perkotaan lebih lengkap daripada di pedesaan sehingga banyak masyarakat yang lebih memilih untuk tinggal di kota daripada di desa. Hal ini merupakan penyebab semakin bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan yang mengakibatkan permukiman di perkotaan semakin padat. Definisi kota berdasarkan Pasal 1 Permendagri No. 2 Tahun 1987 adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan Hardjasoemantri, 2000. Menurut Apsari 2007, kota memiliki berbagai komponen yang terdiri dari komponen yang secara fisik terlihat dan yang tidak dapat terlihat. Komponen yang secara fisik terlihat, antara lain, adalah berupa bangunan dan infrastruktur lainnya, sedangkan komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Karakteristik masyarakat yang terdapat di kota adalah heterogen, bertingkat-tingkat, dan secara umum memiliki kecenderungan individual dan materialistis yang tinggi. Menurut Karyono 2001, kota-kota besar di Indonesia menghadapi permasalahan suhu yang tinggi. Suhu yang tinggi di kota-kota besar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor sosial. Faktor alami tersebut, antara lain, bangunan-bangunan tinggi di kota-kota besar yang menghalangi kecepatan angin dan radiasi sinar matahari akibat minimnya jumlah pepohonan di kota-kota besar, sedangkan faktor sosial, antara lain, peningkatan aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi peningkatan suhu kota dan dibukanya lahan-lahan alami bervegetasi menjadi lahan terbangun. Faktor sosial lainnya, yaitu jumlah penduduk, penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, jumlah kendaraan bermotor, jumlah bangunan, serta permukiman yang relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa dan diperkeras, tetapi tanpa cukup diberi peneduh pohon sehingga tidak akan nyaman tanpa pengkondisian udara. Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton, serta pembuangan panas oleh mesin-mesin pengkondisian udara itu sendiri. Selain itu, suhu udara kian bertambah panas akibat kendaraan bermotor yang menggunakan AC. Persoalan tersebut kemudian terakumulasi sehingga kebergantungan manusia yang tinggal di kota pada penggunaan energi semakin tinggi Karyono, 2001.

2.3 Pengertian Ekologi dan Desain Ekoarsitektur

Istilah “ekologi” pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel, ahli ilmu hewan pada tahun 1869 sebagai ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya. Arti kata bahasa Yunani oikos adalah rumah tangga atau cara bertempat tinggal, dan logos bersifat ilmu atau ilmiah. Jadi, ekologi berarti ilmu tentang rumah atau tempat tinggal makhluk hidup. Ekologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya Frick dan Suskiyatno, 2007. Selanjutnya menurut Frick dan Suskiyatno 2007 , persoalan tentang wawasan lingkungan pada masa ini berkembang pada rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan mendorong kedudukan ekologi dari segi akademis menjadi perhatian umum. Hal ini mengakibatkan ekologi di samping menjadi bidang keilmuan, juga ilmu lingkungan yang mengandung pengetahuan dan pengalaman kebutuhan masyarakat di bidang ekonomi dan politik. Arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam maupun kepentingan manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan alamnya dinamakan ekoarsitektur atau arsitektur ekologis Frick dan Suskiyatno, 2007 . Desain ekoarsitektur adalah desain yang memperkuat hubungan alam dan budaya manusia. Desain ekoarsitektur berhubungan dengan arsitektur dalam hal dengan permasalahan struktur, bentuk, dan estetika serta segi teknik sipil dalam hal keamanan dan efisiensi. Aspek tersebut kemudian diolah menurut desain ekoarsitektur, untuk kelangsungannya dalam jangka panjang demi kelestarian lingkungan dan makhluk hidup Van der Ryn dan Cowan, 1996. Dengan kata lain, desain ekoarsitektur adalah setiap bentuk desain yang meminimalkan dampak yang merusak lingkungan dengan mengintegrasikan diri dengan proses- proses hidup.

2.4 Atap Bertanaman sebagai Bagian dari Desain Ekoarsitektur

Perkembangan pembangunan fisik yang pesat di perkotaan telah menyebabkan perubahan wajah kota menjadi semakin kaku, tetapi secara manusiawi manusia yang tinggal di dalamnya tetap mempunyai keinginan untuk senantiasa berdekatan dengan alam Branch, 1995. Menurut Ambarwati 2005, dengan menghadirkan suasana alami di lingkungan sekitar tempat tinggal atau kerja, manusia akan senantiasa didorong berdekatan dengan alam sehingga akan tercipta kondisi yang nyaman di lingkungan tempat tinggal atau kerja tersebut. Suasana udara yang nyaman serta pemandangan yang indah dapat memberikan rasa tenang sehingga produktivitas kerja dapat meningkat. Dengan demikian, dari latar belakang tersebut, kemudian timbul suatu cabang lanskap yang dinamakan roof landscape. Menurut Pramukanto 2006, roof landscape atau lebih dikenal dengan green roof, rooftop garden, atau roof garden merupakan salah satu pemberdayaan potensi ruang yang tidak termanfaatkan, yaitu pada atap bangunan menjadi sebuah ruang hijau yang dapat memberikan banyak manfaat baik dalam skala mikro maupun skala kota. Pengembangan ruang hijau vertikal ini mempunyai peran ekoarsitektur dalam meningkatkan keragaman biologis di perkotaan. Green roof atau yang lebih dikenal dengan nama roof garden taman atap mempunyai pengertian ruang hijau di atas atap yang memanfaatkan vegetasi hidup Voogt, 2004. Dengan kata lain, roof garden adalah taman yang berada di atap bangunan dengan semua unsur tanaman yang terdapat di dalam taman tersebut diupayakan berada di atap. Pembentukan roof garden yang paling sederhana adalah berupa penambahan fasilitas bak tanaman yang dipasang di tepian beranda dan ditanami dengan tanaman hias pot ataupun tanaman rambat. Menurut Apsari 2007, konsep taman atap telah menjadi inspirasi sejak enam abad sebelum masehi, yaitu dibangunnya Taman Gantung Babylonia yang bertujuan menciptakan tiruan alam di istana. Salah satu dari tujuh keajaiban ini dibangun oleh raja Kaldea, Nebupalassar, dan dilanjutkan oleh puteranya Nebuchadnezar. Taman ini berupa teras-teras bertingkat pada dinding kota seluas dua hektar dengan 3500 kaki di atas permukaan laut. Pada abad ke 19 daerah perbukitan di Islandia menjadi sumber inspirasi bentuk roof garden selanjutnya, disana para petani menanami atap rumahnya dengan rumput. Penghijauan atap era modern dimulai di Jerman, Swiss, Austria, dan negara Skandinavia pada tahun 1960-an. Sampai tahun 1996 lebih dari 3.2 juta m 2 ruang hijau dibangun di atap bangunan-bangunan di Jerman. Setelah Eropa, Amerika dan Kanada juga mengembangkan roof garden. Begitu pula dengan beberapa negara di Asia, seperti Singapura, Hongkong China, Jepang, dan Korea Sukaton et al., 2004; Pramukanto, 2006. Menurut Paramukanto 2006, roof garden dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas lingkungan. Roof garden dapat berperan sebagai lingkungan hidup yang menyediakan habitat untuk satwa liar terutama burung dan hewan kecil lainnya. Tanaman yang terdapat di roof garden dapat menjadi filter alami untuk mengurangi polusi udara dan debu karena tanaman dapat meningkatkan kadar oksigen di udara sehingga akan mengurangi karbondioksida. Selain itu, tanaman yang terdapat di roof garden juga dapat menurunkan tingkat transfer bising dan proses fotosintesis yang dialami oleh tanaman dapat meningkatkan biomassa kota. Dengan demikian, secara garis besar manfaat roof garden dapat dikategorikan menurut fungsi ekoarsitektur, ekonomi, dan estetika. Roof garden adalah salah satu sistem modifikasi atap yang dapat menurunkan intensitas pulau pemanasan kota dengan menyediakan bayangan dan melalui evapotranspirasi yang melepaskan air dari tanaman ke udara di sekelilingnya sehingga kelembaban udara meningkat dan udara akan menjadi lebih segar. Keberadaan roof garden dapat menurunkan akumulasi panas dari bangunan dan menurunkan emisi polutan dari AC dan gas rumah kaca Voogt, 2004. Kehadiran roof garden pada suatu bangunan dapat menciptakan keindahan visual karena fungsi tanaman yang dapat melembutkan struktur bangunan yang kaku. Selain itu, pemanfaatan roof garden yang meluas dapat melembutkan horizon kota yang monoton sehingga predikat kota sebagai “hutan beton” dapat diminimalkan. Atap bertanaman dapat mengurangi tingkat kebisingan hingga 50 dB. Lapisan tanah setebal 12-20 cm dapat mengurangi tingkat kebisingan hingga 40- 46 dB Feriadi dan Frick, 2008. Menurut US EPA 2006, roof garden dapat diaplikasikan pada fasilitas industri, perm ukiman, perkantoran, serta fasilitas komersial lain, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk bangunan. Pengembangan roof garden di perkotaan perlu diupayakan untuk membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau.

2.5 Iklim Kota dan Iklim Desa

Secara umum kondisi iklim tropis di kota misalnya di Jakarta, Surabaya, dan Bogor turut berperan penting dalam menentukan kebutuhan sistem penanaman dan jenis tanaman, serta memberi pertimbangan desain yang menentukan keberhasilan gagasan desain kawasan lanskap berbasis ekoarsitektur. Tiap atap bertanaman mempunyai keunikan karakter kondisi iklim mikro yang berhubungan dengan lokasi dan dipengaruhi oleh faktor orientasi bangunan, kondisi bangunan sekitarnya, pola pergerakan angin, dan fasilitas infrastruktur lingkungan yang perlu dipelajari selama fase desain Feriadi dan Frick, 2008. Selanjutnya menurut Feriadi dan Frick 2008, kondisi iklim mikro berubah seiiring dengan berubahnya ketinggian suatu tempat. Suhu udara ekstrem dan angin yang bertiup lebih keras perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya. Bangunan sekitar akan mempengaruhi pola pergerakan angin seperti efek terowongan angin, membentuk bayangan atau memantulkan cahaya. Dengan demikian, kajian menyeluruh mengenai atap bertanaman dalam kaitannya dengan bangunan sekitarnya sangat diperlukan. Dalam beberapa segi tertentu, faktor yang kurang baik seperti angin dan kelebihan sinar matahari dapat diatasi oleh perencanaan yang matang. Orientasi atap bertanaman dapat mempengaruhi jumlah angin dan sinar matahari yang diperoleh. Bayangan yang disebabkan oleh bangunan sekitar turut menentukan jenis tanaman yang ditanam. Angin yang berlebihan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pengguna, merusak tanaman atau merobohkan pohon sehingga dalam penerapannya pelindung angin dan pengikatan tanaman dengan jangkar khusus mungkin diperlukan Feriadi dan Frick, 2008.

2.6 Desain Ekoarsitektur sebagai Solusi Masalah Lingkungan Kota

Menurut Feriadi dan Frick 2008, perbandingan antara lingkungan buatan dan lingkungan alam yang melewati ambang batas tertentu menimbulkan “iklim kota”. Peningkatan suhu iklim kota tersebut rata-rata 1 – 2 O C dan pada waktu malam dapat mencapai 6 O C. Ditambah dengan pencemaran yang meningkat, beban atau risiko atas kesehatan manusia meningkat pula. Tingkat kehangatan suhu dalam iklim kota pada siang hari naik di pusat kota, membubung di situ dan memadatkan partikel debu dan sebagainya. Dengan demikian, udara tercemar membentuk semacam kanopi kabut atau asap yang mengurangi sinar matahari langsung dan cahaya alamiah. Udara tercemar tersebut kemudian turun di pinggiran kota. Pada malam hari kanopi kabut tersebut mengurangi pemantulan suhu permukaan bumi ke angkasa, mengakibatkan meningkatnya suhu sampai 6 O C, dan menghalangi angin sejuk masuk ke dalam kota Feriadi dan Frick, 2008. Selanjutnya menurut Feriadi dan Frick 2008, kanopi kabutasap dan peningkatan suhu di dalam kota terjadi berdasarkan argumentasipenalaran berikut: 1 kapasitas penyimpanan panas oleh gedung dan jalan yang seharusnya dipantulkan pada waktu malam terganggu oleh pencemaran udara; 2 penerimaan radiasi panas sinar maahari diperburuk oleh bahan pemantulan kaca, kendaraan, dsb dan oleh warna gelap jalan aspal hitam dsb; 3 kurangnya tanaman dan pepohonan yang memberi bayangan pada siang hari, sedangkan sebenarnya pepohonan berpotensi dapat menurunkan suhu di sekitarnya hingga 3 - 4 O C; 4 aliran air hujan yang melewati atap, jalan, saluran, dan sebagainya, biasanya langsung ke roil kota saluran pembuangan sehingga tidak dapat menguap di tempat yang sekaligus dapat menurunkan suhu setempat. Untuk mengurangi efek kanopi kabut dan iklim kota yang juga mempengaruhi kesehatan, penghuni harus mengusahakan hal-hal berikut: 1 mencegah emisi pengaruh pencemaran udara, bahan pengotor, kebisingan, radiasi, dsb.,atas manusia, hewan, dan tanaman; 2 memungkinkan gerakan sirkulasi udara dalam lingkungan kecil; 3 menciptakan taman kota, hutan kota, dan permukaan penyerapan air yang cukup luas; 4 menambah penghijauan di sekitar gedung lahan parkir dihijaukan dengan rumput, menanam tanaman peneduh, menghijaukan dinding luar kebun vertikal, dan menggunakan konstruksi atap bertanaman. Penghijauan di lingkungan kota akan meningkatkan kualitas kehidupan dalam kota karena manusia dapat hidup erat dengan alam melihat tumbuhnya tanaman, burung, dan binatang lain, serta dapat mengerti fungsi ekosistem. Menurut Sasmita 2009, kota yang memiliki keteduhan dengan banyaknya pohon yang rindang dapat mengurangi secara tidak langsung lalu lintas kendaraan bermotor karena penduduk lebih bersedia berjalan kaki, serta kurang berkehendak untuk keluar kota atau ke tempat hiburan. Di samping hal-hal tersebut, penghijauan di lingkungan kota meningkatkan produksi oksigen yang mendukung kehidupan sehat bagi manusia, mengurangi pencemaran udara, dan meningkatkan kualitas iklim mikro. Air hujan yang turun diserap oleh tanah, kemudian menguap kembali. Dengan demikian, tanaman ikut mengelola air hujan dan melindungi lereng terhadap tanah longsor.

2.7 Penerapan Teknik Sipil untuk Desain Ekoarsitektur

Teknik sipil adalah salah satu cabang ilmu teknik yang mempelajari tentang bagaimana merancang, membangun, merenovasi tidak hanya gedung dan infrastruktur, tetapi juga mencakup lingkungan untuk kemaslahatan hidup manusia. Salah satu cabang dari ilmu teknik sipil yang diperlukan dalam merancang suatu kawasan ekoarsitektur adalah teknik sipil struktural, yaitu cabang yang mempelajari masalah struktural dari materi yang digunakan untuk pembangunan. Sebuah bentuk bangunan mungkin dibuat dari beberapa pilihan jenis material, seperti baja, beton, kayu, kaca, atau bahan lainnya. Setiap bahan tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Ilmu bidang struktural mempelajari sifat-sifat material itu sehingga pada akhirnya dapat dipilih material mana yang cocok untuk jenis bangunan tersebut Dalam bidang ini dipelajari lebih mendalam hal yang berkaitan dengan perencanaan struktur bangunan, jalan, jembatan, green roof, terowongan dari pembangunan pondasi, hingga bangunan siap digunakan.

2.8 Pemodelan Digital Piranti lunak software berfungsi sebagai alat bantu untuk keperluan

gambar teknik agar suatu gambar lebih cepat dan mudah dikerjakan, lebih akurat, dan lebih baik kualitas gambarnya secara visual. Ada dua jenis gambar teknik yang umum digunakan, yaitu gambar dua dimensi 2D yang berfungsi sebagai gambar kerja panduan pelaksana dengan piranti lunak AutoCad, PhotoShop, atau CorelDraw. Jenis yang kedua adalah gambar tiga dimensi 3D. Gambar jenis ini bersifat memiliki kedalaman ruang sehingga walaupun hanya dalam bentuk gambar pada bidang kertas, gambar tersebut memudahkan dalam visualisasi bentuk dan ruang dari berbagai arah, bahkan dari dalam ruangan Thabrani, 2007. Piranti lunak dalam pemodelan 3D yang dapat digunakan adalah 3D Studio Max, SketchUp, Maya, Bryce, dan Piranesi. Pilihan bergantung pada kebutuhan dan keahlian pengguna software, tetapi yang umum dan popular digunakan dalam pemodelan tiga dimensi adalah piranti lunak 3D StudioMax. Kemampuan piranti lunak 3D StudioMax tidak hanya untuk keperluan pemodelan 3D, juga terdapat material, pencahayaan, serta membuat simulasi gerakan animasi sehingga model dapat dipresentasikan secara foto Thabrani, 2007.

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kompleks Masjid Raya Bogor. Kawasan ini termasuk dalam batas administrasi daerah Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, dan terletak di pusat Kota Bogor Gambar 2. Penelitian ini dilakukan sejak April 2009 hingga Maret 2011. Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

3.2 Batasan Studi

Studi ini dibatasi sampai tahap perancangan lanskap Kompleks Masjid Raya Bogor. Tahap perancangan lanskap Kompleks Masjid Raya Bogor tersebut meliputi tata ruang, sirkulasi, fasilitas, utilitas, dan tata hijau, dengan penggambaran siteplan, perspektif 3D, potongan, gambar detil, dan tampilan akhir desain dalam program komputer.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan yang terbagi menjadi beberapa tahapan berikut gambar 3.

3.3.1 Persiapan Awal

Persiapan awal ini meliputi studi pustaka, penetapan tujuan penelitian, penyusunan rencana kerja, kajian manfaat penelitian, pengumpulan informasi yang diperlukan untuk memulai penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 3, dan penyusunan anggaran biaya. Siteplan yang didapatkan melalui pihak Masjid Raya Bogor dan Pemerintah Kota Bogor digunakan sebagai basemap awal, kemudian dilakukan validasi dengan survei lapang. Kompleks Masjid Raya Bogor merupakan kawasan yang potensial untuk dikembangkan dengan konsep ekoarsitektur karena letaknya di pusat Kota Bogor dan merupakan pusat kegiatan keagamaan di Kota Bogor. Tabel 1 Jenis, Bentuk, dan Sumber Data Kondisi Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kondisi Lanskap Iklim Curah hujan, arah angin, suhu, dan kelembaban BPS dan Statsiun Meteorologi Hidrologi Pola drainase dan pengendalian banjir Bappeda dan Dinas Perairan Land use Pola penggunaan lahan Observasi lapang, pustaka, dan wawancara Elemen lanskap Kualitas dan kuantitas elemen lanskap Observasi lapang Kualitas visual lanskap Good view dan bad view Observasi lapang Kondisi Bangunan Struktur bangunan Denah dan foto Pemerintah Kota Bogor dan observasi lapang Kualitas visual bangunan Foto dan kesesuaian tema bangunan Observasi lapang

3.3.2 Inventarisasi

Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data. Data yang dikumpulkan pada tahap inventarisasi meliputi data primer dan sekunder. Data diperoleh melalui survei lapang, wawancara dengan pihak terkait, studi pustaka, penelusuran internet, serta permintaan data yang telah tersedia baik dari pemerintah Kota Bogor maupun dari pihak pengembang di lapangan Tabel 1.

3.3.3 Analisis Sintesis

Dalam tahapan ini, semua data yang sudah terkumpul dianalisis dan dicari sintesisnya. Analisis merupakan usaha untuk mengemukakan potensi dan kendala kawasan dalam hubungannya dengan usaha perancangan yang akan dilakukan, sedangkan sintesis adalah alternatif-alternatif dari solusi pada masalah yang ada dalam kawasan penelitian. Dari alternatif yang ada tersebut, dicarikan solusi yang terbaik dan paling tepat untuk diterapkan dalam kawasan penelitian.

3.3.4 Desain

Tahap ini adalah tahap akhir dalam penelitian. Dari hasil sintesis, direncanakan konsep desain taman untuk mendukung ekoarsitektur yang meliputi konsep ekologi dan konsep arsitektur sebagai konsep dasar, serta konsep umum desain lanskap yang terdiri dari tata hijau, fasilitas dan utilitas, sirkulasi drainase. Produk hasil rancangan meliputi siteplan, detil konstruksi elemen, detil penanaman gambar potongan tampak, serta gambar perspektif tiga dimensi 3D. Tahapan proses dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Inventarisasi dan Analisis

Bab ini memaparkan hasil pengumpulan data yang disertai dengan analisisnya. Data primer dan data sekunder diperoleh dengan cara survei lapangan, wawancara dengan instansi terkait, penelusuran internet, serta studi pustaka. Data yang terkumpul dibedakan menjadi beberapa subdata. Data yang telah diperoleh dianalisis. Analisis ini merupakan tahapan untuk mencari potensi dan kendala pada tapak yang berhubungan dengan tujuan penelitian, yaitu perancangan Kompleks Masjid Raya Bogor berbasis ekoarsitektur. Analisis yang dilakukan ini dipandang dari segi bidang Arsitektur dan Arsitektur Lanskap yang meliputi analisis tapak dan bangunan masjidnya untuk aktivitas beribadat dan rekreasi yang bernilai ekoarsitektur bagi lingkungan perkotaan. Lampiran 1 menyajikan peta inventarisasi Kawasan Masjid Raya Bogor. Hasil analisis atas potensi dan kendala tapak dilihat pada Lampiran 2. Detil inventarisasi dan analisis tapak disampaikan berikut ini.

4.1.1 Lokasi, Batas, dan Aksesibilitas Tapak

Tapak penelitian adalah di Kompleks Masjid Raya Bogor, Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur. Desain hanya dilakukan pada Kompleks Masjid Raya Bogor dan sebagian Jalan Pajajaran yang terkait dengan kawasan ini, dengan batas wilayah sebagai berikut: a. Jalan Sambu di sebelah utara; b. Markaz Islam Bogor di sebelah selatan; c. Jalan Riau dan kawasan permukiman di sebelah barat; d. Jalan Raya Pajajaran dan kawasan pertokoan di sebelah timur. Tapak yang didesain tersebut berupa kawasan masjid yang meliputi bangunan masjid dan plaza, masing-masing sebagai zona inti dan zona pendukung. Zona inti adalah kawasan perencanaan yang diutamakan pengembangannya. Zona pendukung meliputi bangunan lembaga keislaman, jalur sirkulasi, tempat parkir, jalan raya, dan pedestrian. Aksesibilitas menuju Kompleks Masjid Raya Bogor tergolong mudah karena berada di pusat Kota Bogor yang strategis, dapat ditempuh dengan berbagai transportasi umum dan pribadi maupun dengan berjalan kaki. Transportasi umum dapat berupa bus bertujuan di Terminal Baranangsiang, ojek, dan angkutan perkotaan Angkot 09 dari Sukasari, Angkot 03 dari bubulak, Angkot 01 dari Ciawi, Angkot 06 dari Ciheuleut, dan Angkot 11 dari Pajajaran Indah, sedangkan transportasi pribadi dapat berupa mobil dan sepeda motor. Letak kawasan yang strategis dan aksesibilitas menuju kawasan yang mudah ini merupakan potensi karena besarnya jumlah pengunjung yang datang pada kawasan. Dengan demikian, peluang pengembangan kawasan sangat diperlukan untuk meningkatkan citra Kota Bogor mengingat banyaknya aktivitas warga dalam kota dan dari luar kota.

4.1.2 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan yang berada di Kompleks Masjid Raya Bogor sebagian besar merupakan perkerasan bangunan dan plaza serta sebagian kecil untuk lahan terbuka hijau Gambar 4. Pemerintah Kota Bogor menetapkan kawasan di sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor sebagai pusat pengembangan Islam di wilayah kota Bogor. Dalam rencana pengembangan luas Kompleks Masjid Raya Bogor adalah 8.165 m 2 . Dengan total luas tanah bangunan dan plaza 3.427 m 2 termasuk Markaz Islam Bogor, luas area untuk penghijauan 1908,18 m 2 dan sisa luas tanah sebesar 2829,82 m 2 akan dibuat perkerasan untuk tempat parkir dan jalur aspal. Dengan kata lain, sebesar 76,6 persen dari seluruh luas Kompleks Masjid Raya Bogor adalah perkerasan dan hanya ada 23,37 persen untuk lahan terbuka hijau. Tata guna lahan yang didominasi dengan perkerasan menyebabkan kawasan ini terasa panas pada siang hari dan berkesan masif. Daerah pendukung kawasan ini, antara lain, adalah jalan raya dan pedestrian di sebelah barat dan utara, tetapi penggunaannya tidak optimal karena sepanjang pedestrian pada kawasan sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Pedagang memanfaatkan pedestrian di kawasan sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor dengan alasan lebih ramai pembeli.

4.1.3 Iklim

Iklim merupakan faktor-faktor tidak tetap yang saling berhubungan yang meliputi suhu, radiasi matahari, curah hujan, serta kelembaban udara. Rancangan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi iklim yang sudah ada dengan mengambil aspek-aspek yang menguntungkan dan mengendalikan aspek-aspek yang merugikan. Kondisi iklim terutama iklim mikro turut menentukan tingkat kenyamanan bagi pengguna masjid. Oleh karena itu, pengendalian terhadap iklim mikro sangat penting. Iklim pada Kompleks Masjid Raya Bogor termasuk ke dalam iklim kota karena iklim alami sudah dipengaruhi oleh struktur bangunan dan aktivitas perkotaan. Kota Bogor terkenal dengan sebutan kota hujan. Hal tersebut menggambarkan kondisi iklim lokal Bogor secara keseluruhan. Kondisi iklim tersebut dapat dilihat secara numerik pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Iklim Kota Bogor pada Tahun 2008 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga Bulan Suhu Hari Hujan Kelembaban Nisbi Curah Hujan mm Maksimum Minimum Januari 30,7 23,1 16 80,7 339 Februari 28,2 22,3 16 87 324 Maret 30,4 22,4 25 83,7 653 April 30,8 22,4 22 80,7 506 Mei 31,7 22,4 17 75,3 222 Juni 31,5 22,2 13 75,7 128 Juli 32,2 21,3 8 71 78 Agustus 31,4 21,9 13 77,7 151 September 32,3 22,2 15 71,3 474 Oktober 31,8 21,1 18 77 334 November 30,9 20,2 20 78 543 Desember 29,9 19,8 24 81 300 Jumlah 371,8 261,3 207 939 4052 Rata-rata 31 21,8 17 78,3 337,7 Pada kolom curah hujan dapat terlihat bahwa curah hujan Kota Bogor rata- rata pada bulan Maret tahun 2008 dapat mencapai 653 mm, sedangkan hari hujan selama tahun 2008 mencapai 207 hari. Dengan kata lain, lebih dari setengah tahun hujan turun. Hujan dapat menyebabkan struktur bangunan mudah mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas material bangunan sehingga diperlukan alatupaya untuk mengantisipasi tingginya curah hujan agar tidak merusak struktur bangunan. Roof garden merupakan instrumen yang tepat untuk Kompleks Masjid Raya Bogor, mengingat sebagian besar lahannya berupa struktur bangunan beton. Roof garden berfungsi untuk nengendalikan kerusakan dan penurunan kualitas material akibat tingginya curah hujan agar struktur bangunan lebih awet sekaligus menambah nilai estetika dan mempertahankan kenyamanan termal. Iklim mikro di Kompleks Masjid Raya Bogor cenderung kurang nyaman pada siang hari karena kurangnya vegetasi dan struktur bangunan yang terlalu masif terutama pada bagian plaza masjid sehingga pada siang hari terik matahari langsung tidak terhalang. Oleh karena itu, suhu udaranya tinggi pada waktu-waktu tertentu yang berdampak pada minimnya aktivitas di daerah plaza. Posisi Kompleks Masjid Raya Bogor berada di antara lintasan matahari dan angin karena letak gedung yang berorientasi timur dan barat, serta tegak lurus terhadap arah angin yang dominan pada daerah tropis, yaitu angin yang bergerak dari tenggara ke timur laut pada musim kemarau dan dari timur laut ke tenggara pada musim hujan. Posisi yang demikian merupakan potensi yang baik untuk desain dengan konsep ekoarsitektur.

4.1.4 Kondisi Fisik dan Land Use Kawasan Masjid Raya Bogor

Kondisi fisik yang diamati dan dianalisis untuk proses perancangan meliputi Kompleks Masjid Raya Bogor, yang terdiri dari bangunan masjid utama, plaza masjid, koridor masjid, kantor Badan Amil Zakat BAZ Kota Bogor, taman masjid, tempat parkir, dan perkerasan pada halaman masjid. Selain Kompleks Masjid Raya Bogor, area pendukung, seperti pedestrian, jalan raya, dan Markaz Islam Bogor yang berhubungan dengan Masjid Raya Bogor menjadi area yang tidak dapat dipisahkan sebagai objek yang diamati dan dianalisis untuk proses perancangan.

4.1.4.1 Bangunan Masjid Utama

Bangunan masjid utama terdiri dari ruang utama, pelataran berupa teras masjid, kantor Dewan Keluarga Masjid DKM, dan pada lantai bawah dari bangunan masjid terdapat taman kanak-kanak TK Ibnu Hajar. Ruang utama masjid seluas 449,3 m 2 digunakan sebagai ruang untuk salat, dan acara pengajian rutin sebagai pusat aktivitas keagamaan. Pelataran masjid merupakan ruang pendukung yang mengitari ruang utama masjid. Luas pelataran masjid adalah 657,7 m 2 . Fasilitas pada pelataran masjid adalah teras masjid yang digunakan pengguna user untuk istirahat dan sering digunakan sebagai tempat berbuka puasa pada hari Senin dan Kamis. Kegiatan buka puasa bersama juga rutin dilaksanakan setiap hari pada bulan Ramadhan. Pada pelataran masjid juga tersedia papan informasi kegiatan keislaman dan terdapat tempat penitipan barang. Kantor Dewan Keluarga Masjid DKM berada tepat di utara ruang utama masjid yang juga merupakan stasiun radio Wadah Dakwah Islam WADI Fm dengan luas 84,4 m 2 . Gaya arsitektur pada bangunan masjid pada saat ini mengadopsi bentuk arsitektur pagoda pada atapnya dengan bentuk limas segi empat yang bertingkat yang merupakan akulturasi bentuk arsitektur Hindu gambar 5. Bentuk arsitektural masjid pada saat ini dinilai belum sesuai dengan kesatuan tema antara bangunan masjid, plaza, koridor masjid, dan kantor BAZ Kota Bogor yang bergaya arsitektur Islam. Bangunan Masjid Raya Bogor Gambar 5 Bangunan Masjid Raya Bogor

4.1.4.2 Plaza Masjid

Di sebelah selatan bangunan utama masjid terdapat plaza. Pada area plaza jarang terdapat aktivitas user di tengah plaza terutama pada siang hari, kegiatan user umumnya hanya berada di pinggir plaza pada sore hari antara pukul 15.30 dan pukul 18.00 WIB. Aktivitas terbanyak pada hari Jumat antara pukul 09.30 dan pukul 12.00 WIB karena banyaknya orang yang beristirahat sambil menunggu waktu salat Jumat. Pada daerah plaza tidak terdapat fasilitas drainase sehingga jika terjadi hujan terdapat genangan pada beberapa titik dan berakibat pada penurunan kualitas keramik pada plaza dengan ciri warna yang memudar selain akibat dari terik matahari langsung Gambar 6. Plaza bergaya Islam dicirikan adanya motif dari keramik berbentuk bintang segi delapan di tengah-tengah plaza. Gambar 6 Kondisi Area Plaza Masjid

4.1.4.3 Koridor Masjid

Di sebelah barat plaza terdapat koridor masjid Gambar 7 sepanjang 33,5 m dan lebar 3,4 m yang menghubungkan masjid dengan kantor BAZ Kota Bogor dan tempat wudhu di bawahnya. Aktivitas pengunjung pada area ini cukup tinggi karena di tempat ini pengunjung dapat mengakses pemandangan Gunung Salak, Umumnya, aktivitas yang dilakukan adalah duduk sambil menikmati Gunung Salak, bercengkrama, dan bersantai. Gambar 7 Area Koridor Masjid Atap koridor menyatu dengan bangunan kantor BAZ dan bangunan masjid. Corak arsitektur Islam terlihat dari motif ukiran berupa barisan bintang persegi delapan pada atapnya dan jajaran pilar yang mencirikan bangunan bergaya Islam.

4.1.4.4 Kantor Badan Amil Zakat BAZ Kota Bogor

Kantor BAZ Gambar 8 dengan luas 144 m 2 dengan dua lantai berada di selatan koridor. Bangunan ini memiliki kesatuan desain yang serasi dengan koridor dan plaza dengan konsep bangunan bergaya Islam, yang dicirikan oleh menara adzan, desain jajaran pilar-pilar pada dindingnya, lengkungan setengah lingkaran sebagai fentilasinya, serta adanya kubah kecil di ujung menara yang memperkuat karakter dari bangunan Islam. Gedung ini berfungsi sebagai pusat administrasi zakat di Kota Bogor. Gambar 8 Kantor Badan Amil Zakat BAZ Kota Bogor

4.1.4.5 Area Ground floor

Tepat di bawah kantor BAZ terdapat tempat wudhu yang berhubungan langsung dengan tempat parkir sepeda motor dan mobil. Tempat parkir berada tepat di barat tempat wudhu dan tepat di bawah plaza yang berfungsi juga sebagai atap tempat parkir seluas 760 m 2 . Tempat parkir ini hanya mampu menampung 13 unit mobil dan 60 unit sepeda motor. Fasilitas tempat parkir di area ground floor masih belum mampu menampung jumlah mobil terutama pada hari Jumat. Tempat wudhu dan tempat parkir termasuk dalam area ground floor Gambar 9. Tempat Whudu Masjid Raya Tempat Parkir Kendaraan Gambar 9 Area Ground floor

4.1.4.6 Taman dan Taman Kanak-kanak TK Ibnu Hajar

Di dalam Kompeks Masjid Raya Bogor terdapat taman, tepatnya di utara masjid Gambar 10. Kondisi taman kurang teratur dan tidak tepat guna mengingat fasilitas yang ada kurang mampu mengakomodasi pengunjung. Kondisi taman pada malam hari sangat gelap karena minimnya penerangan yang disediakan. Fasilitas yang tersedia di area taman adalah children playground yang biasa digunakan sebagai tempat bermain murid taman kanak-kanak yang berlokasi di bawah bangunan masjid. Taman Masjid Halaman TK Ibnu Hajar TK Ibnu Hajar Children Playground Gambar 10 Area di Utara Bangunan Masjid 4.1.4.7 Welcome Area Di bagian timur taman terdapat toilet umum dan berbatasan langsung dengan pagar masjid dan pedestrian Gambar 11. Toilet umum tersebut tidak tepat guna karena posisinya di depan masjid. Terdapat perkerasan di antara bagian selatan kamar mandi umum dan bagian barat bangunan masjid. Perkerasan ini dibuat dengan bahan paving block dan merupakan bekas tempat parkir sebelum dibangun tempat parkir pada ground floor Gambar 11. Kondisinya masih cukup baik, tetapi cukup gelap pada malam hari karena kurangnya penerangan. Toilet Perkerasan Gambar 11 Area di Sebelah Timur Bangunan Masjid Pintu masuk utama terdapat di sebelah timur, berhubungan langsung dengan Jalan Raya Pajajaran dan pedestrian dengan gapura sebagai gerbang dan terdapat pos keamanan di sebelah utara gapura Gambar 12. Kondisi gapura masih cukup baik sehingga perlu dipertahankan, tetapi pos keamanan yang merangkap kios dinilai tidak tepat guna penempatannya. Gapura Masjid Pos Keamanan Gambar 12 Area Pintu Masuk Utama

4.1.4.8 Infrastruktur dan Fasilitas Pendukung

Selain kompleks masjid, kawasan di sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor juga didukung oleh infrastruktur dan fasilitas pendukung, seperti pedestrian dan jalan raya di sekitarnya. Fasilitas pendukung tidak dapat dipisahkan dengan Kompleks Masjid Raya Bogor karena kualitas desain dan fisiknya akan berpengaruh pada kualitas desain Kompleks Masjid Raya itu sendiri.

4.1.4.8.1 Pedestrian

Di sebelah timur plaza terdapat pedestrian dengan lebar 2,5 m 2 yang menggunakan material paving block, kondisi paving block pada pedestrian banyak yang rusak terutama di bagian selatan masjid Gambar 13. Hal ini disebabkan oleh permukaan pedestrian yang tidak memiliki daerah resapan air sehingga genangan air mampu merusak lapisan permukaan paving dalam jangka waktu yang lama. Selain kondisi fisiknya yang kurang baik, sepanjang pedestrian dipenuhi oleh pedagang kaki lima PKL yang berjualan secara bergantian siang dan malam Gambar 13. Kebanyakan pedagang kaki lima berupa tenda warung makan dan gerobak kios yang menjajakan makanan ringan, permen, dan rokok. Kegiatan pedagang kaki lima ini menyebabkan penyempitan pedestrian karena hanya menyisakan sedikit ruang untuk pejalan kaki. Aktivitas manusia yang menggunakan pedestrian cukup tinggi antara pukul 06.00 dan pukul 22.00 WIB. Paving Pedestrian yang Rusak Penyempitan Pedestrian oleh PKL Gambar 13 Kondisi Pedestrian

4.1.4.8.2 Jalan Raya Pajajaran

Jalan Raya Pajajaran Gambar 14 merupakan jalan nasional dengan fungsi jalan sebagai jalan arteri sekunder yang terhubung dari Warung Jambu sampai dengan daerah Sukasari. Jalan Raya Pajajaran merupakan bagian penting pada kawasan di sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor dan merupakan akses utama menuju Kompleks Masjid Raya Bogor. Jalan Raya Pajajaran memiliki lebar 14 m, masing-masing 6 m pada kedua ruas jalan dan sekat pembatas berupa lahan terbuka hijau selebar 2 m. Kondisi pencahayaan pada malam hari di sepanjang jalan ini dinilai masih rendah akibat terdapat banyak lampu jalan yang tidak berfungsi karena rusak dan tertutupi oleh kanopi pohon. Aktivitas kendaraan bermotor di jalan raya ini sangat ramai mulai pukul 05.00 pagi sampai dengan pukul 22.00 WIB. Aktivitas akan meningkat pada akhir pekan dan hari libur. Gambar 14 Kondisi Jalan Raya Pajajaran

4.1.4.8.3 Markaz Islam Bogor

Di bagian ujung selatan Masjid Raya Bogor terdapat Markaz Islam Bogor Gambar 15 yang merupakan Pusat Pengembangan Islam Kota Bogor PPIB. Tempat ini digunakan sebagai tempat seminar ataupun diskusi Islam dan juga dapat disewa sebagai tempat resepsi pernikahan pada lantai atas , sebutan gedung ini sebelum bernama Markaz Islam Bogor adalah gedung PPIB, sedangkan pada lantai dasar digunakan sebagai kantor. Kondisi fisik pada bagian belakang dan samping Markaz Islam Bogor terasa kurang terawat dan kurang tertata rapi sehingga diperlukan penataan lanskapnya. Gedung Markaz Islam Bogor Sisi utara Markaz Islam Bogor Gambar 15 Kondisi Markaz Islam Bogor

4.1.5 Kualitas Lingkungan

Kualitas lingkungan di seluruh kawasan Masjid Raya Bogor perlu dianalisis untuk menjadi pertimbangan teknis dalam perancangan terutama dalam usaha peningkatan kenyamanan, keamanan, dan kualitas estetika bagi pengunjung. Kualitas lingkungan ini dibagi menjadi lima aspek, yaitu kualitas visual, kualitas udara, kualitas suara, kualitas keamanan, kualitas penerangan, dan kualitas iklim mikro.

4.1.5.1 Kualitas Visual

Secara umum kualitas visual dapat dikategorikan menjadi kualitas visual yang baik good view dan kualitas visual yang buruk bad view. Di daerah sekitar Masjid Raya Bogor terdapat lokasi dengan view yang baik, tetapi banyak juga ditemukan kualitas visual yang buruk yang disebabkan oleh penyalahgunaan lahan dan penempatan infrastruktur yang tidak tepat guna. Kualitas visual yang baik dapat dilihat dari koridor masjid ke arah barat, yang memungkinkan pengunjung dapat mengakses view Gunung Salak Gambar 16. Meskipun demikian jika pengunjung mengarahkan pandangannya ke bagian barat, kualitas visual yang berupa atap rumah di sebelah batas halaman belakang masjid ini tergolong jelek. Gambar 16 View Gunung Salak Sebagian besar penyalahgunaan lahan berakibat pada kualitas visual yang buruk bad view di bagian timur dan utara Gambar 17. Penyalahgunaan lahan oleh pedagang kaki lima yang berjualan di atas pedestrian sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor berakibat pada terganggunya kualitas visual masjid dan menutupi lanskap kompleks masjid sehingga kurang jelas terlihat dari jalan raya. Selain itu, buruknya kualitas visual pada bagian timur dan utara masjid diperparah juga oleh sampah yang kerap berserakan dan saluran drainase terbuka yang kotor akibat aktivitas pedagang kaki lima, serta adanya tempat penitipan gerobak. View Sebelah Timur Masjid View Sebelah Utara Masjid Gambar 17 Bad View Akibat Pedagang Kaki Lima Toilet Umum Penitipan Gerobak Gambar 18 Bad View Akibat Penempatan Fasilitas yang Tidak Tepat Selain penyalahgunaan lahan, penempatan fasilitas yang tidak tepat juga berakibat pada rendahnya kualitas visual pada tapak Gambar 18. Penempatan toilet umum di depan halaman masjid menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas visual. Gambar 19 menyajikan posisi kualitas visual yang baik dan yang buruk di kawasan sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor.

4.1.5.2 Kualitas Udara

Aspek kualitas lingkungan yang lain berupa kualitas udara. Kualitas udara pada Kompleks Masjid Raya Bogor tidak terlalu baik. Hal ini disebabkan oleh tingginya polusi kendaraan bermotor di jalan raya, terutama dari arah timur masjid, sedangkan kualitas udara di bagian utara masjid cukup baik karena adanya taman yang dipenuhi vegetasi.

4.1.5.3 Kualitas Suara

Aspek berikutnya adalah kualitas suara pada Kompleks Masjid Raya Bogor. Di beberapa lokasi terutama lokasi yang padat kendaraan, kualitas suaranya sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya bising dari mesin kendaraan dan suara klakson mobil yang hampir terdengar setiap saat. Sumber kebisingan berupa bunyi kalkson berasal dari sebelah timur kompleks masjid, terutama di persimpangan jalan Pajajaran dan jalan Sambu karena sering terjadi kemacetan angkot yang transit. Kualitas suara yang baik dapat dinikmati di bagian barat masjid sekitar koridor dan bagian utara masjid karena adanya vegetasi tempat tinggal satwa, seperti burung gereja dan beberapa jenis serangga. Selain vegetasi atap masjid juga menjadi sarang bagi burung gereja. Kualitas suara yang baik adalah potensi pada tapak yang perlu dipertahankan, dan ditingkatkan.

4.1.5.4 Kualitas Keamanan

Keamanan di lingkungan kawasan sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor memiliki kualitas yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh pedagang kaki lima yang sukar dikontrol di sepanjang pedestrian yang menyebabkan penyempitan jalan bagi pejalan kaki. Di samping itu, di samping pedestrian terdapat saluran drainase terbuka yang dapat membahayakan terutama pada malam hari karena kurangnya pencahayaan. Tidak adanya jembatan penyeberangan dengan lalu lintas yang padat juga dinilai dapat membahayakan pejalan kaki yang menyeberang di sekitar kawasan Kompleks Masjid Raya Bogor. Bahkan, kerusakan pada lantai pedestrian pun berpotensi membahayakan pejalan kaki di atasnya, terutama di malam hari.

4.1.5.4 Kualitas Penerangan

Kualitas penerangan berhubungan langsung dengan kualitas visual dan kualitas keamanan pada malam hari. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa secara umum kualitas penerangan pada Kompleks Masjid Raya Bogor masih rendah karena fasilitas penerangan di dalam kompleks masjid dirasa sangat kurang secara keseluruhan, terutama di area taman masjid, bagian timur masjid, dan bagian belakang gedung Markaz Islam Bogor. Plaza Masjid Gedung BAZ Taman Masjid Gambar 20 Kondisi Penerangan di Dalam Kompleks Masjid Selain kualitas penerangan di dalam kompleks masjid yang rendah, penerangan di luar kompleks masjid Gambar 21 juga dinilai masih rendah karena banyaknya lampu jalan di sepanjang Jalan Pajajaran yang tidak berfungsi dan tertutupi oleh kanopi pohon. Selain itu, di sepanjang pedestrian juga tidak terdapat fasilitas penerangan. Penerangan hanya berasal dari lampu kendaraan dan lampu yang disediakan oleh pedagang kaki lima. Jalan Raya Pajajaran Pedestrian Gambar 21 Kualitas Penerangan Malam di Kawasan Sekitar Kompleks Masjid Raya Bogor

4.1.5.5 Kualitas Iklim Mikro

Aspek kualitas lingkungan yang lain adalah kualitas iklim mikro. Iklim mikro di Kompleks Masjid Raya Bogor berkaitan dengan kenyamanan bagi pengunjung dalam melakukan aktivitas. Keadaan hawa dan cuaca yang dingin dapat mengakibatkan manusia kedinginan, bahkan sakit. Sebaliknya, iklim yang panas juga mengakibatkan gangguan keseimbangan termal dalam tubuh manusia. Beberapa lokasi pada tapak memiliki kualitas kenyamanan yang rendah karena kurangnya vegetasi, terutama vegetasi pohon peneduh. Kualitas lingkungan pada tapak dapat menjadi potensi sekaligus kendala pada tapak. Kondisi lingkungan yang baik dapat menjadi potensi yang dapat memberikan kenyamanan, keamanan, dan rasa keindahan pada pengunjung. Kondisi lingkungan tapak yang buruk dapat mengurangi tiga komponen tersebut. Sebagai akibatnya, aktivitas pengunjung menjadi terganggu sehingga perlu dicari solusinya. Kualitas iklim mikro yang buruk terdapat di sekitar plaza karena sama sekali tidak terdapat vegetasi dan tidak ternaungi sehingga terik matahari langsung terasa pada siang hari. Meskipun demikian, kualitas iklim mikro yang baik dapat dirasakan di seputar taman di sebelah utara masjid. Hal ini terjadi karena adanya tanaman peneduh vegetasi lainnya sehingga udara di tempat ini terasa cukup sejuk.

4.1.6 Tata Hijau

Tata hijau Gambar 22 pada Kompleks Masjid Raya Bogor masih dirasa kurang karena sebagian besar lanskapnya berupa perkerasan, lahan terbuka hijau yang tersedia hanya 23,37 persen dan terpusat di utara masjid. Usaha pemeliharaan tata hijau pada kawasan ini juga kurang karena penataannya tidak teratur.