Pengawasan Hukum Hukum Periklanan

pengadilan, ia harus menempuh proses yang panjang dan memakan waktu yang lama. Pada sebuah kasus berhasil dibawa ke pengadilan Ini bisa memakan waktu tiga sampai lima tahun, pelanggaran yang sama sesungguhnya akan tetap terus berlangsung, dengan segala kerugian yang ditimbulkannya, sementara esensi isunya telah dilupakan orang. Sampai saat ini Undang-undang yang mengatur periklanan secara khusus di Indonesia belum ada, apalagi mengenai ketentuan-ketentuan teknis mengenai teknis pemasangan. Ketentuan-ketentuan teknis terkait dalam kajian ini biasanya hanya pada tingkat instansi-instansi teknis di daerah dan pembahasannya mengenai topik tersebut lebih detail terdapat dalam Bab III penulisan tesisi ini. Hukum periklanan di Indonesia lebih banyak menyoroti dari aspek konsumennya, seperti dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dari beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-undang tersebut, ada beberapa yang patut dikaji terkait dengan aspek hukum periklanan yang kiranya masih relevan dengan topik pembahasan tesis ini. Seperti dalam salah satu pasal diidentikan dengan kata promosi sebagai suatu kegiatan pengenalan dan penyebarluasan informasi untuk menarik minat beli konsumen. Apabila dianalisis, definisi tersebut lebih menekankan pada pengenalan informasi untuk menarik minat beli konsumen. secara de facto pemahaman terhadap definis tersebut seringkali ditafsirkan pelaku usaha menjadi semacam alat, dengan menghalalkan muatan informasi apa saja, semata-mata untuk menggugah konsumen membeli. Tanpa disadari bahwa secara hukum ada informasi- informasi yang dilarang, meskipun menurut pertimbangan teknis pemasaran marketing sangat mungkin menggugah konsumen untuk membeli pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1999. Hak konsumen untuk mengakses informasi dari penayangan iklan sudah diatur dengan tegas, yaitu berupa informasi-informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa. Ketiga muatan informasi benar, jelas, dan jujur, yang wajib diberikan pelaku usaha, secara hukum mutlak harus diinformasikan. Meskipun disisi lain, ukuran-ukuran dari ketiga muatan informasi tersebut tidak begitu jelas. Persoalan ukuran diperkenankan atau dilarang, secara hukum menjadi hal yang sangat sensitif bagi dunia usaha, agar dapat bersaing dalam iklan dan promosi secara sehat dan fair pasal 4 huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999. Kewajiban pelaku usaha sebagai timbal balik hak konsumen sebagaimana yang tersebut pada paragraf diatas, maka menjadi kewajiban bagi pelaku usaha untuk menginformasikannya. Akan tetapi, sering kali dalam praktiknya pelaku usaha tidak menginformasikannya dalam iklan, baik cetak maupun elektronik apalagi media luar griya billboard, tentang kondisi yang sebenarnya dari produk yang ditawarkan, misalnya rumah yang dibeli konsumen dengan fasilitas kredit yang dipromosikan secara berlebihan. Ternyata setelah konsumen menempati rumah tersebut tidak sesuai dengan iklannya pasal 7b Undang-undang No. 8 Tahun 1999. Terakhir mengenai tanggungjawab pelaku usaha. Khusus untuk perusahaan periklanan biro iklan, menurut pasal 20 Undang-undang No. 8 tahun 1999 harus bertanggungjawab atas iklan yang diproduksinya dan bertanggungjawab pula terhadap segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

2.4.2 Pengawasan Sukarela

Karakteristik pengawasan sukarela yakni yang dilakukan oleh pihak-pihak dari dunia periklanan sendiri tentu saja berbeda dari yang melekat pada pengawasan hukum. Secara keseluruhan, karakteristik pengawasan sukarela tersebut dapat disarikan sebagai berikut : A. Terdapat kebiasaan yang selalu dipatuhi bahwa rekomendasi tertulis yang menyatakan pemasang iklan akan tunduk pada kepentingan masyarakat merupakan kelengkapan kontrak iklan. Biro iklan yang terbukti melanggar, yakni mengabaikan arti penting rekomendasi itu, akan kehilangan status keanggotaan dan haknya dari komisi, sementara kliennya harus menanggung rusaknya reputasi dirinya, seandainya saja sebuah pengaduan diajukan oleh pihak tertentu kepada Advertising Standards Authority ASA, karena lembaga ini menuliskan keputusan-keputusan pada laporan bulannya yang secara luas dipakai sebagai rujukan. B. Selain sanksi yang lebih bersifat moral yang telah disebutkan diatas, tidak ada lagi bentuk amcaman hukum lainnya. Selain itu, pahak pemasang maupun biro iklan tidak diwajibkan untuk mengubah atau menarik sebuah iklan yang nyata-nyata melanggar etika profesi periklanan. ASA sendiri tidak mempunyai wewenang untuk menarik denda. C. Pada dasarnya, pengawasan sukarela adalah pengaturan yang berasal dari diri sendiri dan tujuannya adalah mencegah munculnya iklan yang tidak etis. Media bertugas sebagai penyensor dan biro iklan bertugas sebagai penyaring untuk memastikan agar pemasang iklan tidak akan membuat iklan yang melanggar ketentuan Kode Etik Periklanan Inggris atau BCAP British Code of Advertising Pratice. Pihak keduanya tentunya tidak ingin menemui kesulitan dengan adanya pengaduan dari pembacanya, dan mereka juga memiliki reputasi yang harus dijaga. Sementara itu, biro iklan pun tidak ingin kehilangan pemasukannya dengan merusak hak yang didapatnya dari komite. Sekali lagi, kita melihat bahwa tanggung jawab akan baik atau buruknya sebuah iklan terletak pada pembuat iklannya, bukan iklannya itu sendiri. D. Seandainya muncul pengaduan tertulis dari masyarakat dan didukung oleh ASA, maka tanggapannya harus segera diberikan. Misalnya saja, iklan yang diprotes itu dimodifikasi atau ditarik sama sekali. Dalam sebuah kasus yang serius dan mendesak dimana pengaduan langsung ditujukan ke medianya yang membuat iklan, tanggapan harus seketika itu juga. Ini suatu kali pernah terjadi ketika sebuah iklan secara tidak sengaja menyinggung perasaan kalangan tertentu. Kata-kata dalam iklan itu berupa sebuah pernyataan yang kebetulan berkaitan dengan sebuah berita kejadian tragis yang tidak diduga akan terjadi tatkala iklan sedang dibuat. Begitu kecaman muncul, iklan tersebut langsung ditarik hanya hanya dalam waktu beberapa jam. Hal yang menyinggung itu sama sekali tidak disengaja, akan tetapi iklan itu muncul dihadapan pembaca yang tidak mau tahu kalau iklan itu dibuat beberapa minggu sebelumnya, jauh sebelum peristiwa itu terjadi, untuk dicetak dalam suplemen warna. E. Ada dua contoh, dimana iklan yang semula diharapkan memancing tawa justru menyinggung perasaan umat Islam, dan bahkan membangkitkan ancaman sanksi perdagangan dari sejumlah negara yang menuntut permintaan maaf yang segera dan ditariknya iklan yang menyinggung perasaan tadi. Si pembuat iklan yang mengatakan bahwa seorang sheik motornya kehabisan bensin sebenarnya bermaksud melucu, tetapi hal itu dianggap sebagai penghinaan oleh kaum Muslim. Dari sekian banyak iklan-iklan yang mengandung protes atau keluhan, pihak pembuatnya sebenarnya tidak bermaksud melukai perasaan pihak mana pun. Beda penafsiranlah yang menjadi pangkal tolaknya. Sebagai contoh, iklan minuman keras, orang yang anti minuman keras.